BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Forgiveness 1. Pengertian Forgiveness Dalam hidup kadang manusia memiliki pengalaman disakiti atau mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang lain. Pengalaman ini dapat menimbulkan emosi yang negatif (seperti marah, dendam, dan kecewa) terhadap orang yang menyebabkan pengalaman menyakitkan atau perlakuan tidak adil tersebut (pelaku). Ketika individu menyadari adanya emosi negatif tersebut, timbul suatu kebutuhan bagi individu tersebut (korban) untuk menyembuhkan luka. Salah satu cara untuk mengatasi emosi negatif adalah dengan memberi maaf. Forgiveness terjadi ketika individu memiliki kesiapan memaafkan dengan menurunkan emosi negative.23 Jika korban tidak bisa menurunkan emosi negatifnya, maka yang ada adalah dendam. Prinsip utama yang mendasari upaya untuk membalas dendam adalah terjadinya sebuah pelanggaran interpersonal atau pengalaman menyakitkan bagi seorang individu.24
23
Christiany Suwartono dan Yeti Prawasti, “Hubungan antara Strategi Regulasi Emosi dan Aspekaspek Kesiapan Memaafkan”, 2006, Presentasi Makalah di Temu Ilmiah Psikologi UI 2006,
, [12/2011]. 24 Michael E. McCullough, K. Chris Rachal, Steven J. Sandage, Everett L. Worthington, Jr., Susan Wade Brown, Terry L. Hight, “Interpersonal Forgiving in Close Relationships: II. Theoretical Elaboration and Measurement”, Journal of Personality and Social Psychology, 1998, Vol. 75, No. 6, 1586-1603, Copyright 1998 by the American Psychological Association, Inc., 0022-3514/98/$3.00. Hlm. 1
14
Forgiveness baru-baru ini menjadi topik penyelidikan ilmiah yang serius, dan beberapa kemajuan telah dibuat dalam pemahaman kita tentang hal itu. Temuan baru-baru ini telah membentuk bahwa forgiveness berkaitan dengan kesehatan mental yang positif dan penurunan kesedihan, depresi dan kecemasan. Hasil penelitian mengidentifikasi bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keputusan untuk memaafkan, seperti penerimaan permintaan maaf atau pengakuan, beratnya pelanggaran yang dirasakan, niat dari pelaku, dan empati untuk pelaku.25 Forgiveness adalah suatu bentuk khas dari coping yang unik terkait motivasi dan komponen dari keinginan-keinginan. Ini adalah pengurangan tanggapan negatif terhadap pelaku, namun memungkinkan untuk suatu pelaku untuk dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian, itu adalah internal proses yang dilakukan oleh korban, sebuah pilihan individu yang pada akhirnya terlepas dari interaksi antar pribadi.26 Menurut Michael E. McCullough, dkk forgiveness adalah salah satu dari banyak kemungkinan tanggapan dari suatu pelanggaran yang merupakan respon positif dan sehat yang melibatkan keputusan untuk melepaskan kemarahan dan tidak membalas dendam.27 Terlepas dari asumsi-asumsi dasar, peneliti mengakui bahwa belum ada definisi yang universal dan paten tentang forgiveness. Forgiveness juga diartikan sebagai suatu proses (atau hasil dari proses) yang melibatkan perubahan 25
Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of Forgiveness: The Views of Laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 837-838 (2004). 26 Paul Dolan, Richard Layard, and Robert Metcalfe, “Measuring Subjective Well-Being for Public Policy: Recommendations on Measures”, Special Paper, No. 23 March 2011, Published by Centre for Economic Performance, Hlm. 3:1258 (2011). 27 McCullough, Pargament, Thoresen, Journal of Social and Personal Relationships, Hlm. 3 (2000).
15
dalam emosi dan sikap tentang pelaku. Berbagai pandangan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu proses sengaja dan sukarela, serta didorong oleh sebuah keputusan yang disengaja untuk memaafkan. Hasil proses ini yaitu menurunnya motivasi untuk membalas meskipun membutuhkan untuk melepaskan emosi negatif terhadap pelaku.28 Murphy dan
Hampton
mendefinisikan
forgiveness
sebagai
foreswearing kebencian atas dasar moral dan sebagai keputusan untuk melihat pelaku dalam cahaya yang lebih baik, perubahan yang terjadi dalam korban dan yang tidak pernah mungkin akan dikomunikasikan kepada
pelaku.29 Konseptualisasi
motivasi
forgiveness
juga
telah
digambarkan sebagai sebagian besar alat untuk menjaga hubungan penting atau sarana untuk mengatasi pengkhianatan psikologis.30 dr. H. Nasrullah, CH. CHt, mengatakan bahwa dari sudut Hypnotherapy, sesungguhnya forgiveness adalah melepaskan emosi negatif yang tersimpan ditubuh kita. Akibatnya kita tidak lagi merasakan emosi apapun jika kita teringat dengan kejadian yang membuat kita marah, kecewa, sakit hati dan dendam tersebut. Dan hal itu sangat baik untuk kemajuan kita kedapan. Memaafkan tidak sama dengan memaklumi. Memaafkan pun tidak mesti melupakan. Memaafkan juga tidak mesti
28
APA’s Team at the United Nations, “Forgiveness: A Sampling of Research Results”, Originally Compiled in 2006 by the American Psychological Association on the Occasion of the 59th Annual DPI/NGO, Conference United Nations Headquarters Midday Workshop, Forgiveness: Partnering with the Enemy. Reprinted. Hlm. 5 (2008). 29 Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of Forgiveness:the Views of Laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship,Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 840 (2004). 30 Ibid., Hlm. 840.
16
mengampuni. Memaafkan juga tidak sama dengan mengatakan ”Saya telah memaafkan anda.”31 Tubuh kita punya suatu memori yang disebut dengan Somatik Mind, manakala emosi negatif tersimpan ditubuh kita dan mengendap pada salah satu bagian tubuh, maka bagian tubuh tersebut akan merasakan sakit.. Penyakit itu dalam kedokteran disebut dengan psikosomatik.32 Ken Hart menyatakan forgiveness adalah kesembuhan dari ingatan yang terluka, bukan
menghapuskan.33 Forgiveness juga
diartikan
sebagai
cara
mengatasi hubungan yang rusak dengan dasar prososial.34 Michael E. McCullough memberikan definisi bahwa forgiveness merupakan satu set perubahan-perubahan motivasi dimana suatu organisme menjadi: semakin menurunnya motivasi untuk membalas terhadap pelaku, semakin menurun motivasi untuk menghindari pelaku, semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku. Forgiveness adalah suatu proses (atau hasil dari sebuah proses) yang melibatkan perubahan dalam emosi dan sikap tentang pelaku. Kebanyakan tokoh melihat ini sebagai proses sukarela yang didorong oleh keputusan sengaja untuk memaafkan. Hasil proses ini dalam penurunan motivasi untuk membalas atau mempertahankan keterasingan dari pelaku dan membutuhkan melepaskan emosi negatif terhadap pelaku. Teori berbeda
31
QuickSTART Indonesia, “Motivasi Memaafkan Adalah Kebutuhan”, Article, <www.quickstart.co.idmotivasi-memaafkan-adalah-kebutuhan.htm. >, [12/12/2011]. 32 Ibid., 33 Soesilo, Vivian A, "Mencoba Mengerti Kesulitan untuk Mengampuni". Jurnal Teologi dan Pelayanan, <www.spiritualityhealth> Hlm. 115-125. 34 McCullough, Michael E. "Forgiveness as Human Strength: Theory, Measurement, and Links to Well-Being". Journal of Social and Clinical Psychology, 1; Psychology Module. 123. Hlm. 19, (2000).
17
menyatakan sejauh mana mereka percaya forgiveness juga berarti mengganti emosi negatif dengan sikap positif termasuk kasih sayang dan kebajikan.35 Dari definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa forgiveness merupakan suatu proses menuju kondisi psikologis seseorang, dimana orang tersebut telah melalui suatu peristiwa yang menyakitkan dan memutuskan untuk mengubah emosi negatif yang muncul setelah itu menjadi emosi positif dengan ditandai perubahan-perubahan motivasi, diantaranya yaitu menurunnya motivasi untuk membalas terhadap suatu perilaku, menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, dan termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku.
2. Aspek-aspek Forgiveness Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa forgiveness berkaitan dengan prososial kognisi, perasaan, dan perilaku diluar hubungan pelaku.36 Forgiveness memiliki beberapa komponen, yaitu perilaku, afektif, kognitif dan motivasi. Model-model lain menggunakan berbagai kombinasi dari empat komponen forgiveness.37 Forgiveness memiliki
beberapa
aspek
yang
terkandung
didalamnya. Dari pengertian forgiveness yang dikemukakan oleh 35
Alex M. Wood, Stephen Joseph, John Maltby, “Gratitude Predicts Psychological Well-Being Above the Big Five Facets”, Journal of Personality and Individual Differences, Nomor 46, Hlm. 443–447 (2009). 36 Johan C. Karremans, Paul A. M. Van Lange and Rob W. Holland. DOI , “Forgiveness and its Associations with Prosocial Thinking, Feeling, and Doing Beyond the Relationship with the Offender”, Journal of Personality and Social Psychology Bulletin, nomor: 10.1177/0146167205274892, Hlm.2:1315 (2005). 37 Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of Forgiveness: The Views of Laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 3:838 (2004).
18
McCollough, aspek-aspek tersebut antara lain:38 a.
Membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang telah menyakitinya.
b.
Membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah melukai perasaannya.
c.
Keinginan untuk berdamai atau melihat well-being orang yang telah melukai hatinya
3. Motif Forgiveness Faktor-faktor motif forgiveness memaafkan
karena
pelaku
telah
yang paling didukung yaitu berperilaku
dalam
cara
yang
memungkinkan pemulihan simpati, memaafkan untuk alasan moral, dan pemaaf untuk menarik kasih sayang seseorang.39 Temuan Konstam, Holmes dan Levine yang telah menunjukkan bahwa variabel yang berbeda dapat mempengaruhi forgiveness. Dalam teori apter metamotivational, motif forgiveness yaitu: 40 a. Memaafkan karena moralitas dan mengampuni sebagai kemarahan dengan konformis pikiran (menghormati norma, menerapkan aturan). b. Memaafkan karena restorasi simpati dan mengampuni sebagai pengecualian.
38
Mark M. Leach, Aisha Baker and Virgil Zeigler-Hill, “The Influence of Black Racial Identity on the Forgiveness of Whites“, Journal of Black Psychology. DOI: 10.1177/0095798410380201, Originally Published Online 1, Hlm 321-322 (2011). 39 James K. McNulty, “The Dark Side of Forgiveness: The Tendency to Forgive Predicts Continued Psychological and Physical Aggression in Marriage”, Journal of Personality and Social Psychology Bulletin, DOI: 10.1177/0146167211407077, Hlm. 187 (2011). 40 James K. McNulty, “The Dark Side of Forgiveness: The Tendency to Forgive Predicts Continued Psychological and Physical Aggression in Marriage”, Journal of Personality and Social Psychology Bulletin, DOI: 10.1177/0146167211407077, Hlm. 37: 770 (2011).
19
c. Memaafkan sebagai memulihkan penguasaan dan memaafkan afirmasi diri. d. Memaafkan sebagai tantangan ditemukan agar kompatibel dengan negara paratelic dari pikiran (melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri). e. Memaafkan karena kasih, menjaga cinta pelaku dianggap untuk memberikan kepuasan pribadi maksimal meskipun perselisihan sementara atau abadi. f. Memaafkan sebagai perlindungan diri. g. Memaafkan berarti otomatis meniadakan realitas yang terjadi, memaafkan berarti otomatis melupakan apa yang terjadi. Motif-motif yang dominan dapat berubah sebagai fungsi budaya, alat ini divalidasi mungkin masih lebih berguna dalam konteks budaya dalam konteks konseling biasa. Memang, yang mengetahui motif di balik sikap memaafkan adalah penting.
Dalam beberapa kasus, bahkan dapat
dikatakan bahwa motif lebih penting daripada bertindak karena hal itu mencerminkan
niat
yang
benar,
sedangkan
tindakan
mungkin
disalahpahami atau salah ditafsirkan.41
41
James K. McNulty, “The Dark Side of Forgiveness: The Tendency to Forgive Predicts Continued Psychological and Physical Aggression in Marriage”, Journal of Personality and Social Psychology Bulletin, DOI: 10.1177/0146167211407077, Hlm. 37: 770 (2011).
20
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Forgiveness Pengalaman memaafkan individu mungkin sangat berbeda dari konseptualisasi teoritis.42 Zechmeister dan Romero telah menyarankan bahwa para peneliti melihat lebih dekat pada pemahaman tentang memaafkan dan berhubungan dengan yang mereka konseptualisasikan.43 Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa memaafkan berkaitan dengan prososial, kognisi, perasaan, dan perilaku diluar hubungan pelaku.44 Faktor kognitif dan emosi dapat menfasilitasi dan merusak perilaku maaf. McCullough, Worthington, dan Rachel menyatakan bahwa maaf memiliki struktur dan fungsi mirip dengan perilaku altruistik (senang menolong) dan serupa dengan apa yang dapat
ditemui
dalam
emphaty.
Dalam
studinya,
McCullough
menyatakan ia mendapatkan bukti bahwa menerima suatu apology akan memudahkan individu untuk memberi maaf dengan cara meningkatkan empati pada pelaku. Akan tetapi, sikap egois untuk mengakui kesalahan sering mendominasi kepribadian manusia.45 Pemberian maaf benar-benar dapat terjadi hanya ketika seseorang merasa dilindungi (aman).46
42
Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of forgiveness: The views of laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 839 (2004). 43 Ibid., Hlm. 4:839. 44 Johan C. Karremans, Paul A. M. Van Lange and Rob W. Holland. DOI, “Forgiveness and Its Associations With Prosocial Thinking, Feeling, and Doing Beyond the Relationship With the Offender”, Journal of Personality and Social Psychology Bulletin: 10.1177/0146167205274892, Hlm. 2: 1315 (2005). 45 Christiany Suwartono dan Yeti Prawasti, “Hubungan antara Strategi Regulasi Emosi dan Aspekaspek Kesiapan Memaafkan”, 2006, Presentasi Makalah di Temu Ilmiah Psikologi UI 2006, , [12/2011]. 46 Berton H. Kaplan, Dan G. Blazer and Heather Munroe-Blum, “Leighton’s Theory of Sentiments: Explorations and Speculations on Barriers to Interpersonal Forgiveness”,
21
Secara rinci, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemberian maaf, yaitu: a. Empati Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti, maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya.47 Meskipun penekanan pada empati sebagai mediator kunci memaafkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa motivator paling berpengaruh
dalam
memaafkan
adalah
altruistik
atau
empati.
Sebaliknya, tampak bahwa kebanyakan orang terutama berorientasi pada diri sendiri tentang alasan untuk memaafkan. Memaafkan memungkinkan seseorang untuk merebut kembali sebuah pentingnya hubungan atau membebaskan diri dari stres berbahaya. Mendapatkan kembali simpati bagi pelaku sangat difasilitasi ketika pelaku telah tulus, mudah meminta maaf dan jika sesuai telah menawarkan untuk
Transcultural Psychiatry, Vol. 43 (3):512-520. DOI: 10.1177/1363461566066991, Hlm. 514 (2006). 47 Latifah Tri Wardhati & Faturochman, “Psikologi Pemaafan”, , [12/2011].
22
memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Jenis motif ini mengingatkan dari perasaan simpati bagi orang lain.48 b. Sosial-Kognitif Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk pemaafan) di masa mendatang. Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku.49 Ditemukan bahwa kesediaan orang untuk memaafkan dapat dijelaskan oleh variabel sosial-kognitif, seperti tanggung jawab yang dirasakan pelaku, sengaja, dan motif, juga tingkat keparahan pelanggaran.50 c. Tingkat Pelanggaran Banyak orang yang merasa sakit hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali 48
Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of Forgiveness:the Views of Laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship,Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, (2004). 49 Latifah Tri Wardhati & Faturochman, “Psikologi Pemaafan”, , [12/2011]. 50 Michael E. McCullough, K. Chris Rachal, Steven J. Sandage, Everett L. Worthington, Jr., Susan Wade Brown, Terry L. Hight, “Interpersonal Forgiving in Close Relationships: II. Theoretical Elaboration and Measurement”, Journal of Personality and Social Psychology, 1998, Vol. 75, No. 6, 1586-1603, Copyright 1998 by the American Psychological Association, Inc., 0022-3514/98/$3.00. Hlm. 1:1588.
23
menimbulkan kesedihan yang mendalam.51 Tingkat pelanggaran dari seseorang sangat berpengaruh pada tingkat kelukaan. Semakin tinggi pelanggaran yang dilakukan, maka akan semakin tinggi pula luka yang dirasakan oleh korban. Kita mengandaikan bahwa berbagai variabel yang berhubungan dengan sifat dari pelanggaran akan menjadi penentu pemaaf. Jelas, keseriusan pelanggaran dengan pelanggaran yang lebih berat menjadi lebih sulit untuk memaafkan. Selain itu, sejauh mana pelaku meminta maaf dan berusaha mendapatkan maaf atas pelanggaran itu merupakan yang utama dari pemaaf.52 d. Karekteristik kepribadian Salah satu penelitian menunjukkan bahwa forgiveness tergantung pada tingkat keparahan dan pada kepribadian pelaku (introvert dan extroverts). Ketika tindakan menyinggung parah, pelaku paling diikuti urutan yang sama untuk memaafkan diri sebelum mereka meminta memaafkan dari orang lain, dan ini benar untuk introvert dan extroverts. Namun, dalam rasa bersalah rendah dan sedang atau keparahan situasi, extroverts lebih cenderung segera mencari memaafkan dari korban mereka, sedangkan introvert lebih cenderung untuk mencoba dan menenangkan diri dan memaafkan diri sebelum mencari memaafkan dari orang lain. Mungkin sekali pelaku extroverted menerima
51
Latifah Tri Wardhati & Faturochman, loc. Cit. Michael E. McCullough, K. Chris Rachal, Steven J. Sandage, Everett L. Worthington, Jr., Susan Wade Brown, Terry L. Hight, “Interpersonal Forgiving in Close Relationships: II. Theoretical Elaboration and Measurement”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 75, No. 6, Copyright 1998 by the American Psychological Association, Inc., 00223514/98/$3.00. Hlm. 1586-1603 (1998).
52
24
memaafkan dari korban mereka, mereka dapat bergerak dari situasi dan tidak perlu mencari memaafkan dari sendiri.53 e. Kualitas hubungan Memaafkan dipahami sebagai seperangkat motivasi yang konstruktif untuk menjaga hubungan dari perubahan akibat terjadinya pelanggaran interpersonal, tingkat hubungan keintiman atau kedekatan berhubungan positif dengan memaafkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa mitra lebih mau mengampuni satu sama lain untuk pelanggaran interpersonal dalam relativitas hubungan sosial yang ditandai dengan kepuasan yang tinggi, kedekatan, dan komitmen. Orang sebenarnya cenderung memaafkan pada hubungan yang dekat. 54
5. Proses Forgiveness Ahli teori saling ketergantungan menekankan peran komitmen dan tangung jawab. Peneliti klinis sering menekankan suatu rangkaian langkah-langkah yang harus dilengkapi. Adapun beberapa hal yang dapat memudahkan dalam memberikan maaf yang diusulkan oleh ahli teori, yaitu mengidentifikasi maksud dari pelanggaran yang terjadi untuk dirinya
53
Alex M. Wood, Stephen Joseph, John Maltby, “Gratitude Predicts Psychological Well Being Above the Big Five Facets”, Journal of Personality and Individual Differences, Nomor 46, Hlm. 26-27, (2009). 54 Michael E. McCullough, K. Chris Rachal, Steven J. Sandage, Everett L. Worthington, Jr., Susan Wade Brown, Terry L. Hight, “Interpersonal Forgiving in Close Relationships: II. Theoretical Elaboration and Measurement”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 75, No. 6, Copyright 1998 by the American Psychological Association, Inc., 00223514/98/$3.00, Hlm. 1586-1603 (1998).
25
dan orang lain dan menyadari bahwa seseorang mungkin mempunyai suatu tujuan baru dalam hidup atau penyesalan karena pelanggaran tersebut.55 Forgiveness diakui sebagai berbeda dari proses lainnya, seperti memaafkan (gagal melihat tindakan sebagai salah dan membutuhkan memaafkan), memaafkan (tidak memegang orang atau kelompok yang bertanggung jawab untuk tindakan), mengampuni (diberikan hanya oleh wakil dari masyarakat, seperti hakim), dan melupakan (menghapus kesadaran pelanggaran dari kesadaran, untuk mengampuni adalah lebih dari sekedar tidak berpikir tentang pelanggaran).56 Kemajuan lebih lanjut di lapangan, umumnya disepakati bahwa forgiveness adalah salah satu dari banyak kemungkinan tanggapan untuk menyakiti interpersonal dan merupakan respon positif dan
yang
melibatkan keputusan untuk melepaskan kemarahan dan tidak membalas dendam.57 Forgiveness adalah suatu topik pusat di dalam kehidupan sehari-hari. Dari tingkatan yang pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara, hubungan baik dengan orang lain sebagian besar ditentukan oleh konsep kita tentang forgiveness.58 Walaupun literatur yang ilmiah masih sedikit, hasil penelitian tentang forgiveness setuju bahwa forgiveness sangat efektif dalam 55
Michael E. McCullough, Lindsey M. Root, and Adam D. Cohen, “Writing About the Benefits of an Interpersonal Transgression Facilitates Forgiveness,” Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 74, No. 5, 887–897. DOI: 10.1037/0022-006X.74.5.887,Hlm. 3, (2006). 56 Alex M. Wood, Stephen Joseph, John Maltby, “Gratitude Predicts Psychological Well Being Above the Big Five Facets”, Journal of Personality and Individual Differences, Nomor 46, Hlm. 5 (2009) . 57 Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of forgiveness: The views of laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 838 (2004). 58 Adriana Bagnulo. Sastre Munoz, María Teresa. Etienne Mullet, “Conceptualizations of Forgiveness: a Latin America-Western Europe Comparison”, Universitas Psychologica; Pontificia Universidad Javeriana; Colombia, Vol. 8, Num. 3, Hlm. 674 (2009).
26
mengobati rasa penyesalan, rasa bersalah, kemarahan, ketertarikan, dan ketakutan menyatakan bahwa forgiveness adalah suatu proses yang terjadi dari waktu ke waktu, dari individu yang telah terluka menjadi lebih sedikit marah, kecewa, menakutkan, dan tertarik akan pembalasan dendam. Forgiveness tidak sama dengan melupakan, penyesalan, atau menyangkal kesalahan,
juga
memandang
forgiveness
sebagai
proses
yang
membutuhkan waktu hingga peristiwa menyakitkan pergi dari waktu ke waktu.59 Penelitian menggunakan teknologi canggih pencitraan otak seperti tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan. Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh. Mereka yang tidak memaafkan memiliki aktifitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan (agresif). Demikian pula, ada ketidaksamaan aktifitas hormon dan keadaan darah si pemaaf dibandingkan dengan si pendendam atau si pemarah. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Keadaan hormon dan darah sebagaimana dipicu sikap tidak memaafkan ini berdampak buruk pada kesehatan. Raut wajah, daya hantar kulit, dan detak jantung termasuk yang 59
Verda Konstam. Fern Marx. Jennifer Schurer. Anne Harrington. Nency Emerson Lombardo. Sara Deveney, “Forgiving: What Mental Health Counselors are Telling us (Statistical Data Included)”, Journal of Mental Health Counseling, Hlm. 20 (2000).
27
juga diteliti ilmuwan dalam kaitannya dengan sikap memaafkan. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.60 Enright mengungkapkan, bahwa forgiveness
merupakan sesuatu
yang penting tapi juga merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, bahkan terkadang sangat menyakitkan bagi seseorang. Forgiveness tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, tapi membutuhkan waktu yang lama dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Enright juga mengungkapkan adanya empat fase untuk memberikan maaf,61 secara singkat yaitu: 1) Fase pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam. 2) Fase keputusan (decision phase), yaitu orang itu mulai berfikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini individu belum memberikan maaf sepenuhnya. 3) Fase tindakan (work phase), yaitu adanya tindakan secara aktif memberikan maaf kepada orang yang bersalah. 4) Fase pendalaman (deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan. Pada fase inilah individu memahami bahwa dengan memaafkan maka dirinya akan memberi manfaat untuk dirinya, orang lain, dan lingkungan.
60
QuickSTART Indonesia, “Motivasi Memaafkan Adalah Kebutuhan”, Article, <www.quickstart.co.idmotivasi-memaafkan-adalah-kebutuhan.htm. >, [12/12/2011]. 61 Siti Qurrotu Aini, “Kekuatan Luar Biasa dari Memaafkan”, 2011, < http://www.google.co.id/> [28/11/2011].
28
B. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Seorang individu jika tidak adanya kesejahteraan positif dapat membentuk faktor risiko besar untuk depresi, independen dari keberadaan fungsi negatif dan kesehatan fisik terganggu. Orang dengan psychological well-being rendah sangat mungkin untuk menjadi depresi lebih dari 10 tahun, dan pencegahan intervensi dan pemantauan individu-individu ini ditunjukkan.62 Psychological well-being baru-baru ini menarik perhatian dan telah menjadi fokus dari perawatan klinis. Memang, psychological well-being sangat berkorelasi dengan depresi menunjukkan bahwa orang-orang yang psychological well-being rendah
berisiko mengembangkan kekacauan.
Atas dasar ini, intervensi untuk psychological well-being sedang dikembangkan, baik untuk pencegahan dan pengobatan depresi.63 Perbandingan dengan
yang lain sering digunakan sebagai indikator
(pengaruh positif dan negatif, kepuasan hidup) menunjukkan bahwa kunci yang terakhir pengabaian aspek fungsi positif ditekankan dalam teori kesehatan dan kesejahteraan.64 Pada awalnya pendapat yang muncul dari Bradburn yang menerjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristoteles yang berjudul “Nicomachean Ethics” menjadi Happines 62
Alex M. Wood a, Stephen Joseph b, “The absence of positive psychological (eudemonic) wellbeing as a riskfactor for depression: A ten year cohort study, Journal of Affective Disorders, Journal of Affective Disorders 122: 213–217, Hlm. 211. (2010). 63 Ibid., Hlm 212 64 Carol D. Ryff and Corey Lee M. Keyes, “The Structure of Psychological Well-Being Revisited”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol . 69, No. 4,719-727, by the American University of Wisconsin—Madison, Hlm. 719 (1995).
29
(kebahagiaan), yang diartikan adanya keseimbangan efek positif dan negatif.
Namun
pendapat ini ditentang oleh
Waterman
dengan
menerjemahkannya menjadi usaha individu untuk memberikan arti dan arah dalam kehidupan. Psychological well-being yang dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak ada gejala depresi. 65 Sejahtera sama halnya dengan bahagia dan makmur. Sedangkan kesejahteraan adalah suatu keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya.66 Meskipun saat ini indeks kesejahteraan subjektif telah dievaluasi secara ekstensif, penilaian semacam itu terutama difokuskan pada kemampuan dan validitas ukuran yang ada. Keinginan sosial sebagai peringkat kepuasan hidup cenderung lebih stabil dari aspek kesejahteraan afektif.67 Organisasi kesehatan dunia mendefinisikan kesehatan sebagai bukan hanya tidak adanya penyakit tetapi keadaan lengkap pada organisasi mental, fisik dan sosial yang baik. Hal ini menyebabkan perubahan fokus dari penekanan yang berlebihan dari model medis terhadap pengembangan model kesehatan masyarakat.68 65
Rosemary A Abbott, George B Ploubidis, Felicia A Huppert, Diana Kuh, Michael EJ Wadsworth ,and Tim J Croudace, “Psychometric evaluation and predictive validity of Ryff's psychological well-being items in a UK birth cohort sample of women”, journal of Health and Quality of Life Outcomes, published by BioMed Central (2006). 66 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo), Hlm. 542. 67 Ryff, “Happiness is Everything, or is it? Exploration on the Meaning of Psychological WellBeing”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57, No.6, (1989). 68 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 55, ,
[31/01/2012].
30
Kesejahteraan psikologis merujuk pada kesehatan mental positif.69 Menurut I Made Yudhistira Dwipayam, psychological well-being adalah suatu kondisi di mana seseorang melakukan penilaian terhadap hidupnya sehari-hari yang meliputi reaksi emosional terhadap suatu peristiwa dan evaluasi sadar yang dilaporkan baik pada saat suatu peristiwa terjadi atau secara global setelah waktu yang lama70. Ryff mencoba merumuskan pengertian psychological well-being dengan
mengintegrasikan
teori-teori
psikologi
klinis,
psikologi
perkembangan dan teori kesehatan mental. Teori-teori psikologi klinis tersebut adalah
konsep
aktualisasi
diri
dari Maslow,
konsep
kematangan dari Allport, konsep fully functioning person dari Roger dan konsep individuasi dari Jung. Dari teori-teori psikologi perkembangan, Ryff merujuk pada teori tahapan psikososial dari Erikson, teori Buhler dan teori perubahan kepribadian dari Neugarten. Ryff juga merujuk
konsep
kriteria
kesehatan
mental
positif
dari Jahoda,
sehingga akhirnya Ryff menyimpulkan bahwa individu dikatakan mendapatkan kesejahteraan psikologis jika memenuhi beberapa indikatorindikatornya.71 Beberapa literatur mendefinisikan bahwa psychological well-being sebagai kepuasan hidup. Kesejahteraan psikologi adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu 69
Ibid., Hlm. 57, I Made Yudhistira Dwipayam, “Gambaran Kepribadian dan Psychological Well-Being Ditinjau Berdasarkan Golongan Darahnya”, , [31/01/2012]. 71 Ryff, “Happiness is Everything, or is it? Exploration on the Meaning of Psychological WellBeing”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57, No.6, (1989). 70
31
membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.72 Dari paparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa psycological well-being merupakan suatu keadaan individu yang mana secara psikologis dia berada dalam kondisi sejahtera, dengan ditandai dengan mampu menerima keadaan diri sendiri, mampu membentuk hubungan yang positif dengan orang lain, mampu bersikap mandiri dari tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan sekitarnya, memiliki tujuan hidup, dan mampu mengembangkan potensi diri.
2. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Pada umumnya, individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi merupakan individu yang mendapat dukungan sosial yang baik, tingkat spiritualitas yang tinggi, memliki locus of control internal, mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi serta mempunyai penghasilan yang tinggi dan berada pada tingkatan sosial yang baik.73 Menurut Ryff, yang mengacu pada teori positive functioning dari Maslow, Rogers, Jung, dan Allport, teori perkembangan dari Erikson, dkk,
72
Ibid. Ruth Priscilla Sumule dan Ni Made Taganing, “Psychological Well Being to the Teacher that Work in Foundation Papua Pesat Nabire”, 2008, , [31/01/2012].
73
32
dan teori kesehatan mental psychological well-being terdiri dari enam dimensi yang menyusunnya,74 yaitu: a. Penerimaan diri (self acceptance) Penerimaan diri ditunjukkan pada individu yang dapat mengevaluasi secara positif terhadap dirinya sekarang dan dirinya di masa yang lalu.75 Penerimaan diri adalah aspek yang paling berulang dalam kesejahteraan psikologis. Ini adalah fitur mendasar dalam kesehatan mental dan unsur fungsi optimal. Tingkat yang sehat dari penerimaan diri membuat positif sikap dan kepuasan ditingkatkan dengan kehidupan. Sedang tingkat kepercayaan mengarah pada pencapaian yang lebih besar dan penerimaan, dengan umpan balik positif dari orang lain penting dalam pemeliharaan kepercayaan diri dan keyakinan.76 Dimensi ini bernilai tinggi jika suatu sikap positif ke arah diri, mengakui adanya dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik dan jahat, hingga merasakan hal positif tentang hidup masa lampau. Sedangkan bernilai rendah jika muncul rasa tidak puas dengan diri, dikecewakan dengan apa yang telah terjadi dengan hidup masa lampau,
74
Ryff, “Happiness is Everything, or is it? Exploration on the Meaning of Psychological WellBeing”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57, No.6, (1989). 75 Reshma Nezar. Abdul Hamid. Vika Putri K, “Psychological Well-Being pada Lansia di Panti Jompo”, 2009, , [12/2011]. 76 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 64, ,
[31/01/2012].
33
disusahkan sekitar kualitas pribadi tertentu, dan mengharapkan untuk menjadi berbeda dibanding apa yang ia atau dia sebenarnya.77 b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other) Kategori teori perkembangan orang dewasa juga menekankan ketercapaian dari hubungan yang akrab dengan orang lain (intimacy) serta adanya bimbingan dan arah dari orang lain (generativity).78 Memiliki hubungan positif dengan orang lain merupakan komponen penting dalam pengembangan percaya dan berlangsung hubungan serta milik jaringan komunikasi dan dukungan. Pendekatan yang tenang dan santai mencerminkan jatuh tempo, menyebabkan interaksi ditingkatkan dan pertimbangan yang lebih baik dari orang lain. Sementara hubungan yang baik menghasilkan pemahaman orang lain, hubungan yang buruk dapat menyebabkan frustrasi. Kemampuan untuk memiliki hubungan manusia yang baik adalah salah satu fitur kunci kesehatan mental dengan patologi sering ditandai dengan penurunan sosial fungsi.79 Dimensi ini bernilai tinggi jika adanya sikap hangat, memuaskan, mempercayai
hubungan
dengan
orang
yang
ditandai
dengan
memperhatikan kesejahteraan dari yang lain, mampu untuk pengenalan jiwa orang lain secara kuat, kasih sayang, dan keakraban, juga memahami
77
Tricia A. Seifert,” The Ryff Scales of Psychological Well-Being”, Copyright © 2011 All rights reserved,< www.liberalarts.wabash.eduryff-scales.htm>, (2005). 78 Reshma Nezar. Abdul Hamid. Vika Putri K, “Psychological Well-Being pada Lansia di Panti Jompo”, 2009, , [12/2011]. 79 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 63, ,
[31/01/2012].
34
untuk memberi dan menerima hubungan sesama. Sedangkan bernilai rendah jika adanya sedikit sikap dekat, sedikit mempercayai hubungan dengan orang lain, mengalami kesulitan untuk menjadi hangat, terbuka, dan memperhatikan orang lain, terisolasi dan terhalang hubungan antar pribadi yang tidak berkeinginan membuat kompromi dengan orang yang lain.80 c.
Otonomi/kemandirian (autonomy) Kemandirian adalah kemampuan melakukan dan mengarahkan
perilaku secara mandiri, penuh keyakinan diri. 81 Otonomi adalah peraturan perilaku sendiri melalui internal locus of control. Seseorang yang berfungsi sepenuhnya memiliki tingkat evaluasi internal yang tinggi, menilai diri pada standar pribadi dan prestasi sementara tidak mengandalkan pada standar orang lain. Tingkat tinggi otonomi menunjukkan kemandirian dan tingkat rendah menunjukkan keprihatinan atas persepsi diri.82 Dimensi ini bernilai tinggi jika self-determining dan mandiri, mampu membalas tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak pada jalan tertentu, mengatur perilaku dari dalam diri sendiri, mengevaluasi diri oleh standard pribadi. Sedangkan dimensi ini berbilai rendah jika memperhatikan
80
Tricia A. Seifert,” The Ryff Scales of Psychological Well-Being”, Copyright © 2011 All rights reserved,< www.liberalarts.wabash.eduryff-scales.htm>, (2005). 81 Reshma Nezar. Abdul Hamid. Vika Putri K, “Psychological Well-Being pada Lansia di Panti Jompo”, 2009, , [12/2011]. 82 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 60, ,
[31/01/2012].
35
harapan dan evaluasi dari orang lain, bersandar pada pertimbangan dari orang lain untuk membuat keputusan penting, menyesuaikan diri dalam tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak pada jalan tertentu.83 d.
Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Penguasaan lingkungan memilih dan mengendalikan sekitarnya dan
membayangkan lingkungan melalui tindakan fisik dan/atau mental. Sementara tingkat tinggi penguasaan lingkungan mencerminkan kontrol atas
konteks
seseorang,
tingkat
rendah
berhubungan
dengan
ketidakmampuan untuk pengendalian lingkungan. Penguasaan lingkungan berarti mampu mengendalikan situasi lingkungan dan kehidupan kompleks dan untuk menangkap peluang yang muncul dengan sendirinya.84 Dimensi ini bernilai tinggi jika ada suatu perasaan penguasaan dan kemampuan
atau
wewenang
di
dalam
memanage
lingkungan,
mengendalikan aktivitas eksternal, penggunaan efektif terkait peluang, mampu memilih atau menciptakan konteks yang pantas pada kebutuhan pribadi dan nilai-nilai. Dimensi ini bernilai rendah jika ada kesukaran yang memanage kegiatan sehari-hari, merasakan tidak mampu untuk merubah lingkungan, dan tidak acuh pada peluang, serta perasaan kurang bisa mengendalikan lingkungan eksternal.85
83
Tricia A. Seifert,” The Ryff Scales of Psychological Well-Being”, Copyright © 2011 All rights reserved,< www.liberalarts.wabash.eduryff-scales.htm>, (2005). 84 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 67, ,
[31/01/2012]. Ibid.
85
36
e.
Tujuan hidup (purpose in life) Tujuan dalam hidup mengacu pada makna yang dirasakan dari
keberadaan seseorang dan melibatkan penetapan dan mencapai tujuan, yang memberikan kontribusi pada penghargaan kehidupan. Kesehatan mental mencakup kesadaran bahwa seseorang memiliki lebih besar tujuan dan tujuan hidup. Tujuan dalam hidup menciptakan arah, sehingga memberantas kesedihan. Tujuan adalah bagian penting dari berjuang untuk sukses.
Kedewasaan
melibatkan
memiliki
rasa
yang
jelas
dari
intensionalitas. Ketika individu mempertahankan fokus, perhatian dan konsentrasi, menetapkan tujuan realistis dan bertujuan untuk menjadi yang lebih holistik, mereka mencari tujuan yang lebih besar untuk diri mereka sendiri dan sering kemudian juga membantu orang lain. Individu menetapkan dan mencapai tujuan dapat menjadi inspirasi dan motivasi di dunia.86 Dimensi ini bernilai tinggi jika ada gol dalam hidup dan suatu perasaan atau pengertian yang mengarahkan, rasa ada maksud atau arti untuk menyajikan dan hidup masa lampau, kepercayaan pegangan yang memberi tujuan hidup; mempunyai tujuan dan sasaran hasil untuk hidup. Sedangkan nilai rendah jika kurangnya suatu perasaan atau pengertian maksud atau arti dalam hidup, mempunyai sedikit gol atau tujuan, kekurangan perasaan atau pengertian tentang arah, tidak melihat tujuan 86
Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 57-95,
,
[31/01/2012].
37
dari kehidupan masa lampau, tidak punya pandangan atau kepercayaan yang memberi maksud atau arti hidup.87 f.
Pengembangan pribadi (personal growth) Pertumbuhan pribadi adalah kemampuan untuk mengembangkan dan
memperluas diri, untuk menjadi sepenuhnya berfungsi orang, untuk mengaktualisasikan diri dan mencapai tujuan. Sebuah pertumbuhan pola pikir memerlukan keterbukaan terhadap berbagai pengalaman baru dan beragam. Pertumbuhan pribadi berpotensi menjadi dimensi kesejahteraan psikologis yang paling dekat dengan eudemonia.88 Dimensi ini bernilai tinggi jika mempunyai firasat pengembangan, melihat dari suatu pertumbuhan dan perkembangan, terbuka dengan pengalaman baru, mempunyai perasaan merealisasikan potensinya, melihat peningkatan diri dan perilaku dari waktu ke waktu, sedang mengubah dalam cara-cara yang mencerminkan self-knowledge dan efektivitas. Sedangkan dimensi ini bernilai rendah jika suatu perasaan dari stagnasi pribadi, kekurangan peningkatan atau perluasan pengertian dari waktu ke waktu, merasakan tak tertarik dan bosan dengan hidup, merasakan tidak mampu untuk mengembangkan perilaku atau sikap baru.89
87
Tricia A. Seifert,” The Ryff Scales of Psychological Well-Being”, Copyright © 2011 All rights reserved,< www.liberalarts.wabash.eduryff-scales.htm>, (2005). 88 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 61, ,
[31/01/2012]. Tricia A. Seifert,”The Ryff Scales of Psychological Well-Being”, Copyright © 2011 All rights reserved,< www.liberalarts.wabash.eduryff-scales.htm>, (2005). 89
38
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Psychological well-being ditandai dengan perasaan bahagia,
mempunyai kepuasan hidup, dan tidak ada gejala-gejala depresi.90 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu: 91 a. Usia Berdasarkan hasil penelitian Ryff dan Singer pada tingkat kelompok usia, yaitu dewasa muda, dewasa madya, dan dewasa lanjut terdapat perbedaan psychological well-being diantara ketiga kelompok usia tersebut. Dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan adanya pola peningkatan yang sejalan dengan usia dan tahap dewasa muda ke dewasa madya. Pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukan adanya penurunan, khususnya pada tengah baya ke dewasa lanjut. b. Jenis Kelamin Ryff dan Singer menemukan adanya perbedaan psychological wellbeing, dimana kaum wanita lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dari pada kaum pria.92 Akan tetapi penelitian lain yang dilakukan pada pria dan wanita yang telah menikah
di Bangkok
menunjukkan
laki-laki
memiliki tingkat
psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
90
Liputo, Pengaruh Religiusitas terhadap Psychological Well-Being Mahasiswa Psikologi Fakultas Psikologi, (Malang: Karya Ilmiah (Skripsi) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2009). 91 Citra Ayu Kumala Sari, Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being Siswa di Sekolah Menengah Atas Diponegoro Tulungagung, (Malang: Karya Ilmiah (Skripsi) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2010), Hlm. 30-33. 92 I Made Yudhistira Dwipayam, “Gambaran Kepribadian dan Psychological Well Being Ditinjau Berdasarkan Golongan Darahnya”, , [31/01/2012].
39
c.
Status Sosial Ekonomi Ryff dan Singer menemukan bahwa gambaran psychological well-
being yang lebih baik terdapat pada mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi dan jabatan tinggi dalam pekerjaan, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan priadi. Adanya kesuksean-kesuksesan termasuk materi dalam kehidupan merupakan factor protektif yang penting dalam
menghadapi
mereka yang
stress,
tantangan,
kurang mempunyai
dan
musibah.
pengalaman
Sebaliknya,
keberhasilan
akan
mengalami kerentanan pada psychological well-being. d. Dukungan Sosial Dukungan sosial dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif maupun member support pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Pada individu dewasa, semakin tinggi tingkat interaksi sosialnya maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya. Sebaliknya individu yang tidak mempunyai teman dekat cenderung mempunyai tingkat psychological well-being yang rendah. Oleh karena itu, dukungan sosial dipandang memiliki dampak besar bagi psychological well-being. e. Religiusitas Hal ini berkaitan dengan transendensi segala pesoalan hidup kepada tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna.
40
f. Kepribadian Salah satu dari penelitian yang dilakukan Costa and Mc Crae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian ekstrovert dan neuotis berhubungan secara signifikan dengan psychologica well-being. Pada dasarnya, kepribadian merupakan suatu proses mental yang mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi yang berbeda. Sementara di lain pihak, psychological well-being mengacu pada suatu tingkatan dimana individu mampu berfungsi, merasakan, dan berfikir sesuai dengan standar yang diharapkan.
C. Kajian Keislaman 1. Forgiveness dalam Perspektif Islam a. Telaah Teks Psikologi tentang Forgiveness Temuan baru-baru ini menyatakan bahwa forgiveness berkaitan dengan kesehatan mental positif, penurunan kesedihan, depresi, dan kecemasan, juga terikat dengan indeks kesehatan fisik.93 Murphy dan Hampton mendefinisikan forgiveness sebagai foreswearing kebencian atas dasar moral dan sebagai keputusan untuk melihat pelaku dalam cahaya yang lebih baik, perubahan yang terjadi dalam korban dan yang tidak pernah mungkin akan dikomunikasikan kepada pelaku.94 Ken
93
Jarred W. Younger, R. L, “Dimensions of Forgiveness: The Views of Laypersons”, Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 21:837. DOI: 10. 1177/0265407504047843, Hlm. 837-838 (2004). 94 Ibid., Hlm. 840
41
Hart menyatakan forgiveness adalah kesembuhan dari ingatan yang terluka, bukan menghapuskan.95 Menurut Michael E. McCullough, dkk forgiveness adalah salah satu dari banyak kemungkinan tanggapan dari suatu pelanggaran yang merupakan respon positif dan sehat yang melibatkan keputusan untuk melepaskan kemarahan dan tidak membalas dendam.96 Michael E. McCullough memberikan definisi bahwa forgiveness merupakan satu set perubahan-perubahan motivasi dimana suatu organisme menjadi: Menurunnya motivasi membalas terhadap pelaku, menurunnya motivasi menghindari pelaku, semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku.97
b. Analisis Kompetensial Teks Psikologi tentang Forgiveness No.
Komponen
Deskripsi
1.
Pelaku
Individu, partner, group, komunitas
2.
Aktifitas
Verbal (+), non-verbal (+)
3.
Bentuk
Menghindari (-), melakukan (+)
4.
Faktor
Internal, eksternal
5.
Standart
Sosial, susila, agama, sains, hukum
6.
Tujuan
Interaksi sosial (+)
7.
Efek
Langsung, tidak langsung
Tabel 1: Analisis Kompetensial Teks Psikologi tentang Forgiveness
95
Soesilo, Vivian A, "Mencoba Mengerti Kesulitan untuk Mengampuni". Jurnal Teologi dan Pelayanan, <www.spiritualityhealth> Hlm. 115-125. 96 McCullough, Pargament, Thoresen, Journal of Social and Personal Relationships, Hlm. 3 (2000). 97 Alex M. Wood, Stephen Joseph, John Maltby, “Gratitude Predicts Psychological Well-Being Above the Big Five Facets”, Journal of Personality and Individual Differences, Nomor 46, Hlm. 443–447 (2009).
42
c. Pola Teks Psikologi tentang Forgiveness
Individu, partner, group, komunitas
Langsung, tidak langsung
Interaksi sosial (+)
Verbal (+), nonverbal (+)
Menghindari (-), melakukan (+)
Sosial, susila, agama, sains, hukum
Internal, eksternal
Gambar 1: Pola Teks Psikologi tentang Forgiveness
d. Mind Map (Peta Konsep) Psikologi tentang Forgiveness Individu
Pelaku
Partner Group Komunitas
Aktifitas
Verbal (+) Non-Verbal (+)
Bentuk
Hindari (-) Lakukan (+)
Forgiveness
Faktor
Internal Eksternal Sosial Susila
Standart
Agama Sains Hukum
Tujuan
Interaksi Sosial (+) Langsung
Efek Tidak Langsung Gambar 2: Mind Map (Peta Konsep) Psikologi tentang Forgiveness
43
e. Sampel Peristiwa Forgiveness dalam Islam Sejarah Islam menyebutkan, ada sebuah kisah bagaimana seorang ibu memaafkan anaknya, yang terkenal bernama al-Qomah (yang menginspirasi lahirnya istilah koma). Ibunya merasa sangat tersinggung oleh perlakuan tidak adil al-Qomah terhadap dirinya dan istrinya. Istrinya sangat dimanjakan sementara ibunya diberi barang dan fasilitas yang jauh dari apa yang diberikan kepada istrinya. Hutang emosi dalam bentuk rasa sakit hati itu begitu kuat tertancap dalam diri ibunya. Saat Al-Qomah sakit keras tapi tak kunjung membaik, ia telah dituntun oleh para sabahat dan bahkan Nabi Muhammad SAW pun terlibat, namun ia tidak juga mampu menirukan ungkapan ”la ilaha illallah.” Setelah dilakukan pelacakan, diketahui bahwa penyebab kesulitan adalah tiadanya keridhaan ibunya. Nabi Muhammad SAW menyampaikan ide ’provokatif’ untuk membakar al-Qomah kepada ibunya. Akhirnya ibunya melakukan perenungan ulang memberi maaf kepada putranya dan al-Qomah dapat meninggal dengan tenang berkat pemaafan ibu98.
f. Sampel Teks Islam tentang Forgiveness ∩⊇∪ šÎ=Îγ≈pgø:$# Çtã óÚÌôãr&uρ Å∃óãèø9$$Î/ ó÷ß∆ù&uρ uθøyèø9$# É‹è{
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raff, 7:199)
98
Siti Qurrotu Aini, “Kekuatan Luar Biasa dari Memaafkan”, 2011, [28/11/2011].
44
šÌÉf≈yγßϑø9$#uρ tÅ3≈|¡yϑø9$#uρ 4’n1öà)ø9$# ’Í<'ρé& (#þθè?÷σムβr& Ïπyè¡¡9$#uρ óΟä3ΖÏΒ È≅ôÒxø9$# (#θä9'ρé& È≅s?ù'tƒ Ÿωuρ ∩⊄⊄∪ îΛÏm§‘ Ö‘θàxî ª!$#uρ 3 óΟä3s9 ª!$# tÏøótƒ βr& tβθ™7ÏtéB Ÿωr& 3 (#þθßsxóÁu‹ø9uρ (#θà÷èu‹ø9uρ ( «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[1032].” [1032] ayat Ini berhubungan dengan sumpah abu bakar r.a. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat Ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
g. Analisis Kompetensial Teks Islam tentang Forgiveness No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen Pelaku Aktifitas Bentuk Faktor Standar Tujuan Efek
Deskripsi (komunitas) اس,(group) ه,(partner) ا,(individu) ا (baik) وف,(ampun) ة,(maaf) ا (-) اف ه,(+) وف (lingkungan) ,(diri sendiri)
(sosial) ا, (susila) أ, (sains) ا, (hukum) ان,(agama) د (sehat) !" ,(hubungan baik) ا('&ت#$ ,(damai) *'م (sayang) + ,(kasih) ,$ ,(bahagia) -(*
Tabel 2: Analisis Kompetensial Teks Islam tentang Forgiveness
h. Inventarisasi dan Tabulasi Teks Islam tentang Forgiveness No. 1.
2.
Term Pelaku
Aktifitas
Kategori Individu
Teks Islam ا
Kamu
Substansi Psikologi Individu
Makna Teks
Sumber
Komunitas
اس
Banyak orang
Komunitas
Al-Baqoroh (282), An-Nisa’ (43), ...... Al-A’raf (19), AtTahrim (4), ..... Al-Lahab (1), AlKausar (3), ... Al-Baqoroh (249), Al-Lail (1), .....
Verbal (+)
ا
Memaafkan
Verbal (perkataan
Al-Baqoroh (237), An-Nur (22), .....
Patner
ا
Kamu berdua
Partner
Group
ه
Kalian
Group
45
Jumlah ± 500
± 20
± 24 ±6 ± 89
Non-verbal (+)
ة وف
Bentuk
Hindari (-)
اس./ 12 0
4.
Faktor
Lakukan (+) Internal
5.
Standart
6.
Tujuan
3.
Efek
baik) Non-verbal (+) (perilaku baik) Hindari (-)
3#
Orang-orang yang bodoh Dengan kebaikan Diri sendiri
Internal
Eksternal Agama
د
Lingkungan Agama
Eksternal Agama
Interaksi sosial (+)
ا 45ا !"
Kesejahteraan
Interaksi sosial (+)
"'ح 7.
Ampun Baik
Langsung
,$
Tidak langsung
+
Lakukan (+)
Sehat Kebaikan Kasih
Langsung
Sayang
Tidak langsung
At-Taubah (80), An-Nisa’ (64), ..... An-Nur (26), Ibrahim (24), ..... Al-Baqoroh (13), Yusuf (33), ..... An-Nur (33), AnNisa’ (19), ..... Ali-Imron (135), Al-Anam (130), ..... Ar-Rum (30), ... Al-Anfal (39), AlAnnam (70), ... Al-Baqoroh (228), An-Nisa’ (29),... Al-Baqoroh (18), Maryam (10), ..... Yunus (107), AtTahrim (4), ..... Thaha (39), ArRum (21), .... Al-Baqoroh (174), Al-Anam (54), .....
Tabel 3: Inventarisasi dan Tabulasi Teks Islam tentang Forgiveness
i. Format Peta Mind Map (Peta Konsep) Teks Islam tentang Forgivenes ا ا
ة%,ا
ه اس ا
*ط
Forgiveness
وف س%" ا#
-.
!
&'(
'ر
د
ض#
(+)ا ا
'123
Gambar 3: Format Mind Map (Peta Konsep) Teks Islam tentang Forgiveness
46
± 45 ± 58 ±8 ± 45 ± 67 ±2 ± 179 ± 16 ±4 ± 103 ± 25 ± 20
j. Rumusan Global (Ijmali) Teks Islam tentang Forgiveness
Forgiveness merupakan aktifitas baik verbal maupun non-verbal yang positif, dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk menghindari hal yang negatif dan melakukan hal yang positif dengan faktor-faktor yang mempengaruhi, baik dari internal maupun eksternal.
Forgiveness diukur dengan standart sosial, susila, agama, sains, dan hukum. Dimana bertujuan untuk menjalin interaksi sosial yang positif dengan efek langsung maupun tidak langsung.
k. Rumusan Partikular (Tafsili) Teks Islam tentang Forgiveness
Forgiveness merupakan aktifitas baik verbal ((maaf) )ا maupun non-verbal ((baik) )وفyang positif, dilakukan oleh individu ( )اatau kelompok ( )هdalam bentuk menghindari hal yang negatif (() )ا هdan melakukan hal yang positif ((+) )وفdengan faktor-faktor yang mempengaruhi, baik dari internal ((diri sendiri) ) maupun eksternal ((lingkungan) &'(). Forgiveness diukur dengan standart agama ()د, dimana bertujuan untuk menjalin interaksi sosial yang positif (! ا ت4) dengan efek ((bahagia) 6'7) secara langsung (8'3 ) maupun tidak langsung (." '#).
2. Psychological Well-Being dalam Perspektif Islam a. Telaah Teks Psikologi tentang Psychological Well-Being
Psychological well-being baru-baru ini menarik perhatian dan telah menjadi fokus dari perawatan klinis. Memang, psychological
47
well-being sangat berkorelasi dengan depresi menunjukkan bahwa orang-orang
yang psychological well-being rendah
mengembangkan kekacauan.
99
berisiko
Sejahtera sama halnya dengan bahagia
dan makmur. Sedangkan kesejahteraan adalah suatu keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya.100 Organisasi kesehatan dunia mendefinisikan kesehatan sebagai bukan hanya tidak adanya penyakit tetapi keadaan lengkap pada organisasi mental, fisik dan sosial yang baik. Hal ini menyebabkan perubahan fokus dari penekanan yang berlebihan dari model medis terhadap pengembangan model kesehatan masyarakat.101 Menurut I Made Yudhistira Dwipayam, psychological well-
being adalah suatu kondisi di mana seseorang melakukan penilaian terhadap hidupnya sehari-hari yang meliputi reaksi emosional terhadap suatu peristiwa dan evaluasi sadar yang dilaporkan baik pada saat suatu peristiwa terjadi atau secara global setelah waktu yang lama102. Ryff mendefinisikan psychological well-being sebagai kepuasan hidup. Kesejahteraan psikologi adalah suatu keadaan dimana individu 99
Carol D. Ryff and Corey Lee M. Keyes, “The Structure of Psychological Well-Being Revisited”, Journal of Personality and Social Psychology, Vol . 69, No. 4,719-727, by the American University of Wisconsin—Madison, Hlm. 719 (1995). 100 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo), Hlm. 542. 101 Anonimus, “Literature review psychological well-being, chapter three,” university of pretoria, Hlm. 55, ,
[31/01/2012]. 102 I Made Yudhistira Dwipayam, “Gambaran Kepribadian dan Psychological Well-Being Ditinjau Berdasarkan Golongan Darahnya”, , [31/01/2012].
48
mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.103
b. Analisis Kompetensial Teks Psikologi tentang Psychological WellBeing No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen Pelaku Aktifitas Bentuk Faktor Standart Tujuan Efek
Deskripsi Individu Verbal (+), non-verbal (+) Menghindari (-), melakukan (+) Internal, eksternal Sosial, susila, agama, sains, hukum Sejahtera (+) Langsung, tidak langsung
Tabel 4: Analisis Kompetensial Teks Psikologi tentang Psychological Well-Being
c. Pola Teks Psikologi tentang Psychological Well-Being
Verbal (+), non-verbal (+)
Individu
Sosial, susila, agama, sains, hukum
Sejahtera(+)
Menghindari (-), melakukan (+)
Internal, eksternal
Langsung, tidak langsung Gambar 4: Pola Teks Psikologi tentang Psychologicall Well-Being
103
Ibid.
49
d. Mind Map (Peta Konsep) Psikologi tentang Psychological WellBeing Pelaku
Individu Verbal (+)
Aktifitas Non-Verbal (+) Hindari (-) Bentuk Lakukan (+) Internal
Psychological Well-Being
Faktor Eksternal Sosial Susila Standart
Agama Sains Hukum
Tujuan
Sejahtera Langsung
Efek Tidak Langsung
Gambar 5: Mind Map (Peta Konsep) Psikologi tentang Psychological Well-Being
e. Sampel Teks Islam tentang Psychological Well-Being ∩⊄∇∪ Ü>θè=à)ø9$# ’È⌡yϑôÜs? «!$# Ìò2É‹Î/ Ÿωr& 3 «!$# Ìø.É‹Î/ Οßγç/θè=è% ’È⌡uΚôÜs?uρ (#θãΖtΒ#u Ï%©!$# “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Radu, 13: 28)
50
f. Analisis Kompetensial Teks Islam tentang Psychological WellBeing No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen Pelaku Aktifitas Bentuk Faktor Standar Tujuan Efek
Deskripsi (individu) ا (perbuatan baik) 'ق8 أ,(perkataan baik) 'م: ا8 (-) اف ه,(+) وف (lingkungan) ,(diri sendiri)
(sosial) ا, (susila) أ, (sains) ا, (hukum) ان,(agama) د (sejahtera) ;ده (Tentram) *
Tabel 5: Analisis Kompetensial Teks Islam tentang Psychological Well-Being
g. Inventarisasi dan Tabulasi Teks Islam tentang Psychological WellBeing No.
Term
Kategori
Teks islam ا
Makna teks
1.
Pelaku
Individu
2.
Aktifitas
Verbal (+)
'م: ا8
Perkataan baik
Non-verbal (+)
'ق8أ
Perbuatan baik
3.
4.
Bentuk
Faktor
Kamu
Substansi psikologi Individu
Verbal (perkataan baik) Non-verbal (+) (perilaku baik) Hindari (-)
Hindari (-)
ه اف
Lakukan (+)
وف
Perbuatan baik
Lakukan (+)
Internal
Diri sendiri
Internal
Lingkungan
Eksternal
Perbuatan buruk
Eksternal
5.
Standart
Agama
د
Agama
Agama
6.
Tujuan
Sejahtera
;ده
Kesejahteraan
Sejahtea
7.
Efek
Langsung
*
Tentram
Langsung
Tidak langsung
;ده
Sejahtera
Tidak langsung
Sumber An-Nur (58), Al-Hajj (5), ..... An-Nahl (125), Az-Zumar (18), .... Ibrahim (24), Ar-Rum (21), ..... Huud (114), Ibrahim (26), ..... Ibrahim (24), Ar-Rum (21), ..... Al-An’am (26), An-Nisa’ (97), ..... Ar-Rum (30), ..... Al-Hajj (78), Al-Anbiya’ (92), ..... Yunus (10), Huud (48), ..... Al-A’raff (24), Al-Fajr (27), ..... Yunus (10), Huud (48), .....
Tabel 6: Inventarisasi dan Tabulasi Teks Islam tentang Psychological Well-Being
51
Jumlah ± 500
± 43
± 55
± 31
± 55
± 67
±2 ± 179
±7 ± 10
±7
h. Format Peta Mind Map (Peta Konsep) Teks Islam tentang Psychological Well-Being ة%,ا
ا م- ' ا
*ط أ ق اف ه -. وف
Psychological Well-Being
&'( 'ر
د
ض#
<ده
'123
=7
Gambar 6: Format Mind Map (Peta Konsep) Teks Islam tentang Psychological Well-Being
i. Rumusan Global (Ijmali) Teks Islam tentang Psychological WellBeing
Psychological well-being merupakan aktifitas baik verbal maupun non-verbal yang positif, dilakukan oleh individu dalam bentuk menghindari hal yang negatif dan melakukan hal yang positif dengan faktor-faktor yang mempengaruhi, baik dari internal maupun eksternal.
Psychological well-being diukur dengan standart agama. Dimana bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang positif dengan efek langsung maupun tidak langsung.
52
j. Rumusan Partikular (Tafsili) Teks Islam tentang Psychological Well-Being
Psychological well-being merupakan aktifitas baik verbal ((perkataan baik) 'م: ا8) maupun non-verbal ((perbuatan baik) 'ق8)أ yang positif, dilakukan oleh individu ( )اdengan bentuk menghindari hal yang negatif ( )اف هdan melakukan hal yang positif ( )وفdengan faktor-faktor yang mempengaruhi, baik dari internal ((diri sendiri) ) maupun eksternal ((lingkungan) ). Psychological
well-being diukur dengan standart agama ()د, dimana bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang positif ((sejahtera) );دهdengan efek langsung (8'3 ) maupun tidak langsung (." '#).
D. Hubungan Forgiveness dengan Psychological Well-Being
Forgiveness adalah suatu cara yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan meningkatkan hubungan antara seseorang. Hasil survei kesehatan mental mengenai sikap dan praktek yang berhubungan dengan forgiveness, mengungkapkan bahwa forgiveness sangat berperan dalam praktek klinis. Penelitian yang dilakukan jauh sebelumnya oleh para pemimpin agama, ahli ilmu agama, dan ahli filsafat berpendapat bahwa
forgiveness adalah suatu cara yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan meningkatkan hubungan antara seseorang.104 Pelanggaran sering menimbulkan suatu keinginan untuk menghindar dan membalas dendam, serta rendahnya keinginan untuk berbuat baik kepada 104
Siti Qurrotu Aini, “Kekuatan Luar Biasa dari Memaafkan”, 2011, < http://www.google.co.id/> [28/11/2011].
53
pelaku. Reaksi motivasi diri tersebut dapat berdampak negatif dalam hubungan antar pribadi, psikologis, dan efek kesehatan. Biasanya orang-orang cenderung untuk tidak mau memaafkan atau bahkan cenderung menaruh dendam. Untuk itu membantu orang-orang memodifikasi tanggapan mereka terhadap pelanggaran yang telah dialami akan memberikan manfaat untuk membantu meningkatkan hubungan mereka yang juga akan berpengaruh pada kesehatan psikologis dan fisik.105 Menjaga hubungan yang mendukung dengan kerabat adalah penting untuk kesehatan mental dan fisik dalam hari dan ini efeknya mungkin bermanfaat sebagai cermin peran penting bahwa hubungan seperti dimainkan dalam evolusi manusia. Ini cara berpikir tentang hubungan memaafkan, psikologis, dan relasional kesejahteraan mirip dengan cara bahwa harga diri dapat dikonseptualisasikan sebagai indikator kurangnya penerimaan sosial, atau bahwa dapat dilihat sebagai umpan balik yang dirancang untuk mendorong orang untuk mengatur kembali kancah hedonis dan kognitif konsekuensi quences isolasi sosial. Cukup teori penentuan menyediakan (komplementer
dan
lebih
proksimal
fokus). Memaafkan
mungkin
mendapatkan asosiasi untuk kesejahteraan dengan mempengaruhi persepsi memaafkannya atau hubungan dengan pelanggar karena mempertahankan tingkat yang tepat keterhubungan kepada orang lain adalah psikologis mendasar.106
105
Michael E. McCullough, Lindsey M. Root, and Adam D. Cohen, “Writing About the Benefits of an Interpersonal Transgression Facilitates Forgiveness”, Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 74, No. 5, 887–897. DOI: 10.1037/0022-006X.74.5.887, Hlm. 1 ( 2006). 106 Sandrine Ballester, Fatima Chatri, Maria Teresa Muñoz Sastre, Sheila Rivière, Etienne Mullet, “Forgiveness-related motives: A structural and cross-cultural approach. Social Science
54
Oleh karena itu, kita yang propose dimana memaafkan merupakan suatu hubungan mitra yang menyebabkan orang untuk melihat bahwa mereka telah "menghubungkan kembali" dukungan sosial dan dapat mengambil keuntungan dari sumber daya material dan emosional yang mendukung hubungan sosial. Akibatnya, kesejahteraan membaik.107 Para penelitian tentang “memaafkan” sejak tahun 1980-an telah menarik dan konsisten, dan telah membuat kemajuan dalam memahami proses dan hasil pemaaf. Pelanggaran interpersonal dapat melibatkan setidaknya dua orang dimana seorang korban dan pelaku. Namun, untuk sebagian besar, penelitian telah difokuskan hanya pada korban. Memaafkan tidak hanya memberi dampak positif pada pelaku, tetapi juga akan berfungsi untuk lebih meningkatkan kesejahteraan para korban.108 Kemampuan memaafkan untuk memfasilitasi kesejahteraan psikologis, mungkin tergantung pada kualitas relativitas hubungan mitra. Ini comports baik dengan teori timbal balik altruisme serta dengan penentuan nasib sendiri, karena hubungan
yang
dekat dan
berkomitmen
sebelum
pelanggaran
memegang nilai paling potensial untuk memaafkan. Bukti menunjukkan bahwa memaafkan dapat mengurangi kemarahan dan hasil reaksi yang konstruktif untuk menyakiti dan memaafkan.109
Information”, Journal of Reprints and Permission. SAGE. DOI: 10.1177/0539018411398418, Hlm. 50(2) 178 –200 (2011). 107 Ibid. 108 Alex M. Wood, Stephen Joseph, John Maltby, “Gratitude Predicts Psychological Well-Being Above the Big Five Facets”, Journal of Personality and Individual Differences, Nomor 46, Hlm. 26 (2009) 109 Sandrine Ballester, Fatima Chatri, Maria Teresa Muñoz Sastre, Sheila Rivière, Etienne Mullet, “Forgiveness-related motives: A structural and cross-cultural approach. Social Science Information”, Journal of Reprints and Permission. SAGE. DOI: 10.1177/0539018411398418, Hlm. 3: 183 (2011).
55
Memaafkan
cenderung
berhubungan
positif
dengan
aspek
kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, dan pencapaian keberhasilan. Orang dengan kecenderungan yang kuat untuk memaafkan (atau yang lemah kecenderungan untuk membalas dendam ketika disakiti oleh orang lain).mengalami penurunan risiko untuk gangguan ketergantungan nikotin, gangguan penyalahgunaan zat, gangguan depresi, dan beberapa gangguan kecemasan.
Memaafkan
juga
telah dikaitkan
secara
positif
dengan
kesejahteraan psikologis, sebagai emosi positif yang tinggi, emosi negatif yang rendah, kepuasan yang tinggi dengan kehidupan dan kesehatan fisik. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa ketika orang memaafkan akan menjadi ganti dari sebuah pelanggaran yang telah mereka lakukan, terjadi penurunan reaktifitas kardiovaskular (misalnya, tekanan darah dan denyut jantung) dibandingkan apabila mereka membalas dendam.110
E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan yang signifikan positif antara forgiveness dengan psychological well-being pada mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
110
McCullough, Michael E., Lindsey M. Root, Benjamin A. Tabak, & Charlotte Witvliet. Forgiveness. Article. University of Miami; Hope College,
56