BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori 1. Profesionalisme Guru a. Definisi Profesi Profesi
dapat
didefinisikan
sebagai
bidang
usaha
manusia
berdasarkan
pengetahuan, dimana keahlian (expertise) dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini setidaknya meliputi aspek: adanya ilmu pengetahuan tertentu; adanya aplikasi kemampuan/kecakapan tertentu; menggunakan teknik-teknik ilmiah; dan berkaitan dengan kepentingan umum. Suatu hal pasti, perhatian terhadap profesi keguruan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial (Idi, 2014:256). Profesi juga merupakan suatu jenis pekerjaan yang bukan dilakukan dengan mengandalkan kekuatan fisik, menuntut pendidikan yang tinggi bagi orang-orang yang memasukinya, serta mendapatkan pengakuan dari orang lain (Suprihatiningrum, 2014:47). Kata profesi dapat diketahui dari tiga sumber makna, yaitu makna etimologi, makna terminologi, dan makna sosiologi. Secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa Inggris profession atau bahasa latin prefecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Sedangkan secara sosiologis, profesi menunjuk suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahliaan, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi tersebut (Suprihatiningrum, 2014:45). 13 Profesi menunjukkan dan mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan (to belief in) atas sesuatu kebenaran (ajaran agama) atau
kredibilitas seseorang. Profesi itu dapat pula menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu (Hornby dalam Saud, 2012:3). Profesi juga mengandung pengertian yaitu suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) tentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Profesi biasanya berkaitan dengan mata pencaharian seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup (Kunandar, 2010:46). Webster’s New Word Dictionary menunjukkan lebih lanjut bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi (kepada pengembannya) dalam liberal arts atau science, dan biasanya meliputi pekerjaan mental dan bukan pekerjaan manual, seperti mengajar, keinsinyuran, mengarang, dan sebagainya; terutama kedokteran, hukum dan teknologi. Good’s Dictionary of Edication lebih menegaskan lagi bahwa profesi itu merupakan suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama diperguruan tinggi (kepada pengembannya) dan diatur oleh suatu kode etik khusus. Profesi itu pada hakikatnya merupakan suatu pekerjaan tertentu yang menutut persyaratan khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh kepercayaan pihak yang memerlukannya (Saud, 2012:4). Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak atau disiapkan untuk itu (Saud, 2012:7). Pendapat yang hampir sama juga dipaparkan oleh Danim, bahwa profesi guru merupakan sebuah profesi yang hanya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh seorang yang dipersiapkan untuk menguasai kompetensi guru melalui pendidikan dan/atau pelatihan khusus. Oleh karena pendayagunaan profesi guru secara formal dilakukan di lingkungan pendidikan formal termasuk madrasah yang bersifat berjenjang dan berbeda jenisnya, maka guru harus memenuhi persyaratan atau kualifikasi atau kompetensi sesuai
jenis dan jenjang sekolah tempatnya bekerja. Untuk itu jabatan guru sebagai profesi seharusnya mendapat perlindungan hukum untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak merugikan berbagai pihak yang membutuhkan jasa guru secara profesional, dengan memberikan penghargaan finansial dan non finansial yang layak bagi sebuah profesi (Danim, 2013:59). Dengan demikian, profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, mengajar dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerja yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna. b. Profesionalisme Guru Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang (Kunandar, 2010: 45). Kualitas profesi seseorang disebut profesionalisme. Profesionalisme juga berasal dari bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti sifat profesional. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu (Danim, 2011:104). Lebih lanjut Kunandar (2010:46) menjelaskan bahwa profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan
mata
pencaharian
seseorang.
Rusman
(2013:18)
mengatakan
bahwa
profesionalisme adalah suatu pandangan terhadap keahlian tertentu, yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.
Sementara itu, menurut Sudarma profesionalisme itu merupakan kecenderungan sikap, mental atau tindakan anggota dalam menjalankan tugas profesinya. Oleh karena itu profesionalisme dapat diartikan pula sebagai komitmen seseorang atau anggota suatu profesi untuk menjalankan tugas dan fungsinya (Sudarma, 2013:28). Sedangkan menurut Suprihatiningrum (2014:80), profesionalisme merupakan suatu tingkah, suatu tujuan, atau rangkaian
kualitas
yang
menandai
atau
melukiskan
coraknya
suatu
profesi.
Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber kehidupan. Profesionalisme itu berkaitan dengan komitmen para penyandang profesi. Untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus-menerus, mengembangkan strategi-strategi baru dalam tindakannya melalui proses pembelajaran yang terus-menerus pula. Untuk mencapai derajat profesionalisme yang tinggi, dibutuhkan proses profesionalisasi. Sementara profesionalisasi sendiri dimaknai sebagai suatu proses untuk menjadikan suatu pekerjaan untuk memperoleh status profesional. Danim (2011:105) menyatakan bahwa profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Sedangkan Mujtahid berpendapat bahwa profesionalisme dapat dipahami sebagai konsep yang mengacu kepada sikap seseorang atau kelompok memiliki sitem budaya yang mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi yang dilayani sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya (Mujtahid, 2009:91). Profesionalisme guru merupakan hasil dari profesionalisasi yang dijalaninya secara terus-menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan (preservice education), pendidikan dalam jabatan termasuk penataran (inservice training), pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargan masyarakat terhadap profesi keguruan,
penegakkan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, besar kecilnya gaji,
dan
lain-lain
secara
bersama-sama
menentukan
profesionalisme
guru
(Suprihatiningrum, 2014:81). Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 1 (4) tentang guru dan dosen, profesionalisme adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005). Dengan demikian, profesionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dilakukannya berbagai kegiatan kerja tertentu dalam kehidupan masyarakat dengan berbekal keahlian yang tinggi dan berdasarkan pada rasa keterpanggilan jiwa dengan semangat untuk melakukan pengabdian memberikan bantuan layanan pada sesama manusia.
Untuk
mewujudkan
hal
itu,
dan/atau
meningkatkan
profesionalisme
pendidikannya tersebut, seorang guru dituntut untuk mampu memberdayakan dirinya, dan meningkatkan kompetensi dirinya terkait dengan penguasaan pedagogik atau akademik yang dipikulnya sendiri. c. Karakteristik Guru Profesional Ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional. Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar dilingkungan profesinya (Suprihatiningrum, 2014:73). Pengukuhan guru sebagai profesi, menuntut guru untuk ikut mereformasi pendidikan, memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar di luar sekolah,
merombak struktur hubungan guru dan siswa, menggunakan teknologi modern dan menguasai IPTEK, kerja sama dengan teman sejawat antarsekolah, serta kerjasama dengan komunitas lingkungannya. Hal ini menunjukkan betapa tingginya tuntutan profesionalisme seorang guru. Jika tingkat kesejahteraan saat ini dirasakan tidak memadai oleh sebagian besar guru, untuk memenuhi tuntutan itu tampaknya sulit dicapai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Maslow (dalam Suprihatiningrum, 2014:74), bahwa kebutuhan paling mendasar seorang adalah survival biologis sehingga seorang guru secara naluriah akan mengutamakan keberlangsungan hidup dari pada memikirkan profesionalisme-nya. Ciri-ciri guru profesional menurut Danim (2012:106) antara lain: (1) memiliki kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan; (2) memiliki pengetahuan spesialisasi; (3) menjadi anggota organisasi profesi; (4) memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien; (5) memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable; (6) memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri atau self-organization; (7) mementingkan kepentingan orang lain; (8) memiliki kode etik; (9) memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas; (10) mempunyai sistem upah; (11) budaya profesional; dan (12) melaksanakan pertemuan profesional tahunan seperti forum guru, seminar, diskusi panel, dan workshop. Menjadi guru di era global pasti tidaklah mudah. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi agar ia dapat berkembang menjadi guru yang profesional. Secara akademik, agar guru menjadi seorang profesional harus memiliki ciri profesional antara lain (1) guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya; (2) guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; (3) guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai
cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar; (4) guru mampu berpikir secara sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya; (5) guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di Indonesia, PGRI dan organisasi profesi lainnya. Dari ciri-ciri tersebut mengindikasikan bahwa menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang gampang, seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, dengan bermodal penguasaan materi dan menyampaikan kepada siswa sudah cukup. Anggapan tersebut belumlah dapat dikategorikan sebagai guru yang memiliki pekerjaan profesional. Sebab, guru profesional harus memiliki berbagai keterampilan, kemampuan khusus, mencintai pekerjaannya, dan menjaga kode etik guru (Suprihatiningrum, 2014:74). Menurut Danim (2012:108), untuk melihat apakah seorang guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dilihat dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah dimana ia menjadi guru. Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan. Ketiga, kepemilikan sertifikat pendidik. Dalam UU No. 14 Tahun 2005, disebutkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. d. Memiliki kompetensi yang dipelukan sesuai dengan bidang tugas e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. d. Kompetensi Guru Guru seharusnya memiliki kompetensi yang matang dibidangnya karena guru akan menjadi pemicu bagi semangat belajar siswa sekaligus menjadi barometer sikap anak didik. Yusufhadi Miarso (2004:32) mengemukakan kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas, sedangkan tugas diartikan sebagai kegiatan nyata yang dilakukan sesuai dengan fungsi dalam kawasan/ bidang yang bersangkutan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan guru, biasanya berkisar pada persoalan kurang memadainya kualitas dan kompetensi guru, kurangnya tingkat kesejahteraan guru, perilaku guru, kurangnya etos kerja dan komitmen guru, kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, dan kurangnya profesionalisme guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Walaupun pemerintah bersama orang tua dan masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah telah melakukan berbagai upaya perbaikan profesi guru, namun berbagai masalah guru ini tetap muncul sebagai masalah utama dunia pendidikan di Indonesia (Sidi, 2001:37). Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Jadi, kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan-tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 pasal 10 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah (PP No.19/2005) pasal 28 ayat 3 dalam Suprihatiningrum (2014:100) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kepribadian,
sosial
dan
profesional.
Keempat
jenis
kompetensi
guru
beserta
subkompetensi dan indikator esensialnya diuraikan sebagai berikut: 1) Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut: a) Memahami peserta didik secara mendalam memiliki indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik. b) Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami landasan kependidikan, menetapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar, serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. c) Melaksanakan pembelajaran, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. d) Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (masteri learning), dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. e) Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi non-akademik (Suprihatiningrum, 2014:101).
2) Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci, subkompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Kepribadian yang mantap dan stabil, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum, bertindak sesuai norma sosial, bangga sebagai guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma. b) Kepribadian yang dewasa, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru. c) Kepribadian yang arif, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan pereta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. d) Kepribadian yang berwibawa, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. e) Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan, subkometensi ini memiliki indikator esensial: bertindak sesuai norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik (Suprihatiningrum, 2014:106). 3) Kompetensi Sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidik, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator sebagai berikut: a) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. b) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. c) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar (Suprihatiningrum, 2014:110). 4) Kompetensi profesional Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Subkompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut:
a) Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antarmata pelajaran terkait, dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. b) Menguasai struktur dan metode keilmuan, subkompetensi ini memiliki indikator esensial: menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi (Suprihatiningrum, 2014:114).
Keempat kompetensi (pedagogik, kepribadian, social dan profesional,) tersebut dalam prakteknya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemilahan menjadi empat ini semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa kali mengatakan istilah kompetensi profesional sebenarnya merupakan ”payung” karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Sedangkan penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary content) atau sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang menyebutkan bahwa sebagai guru yang kompeten memiliki (1) pemahaman terhadap karakteristik peserta didik, (2) penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun kependidikan, (3) kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, dan (4) kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan.
2. Motivasi Kerja a. Definisi Motivasi Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi memiliki komponen dalam dan komponen luar. Ada kaitan yang erat antara motivasi dan kebutuhan, serta drive dengan tujuan dan insentif (Aqib, 2002:50). Hal yang sama juga disampaikan oleh Djamarah (2011:148) bahwa motivasi adalah sebagai suatu pendorong yang mengubah
energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Santrock (2011: 199), motivasi (motivation) melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang mengandung energi, memiliki arah, dan dapat dipertahankan. Motivasi berasal dari kata motif, dalam bahasa Inggris adalah motive atau motion, lalu motivation, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak terjadinya tindakan, atau disebut dengan niat (Hikmat, 2011:71). Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya potensi bawahan agar mau bekerja secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Motivasi kerja terdiri dari dua kata yaitu motivasi dan kerja. Menurut Hasibuan (2003:95), Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerjasama dengan efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Sedangkan menurut Robbins (2001:166), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan terjadi apabila tidak ada keseimbangan antara apa yang dimiliki dan apa yang diharapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan dan pencapaian tujuan. Dan tujuan adalah sasaran atau hal yang ingin dicapai oleh seseorang individu. Motivasi merupakan penggerak dalam diri manusia untuk membuat serta memberikan arah kepada perbuatan. Produktivitas seseorang dalam suatu lembaga sebagian besar ditentukan oleh motivasi orang untuk menghasilkan sesuatu. Motivasi merupakan keadaan psikologis yang manifestasinya dapat diketahui melalui tingkah laku. Seseorang akan melakukan sesuatu pekerjaan dengan gigih kalau dia mempunyai motivasi
yang sangat kuat. Sebaliknya seseorang mungkin akan meninggalkan tugas atau kurang bergairah melakukan pekerjaan kalau tidak mempunyai motivasi untuk melakukannya. Jadi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan seseorang disamping memerlukan motivasi agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya (Sujanto, 2007:108). Kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental untuk mengerjakan suatu pekerjaan (Hasibuan, 2003:94). Menurut Fattah (2003:19), kerja merupakan kegiatan dalam
melakukan
sesuatu.
Motivasi
kerja
adalah
kondisi
yang
berpengaruh
membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja (Amirullah dkk, 2002:146). Selanjutnya menurut Winardi (2002: 6), motivasi kerja adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter, dan imbalan non moneter yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud motivasi kerja adalah sesuatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja individu atau kelompok terhadap pekerjaan guna mencapai tujuan. Motivasi kerja guru adalah kondisi yang membuat guru mempunyai kemauan/kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu melalui pelaksanaan suatu tugas. Motivasi kerja guru akan mensuplai energi untuk bekerja/mengarahkan aktivitas selama bekerja, dan menyebabkan seorang guru mengetahui adanya tujuan yang relevan antara tujuan organisasi dengan tujuan pribadinya. b. Teori-teori Motivasi Teori-teori motivasi kerja banyak lahir dari pendekatan-pendekatan yang berbedabeda, hal itu terjadi karena yang dipelajari adalah perilaku manusia yang komplek. Jadi
teori-teori ini perlu bagi organisasi dalam memahami karyawan (guru) dan mengarahkan karyawannya (guru) untuk melakukan sesuatu. 1) Teori Klasik Frederick W. Taylor Teori motivasi klasik mengikuti teori kebutuhan tunggal bahwa seseorang bersedia bekerja apabila ada imbalannya berupa satu macam barang, terutama uang. Konsepsi dasar teori motivasi klasik adalah seseorang akan bersedia bekerja dengan baik apabila ia berkeyakinan akan memperoleh imbalan yang ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan kerjanya (Taylor dalam Hikmat, 2011:274). 2) Teori Kebutuhan dari Abraham H. Maslow Teori motivasi kebutuhan ini mengikuti teori kebutuhan jamak bahwa seseorang berprilaku karena didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh pemenuhan dalam bermacam-macam kebutuhan. (Maslow dalam Hikmat, 2011:275) Menurut Maslow, ada lima macam jenjang kebutuhan. Istilah yang digunakan untuk menyebutkan lima macam kebutuhan tersebut sangat bervariasi, tetapi sebenarnya memiliki pengertian yang sama. Kelima macam kebutuhan serta jenjangnya adalah sebagai berikut: a. Psychological Needs (kebutuhan fisik) b. Safety needs atau Security needs (kebutuhan keselamatan atau kebutuhan keamanan. c. Affection needs atau love needs atau social needs atau belonging needs (kebutuhan berkelompok) d. Esteem needs atau egoistic needs (kebutuhan penghormatan e. Self-actualization needs atau self-realization needs atau self fulfillment needs atau self-experinces needs (kebutuhan pemuasan diri) 3) Teori dua faktor teori Herzberg.
Konsep dasar dari teori motivasi ini menyatakan bahwa dalam setiap pekerjaan akan terdapat dua faktor yang penting yang mempengaruhi pekerjaan, yaitu apakah pekerjaan tersebut akan dilaksanakan dengan baik atau tidak. Apabila dua faktor yang memengaruhi diperhatikan dengan baik, pelaksaan pekerjaan akan berjalan dengan baik. Dua faktor tersebut adalah faktor syarat kerja dan faktor pendorong. Yang termasuk faktor syarat kerja terdiri atas sepuluh macam, yaitu: (a) kehidupan pribadi; (b) gaji; (c) kondisi kerja; (d) keamanan kerja; (e) hubungan antara pribadi dan bawahan; (f) hubungan antar pribadi dan sesamanya; (g) hubungan antara pribadi dan atasan; (h) teknik pengawasan; (i) status; (j) kebijaksanaan dan administrasi instansi. Adapun faktor pendorong ada enam macam, yaitu: (a) tanggung jawab; (b) potensi tumbuh; (c) pekerjaan itu sendiri; (d) kemajuan; (e) pengakuan; (f) prestasi (Herzberg dalam Hikmat, 2011:279) 4) Teori Pemeliharaan dan Pendorong dari M. Scoot Myer. Menurut teori ini, ada dua faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan, yaitu kebutuhan pemeliharaan dan kebutuhan pendorongan. Kebutuhan pemeliharaan terdiri dari empat macam, yaitu: (a) kebutuhan fisik; (b) kebutuhan ekonomi; (c) kebutuhan keamanan; (d) kebutuhan orientasi; (e) kebutuhan status; (f) kebutuhan sosial. Adapun yang termasuk kebutuhan pendorong adalah pelimpahan, memasukkan informasi, bebas bertindak, suasana pengabsahan, keterlibatan, penentuan tujuan, perencanaan, pemecahan masalah, penyederhanaan kerja, penghargaan kerja, peningkatan jasa, kebijaksanaan hadiah, pengambilan laba, penggunaan bakat, pekerjaan itu sendiri, penemuan, publikasi, pertumbuhan organisasi, kenaian, pemindahan/mutasi, pendidikan dan keanggotaan (Myer dalam Hikmat, 2011:279) 5) Teori Preference-Expectation dari Voctor H. Vroom
Konsep dasar dari teori preference-explectation atau pengutamaan pengharapan adalah seseorang akan terdorong untuk bekerja dengan baik apabila akan memperoleh sesuatu imbalan yang saat itu sedang dirasakan sebagai kebutuhan pokok yang harus segera dipenuhi. Berdasarkan pada lima teori di atas, maka pada penelitian ini yang sesuai adalah teori dua faktor Herzberg untuk yang motivator. Karena Herzberg mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. Herzberg mengatakan bahwa memberikan seseorang kenaikan gaji atau kondisi kerja yang baik tidak dapat memotivasinya karena kebutuhan tingkat rendah dapat dipenuhi secara cepat. Implikasi teori ini ialah bahwa seorang pekerja mempunyai persepsi berkarya tidak hanya sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai wahana untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya, bagaimanapun kebutuhan itu dikategorisasikan. Indikator dalam penelitian ini meliputi: (1). Kebutuhan akan Prestasi; (2). Kebutuhan akan pengakuan; (3). Pekerjaan itu sendiri; (4). Tanggung jawab; dan (5). Kebutuhan untuk berkembang/kemajuan (Hikmat, 2011:280). c. Kedudukan Motivasi Kerja dalam Meningkatkan Kinerja Motivasi kerja merupakan suatu dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan. Motivasi kerja erat hubungannya dengan kinerja atau performansi seseorang. Pada dasarnya motivasi kerja seseorang itu berbeda-beda. Ada motivasi kerjanya tinggi dan ada motivasi kerjanya rendah, bila motivasi kerjanya tinggi maka akan berpengaruh pada kinerja yang tinggi dan sebaliknya jika motivasinya rendah maka akan menyebabkan kinerja yang dimiliki seseorang tersebut rendah. Jika guru mempunyai motivasi kerja tinggi maka ia akan bekerja dengan keras, tekun, senang hati, dan dengan dedikasi tinggi sehingga hasilnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
3. Kedisiplin Kerja Istilah disiplin mengandung banyak arti. Echlos dan Shadly (2000:385) mengemukakan bahwa disiplin berasal dari kata ”disipline” yang berarti ketertiban. Hasibuan (2002:94) menjelaskan disiplin adalah mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaan sesuai dengan intruksi yang diberikan kepadanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa disiplin adalah proses mengarahkan, mengabdikan kehendak-kehendak
langsung,
dorongan-dorongan,
keinginan
atau
kepentingan-
kepentingan, kepada suatu cita-cita, atau tujuan tertentu untuk mencapai efek yang lebih besar. Disiplin adalah setiap hal ataupun penaruh yang dibutuhkan untuk membantu seseorang agar dia dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan juga penting tentang tata cara menyelesaikan tuntutan yang mungkin ingin ditunjukkan peserta didik terhadap lingkungannya (Rohani, 2004:133-134). Disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat yang berupa ketaatan terhadap peraturan ditetapkan etik, norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat untuk tujuan tertentu (Sulistyani, 2011:328). Disiplin kerja adalah suatu tindakan yang mendidik seseorang agar berikap dan bertingkah laku sesuai dengan ketentuan atau pedoman yang telah ditetapkan (El Widdah, dkk., 2012:128). Disiplin mengacu pada pola tingkah laku dan cirri-ciri sebagai berikut: 1) Adanya hasrat yang kuat melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah menjadi norma, etika dan kaidah yang berlaku, 2) Adanya perilaku yang dikendalikan, dan 3) Adanya ketaatan (obedience) (Sulistyani, 2011:328). Disiplin adalah suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan mereka. Disiplin yang meliputi ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata tertib dan sebagainya. Berdisilpin berarti menaati (peraturan tata tertib). Disiplin dalam bentuk perilaku atau tingkah laku yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik yang ditetapkan secara
individu ataupun kelompok sejak aturan itu diterapkan atau diberlakukan. Menegakkan disiplin tidak bertujuan mengurangi kebebasan dan kemerdekaan seseorang akan tetapi sebaliknya ingin memberikan kemerdekaan yang lebih besar kepada ia dalam batas-batas kemampuannya (Kompri, 2014:59). Kedisiplinan kerja yaitu kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran yang dimaksud adalah sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kedisiplinan kerja diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, memenuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Hasibuan, 2002: 34). Dalam penelitian ini yang dimaksud disiplin kerja adalah kesadaran guru dalam mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas serta tanggung jawabnya sebagai pengajar. Baik datang maupun pulang, dalam memberikan bahan pengajaran, memberikan sangsi bagi siswa dan tingkah laku guru tersebut. Disiplin yang berasal dari diri sendiri timbul disebabkan oleh kemauan sendiri dalam mematuhi ketentuan yang berlaku. Untuk setiap guru diharapkan melaksanakan ketentuan dan peraturan yang berlaku tanpa harus menunggu perintah dan teguran dari atasan atau kepala sekolah. Disiplin yang terwujud berdasarkan kesadaran guru dapat menumbuhkan suasana yang harmonis, karena didasari rasa saling percaya, sehingga tercipta iklim yang sehat, rasa persaudaraan yang erat dan rasa tenteram dalam melaksanakan tugas. Apabila disiplin dalam pribadi setiap guru telah tumbuh maka memungkinkan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Guru akan senang melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku seperti ia akan berbuat sesuai dengan jadwal yang telah ditentutukan, meskipun ia tidak dapat melaksanakan tugasnya namun ia berusaha agar kelas tidak kosong dengan jalan
memberikan tugas atau latihan kepada siswa, atau tugas lain yang berkenaan dengan pembelajaran. Dari pngertian di atas dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan adalah kesediaan dan kesadaran seseorang dalam mentaati peraturan, melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepandanya, bertumpu pada etos kerja, bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan semangat.
4. Kinerja Guru Honorer a. Definisi Kinerja Kinerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan, menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan harapan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dilihat dari arti kata kinerja berasal dari kata Performance ( Supardi, 2013: 45). Dalam bahasa Inggris istilah kinerja adalah performance. Performance merupakan kata benda. Salah satu entry-nya adalah “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Jadi arti Performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Menurut Mangkunegara (2001:67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian penghargaan yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian penghargaan yang tidak tepat dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang.
Menurut Robet Bacal (2005:3) kinerja adalah proses komunikasi yang berlangsung terus menerus, yang dilaksanakan kemitraan, antara seorang guru dan siswa dengan terjadinya proses komunikasi yang baik antar kepala sekolah dengan guru, dan guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dapat mempercepat pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan oleh guru, dan ini merupakan suatu sistem kinerja yang memberi nilai tambah bagi sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas siswa dalam belajar. Sedangkan Whitmore (dalam Uno dan Nina Lamatenggo, 2014:59) secara sederhana mengemukakan, kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Pengertian menurut Whitmore merupakan pengertian yang menuntut kebutuhan yang paling minim untuk berhasil. Oleh karena itu, Whitmore mengemukakan pengertian kinerja yang dianggapnya representatif, maka tergambarnya tanggung jawab yang besar dari pekerjaan seseorang. “Kinerja sebagai suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu” (Hasibuan, 2003:34). Dengan demikian, kinerja guru adalah persepsi guru terhadap prestasi kerja guru yang berkaitan dengan kualitas kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa. b. Penilaian Kinerja Kinerja mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan usaha untuk mencapai tingkat produktivitas organisasi yang tinggi. Untuk mengetahui apakah tugas, tanggung jawab dan wewenang guru sudah dilaksanakan atau belum maka perlu adanya penilaian objektif terhadap kinerja. Penilaian pelaksanaan pekerjaan ini adalah suatu proses yang dipergunakan oleh organisasi untuk menilai pelaksanaan pekerjaan pegawai. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya mengadakan penilaian terhadap kinerja organisasi merupakan hal
yang penting. Berbicara tentang kinerja guru erat kaitannya dengan standar kinerja yang dijadikan ukuran dalam mengadakan pertanggungjawaban. Penilaian kinerja bermanfaat untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan organisasi sesuai dengan standar yang dibakukan dan sekaligus sebagai umpan balik bagi pekerja sendiri untuk dapat mengetahui kelemahan, kekurangannya sehingga dapat memperbaiki diri dan meningkatkan kinerjanya. Menilai kinerja guru adalah suatu proses menentukan tingkat keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas-tugas pokok mengajar dengan menggunakan patokanpatokan tertentu. melakukan perubahan yang mendasar tentang standar kinerja guru, dan secara garis besar. Masih mengacu pada rumusan 12 kompetensi dasar yang Kinerja guru adalah kemampuan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, yang dilihat dari penampilannya dalam melakukan proses belajar mengajar. Diknas sampai saat ini belum harus dimiliki guru yaitu: (1) menyusun rencana pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran; (3) menilai prestasi belajar; (4) melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi bbelajar peserta didik; (5) memahami landasan kependidikan; (6) Memahami kebijakan pendidikan; (7) memahami tingkat perkembangan siswa; (8) Memahami pendekatan pembelajaran yang sesuai materi pembelajaran; (9) Menerapkan kerjasama dalam pekerjaan; (10) Memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan; (11) Menguasai keilmuan dan ketrampilan sesuai materi pembelajaran; dan (12) Mengembangkan profesi (Depdikbud, 2004:7). Keduabelas kompetensi inilah yang dapat dilihat melalui alat penilaian kemampuan guru (APKG). Aspek-aspek APKG secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga kemampuan, yaitu : (1) Kemampuan guru dalam membuat perencanaan pengajaran; (2) Kemampuan guru dalam mengajar di kelas; (3) Kemampuan guru dalam mengadakan hubungan antar pribadi. Menurut Sudjana (2002:17) kinerja guru
dapat
dilihat
dari
kompetensinya
melaksanakan
tugas-tugas
guru,
yaitu:
(1)Merencanakan proses belajar mengajar; (2) Melaksanakan dan mengelolah proses belajar mengajar; (3) Menilai kemajuan proses belajar mengajar; dan (4) Menguasai bahan pelajaran. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Menurut Mathis dan Robert L. Jackson (2001:82) banyak faktor yang mempengaruhi kinerja dari individu tenaga kerja, antara lain : 1) kemampuan, 2) motivasi, 3) dukungan yang diterima, 4) keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan 5) hubungan mereka dengan organisasi. Menurut Gibson, et al dalam Yamin (2010:102) ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu: 1) Variabel individual meliputi kemampuan dan ketrampilan (mental dan fisik), latar belakang (keluarga, tingkat sosial, penggajian) dan demografis (umur, asal-usul, jenis kelamin) 2) Variabel organisasional meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan 3) Variabel psikologis meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Ketiga variabel tersebut berhubungan satu sama lain dan saling pengaruhmempengaruhi. Gabungan variabel individu, organisasi, dan psikologis sangat menentukan bagaimana seseorang mengaktualisasikan diri. Menurut Syafri Mangkuprawira dan Aiada Vitayala dalam Yamin (2010:155). Kinerja merupakan suatu kontruksi multi dimensi yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya, faktor tersebut adalah : a) Faktor Personal/individual, meliputi unsur pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepecayaan diri,motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh tiap individu guru. b) Faktor kepemimpinan, meliputi aspek kualitas manajer dan team leader dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan kerja pada guru. c) Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesema anggota tim, kekompakan, dan keeratan anggota tim.
d) Faktor system, meliputi system kerja, fasilitas kerja yang diberikan oleh pimpinan sekolah, proses organisasi dan kultur kerja dalam organisasi (sekolah). e) Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal (Syafri Mangkuprawira dan Aiada Vitayala dalam Yamin 2010:155). Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi kinerja guru. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri, dan juga dapat berasal dari luar atau faktor situasional. Disamping itu, kinerja dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan individu. d. Guru Honorer Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi dan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi (Idi, 2014:256). Guru memiliki peranan penting dalam rangka membangun peradaban bangsa. Hal ini sebagai perwujudan pengembangan profesionalisme guru dalam mendidik, membimbing, mengevaluasi dan menindak lanjuti proses belajar-mengajar di sekolah kepada peserta didiknya. Seorang guru harus memiliki visi yang jelas dan tegas untuk menjadi seorang guru profesional. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki niat yang tulus dan ikhlas untuk menjalani profesinya (Rohmadi, 2012:12). Berdasarkan status kepegawainnya, guru di sekolah terbagi menjadi: guru berstatus pegawai negeri, guru kontrak, guru bantu, dan guru honorer. Honorer dalam Bahasa Inggris berasal dari kata honor yang artinya kehormatan. Horarium artinya memberikan honor terhadap hasil kegiatan yang dilakukan seseorang. Dalam kamus Bahasa Indonesia tenaga honorer adalah tenaga yang dibayar dengan uang honorarium. Guru
honor merupakan guru yang diangkat secara resmi oleh pemerintah dan sekolah untuk mengatasi kekurangan guru (Mulyasa, 2015:201). Peraturan Pemerintah (PP Nomor 48 Tahun 2005) pasal 1 ayat (1) menyatakan: Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain dalam pmerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN/APBD. Tenaga honorer atau yang sejenis yang dimaksud dalam peraturan penerintah ini termasuk guru bantu, guru honorer, guru wiyata bhakti, pegawai honorer, pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, dan lain-lain yang sejenis. Pada pasal 2 dijelaskan bahwa pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) berdasarkan PP ini, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah. Pengangkatan tenaga honorer dibatasi sampai dengan tahun 2005 setelah itu berdasarkan PP No.48 Tahun 2005 tidak diperkenankan lagi untuk melakukan pengangkatan tenaga honorer, namun pada kenyataannya banyak dilakukan pengangkatan tenaga honorer dengan SK kepala instansi dan kepala daerah yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan tenaga honorer, selain itu permasalahan pada PP No.48 Tahun 2005 adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini dilaksanakan sampai dengan tahun anggaran 2009, namun sampai dengan tahun 2007 dalam hal proses pengangkatan terdapat berbagai permasalahan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan PP. No. 48 Tahun 2005. Pasal 3 ayat (1) berbunyi: pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diprioritaskan bagi yang melaksanakan tugas sebagai: (1)Tenaga guru; (2) Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan; (3) Tenaga penyuluhan dibidang pertanian, perikanan, peternakan; dan (4) Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Ketentuan pasal 3 ayat (1) di atas artinya bahwa tenaga honorer dibutuhkan untuk memenuhi formasi yang lowong agar kegiatan pelayanan dapat berjalan dengan baik, tetapi sesuai dengan ketentuan PP No. 48 tahun 2005 yaitu; pertama, pengangkatan tenaga honorer itu diutamakan untuk tenaga guru yang akan ditempatkan di sekolah-sekolah yang ada di daerah mengingat jumlah guru yang ada masih kurang dibandingkan jumlah sekolah dan siswa di daerah-daerah pedalaman. Kedua, pengangkatan diutamakan kepada mereka yang bergelut pada bidang medis seperti dokter, perawat, bidan yang biasanya ditempatkan pada puskesmas-puskesmas yang ada di daerah. Ketiga, tenaga penyuluh pertanian maupun peternakan dengan tujuan dapat dengan cepat dan mudah membantu petani atau peternak di desa dalam memberikan informasi terhadap masalah pertanian maupun peternakan. Ketiga tenaga tersebut diprioritaskan karena untuk mempercepat, mempermudah pelayanan kepada masyarakat. Pengadaan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil sangat dinantikan oleh para guru honorer, sehingga PP No.48 tahun 2005 menjadi angin segar bagi mereka. Peraturan tersebut berisi: ”bagi honorer yang berusia paling tinggi 46 tahun dan telah bekerja selama 20 tahun atau lebih dapat diangkat menjadi calon guru tetap setelah melalui seleksi administratif, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi. Selanjutnya guru honorer yang telah bekerja kurang dari 20 tahun, pengangkatanya menjadi calon guru tetap selain seleksi administratif, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi. Mereka diwajibkan mengisi atau menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tentang tata pemerintahan yang baik antar sesama guru honorer yang pelaksanaannya terpisah dengan pelamar umum. (Jaya dalam Syufi Azami, 2010:24). Mulyasa (2015:201) mengatakan bahwa guru honorer memiliki hak dan kewajiban yang antara lain:
1.
2.
Hak guru honorer a. Honorarium perbulan b. Cuti berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan c. Perlindungan hukum Kewajiban guru honorer a. Melaksanakan tugas mengajar, melatih, membimbing dan unsur pendidikan lainnya kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan yang berlaku b. Melaksanakan tugas-tugas administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku c. Mematuhi segala ketentuan yang berlaku di sekolah tempat tugasnya. d. Mematuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK) Mulyasa (2015:201).
Berdasarkan keputusan Gubernur No.8 tahun 2004, guru honorer berhak mendapatkan gaji. Gaji adalah hak yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemerintah daerah kepada guru honorer. Gaji yang diberikan sesuai dengan kedudukannya. Guru honorer dapat diberikan kesejahteraan yang bersifat materiil dan non materiil. Kesejahteraan yang bersifat materil adalah tunjangan profesi, tunjangan transport dan uang makan, tunjangan kecelakaan apabila mengalami kecelakaan pada saat melaksanakan tugas, uang duka terhadap keluarga guru yang meninggal dunia dan pakaian dinas. Kesejahteraan yang bersifat non materiil adalah penghargaan sebagai guru honorer
B. Penelitian Yang Relevan Telah banyak penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu mengenai profesionalisme guru, motivasi kerja, kedisiplinan kerja dan kinerja guru. Variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap kinerja guru sehingga penelitian tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian Yustiawan (2014), yang berjudul ”Pengaruh Motivasi dan Kompetensi Profesional Guru yang Bersertifikasi Terhadap Kinerja Guru di SMP Negeri Surabaya”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi guru yang berprestasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru di SMP Negeri 1 Suabaya dengan nilai t=9,837 dengan signifikan (0,000) <
(0,05), kompetensi profesionalisme guru yang telah bersertifikasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru di SMP Negeri 1 Surabaya dengan nilai t=2,850 dengan dignifikan (0,007) < (0,05), motivasi dan kompetensi profesional guru yang secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru di SMP Negeri Surabaya dengan nilai F=77,993 dengan signifikan (0,00)< (0,05), nilai koefisiendeterminas disesuaikan (R Square) sebesar 0,784 artinya 78,4% kinerja guru di SMP Negeri 1 Surabaya dipengaruhi oleh motivasi dan kompetensi profesional, dan selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah pemilihan variabel penelitian dan obyek penelitian. Dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel bebas sedangkan penelitian terdahulu hanya terdiri dari dua variabel bebas. Selanjutnya dalam penelitian ini kinerja yang diukur adalah kinerja guru honorer sejarah di SMA se-Kabupaten Bima, sedangkan dalam penelitian terdahulu yang diukur adalah kinerja guru pada salah satu SMP negeri di Surabaya. Kedua, penelitian Jarwadi (2001), yang berjudul ”Kemampuan Profesionalisme Guru Sejarah Ditinjau Dari Pemahaman Dan Pemilihan Buku Pelajaran Dan Penyusunan Alat Evaluasi Studi Kasus Pengajaran Sejarah SMA Di Kabupaten Pati”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan guru sejarah berjenjang antara guru satu dengan yang lainnya. Pengajaran sudah berjalan baik, walaupun cenderung bersifat monoton dan belum berkembang. Kendala yang dipandang oleh guru sejarah dalam melaksanakan profesinya muncul dari pengajaran di kelas dan kondisi sekolah secara menyeluruh. Kreatifitas guru sejarah belum berkembang sesuai dengan profesionalisme jabatan guru sejarah. Adapun relevansi dalam penelitian ini adalah tentang profesionalisme guru ditinjau dari pemahaman dan pemilihan buku pelajaran dan penyusunan alat evaluasi, maka penelitian yang dilaksanakan bersifat mengembangkan pada penelitian yang sudah ada, sehingga layak dilaksanakan.
Ketiga, penelitian Rahayu (2000), yang berjudul ”Kualitas Guru Sejarah Ditinjau Dari Kemampuan Profesional Studi Kasus Di SMA Se-Kota Surakarta”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan profesional guru sejarah masih perlu ditingkatkan, karena proses pembelajaran sejarah baik di SMA negeri maupun di SMA swasta belum dikelola secara profesional. Masih banyak guru yang mengajar sejarah secara konvesional, mendominasi kegiatan dan materi pembelajaran, sehingga siswa pasif. Adapun relevansi dalam penelitian ini adalah tentang kualitas guru sejarah ditinjau dari kemampuan profesionalnya, sedangkan perbedaannya dengan penelitian
terdahulu yaitu ia lebih
menekankan pada guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada profesionalisme guru honorer. Keempat, penelitian Arifin yang dimuat dalam journal International education study, Vol.8 (1) tahun 2015 dengan judul ”The influence of competence, motivation, and organizational culture to high school teacher job satisfaction and performance”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan budaya organisasi mempengaruhi secara positif dan secara signifikan kepuasan kerja guru, tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kinerja guru. Kompetensi dan kepuasan kerja mempengaruhi secara positif dan secara signifikan pada kinerja guru, budaya organisasi bahkan hanya memiliki efek positif tetapi tidak signifikan untuk kepuasan kerja, sedangkan motivasi tidak mempengaruhi secara signifikan pada kinerja guru. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada variabel penelitian, penelitian yang terdahulu menyoroti masalah kompetensi, motivasi dan budaya organisasi, sedangkan penelitian ini menyoroti tentang profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja. Namun, kedua penelitian ini memiliki kesamaan hasil pada salah satu variabel penelitian yaitu variabel motivasi, dimana variabel motivasi pada kedua penelitian ini tidak signifikan dengan kinerja guru.
Kelima, Penelitian Muhammadi, dkk yang dimuat dalam Jurnal of Management and Sustainability, Vol.5 (2) tahun 2015 dengan judul ”The Madrasah Leadership, Teacher Performance And Learning Culture To Improve Quality At Madrasah Tsanawiyah Negeri Jakarta Of South”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi antara kepemimpinan madrasah dengan kualitas madrasah. Dan ada hubungan kinerja guru dengan kualitas madrasah. Untuk menghasilkan kualitas madrasah yang tinggi dapat dilakukan dengan meningkatkan kepemimpinan madrasah, kinerja guru dan budaya belajar di madrasah. Jika kepemimpinan madrasah, kinerja guru dan belajar budaya rendah, akan menghasilkan kualitas yang lebih rendah di madrasah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada variabel penelitian dan objek penelitian. Penelitian ini menyoroti masalah profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja terhadap kinerja guru, sedangkan penelitian terdahulu menyoroti masalah kepemimpinan, kinerja guru dan kualitas madrasah. Selanjutnya, penelitian ini mengambil objek di SMA se-Kabupaten Bima, sedangkan penelitian terdahulu mengambil objek di madrasah. Keenam, Penelitian Tayyeb Alam and Sabeen Farid yang dimuat dalam Internasional Journal of Business and Social Scince Vo.2 (1) Januari 2011 dengan judul ”Factors Affecting Teachers Motivatioan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat motivasi guru ditingkat sekolah menengah di kota Rawalpindi adalah disebabkan oleh ketidakpuasannya dengan status sosial ekonomi mereka, pilihan profesi, dan perilaku siswa. Sejumlah guru merasa bahwa mereka tidak dibayar sesuai dengan kemampuan mereka. Guru dianjurkan harus mendapat pelatihan guru, dihormati dan harus dibayar sesuai dengan kualifikasi dan kemampuan mereka. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada variabel penelitian. Variabel penelitian terdahulu hanya menyoroti tentang motivasi guru, sedangkan pada penelitian ini menyoroti tiga variabel bebas yaitu profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja guru.
Ketujuh, Penelitian Rajiv et.al yang dimuat dalam European Journal of marketing, volume 37 (1-2) tahun 2003 dengan judul ”Leadership style, motivation and performance in international marketing channels”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi mempunyai kontribusi yang cukup baik terhadap performa kerja individu, termasuk dalam menyelesaikan tugas. Individu yang mempunyai motivasi cenderung untuk berpikir dan bertindak pada orientasi hasil yang maksimal berdasarkan aturan yang telah ditetapkan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan maksimal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada variabel penelitian. Variabel penelitian terdahulu menyoroti tentang gaya kepemimpinan, motivasi dan performa kerja individu, sedangkan pada penelitian ini menyoroti profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja guru. Kedelapan, Penelitian Oluniyi yang dimuat dalam Internasional journal of humanities and social science, vol. 3 (5) Maret 2013 dengan judul ”a Critique of teaching professional and teacher education in Nigeria”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, guru pada tahun 1960-1985 menikmati status yang lebih tinggi dari pada guru tahun 1985-2011. Situasi ini demikian merosot sehingga profesi mengajar merupakan pilihan terakhir dalam mencari pekerjaan. Berbagai langkah telah dilakukan untuk meningkatkan profesi guru ini diantaranya peningkatan gaji, diberikannya insentif seperti pinjaman lunak guru oleh pemerintah, dan peningkatan profesionalisasi mengajar guru. Perbedaan dengan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini mencari ada tidaknya pengaruh profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja guru terhadap kinerja guru, sedangkan penelitian terdahulu lebih kepada mengkritisi pfofesi guru yang ada di Nigeria.
C. Kerangka Pikir Kerangka berfikir merupakan alur penalaran yang didasarkan pada tema masalah penelitian yang digambarkan secara menyeluruh dan sistematis setelah mempelajari teori yang mendukung judul penelitian. Menurut Sugiyono (2013:47) kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah yang penting. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah: 1. Pengaruh profesionalisme terhadap kinerja guru honorer Berdasarkan kerangka teoritis mengenai profesionalisme guru adalah suatu paham yang menciptakan dilakukannya berbagai kegiatan kerja tertentu dalam kehidupan masyarakat dengan berbekal keahlian yang tinggi dan berdasarkan pada rasa keterpanggilan jiwa dengan semangat untuk melakukan pengabdian memberikan bantuan layanan pada sesama manusia. Untuk mewujudkan hal itu, dan/atau meningkatkan profesionalisme
pendidikannya
tersebut,
seorang
guru
dituntut
untuk
mampu
memberdayakan dirinya, dan meningkatkan kompetensi dirinya terkait dengan penguasaan pedagogik atau akademik yang dipikulnya sendiri. Sebagai pendidik, untuk melaksanakan tugas supaya kinerjanya tetap baik, seorang guru haruslah memenuhi empat kompetensi dengan berbagai aspek didalamnya. Keempat kompetensi tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 pasal 10 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah (PP No.19/2005) pasal 28 ayat 3 dalam Suprihatiningrum (2014:100), yang indikator esensialnya antara lain: a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. b. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. c. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidik, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. d. Kompetensi profesional Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Keempat kompetensi (pedagogik, kepribadian, social dan profesional,) tersebut dalam prakteknya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemilahan menjadi empat ini semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa kali mengatakan istilah kompetensi profesional sebenarnya merupakan ”payung” karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Sedangkan penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary content) atau sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang menyebutkan bahwa sebagai guru yang kompeten memiliki (1) pemahaman terhadap karakteristik peserta didik, (2) penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun kependidikan, (3)
kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, dan (4) kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, Semakin tinggi profesionalisme seorang guru berarti semakin tinggi pula kinerja yang dilakukan oleh seorang guru, dan semakin rendah profesionalisme seorang guru maka semakin rendah pula kinerja seorang guru tersebut. 2. Pengaruh motivasi terhadap kinerja guru honorer Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih baik dari setiap pekerja. Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi atau memberikan motivasi seperti pemberian gaji yang cukup, pengakuan prestasi kerja, penempatan pekerja sesuai dengan harapan, merupakan suatu contoh yang dapat memberikan dorongan bagi pekerja, sehingga akan dapat mempengaruhi produktivitas kerja yang pada gilirannya dapat menimbulkan peningkatan kinerja guru. Motivasi juga mengandung pengertian adalah dorongan yang timbul dari diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Guru yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha untuk memberikan yang terbaik yang bisa dilakukannya, karena iya mempunyai komitmen yang tinggi terhdap panggilan profesinya. Guru bekerja tidak hanya karena ingin dipuji atau untuk mendapatkan imbalan, tetapi lebih dari itu karena tuntutan profesinya. Beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya motivasi guru, antara lain: a. Dorongan untuk bekerja, meliputi: (a) keinginan untuk memperoleh kebanggaan, (b) keinginan untuk berprestasi yang lebih tinggi, (c) keinginan untuk memperoleh penghargaan, (d) keinginan untuk memperoleh kesejahteraan, (e) keinginan untuk memperoleh perhatian pimpinan, dan (f) keinginan untuk memperoleh promodi. b. Tanggung jawab terhadap tugas yang meliputi: (a) keinginan untuk memberi sumbangan yang berguna, (b) keinginan untuk memperhatikan masa yang akan dating, (c) keinginan untuk mengambil resiko, dan (d) keinginan untuk bertanggung jawab.
Dengan demikian, factor-faktor motivasi kerja ini terkait dengan indicator kinerja, sehingga dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara motivasi terhadap kinerja guru honorer sejarah. 3. Pengaruh kedisiplinan kerja terhadap kinerja guru honorer Disiplin kerja guru adalah suatu ketertiban yang menunjuk pada ketetapan yang menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam usaha mencapai tujuan sekolah. Adapun indikasi indikasi disiplin kerja antara lain: taat pada peraturan, melaksanakan tugas, bertumpu pada etos kerja, bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan semangat. Hasibuan (2002:34) menegaskan bahwa kedisiplinan kerja yaitu kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran yang dimaksud adalah sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kedisiplinan kerja diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, memenuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Dalam penelitian ini yang dimaksud disiplin kerja adalah kesadaran guru dalam mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas serta tanggung jawabnya sebagai pengajar. Baik datang maupun pulang, dalam memberikan bahan pengajaran, memberikan sangsi bagi siswa dan tingkah laku guru tersebut. Oleh karena itu, kedisiplinan kerja yang efektif dapat mendorong guru untuk meningkatkan kinerjanya. Atas dasar tersebut, diasumsikan terdapat pengaruh yang positif antara disiplin kerja terhadap kinerja guru honorer. 4. Pengaruh profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja terhadap kinerja guru honorer
Dalam lembaga pendidikan factor guru sebagai sumber daya manusia merupakan bagian penting dalam menentukan keberhasilan sekolah, pengembangan sumber daya manusia meliputi pengembangan individu , pengembangan karir dan pengembangan organisasi, guru sebagai individu dituntut untuk memiliki profesionalisme didalam melaksanakan tugasnya, guru juga harus mempunyai motivasi dan kedisiplinan yang tinggi. Profesionalisme dapat di artikan sebagai komitmen seseorang atau anggota suatu profesi untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Motivasi kerja merupakan dorongan kebutuhan seperti: gaji, dan upah yang merupakan salah satu bagian dorongan atau motivasi yang memungkinkan guru dapat berkembang meningkatkan kinerjanya. Kedisiplinan yang baik akan menjadi bagian dari upaya meningkatkan produktivitas kerja. Sedangkan kinerja itu sendiri adalah sebagai fungsi interaksi antara kemampuan/keahlian dengan motivasi dan persyaratan pekerjaan tertentu yang memungkinan seorang pekerja dapat berkinerja dengan baik serta menggunakan segala potensinya yang mendukung keberhasilan kerja. Dengan demikian dapat diduga bahwa profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplian kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja guru.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Profesionalisme Guru (X1) Kinerja Guru (Y)
Motivasi Kerja (X2) Type equation here.
Kedisiplinnan Kerja (X3) Gambar.1 Skema Kerangka Pemikiran Uraian kerangka di atas dapat dijelaskan bahwa antara profesionalisme (X1), motivasi kerja (X2), disiplin kerja (𝑋3 ) dan kinerja guru honorer (Y) mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan artinya apabila proses pembelajaran didukung dengan pemahaman, mutu profesionalitas, motivasi kerja, dan disiplin kerja maka pada akhirnya akan diperoleh kinerja guru yang optimal.
D. Hipotesis Menurut Sugiyono (2013:93) “hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Pada penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut : 1.
Ada pengaruh yang signifikan antara profesionalisme guru terhadap kinerja guru honorer sejarah di SMA se-Kabupaten Bima
2.
Ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja guru honorer sejarah di SMA se-Kabupaten Bima
3.
Ada pengaruh yang signifikan antara kedisiplinan kerja terhadap kinerja guru honorer sejarah di SMA se-Kabupaten Bima
4.
Ada pengaruh yang signifikan antara profesionalisme guru, motivasi dan kedisiplinan kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru honorer sejarah di SMA seKabupaten Bima.