BAB II KAJIAN TEORITIK
2.1
Deskripsi Teori
2.1.1
Manajemen Pajak Upaya untuk melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui
kegiatan
manajemen
pajak.
Menurut
Lumbantoruan
(1996)
menyebutkan
bahwa
manajemenpajak sebagai suatu strategi penghematan pajak. Sophar mendefinisikan bahwa manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Pada dasarnya usaha penghematan pajak merupakan usaha Wajib Pajak yang selalu berusahameminimalkan beban pajak dan menunda pembayaran pajak selambatmungkin selamahal tersebut masih diperkenankan oleh peraturan perpajakan. Meminimalkan beban pajak sekecil mungkin dapat dilakukandengan menekan penghasilan-penghasilan dan/atau memperbesar biaya-biayayang boleh dikurangkan dari penghasilan (deductible), sehinggaPenghasilan Kena Pajak (PKP) menjadi lebih kecil, atau memanfaatkanhal-hal
yang
belum
diatur
dalam
peraturan
perpajakan.
Sedangkan
usahamemanfaatkan peraturan perpajakan yang ada yaitu seperti ketentuan yangberkaitan dengan penyusutan.Fungsi yang terdapat dalam manajemen umum, seperti perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan, dan pengendalian juga berlaku dalam manajemen pajak.Jadi, secara teoritis perencanaan pajak adalah bagian dari manajemenpajak. Tujuan manajemen pajak menurut Suandy (2006) dapat dibagimenjadi dua, yaitu:
Menerapkan peraturan perpajakan secara benar, dan;
Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Tujuan dari manajemen pajak diatas dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak (Lumbantoruan, 1996) yang terdiri dari:
Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation)
Pengendalian Pajak (Tax Control) Dalam fungsi-fungsi tersebut, perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam
manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan pengemasan pajak yang akan dilakukan. Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak jika ingin menerapkan suatu perencanaan pajak (tax planning)yaitu: 1)
Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Bila suatu tax planning ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan, bagiWajib Pajak merupakan resiko yang sangat berbahaya dan mungkin akan mengancam keberhasilan tax planning tersebut.
2)
Secara bisnis masuk akal, karena tax planning itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh perusahaan baik jangka panjang maupun jangka pendek maka perencanaan pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri.
3)
Bukti-bukti pendukungnya memadai, misalnya dukungan perjanjian, faktur dan juga perlakuan akuntansinya.
2.1.2
Perencanaan Pajak(Tax Planning)
2.1.2.1 Pengertian Perencanaan Pajak Perencanaan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak baik badan maupun orang pribadi dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang yang harusdibayar kepada Negara. Perencanaan pajak juga dimaksudkan sebagai tindakan yang dilakukan untuk merencanakan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal.
Erik dan Suwarta (2004: 11) mendefinisikan perencanaan pajak sebagai berikut: “Perencanaan pajak (tax planning) merupakan salah satu fungsi tax management yang bertitik tolak pada usaha pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan”.
Hidayat (2003: 11) juga mendefinisikan pengertian perencanaan pajak sebagai berikut: “Tax planning adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar (tidak melanggar undang-undang) tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”.
Sedangkan menurut Harnanto (2001: 4) pengertian perencanaan pajak adalah: “Suatu proses pengintegrasian usaha-usaha Wajib Pajak untuk meminimalisasikan beban atau kewajiban pajaknya, baik yang berupa penghasilan maupun pajak-pajak yang lain melalui pemanfaatan fasilitas perpajakan dan perundang-undangan perpajakan”.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak (tax planning) secara garis besar adalah suatu proses organisasi usaha Wajib Pajak sedemikian rupa, sehingga hutang pajaknya berada pada posisi yang paling efisien, sepanjang hal itu mungkin dilakukan berdasarkan peraturan perpajakan. Perlunya perencanaan pajak sebenarnya berawal dari hal yang sangat mendasar dari sifat manusia, yaitu anggapan “kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar; kalau bisa membayar kecil, mengapa harus membayar lebih besar”.
2.1.2.2 Tujuan dan Manfaat Perencanaan Pajak Menurut Yenni Mangoting (1999: 45), tujuan penerapan perencanaan pajak secara lebih khusus adalah untuk memenuhi hal-hal sebagai berikut: a)
Menghilangkan atau menghapus pajak sama sekali;
b)
Menghilangkan atau menghapus pajak selama tahun berjalan;
c)
Menunda pengakuan penghasilan;
d)
Mengubah penghasilan rutin dalam bentuk capital gain;
e)
Memperluas bisnis atau melakukan ekspansi usaha dengan membentuk badan usaha baru;
f)
Menghindari pengenaan pajak ganda, dan;
g)
Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin atau teratur atau membentuk, memperbanyak atau mempercepat pengurangan pajak. Apabila implementasi tax planning pada perusahaan dilakukan secara baikdan benar,
maka akan memberikan beberapa manfaat diantaranya: a)
Penghematan kas keluar, pajak dianggap sebagai unsur biaya yang dapatdiminimalisasi dalam proses operasional perusahaan.
b)
Mengatur aliran kas, dengan tax planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran, sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
c)
Menentukan waktu pembayaran, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan denda atau sanksi. Kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan on time, artinya perusahaan telah melakukan penghematan atas sanksi atau denda yang terjadi bila terjadi keterlambatan atau kesalahan.
d)
Membuat data-data terbaru untuk mengupdate peraturan perpajakan. Tindakan ini berguna untuk menyikapi peraturan perpajakan yang mungkin dapat berubah setiap waktu, sehingga perusahaan tetap mengetahui hak dan kewajiban perusahaan sebagai Wajib Pajak. Untuk menghemat pajak menurut Syahdan (2001) dapat dilakukan dengan prinsip-
prinsip diantaranya:
Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pengurangan PKP perusahaan melalui peningkatan penghasilan karyawan.
Membagi perusahaan ke beberapa perusahaan atau menggabungkannya.
Pemilihan bentuk usaha.
2.1.2.3 Syarat-Syarat Perencanaan Pajak Syafi’i (2005) dalam “Tax Planning sebagai upaya meminimalkan beban pajak”, menyebutkan bahwa ada lima persyaratan pokok yang harus ada dalam tax planning, yaitu: a)
Mengerti peraturan perpajakan yangterkait. Akan sangat sulit dapat melakukan tax planning yang baikdan tidak melanggar undang-undang bila tax planning dirancangtidak dalam koridor Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.Pelaksanaan tax planning yang melanggar undang-undang akan berakibat fatal dan bahkan dapat mengancam keberhasilan tax planning (Suandy, 2001).
b)
Menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam tax planning.Tax planning paling tidak memiliki dua tujuan utama menurutSuandy (2001) yakni: 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. 2. Mengefisiensikan laba yang diharapkan.
c)
Memahami
karakterusaha
perusahaanmemiliki
Wajib
Pajak.
perbedaan-perbedaan
Hal dalam
ini
dikarenakan
kebijakan
hampir
maupun
setiap
perilakudan
kebiasaan kebiasaannya. Dengan memahami secara mendalamseluk-beluk usaha akan sangat membantu dalam melakukan taxplanning (Hidayat, 2003). d)
Memahami tingkat kewajaran atas transaksi-transaksi yang diatur dalam tax planning. Hal ini dikarenakan apabila pelaksanaan tax planning dengan mengabaikan kewajaran sudah tentu akan menimbulkan kesulitan-kesulitan karena adanya kecurigaan fiskus dan ini dapat berimplikasi dengan pemeriksaan, karena bisa diindikasikan adanya kecurangan pajak (Hidayat, 2003).
2.1.2.4 Aspek Perencanaan Pajak Menurut Aviantara (2008), aspek-aspek yang terdapat dalam perencanaan pajak terdiri dari aspek formal dan administratif serta aspek material sebagai berikut:
a). Aspek Formal dan Administratif Aspek formal dan administratif yang harus dipenuhi suatu badan usaha untuk dapat melakukan perencanaan pajak antara lain:
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
Memotong dan/atau memungut pajak.
Membayar pajak.
Menyampaikan surat pemberitahuan (SPT).
b). Aspek Material Aspek material ini berhubungan dengan perhitungan pajak. Basis atau dasar perhitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
2.1.2.5 Strategi Perencanaan Pajak Menurut Aviantara (2008), ada beberapa cara yang biasanya dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar, antara lain: a). Tax Saving Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan yang memiliki PKP lebih dari Rp. 100 juta dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. b). Tax Avoidance Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih
mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura, karena natura bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21. c). Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan, seperti sanksi administrasi berupa denda, bunga atau kenaikan, dan sanksi pidana atau kurungan. d). Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran pajak PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. e). Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan Wajib Pajak sering juga memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas pembelian solar dan/atau impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Sedangkan menurut Lumbantoruan yang dikutip oleh Yenni Mangonting (1999: 47), ada beberapa cara yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar baik secara legal maupun illegal. Cara atau strategi tersebut dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Strategi Penghematan Pajak
Yang tidak merugikan
Yang merugikan
Penerimaan Negara
Penerimaan Negara
Melalui
Melalui Proses
Transaksi
Produksi
Cara yang
Cara yang
Melalui
diperkenan-
tidak
Undang-
kan oleh
diperkenan-
undang
Undang-
kan oleh
perjanjian
undang
Undang-
pajak
undang
konvensi
Transfor-
internasional
Kapitalisasi masi
Penghindaran
Penggelapan
(Avoidance)
(Evasion)
Pergeseran
Pengecualian
Gambar 2.1 Strategi dalam Meminimalkan Jumlah Pajak (Sumber: Sophar B. Lumbartoruan, Akuntansi Pajak, 1994)
Menurut Mangoting (1999), ada dua pendekatan lain yang bisadilakukan sebagai suatu strategi dalam usaha memperkecil laba yangakhirnya juga mengurangi pajak yang harus dibayar yaitu: a). Dengan memperkecil pendapatan atau penerimaan. b). Dengan memperbesar biaya atau pengeluaran. Alternatif atau langkah yangpertama umumnya berisiko cukup besar, karena hal ini biasanyadilakukan dengan cara pemalsuan dokumen atau membukukan jumlah yangfiktif, dimana pencatatan transaksi dilakukan secara tidak benar.Pendekatan yang kedua juga ada risikonya, dan cara ataujalan yang ditempuh juga sama dengan alternatif pertama, hanya sajaperaturan pajak memberikan beban-beban yang dapat dikurangkan daripenghasilan bruto untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar(Undang-Undang Pajak Penghasilan No.10 tahun 1994 pasal 6).
2.1.2.6 Tahapan dan Langkah Perencanaan Pajak Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam, seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan (Global Company’s Strategy) juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional, sehingga penerapan tax planning dapat berhasil sesuai yang diharapkan, maka menurut Ismarita (2007) perencanaan pajak (tax planning)itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap sebagai berikut: a)
Analisis Sistem Informasi Yang Ada (Analysis of the Existing Data Base).
b)
Membuat Satu Model atau Lebih Rencana Kemungkinan Besarnya Pajak (Design of One or More Possible Tax Plans).
c)
Mengevaluasi Pelaksanaan Rencana Pajak (Evaluating the Tax Plan).
d)
Mencari Kelemahan dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak (Debugging the Tax Plan).
e)
Memutakhirkan Rencana Pajak (Updating the Tax Plan). Setelah mengetahui beberapa tahapan dalam perencanaan pajak diatas, maka
selanjutnya langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan tax planning pada Wajib Pajak, khususnya perusahaan menurut Tjahjono (2001) adalah sebagai berikut: 1)
Maksimalisasi Penghasilan yang Dikecualikan Usaha maksimalisasi penghasilan yang dikecualikan adalah usaha memaksimalkan
penghasilan yang bukan objek pajak dengan mendasarkan pada variabel penghasilan yang bukan sebagai objek pajak. Peluang ini tercantum dalam pasal 4 (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008 tentang penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, yaitu: a)
Bantuan atau sumbangan;
b)
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan dan koperasi;
c)
Warisan;
d)
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan;
e)
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan;
f)
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
g)
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
h)
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menkeu, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
i)
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan usaha tersebut: 1.
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
2. k)
Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan Menteri Keuangan;
l)
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh Badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya;
m) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan. 2)
Memaksimalkan Biaya-biaya Fiskal Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dengan meningkatkan biaya-biaya
yang dapat dikurangkan atau menekan biaya yang dapat dikurangkan atau dialihkan ke biayabiaya yangdapat dikurangkan. Peluang ini tercantum dalam pasal 6 dan pasal9 UndangUndang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008. Pasal 6mengatur biaya-biaya yang dapat dikurangkan, yaitu: a)
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan mendapatkan penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya asuransi dan penjualan; b)
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun;
c)
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d)
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e)
Kerugian selisih kurs mata uang asing;
f)
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g)
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h)
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah;
i)
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia;
j)
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah;
k)
Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah;
l)
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan tersebut nantinya yang harus diperbesar oleh perusahaan, sehingga pengurang terhadap penghasilan bruto juga akan semakin besar, akibatnya pajak yang harus dibayar akan semakin kecil. Adapun pasal 9 Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008, mengatur biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan sebagai berikut:
a)
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b)
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota;
c)
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan;
d)
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e)
Penggunaan atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
f)
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan;
g)
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan;
h)
Pajak penghasilan;
i)
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j)
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k)
Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3)
Meminimalkan Tarif Pajak Tindakan meminimalkan tarif pajak ini dapat dilakukan dengan upaya pengenaan pajak
dengan tarif seminimal mungkin. Hal ini dapat ditempuh antara lain dengan mengalokasikan penghasilan dalam beberapa tahun atau dalam perusahaan yang masih satu grup. Sedangkan menurut Lumbantoruan (1996: 485-486), perencanaan pajak pada perusahaan umumnya dapat ditempuh sebagai berikut: a)
Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan;
b)
Mengambil keuntungan dari pemilikan bentuk-bentuk perusahaan yang tepat;
c)
Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi penghasilan, kerugian dan aktiva yang bisa dihapus;
d)
Menyebarkan penghasilan menjadi beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kategori pendapatan yang tarifnya tinggi. Bila memungkinkan, pembayaran pajak dapat ditunda.
2.1.3
Motivasi Melakukan Perencanaan Pajak Motivasi diartikan sebagai semua kondisi yang memberikandorongan dalam diri
seseorang yang digambarkan sebagai keinginan, kemauan, dorongan dan sebagainya (Gibson, Donnelly, Ivancevich, 1997:340) dalam(Rini, Sartika, 2008). Motivasi dilakukannya perencanaan pajak
adalahkeinginan
untuk
meminimalkan
beban
pajak
yang
pada
akhirnya
dapatmemaksimalkan laba setelah pajak karena pajak ikut mempengaruhipengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan.Dimana perencanaan pajak merupakan salah satu unsur penunjang untukmencapai tujuan perusahaan. Unsur penunjang lainnya yaitu unsur pendapatan atau penghasilan yang dihasilkan oleh perusahaan, dimanapendapatan/penghasilan merupakan objek pajak tidak final dan ada jugayang merupakan objek pajak final.
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang memotivasimanajemen perusahaan dalam melakukan penerapan tax planning diantaranya dapat dideskripsikan sebagai berikut: 2.1.3.1 Kebijakan Perpajakan Pajak merupakan kewenangan publik yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan perpajakan merupakan panduan atau pijakan dalam melaksanakan pemungutan pajak. Kebijakan dapat diartikan dari berbagai sudut pandang dan tujuan. Laswell (2001) menyatakan “Policy is projected program of goal, values, and practice”, yaitu bahwa kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktek yang terarah. Anderson (2003) mendefinisikan kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok guna memecahkan suatu masalah tertentu. Sementara itu Koontz dan O’Donnell dalam Nasucha (2004: 14) mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dalam pembuatan keputusan. Menurut Musgrave dan Musgrave (1980: 6), kebijakan pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi, dan stabilisasi. Adapun menurut Michael P. Devereux (1996: 9) dalam Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan (2005: 94), terdapat isu-isu penting dalam kebijakan perpajakan sebagai berikut: - What should the tax base be: income, expenditure, or a hybrid? - What should the tax rate schedule be? - How should income flows be taxed? - How should environmental tax be designed? Selanjutnya, menurut Mansury (1999: 1) kebijakan perpajakan adalah kebijakan fiskal dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan
dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana menentukan tata cara/prosedur pelaksanaan kewajiban perpajakan terutang. Kebijakan pajak merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan dari berbagai aspek kebijaksanaan pajak. Berikut akan diuraikan faktorfaktor kebijakan pajak yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, yaitu: 1) Pajak yang akan Dipungut Di dalam sistem perpajakan ada berbagai tipe pajak yang harus menjadi pertimbangan utama baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung dan cukai seperti pajak penghasilan badan dan perseorangan; pajak atas capital gains; witholding tax atas gaji, dividen, sewa, bunga, royalti, dan lain-lain; pajak atas ekspor, impor, serta bea masuk; pajak atas undian/hadiah; bea materai; capital transfer tax; dan Business license dan trade tax lainnya. 2) Subjek Pajak Menurut Mansury (2002) subjek pajak adalah siapa-siapa yang menjadi sasaran untuk dikenakan pajak oleh undang-undang. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah: - Orang pribadi; - Badan, serta; - Bentuk Usaha Tetap. 3) Objek Pajak Objek pajak merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk
konsumsi
atau
untuk
menambah
kekayaan
Wajib
Pajak
yang
bersangkutan,dengan nama dan dalam bentuk laporan. Adanya perlakuan perpajakanyang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya samaakan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknyarendah. Karena objek pajak merupakan dasar
perhitungan besarnya pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan yang tidak lebih dan tidak kurang. 4) Tarif Pajak Adanya tarif yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin dikenakan tarif yang paling rendah. Menurut Barry Bracewell and Milnes (1980), bahwa “The heavier the burden, the stroner the motive and the wider thescope for tax avoidance, since the taxpayer may avoid the higher ratesof tax while still remaining liae to the lower”. 5) Prosedur Pembayaran Pajak Adanya self assessment system dan payment system mengharuskan seseorang perencana pajak untuk merencanakan pembayaran pajak dengan baik. Sistem pembayaran pajak yang berlaku di Indonesia dilandasi oleh sistem pemungutan dimana Wajib Pajak boleh menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya beban pajak yang terutang. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan perpajakan merupakan suatu tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan Negara, serta memungut pajak guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan Negara dengan menentukan sistem atau prosedur pemungutan pajak, jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang akan dikenakan pajak, dan apa objek pajaknya. 2.1.3.2 Administrasi Perpajakan Pembicaraan masalah perpajakan dalam berbagai literatur selalu didahului dengan menentukan kebijakan perpajakan, kemudian kebijakan diolah dan ditetapkan dalam bentuk undang-undang perpajakan. Setelah itu, barulah kemudian dibahas masalah pemungutannya oleh aparat perpajakan yang termasuk dalam ruang lingkup administrasi perpajakan. Menurut Ensiklopedi perpajakan yang ditulis oleh Lumbantoruan (1997), administrasi perpajakan adalah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak. Lebih lanjut
menurut Norman D. Nowak sebagaimana dikutip oleh Mansury (2000: 5), mengungkapkan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan kebijakan perpajakan. Sedangkan menurut Abdul Rahman (2010: 183), berpendapat bahwa administrasi perpajakan dalam arti sempit merupakan penatausahaan dan pelayanan atas hak-hak dan kewajiban pembayaran pajak, baik penatausahaan yang dilakukan di kantor pajak maupun di tempat Wajib Pajak, sedangkan dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan organisasi atau kelembagaan. Mengenai peran administrasi pajak, Pandiangan (2008) menyatakan bahwa administrasi
perpajakan
diupayakan
untuk
merealisasikan
peraturan
perpajakan
dan
penerimaan Negara sebagaimana amanat APBN. Carlos A. Silvani seperti yang dikutip oleh Gunadi (2006) mengemukakan bahwa administrasi perpajakan dikatakan efektif apabila mampu mengatasi masalah seperti Wajib Pajak yang tidak terdaftar, Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), penyelundupan pajak, serta penunggakan pajak. Apabila administrasi pajak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut secara efektif, maka administrasi pajaknya sudah dapat dikatakan baik, sehingga akan meningkatkan penerimaan. Dasar bagi terwujudnya suatu administrasi pajak yang baik adalah diterapkannya prinsip-prinsip manajemen modern, yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling, terdapatnya kebijakan perpajakan yang jelas dan sederhana sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajibannya, tersedianya pegawai pajak yang berkualitas dan jujur, serta pelaksanaan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Adapun dalam meningkatkan efektivitas administrasi perpajakan digunakan ukuran seperti: (1) kepatuhan pajak sukarela; (2) prinsip-prinsip self assessment; (3) menyediakan informasi kepada Wajib Pajak; (4) kecepatan dalam menemukan masalah-masalah yang berhubungandengan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran; (5) peningkatan dalam controldan supervisi, dan; (6) sanksi yang tepat. Tugas administrasi perpajakan tidak membuat
kebijakan atau ketentuan undang-undang, tetapi kebijakan pajak yang baik tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan administrasi perpajakan. Oleh karena itu, administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi instrumen yang bekerja secara efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemungutan pajak. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa administrasi perpajakan yaitu meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian pajak, juga sebagai proses yang mencakup semua kegiatan untuk melaksanakan pemungutan pajak, seperti mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) baik Masa maupun Tahunan secara tepat waktu, melakukan pembukuan, atau pemahaman atas sanksi-sanksi perpajakan agar dapat dihindari. 2.1.3.3 Loopholes Loopholes dapat dimanfaatkan untuk membayar pajak lebih kecil dari atau bahkan tidak membayar sama sekali atas suatu income tertentu. Dalam tax avoidance,Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah atau bahkan dapat menghindari pengenaan pajak. Pengetahuan yang memadai bagi perusahaan sangatlah penting dalam perencanaan pajak karenaberguna dalam menentukan celah-celah (loopholes) yang menguntungkan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, terutama dengan memanfaatkan hal-hal yang dikecualikan dalam peraturan perpajakan. Dalam Farlex Financial Dictionary (2012), mendefinisikan bahwa loopholes merupakan ketentuan
yang
disengaja
atau
tidak
disengaja
dalam
peraturan
perpajakan
yang
memungkinkan seseorang individu atau badan untuk dibebaskan dari beberapa ketentuan. Selanjutnya, John F. Due (1997: 128) berpendapat bahwa loopholes merupakan “a way of escaping a difficulty, especially an omission or ambiguity in the wording of a contract or law that provides a means of evading compliance”. Menurutnya, celah-celah yang ada dalam ketentuan dan peraturan perpajakan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sesorang
menghindari suatu kewajiban tanpa adanya pengenaan penalti atau sanksi hukum, asalkan diterapkan sesuai koridor yang diperbolehkan oleh undang-undang pajak. Hal lain diungkapkan oleh Steven Haddock (2004) yang mengungkapkan pengertian loopholes sebagai interpretasi yang sebenarnya dari peraturan pajak sebagaimana yang dibuat oleh pembuat peraturan tersebut, yang memungkinkan seseorang untuk mengurangi secara hukum kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, celah-celah (loopholes) dapat mengurangi pendapatan pemerintah tanpa memberikan manfaat untuk publik yang sesuai. Tindakan dalam memanfaatkan loopholesini dimungkinkan, karenabagaimanapun lengkapnya
suatu
diinginkan.Loopholes
undang-undang, sengaja
belum
diciptakan
oleh
tentu
mencakup
pembuat
semua
kebijakan
untuk
aspek
yang
memberikan
kemudahan atau fasilitas bagi Wajib Pajak, dapat juga diartikan tidak sengaja diciptakan, tetapi lebih mengarah kepada kelemahan dari peraturan itu sendiri. Sehingga secara rinci,loopholes ini memiliki 2 makna yaitu: Loopholes yang memang sengaja diberikan oleh pemerintah di dalamsuatu tax policy yang dibuat sedemikian rupa guna mendukung suatuaktivitas atau kegiatan ekonomi tertentu. Loopholes yang sebetulnya bukan maksud pembuat undang-undang di dalam membuat peraturan perpajakan tersebut, atau dengan kata lain tidak sejalan dengan jiwa dan semangat ketentuan perpajakan. Pemanfaatan loopholes yang dapat dilakukan misalnya perusahaan dapat mengurangi penerimaan dengan jumlah biaya seperti biaya untuk pendidikan pegawai, pelatihan pegawai, riset dan pemgembangan, perbaikan kantor, dan lain-lain. Maksudnya, daripada mengeluarkan uang untuk membayar pajak lebih besar, lebih baik digunakan untuk kepentingan perusahaan yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oeh perusahaan, asalkan sesuai dengan UU. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa loopholes merupakan suatu keadaan, peraturan, transaksi atau kejadian yang memungkinkan seseorang
atau badan untuk memanfaatkan peluang penghematan pembayaran pajak atau terhindar dari kewajiban perpajakan tertentu, atau terhindar dari pengenaan sanksi administratif perpajakan. 2.1.3.4 Tarif Pajak Pemberlakuan tarif pajak atas suatu objek pajak mempengaruhi Wajib Pajak dalam hal pembayaran pajak. Tarif pajak, dimana semakin besar tarif pajak maka semakin besar pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak, sehingga pembebanan tarif pajak yang tinggi terkadang akan membuat Wajib Pajak menjadi keberatan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.Oleh karena itu, dengan adanya perlakuan tarif pajak atas objek pajak, maka akan memotivasi manajemen perusahaan untuk melakukan perencanaan pajak agar beban pajaknya menjadi rendah. Menurut Rismawati Sudirman dan Antong Amirudin (2012: 9) dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan Pendekatan Teori dan Praktik di Indonesia”, mengemukakan bahwa pengertian tarif pajak adalah ketentuan presentase (%) atau jumlah (Rupiah) pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sesuai dengan dasar pajak atau objek pajak. Sedangkan menurut Prof. Supramono dan Theresia Damayanti (2010: 7) dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan”, mengemukakan pengertian tarif pajak yaitu tarif yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, yang secara umum dinyatakan dalam bentuk presentase (%). Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dwi Sunar Prasetyono (2012: 31), yang mendefinisikan bahwa dalam pemungutan pajak harus ditetapkan terlebih dahulu jenis tarif pajak yang dipergunakan, karena tarif ini berhubungan erat dengan fungsi pajak, yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend). Adapun penentuan jenis tarif pajak yang dimaksud menurut Mardiasmo (2009: 9) adalah sebagai berikut: 1) Tarif proporsional, yaitu tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenakan pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak;
2) Tarif tetap, yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang tetap; 3) Tarif progresif, yaitu presentase tarif yang digunakan semakin besar apabila jumlah yang dikenai pajak semakin besar, dan; 4) Tarif degresif, yaitu presentase tarif yang digunakan semakin kecil apabila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Berdasarkan beberapa pengertian tentang tarif pajak diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tarif pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungannya (dalam hal ini Wajib Pajak), yang biasanya berupa presentase (%). Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak, seperti tarif untuk PPh pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 25, maupun pasal 29 merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak, sehingga berapapun Penghasilan Kena Pajak (PKP), maka tarif yang berlaku adalah sama. Penentuan besar kecilnya suatu tarif pajak adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat merugikan berbagai pihak, termasuk Negara. Dapat disimpulkan juga bahwa tarif pajak merupakan ukuran atau standar pemungutan pajak, dalam hubungannya dengan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pajak Penghasilan (PPh), maka jenis tarif yang ditetapkan adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU PPh, sedangkan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berlaku tarif pajak proporsional yaitu 10%. 2.1.3.5 Kesadaran Wajib Pajak Bagaimanapun juga, menuju Wajib Pajak patuh adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, dan kepatuhan ini hanya akan terwujud apabila setiap masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran merupakan unsur kemauan dalam diri manusia untuk memahami realitas dan bagaimana mereka bertindak atau bersikap terhadap realitas (Widayati
dan Nurlis, 2002: 125). Kesadaran dalam membayar pajak memiliki arti dimana seseorang mengetahui, memahami dan mengerti tentang bagaimana cara membayar pajak. Menurut Nasution (2006: 62), kesadaran Wajib Pajak merupakan sikap Wajib Pajak yang telah memahamidan mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak,serta telahmelaporkan semua penghasilannya tanpa ada yang disembunyikan sesuaidengan ketentuan yang berlaku. Nasution juga berpendapat bahwa dalam mewujudkan Wajib Pajak yang sadar dan peduli pajak, telah dijalankan berbagai macam cara seperti pelayanan prima, penyuluhan pajak, pemeriksaan dan penagihan pajak. Sedangkan Nurmantu (2005: 7), menyatakan bahwa kesadaran Wajib Pajak menyatakan penilaian positif masyarakat (dalam hal ini Wajib Pajak) terhadap pelaksanaan fungsi Negara oleh pemerintah, sehingga akan menggerakanmasyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk membayar pajak. Kesadaran perpajakan tumbuh karena rakyat merasa ikut serta dalam menentukan peraturan perpajakan. Irianto (2005: 36) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong Wajib Pajak untuk membayar pajak, diantaranya: 1) Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjangpembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, Wajib Pajak maumembayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajakyang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk pembangunan Negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara. 2) Kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan bebanpajak sangat merugikan negara. Wajib Pajak mau membayar pajakkarena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak danpengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber dayafinansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. 3) Kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib Pajak akan membayar karena pembayaran pajakdisadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran perpajakan adalah suatu sikap sadar terhadap arti, fungsi, dan peranan pajak, serta merupakan kesukarelaan Wajib Pajak dalam memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara membayar kewajiban pajaknya secara tepat waktu dan tepat jumlah. Kesadaran masyarakat yang rendah akan perpajakan seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Kesadaran perpajakan masih menjadi kendala dalam masalah pemungutan pajak dari masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penyuluhan atau pelayanan tentang arti, fungsi, dan peranan pajak untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak agar mau membayar pajak kepada Negara guna membiayai pembangunan demi kepentingan dan kesejahteraan umum.
Dengan
demikian, masyarakat akan sukarela dan disiplin membayar pajak tanpa adanya paksaan. 2.1.3.6 Pemeriksaan Pajak Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 dijelaskan tentang definisi pemeriksaan pajak, yaitu serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Waluyo, 2010: 66). Menurut Pardiat (2008: 11), pengertian pemeriksaan pajak menekankan pada pemeriksaan bukti yang berupa buku-buku, dokumen dan catatan yang dilaksanakan secara objektif oleh pemeriksaan pajak yang professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan, pemeriksaan pajak tidak mencari-cari kesalahan Wajib Pajak tetapi untuk menguji kepatuhan pemenuhan perpajakan. Sementara itu, definisi pemeriksaan pajak menurut pendapat Siti Rahayu (2010: 245) merupakan hal pengawasan pelaksanaan sistem self assesment yang dilakukan oleh Wajib
Pajak serta harus berpegang teguh pada undang-undang perpajakan. Adapun yang diperiksa adalah apakah dasar pengenaan pajaknya sesuai dengan ketentuan atau tidak, tarif pajaknya sudah sesuai atau belum, perhitungan pajaknya sudah benar atau belum, dan sebagainya. Pemeriksaan pajak dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah memiliki keahlian sebagai pemeriksa pajak. Selain itu, pemeriksa pajak bisa juga merupakan tenaga ahli yang ditunjuk oleh DJP dan diberi wewenang, tugas dan tanggung jawab sebagai pemeriksa pajak. Adapun tujuan pemeriksaan pajak menurut Erly Suandy (2008) yaitu: a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, diantaranya: 1) SPT lebih bayar dan/atau rugi. 2) SPT tidak disampaikan atau terlambat. 3) SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Dirjen Pajak untuk diperiksa. 4) Adanya indikasi tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada angka (2). b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, diantaranya: 1) Pemberian atau pencabutan NPWP. 2) Pemberian pengukuhan penghasilan kena pajak. 3) Penentuan besarnya angsuran pajak suatu masa untuk Wajib Pajak baru. 4) Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding. 5) Pencocokan data dan/atau keterangan, dan lain-lain. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data atau keterangan secara professional berdasarkan standar pemeriksaan dan berpegang teguh pada peraturan undang-undang perpajakan. Pemeriksaan pajak dilakukan sebagai salah satu alat pengawasan dalam rangka menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak atau ketaatan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya, terutama dalam ketepatan pelaporan SPTnya.
SPT merupakan dasar yang mengawali dilakukannya pemeriksaan pajak. SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan dapat menentukan apakah akan dilakukan pemeriksaan atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya kecurangan atau kekeliruan yang dilakukan Wajib Pajak terkait pelaksanaan kewajiban perpajakannya. 2.2
Hasil Penelitian Relevan Berikut ini akan dipaparkan mengenai penelitian yang dilakukan terkait dengan faktor
yang mempengaruhi penerapan tax planning, diantaranya: Tabel 2.1 Hasil Penelitian Relevan No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Hasil Penelitian Kebijakan perpajakan, undangundang perpajakan, dan administrasi perpajakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tax planning. Sedangkan loopholes dan tarif pajak berpengaruh secara signifikan terhadap tax planning Memperoleh hasil yang tidak signifikan antara kebijakan perpajakan, undang-undang berpengaruh tidak signifikan terhadap tax planning, administrasi perpajakan berpengaruh signifikan terhadap tax planning, loopholes berpengaruh tidak signifikan terhadap tax planning, dan tarif pajak berpengaruh tidak signifikan terhadap tax planning Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan perpajakan, undang-undang perpajakan, dan administrasi perpajakan berpengaruh signifikan terhadap tax planning Memperoleh hasil yang signifikan antara kebijakan perpajakan terhadap tax planning, undang-undang perpajakan berpengaruh tidak
1.
Ida Hamadah (2010)
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manajemen perusahaan untuk melakukan tax planning pada perusahaan di DKI Jakarta
2.
Marfuah (2010)
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manajemen perusahaan melakukan tax planning
3.
Martha Tanuwardi (2009)
Analisis faktor-faktor yang memotivasi manajemen perusahaan melakukan tax planning
4.
Agus Subekti (2007)
Faktor-faktor yang memotivasi manajemen perusahaan melakukan tax planning pada perusahaan yang
terdaftar sebagai Wajib Pajak badan di KPP Perusahaan masuk bursa Jakarta
signifikan terhadap tax planning, dan administrasi perpajakan berpengaruh secara signifikan terhadap tax planning. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen Berdasarkan tabel diatas, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan tax planning pada perusahaan seperti kebijakan perpajakan, undang-undang perpajakan, administrasi perpajakan, loopholes, dan tarif pajak telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Penelitian ini masih merupakan issu kontroversial, hal ini diperkuat dengan adanya hasil yang beragam dari penelitian relevan diatas, sehingga belum bisa ditentukan secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerapan tax planning pada perusahaan. Sebagian besar penelitian terdahulu menyebutkan bahwa faktor yang paling banyak berpengaruh signifikan adalah kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan. Penelitian ini oleh beberapa peneliti lainnya selanjutnya dikembangkan lagi dengan menambah variabel loopholes dan tarif pajak. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ida Hamadah (2010), peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian sejenis dengan maksud melanjutkan penelitian yang dilakukan sebelumnya agar dapat mengetahui dan menjelaskan faktor apa saja yang sebenarnya berpengaruh dan berhubungan terhadap penerapan tax planning pada perusahaan. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek yang akan diteliti serta metode pengumpulan data. Adapun hal yang membedakan yaitu terletak pada metode analisis data, variabel independen dan jumlah sampel yang digunakan. Dalam penelitian ini, metode analisis data menggunakan koefisien korelasi Rank Spearman, kemudian peneliti tidak memasukkan variabel undang-undang perpajakan, tetapi menambah dua variabel independen, yaitu variabel kesadaran Wajib Pajakdanvariabel pemeriksaan pajak. Sedangkan untuk jumlah populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan secara rinci dalam bab selanjutnya.
2.3
Kerangka Pemikiran Wajib Pajak Badan di Kota Metro yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Metro dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi apabila ada tindakan manajemen perusahaan untuk meminimalkan besarnya pajak terutang yang harus dibayar guna memperoleh laba bersih yang optimal, tindakan seperti ini sering disebut juga dengan tax planning. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan dilakukannya penerapan tax planning, diantaranya: a) Hubungan Kebijakan Perpajakan dengan Penerapan Tax Planning Kebijakan perpajakan (tax policy)merupakan suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan Negara, serta memungut pajak guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan Negara. Dengan diterapkannya self assessment system
yang
mewajibkan
Wajib
Pajak
menghitung,
membayar,
serta
melaporkan
perpajakannya sendiri, maka terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, yaitu jenis pajak yang akan dipungut, subjek pajak, objek pajak, besarnya tarif pajak, dan prosedur pembayaran pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman manajemen perusahaan tentang kebijakan perpajakan, maka semakin tinggi pula motivasi manajemen perusahaan untuk menerapkan tax planning.
b) Hubungan Administrasi Perpajakan dengan Penerapan Tax Planning Administrasi perpajakanmerupakan metode untuk meyakinkan bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini biasanya dilakukan dengan memonitor semua transaksi yang memiliki dampak perpajakan serta melakukan pengawasan internal apakah semua kewajiban perpajakan telah dilakukan dengan tepat dan benar, seperti mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), melakukan pembukuan atau penghindaran atas sanksi-sanksi perpajakan, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Semakin baik administrasi perpajakan yang dilakukan
manajemen perusahaan, maka semakin baik pula manajemen perusahaan melakukan penerapan tax planning.
c) Hubungan Loopholes dengan Penerapan Tax Planning Loopholes merupakan suatu keadaan, peraturan, transaksi, kejadian atau celah-celah yang dapat dimanfaatkan dalam undang-undang perpajakan yang memungkinkan seseorang atau badan untuk memanfaatkan peluang penghematan pembayaran pajak atau terhindar dari kewajiban perpajakan tertentu. Pemanfaatan loopholes yang dapat dilakukan misalnya perusahaan dapat mengurangi penerimaan dengan jumlah biaya seperti biaya untuk pendidikan pegawai, riset dan pengembangan, perbaikan kantor, dan lain-lain. Semakin banyak celahcelah(loopholes) yang terdapat di dalam undang-undang perpajakan, maka semakin tinggi pula kesempatan manajemen perusahaan untuk merencanakanpajaknya dengan baik.
d) Hubungan Tarif Pajak dengan Penerapan Tax Planning Tarif pajak merupakan ukuran standar atau dasar pengenaan yang akan digunakan untuk menentukan berapa besarnya pajak terutang yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Secara umum, tarif pajak dinyatakan dalam bentuk presentase (%). Semakin besar tingkat presentase tarif pajak yang dikenakan atas suatu objek pajak, maka akan semakin besar jumlah pajak terutang yang harus dibayar, sehingga akan memotivasi manajemen perusahaan untuk melakukan penerapan tax planning.
e) Hubungan Kesadaran Wajib Pajak dengan Penerapan Tax Planning Kesadaran perpajakan merupakan suatu sikap sadar terhadap arti, fungsi dan peranan pajak. Kesadaran Wajib Pajakakan pentingnya perpajakan bagi pembangunan Negara merupakan sikap Wajib Pajak yang memahami dan mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak secara sukarela dan telah melaporkan semua penghasilannya tanpa ada yang
disembunyikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semakin tinggi tingkat kesadaran Wajib Pajak, maka semakin tinggi motivasi manajemen perusahaan untuk melakukan perencanaan pajaknya.
f) Hubungan Pemeriksaan Pajak dengan Penerapan Tax Planning Pemeriksaan pajak merupakan seberapa besar kemungkinan resiko terdeteksinya kecurangan apabila dilakukan pemeriksaan pajak oleh aparat pajak (fiskus). Ketika Wajib Pajak menganggap persentase tingkat terdeteksi kecurangan melalui pemeriksaan pajak tinggi, maka mereka akan cenderung patuh terhadap peraturan pajak. Sehingga, semakin tinggi kemungkinan adanya pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh aparat pajak, maka akan semakin tinggi pula motivasi manajemen perusahaan untuk melakukan penerapan tax planning.
Adapun gambaran secara menyeluruh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan tax planning yang merupakan kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kebijakan Perpajakan (X1)
Administrasi Perpajakan (X3)
Loopholes (X4)
Penerapan Tax Planning (Y)
Tarif Pajak (X5)
Kesadaran Wajib Pajak (X6)
Pemeriksaan Pajak (X7)
Gambar 2.2
Skema Kerangka Pemikiran 2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan dugaan sementara yang mungkin benar atau salah. Hipotesis
ditolak apabila faktanya menyangkal dan diterima jika faktanya membenarkan. Jadi, hipotesis merupakan dugaan sementara yang perlu dibuktikan kebenarannya. Umi Narimawati (2008: 63) mengemukakan hipotesis sebagai suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang masih belum sempurna. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian untuk masing-masing variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y) sebagai berikut: H1: Terdapat hubungan antara Kebijakan Perpajakan dengan Penerapan Tax Planning. H2: Terdapat hubungan antara Administrasi Perpajakan dengan PenerapanTax Planning. H3: Terdapat hubungan antara Loopholes dengan Penerapan Tax Planning. H4: Terdapat hubungan antara Tarif Pajak dengan Penerapan Tax Planning. H5: Terdapat hubungan antara Kesadaran Wajib Pajak dengan PenerapanTax Planning. H6: Terdapat hubungan antara Pemeriksaan Pajak dengan Penerapan Tax Planning.