16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR Dalam bab ini, peneliti akan menjabarkan tentang teori-teori relevan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori penerjemahan, penerjemahan novel, stilistika, dan majas hiperbola. Selain itu, peneliti juga akan menyajikan kerangka pikir penelitian untuk memudahkan pembaca memahami alur penelitian yang dilakukan oleh peneliti. A. Kajian Teori 1.
Penerjemahan
a) Pengertian Penerjemahan Pengertian penerjemahan telah dipaparkan oleh beberapa ahli, secara umum, penerjemahan merupakan proses mentransfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Menurut Widyamartaya (1989:38), “penerjemahan adalah proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber) menjadi ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya dalam bahasa yang lain (bahasa sasaran).” Menurut Catford (dalam Suryawinata dan Hariyanto, 2003:11), “translation is the replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another language.” Definisi tersebut, menurut Catford, lebih menekankan materi tekstual yang ada pada bahasa sumber dan padanannya dalam bahasa sasaran. Sedangkan
menurut
Newmark
(1988:5),
penerjemahan
merupakan
proses
menyampaikan pesan dari teks bahasa sumber sesuai dengan yang diharapkan penulis aslinya ke dalam bahasa sasaran. Selanjutnya, Savory dalam bukunya yang berjudul The Art of Translation (dikutip oleh Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 12), menyatakan bahwa “translation is made possible by an equivalent of thought that lies behind its different verbal expressions.” Dalam definisi tersebut, Savory hanya menegaskan kesepadanan ide atau makna antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Selanjutnya, menurut Nida dan Taber (dalam kutipan Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 12), “translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Pengertian commit to user penerjemahan menurut Nida dan Taber tersebut menyatakan bahwa penerjemahan tidak 16
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya mencakup tentang kesepadanan pesan dalam bahasa sumber dengan bahasa sasaran, namun ada aspek lain yang diperhatikan, yaitu style (gaya). Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan merupakan pengungkapan kembali pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan memperhatikan aspek kesepadanan isi pesan dan juga gaya bahasa yang digunakan. Maka dapat dikatakan bahwa seorang penerjemah haruslah memperhatikan aspek-aspek yang terkandung dalam bahasa sumber agar penyampaian pesan dapat tercapai dengan baik dan sepadan dalam bahasa sasaran.
b) Teknik Penerjemahan Menurut Molina dan Albir (2002: 509), teknik penerjemahan adalah suatu prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasi proses kesepadanan terjemahan. Teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik dasar (Molina dan Albir, 2002:509), yaitu: a.
Mempengaruhi hasil terjemahan.
b.
Diklasifikasikan dengan membandingkan teks asli (bahasa sumber).
c.
Mempengaruhi tataran mikro suatu teks.
d.
Memiliki sifat diskursif dan kontekstual.
e.
Berperan secara fungsional.
Selanjutnya, Molina dan Albir (2002: 509-511) mengklasifikasikan 18 teknik penerjemahan yang berdasarkan pada teori-teori terdahulu (teori Vinay dan Dalbernet, Nida, Taber, Margot, Newmark, dll). Berikut ini adalah penjabarannya:
1) Borrowing (Peminjaman) Borrowing (peminjaman) adalah salah satu teknik penerjemahan dengan cara meminjam suatu kata dari bahasa sumber secara langsung. Peminjaman dapat berupa peminjaman murni (pure borrowing) atau peminjaman naturalisasi (naturalized borrowing). Contoh: Pure borrowing BSu
: takoyaki
BSa
: takoyaki
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Naturalized borrowing BSu
: harmony
BSa
: harmoni
2) Calque (Kalke) Dalam teknik calque (kalke), kata atau frasa dalam bahasa sumber diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa sasaran, baik pada tataran leksikal maupun struktural. Contoh: BSu
: Prime Minister
BSa
: Perdana Menteri
3) Literal Translation (Penerjemahan Literal/ Harfiah) Pada teknik ini, penerjemahan dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata. Teknik penerjemahan harfiah mengalihkan makna pada bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara apa adanya. Contoh: BSu : The pencil is on the table. BSa : Pensil itu ada di atas meja.
4) Transposition (Transposisi) Transposisi adalah teknik penerjemahan dengan cara mengubah atau menggeser susunan gramatikal antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Pergeseran gramatikal ini bisa mencakup kelas kata, penjamakan, atau struktur gramatikal lainnya. Contoh: BSu
: Grown-ups thought her the pretty one of the family and she was no good at school work.
BSa
: Para orang dewasa berpikir dialah yang paling cantik di dalam keluarga dan dia kurang berprestasi di sekolah.
(The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Threader) commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Modulation (Modulasi) Modulasi adalah suatu teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara mengubah sudut pandang dari bahasa sumber pada tataran leksikal atau struktural yang dialihkan ke bahasa sasaran dengan sudut pandang yang berbeda. Contoh: BSu : Most boys, on meeting a reception like this, would either have cleared out or flared up. Eustace did neither. BSa : Sebagian besar anak lelaki, bila mendapat perlakuan seperti ini, kalau tidak pergi menjauh maka akan terbakar emosinya. Keduanya tidak terjadi pada Eustace. (The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Threader)
6) Adaptation (Adaptasi) Adaptasi adalah teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara mengganti unsur budaya bahasa sumber dengan unsur budaya bahasa sasaran yang karakteristiknya sama atau hampir serupa. Contoh: BSu : Spring roll is my favorite snack. BSa : Lumpia adalah kudapan kesukaanku.
7) Compensation (Kompensasi) Kompensasi dilakukan jika terdapat informasi atau bentuk stilistika (misalnya: gaya bahasa) dalam bahasa sumber tidak dapat disampaikan di tempat yang sama dalam bahasa sasaran. Contoh: BSu : “Well Narnia and balmier don’t rhyme, to begin with,” said Lucy. BSa : “Satu hal yang langsung jelas, Narnia dan bodoh bahkan tidak berima,” kata Lucy. (The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Threader) commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8) Linguistic Amplification (Amplifikasi Linguistik) Teknik ini dilakukan dengan cara menambahkan elemen-elemen linguistik dalam bahasa sasaran. Seringkali teknik ini diterapkan pada penerjemahan lisan (interpreting) atau sulih suara (dubbing). Contoh: BSu : I know. BSa : Aku memahami keadaanmu.
9) Linguistic Compression (Kompresi Linguistik) Dalam teknik ini, penerjemah mengurangi elemen-elemen linguistik dalam bahasa sumber, sehingga makna dalam bahasa sasaran menjadi lebih ringkas. Teknik kompresi linguistik juga sering diterapkan dalam penerjemahan lisan (interpreting) dan sulih suara (dubbing). Teknik ini merupakan kebalikan dari amplifikasi linguistik. Contoh: BSu : It’s OK. Don’t mention it. BSa : Sudahlah.
10) Generalization (Generalisasi) Generalisasi adalah teknik penerjemahan dengan cara menerjemahkan suatu istilah secara umum. Contoh: BSu : She borrowed my rucksack. BSa : Dia meminjam tasku.
11) Particularization (Partikularisasi) Teknik ini merupakan kebalikan dari generalisasi, dalam teknik ini, suatu istilah diterjemahkan ke dalam istilah yang khusus atau lebih spesifik. Contoh: BSu : The chef demonstrates how to make cakes. BSa : Koki itu mendemonstrasikan cara membuat tiramisu. commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
12) Amplification (Amplifikasi) Dalam teknik ini, penerjemahan dilakukan dengan cara menjabarkan informasi atau menambahkan detail yang tidak terdapat dalam bahasa sumber. Contoh: BSu : Gondola is propelled by a person called gondolier. BSa
: Gondola, perahu dayung tradisional Venesia, digerakkan oleh seorang pendayung yang disebut gondolier.
13) Reduction (Reduksi) Reduksi adalah suatu teknik penerjemahan dengan cara menghilangkan sebagian informasi pada teks bahasa sumber namun tidak mengurangi makna dalam bahasa sasaran. Contoh: BSu
: For a moment it seemed to the eyes of Legolas that a white flame flickered on the brows of Aragorn like a shining crown.
BSa
: Legolas seolah melihat sebuah nyala putih berkelip di atas dahi Aragorn, seperti mahkota bercahaya.
(The Lord of the Rings: The Two Towers)
14) Established Equivalence (Kesepadanan Lazim) Teknik ini menggunakan istilah atau ungkapan yang dikenal dan dianggap lazim dalam bahasa sasaran (biasanya terdapat dalam kamus atau penggunaan sehari-hari). Contoh: BSu : Home Sweet Home BSa : Rumahku Surgaku
15) Description (Deskripsi) Deskripsi adalah teknik penerjemahan dengan mengganti istilah atau ungkapan dengan cara mendeskripsikan secara lebih rinci berdasarkan bentuk dan fungsinya. commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh: BSu : I am eating okonomiyaki. BSa
: Aku sedang makan telur dadar a la Jepang yang biasanya terdiri dari campuran telur, daging, dan sayur-sayuran, biasanya dimasak menggunakan teppan (wajan datar).
16) Discursive Creation (Kreasi Diskursif) Teknik ini dilakukan dengan tujuan memadankan makna yang dapat terjadi secara tidak terduga dan lepas konteks. Biasanya teknik ini diterapkan untuk menerjemahkan judul novel atau film. Contoh: BSu
: The Devil Wears Prada
BSa
: Bos Paling Kejam Sedunia
17) Substitution (Substitusi) Substitusi digunakan dengan cara mengubah elemen-elemen linguistik menjadi elemen-elemen paralinguistik (misalnya: intonasi, gerak tubuh). Contoh: ojigi (membungkukkan badan) adalah hal umum bagi budaya masyarakat Jepang. Hal itu dilakukan untuk mengekspresikan rasa hormat, permintaan maaf atau ucapan terima kasih.
18) Variation (Variasi) Teknik ini mengubah elemen-elemen linguistik atau paralinguistik (misalnya: intonasi, gerak tubuh) yang berdampak pada aspek variasi linguistik (seperti: perubahan intonasi, gaya, dialek, dsb). Contoh: BSu : I don’t get it, dude! BSa : Gue nggak ngerti, bang!
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c)
Penilaian Kualitas Terjemahan Setiap karya terjemahan yang dihasilkan penerjemah membutuhkan penilaian
akan kualitas terjemahannya. Nababan (2008: 85) berpendapat bahwa penilaian suatu terjemahan bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan terjemahan. Lebih lanjut, Nababan (2008: 86) menyampaikan tiga hal pokok dalam penilaian kualitas terjemahan, yaitu: ketepatan pengalihan pesan, ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, dan kealamiahan bahasa terjemahan. Secara umum, hal yang pertama yaitu tentang ketepatan pengalihan pesan. Hal ini berkaitan dengan keakuratan (accuracy). Aspek selanjutnya yaitu ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, hal ini berkaitan dengan keterbacaan (readability). Lalu aspek yang ketiga yaitu tentang kealamiahan bahasa terjemahan, hal ini berhubungan dengan keberterimaan (acceptability). Cuellar (2002: 182) dalam review terhadap jurnal Juliane House tentang Translation Quality Assessment (TQA), mengungkapkan 3 aspek pokok dalam penilaian kualitas terjemahan, yaitu: “the nature of (1) the relationship between a source text and its translation, (2) the relationship between (features of) the text(s) and how they are perceived by human agents (author, translator, recipient), and (3) the consequences views about these relationships have for determining the borders between a translation and the other textual operation.” Nababan (2012: 19) menyatakan “penilaian terhadap kualitas terjemahan terkait erat dengan fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi antara penulis asli dengan pembaca sasaran.” Jadi, hasil terjemahan harusnya dapat menyampaikan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan sepadan dan mudah dimengerti oleh pembaca bahasa sasaran. Selain itu, suatu terjemahan juga hendaknya memperhatikan norma dan budaya yang terkandung dalam bahasa sasaran. Unsur-unsur kebahasaan juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah agar suatu teks terjemahan mampu diterima dengan mudah oleh pembacanya. Nababan (2012: 24) kemudian menyimpulkan bahwa keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan merupakan tiga parameter utama dalam penilaian kualitas terjemahan. Selanjutnya, ketiga parameter dalam penilaian kualitas terjemahan akan dijabarkan dalam uraian berikut ini: commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Keakuratan (Accuracy) Keakuratan (accuracy) merujuk pada tingkat keakuratan/ ketepatan isi pesan yang terkandung dalam bahasa sumber dapat tersampaikan ke dalam bahasa sasaran. Shuttleworth dan Cowie (dikutip oleh Maisinur 2009: 65) menyatakan keakuratan (accuracy) sebagai “A term used in translation evaluation to refer to the extent to which a translation matches its original”. Sedangkan menurut Pinto (2001:297), “accuracy or precision would give us an approximate idea of the success of the translator in dealing with the text overall, allowing us to check the adaptation to the source text and the inclusion, or omission, of extra-textual information.” Dari pendapat Pinto dapat ditarik kesimpulan bahwa keakuratan merupakan salah satu kualitas terjemahan yang penting bagi seorang penerjemah dalam menerjemahkan teks dari bahasa sumber sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan ke bahasa sasaran. Jadi, sudah seharusnya seorang penerjemah diharapkan mampu menyampaikan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber sepadan mungkin ke dalam bahasa sasaran.
2) Keberterimaan (Acceptability) Menurut Rochayah Machali (dikutip oleh Maisinur, 2009: 66), sebuah hasil terjemahan dinilai berkualitas dan dapat diterima oleh pembaca apabila hasil terjemahan disampaikan dengan wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan. Savory dan Newmark (dikutip oleh Maisinur, 2009: 66), mensyaratkan agar penerjemah memiliki kemampuan mengalihkan pesan tanpa mengurangi makna dan gaya bahasa penulis sumber. Sedangkan menurut Pochhacker (2001:413), “the notion of clarity (or linguistic acceptability, stylistic correctness, etc.), on the other hand, relates to a second aspect of quality, which could be described more generally as „listener orientation‟ or target text comprehensibility.” Aspek keberterimaan dalam kualitas terjemahan sangat penting, dimana hasil terjemahan sebisa mungkin terasa asli seperti bukan karya terjemahan, dengan begitu pembaca tidak merasa bahwa mereka sedang membaca sebuah terjemahan. Jadi, seorang penerjemah harus memperhatikan kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam lingkungan bahasa sasaran. Suatu terjemahan dapat berterima bila pembaca bahasa sasaran mampu merasakan terjemahan tersebut secara alami. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Keterbacaan (Readability) Pada konsep keterbacaan (readability) berhubungan dengan mudah atau sukarnya suatu teks terjemahan dipahami oleh pembaca bahasa sasaran. Jika seorang penerjemah mampu menyampaikan pesan secara tepat, maka terjemahan tersebut akan mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca bahasa sasaran. Semakin sederhana bentuk bahasa yang dipakai, maka semakin tinggi pula tingkat keterbacaannya. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang penilai kualitas terjemahannya. Maka dari itu, peran penerjemah sangat penting untuk melakukan analisis teks agar dapat menghasilkan terjemahan yang sesuai dengan pembaca sasaran. Nababan (dikutip oleh Maisinur, 2009: 66) menyatakan bahwa ada dua hal yang mempengaruhi keterbacaan teks terjemahan, yaitu: penggunaan kata-kata asing dan penggunaan kalimat tak lengkap. Pinto (2001:298) menyatakan, “one important measurement of quality should be the clarity and readability of the final product.” Oleh karena itu, penerjemah harus paham terhadap perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terkandung dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran agar tercapai kualitas terjemahan yang mudah dipahami oleh pembaca sasaran.
2.
Penerjemahan Novel Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang umum dinikmati oleh
kalangan masyarakat. Hal itu disebabkan oleh isi yang terkandung di dalamnya. Novel pada umumnya mempunyai gaya bahasa yang berbeda-beda tergantung pengarang yang menciptakannya. Ada pengarang yang menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, ada pula pengarang yang menggunakan gaya bahasa yang cukup rumit dan tidak mudah dipahami. Novel termasuk dalam genre fiksi/ prosa. Novel adalah tulisan hasil rekaan semata yang mengandung cerita dan biasanya berupa tulisan panjang (Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 154). Novel memiliki dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu unsur-unsur yang membentuk fiksi dari dalam cerita itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur pembentuk dari luar yang mempengaruhi cerita itu. Unsur-unsur intrinsik dalam fiksi terdiri dari: a) Tokoh dan penokohan/ perwatakan (characters and characterisations) b) Alur (plot)
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Sudut pandang (point of view) d) Latar (setting) e) Gaya bahasa (language style) Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik fiksi merupakan unsur pembentuk dari luar cerita yang dapat berupa: sejarah karya sastra itu diciptakan, biografi pengarang, nilainilai yang terkandung di dalamnya, dan lain-lain. Lebih khusus, setiap karya novel biasanya dalam bentuk cerita atau narasi. Cerita dalam suatu novel dikembangkan melalui alur (plot). Biasanya sebuah alur cerita disajikan melalui enam tahapan (Labov, dikutip oleh Satoto, 2012:109). Enam tahapan tersebut meliputi: a) Abstract (Abstraksi) Pada tahap ini biasanya dimulai dengan pembukaan cerita yang berfungsi sebagai ringkasan, intisari, ikhtisar yang menuju ke isi pembicaraan. b) Orientation (Orientasi) Biasanya pada tahap ini merupakan awal cerita dimulai. Di dalamnya mencakup pengenalan karakter dan latar tempat maupun waktu. Pengarang seringkali memberikan gambaran tertentu pada tahap ini. c) Complication (Komplikasi/Permasalahan) Pada tahap komplikasi merupakan awal mulainya terjadi permasalahan atau konflik yang dialami oleh karakter-karakter di dalam cerita. d) Evaluation (Evaluasi) Pada hakikatnya evaluasi merupakan suatu petunjuk akan berakhirnya suatu komplikasi. Jadi di dalam evaluasi terdapat petunjuk penting tentang alasan terjadinya keseluruhan cerita. Pada tahap ini biasanya sudah mulai tampak pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang cerita. e) Resolution (Resolusi) Tahap resolusi adalah tahap dimana konflik yang terjadi dalam cerita mulai menurun.
Biasanya
resolusi
memberikan
jalan
keluar
komplikasi/permasalahan yang dialami oleh para karakter sebelumnya.
commit to user
terhadap
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f)
Coda (Ekor)
Pada tahap ini, segala masalah yang terjadi dalam cerita sudah terpecahkan. Tahap ini juga merupakan berakhirnya cerita. Kisah akhir para karakter ditunjukkan dalam tahap ini. Dewasa ini banyak sekali novel-novel baru yang terbit dan menjadi best-seller. Di Indonesia, novel-novel yang beredar dan laris manis bukan hanya novel-novel karya anak bangsa sendiri tetapi novel-novel berbahasa asing juga mulai mendapat tempat yang baik di masyarakat. Akan tetapi fenomena membanjirnya novel-novel berbahasa asing, khususnya berbahasa Inggris, sering menimbulkan dilema bagi para pecinta novel. Hal ini disebabkan novel-novel tersebut menggunakan bahasa asing yang sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Disinilah peran penerjemahan menjadi alat bantu yang sangat bermanfaat. Penerjemahan seharusnya dapat menjembatani kesenjangan yang terjadi dalam terjemahan novel. Penerjemahan suatu novel dapat dilakukan bila penerjemah mengerti unsur-unsur estetika dan makna yang terkandung di dalamnya. Terutama dari segi stilistika, yang mana sebenarnya adalah ilmu gabungan antara linguistik dan sastra. Hal ini tentunya dapat mengurangi permasalahan dalam penerjemahan novel. Adapun menurut Newmark (1988, dalam Suryawinata dan Hariyanto) kendalakendala yang mungkin muncul dalam penerjemahan fiksi adalah sebagai berikut: 1) Pengaruh budaya bahasa sumber (Bsu) dalam teks asli. Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar, dan tema. 2) Tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka Hilaire Belloc, seperti yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1980:116, dalam Suryawinata dan Hariyanto), mengusulkan enam aturan dalam menerjemahkan prosa fiksi. Keenam aturan itu adalah sebagai berikut: 1) Penerjemah
tidak
boleh
menentukan
langkahnya
hanya
untuk
menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat saja, tetapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya maupun karya terjemahannya. 2) Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. 3) Penerjemah harus menerjemahkan commit“maksud” to user menjadi “maksud” juga.
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Penerjemah harus waspada terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam Bsu dan Bsa, tetapi sebenarnya sangat berbeda. 5) Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari Bsu ke dalam Bsa dengan tegas. 6) Meskipun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah, tetapi tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan “hiasan-hiasan” yang bisa membuat cerita dalam Bsa itu lebih buruk atau lebih indah sekalipun. Dari
keenam
aturan
yang
diungkapkan
oleh
Hillaire-Belloc
dalam
menerjemahkan prosa fiksi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tugas seorang penerjemah tidaklah mudah. Di satu sisi, penerjemah harus menyampaikan pesan yang terkandung dalam cerita, namun di sisi lain penerjemah juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang melingkupi cerita tersebut, seperti: gaya bahasa dan budaya. Dengan begitu suatu karya terjemahan dapat memiliki kualitas yang bagus dan dapat diterima sebagai karya “asli” bagi pembaca.
3.
Stilistika Istilah stilistika (stylistics) bermula dari akar kata bahasa Latin, stilus (Shipley,
1957:341, dalam Ratna). Stilus berarti alat berujung runcing, yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Pada jamannya, bagi siapapun yang dapat menggunakan alat tersebut dengan baik, dapat dikatakan sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus). Namun, bagi mereka yang tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis). Kata stilus sendiri memiliki makna bermacam-macam, diantaranya adalah: menggores, menusuk, melukai, menembus. Sedangkan makna konotasi dari stilus berarti menggores dan menusuk perasaan pembaca, sehingga menimbulkan efek tertentu. Stilistika (stylistics) merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari style (gaya) dalam karya sastra. Leech dan Short (1981: 13) menyatakan “stylistics, simply defined as the (linguistic) study of style, is rarely undertaken for its own sake, simply as an exercise in describing what use is made of language.” Menurut Al Makruf (2009: 69), stilistika adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya sastra melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, majas/bahasa figuratif, dan commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
citraan. Dalam buku A Glossary of Literary Terms, Abrams (1999: 305) menyatakan “the term stylistics has been applied to critical procedures which undertake to replace what is said to be the subjectivity and impressionism of standard analyses with an “objective” or “scientific” analysis of the style of literary texts.” Selain itu menurut Murry (1956:71,
dalam
Ratna),
stilistika merupakan
kualitas
bahasa
yang
mengkomunikasikan antara pikiran dan perasaan sehingga baik unsur-unsur yang tersirat maupun tersurat dapat diberikan makna. Kemudian, menurut Ratna (2013:167), secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa, tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Menurut Soediro Satoto (2012:106), stilistika adalah pendeskripsian tentang pilihan khusus seorang pengarang yang meliputi pemilihan linguistik secara luas (overall coherence) serta pemilihan linguistik secara sempit (pembentukan kalimat, alinea, hubungan sintagmatis dan paradigmatis). Baik gaya maupun gaya bahasa, keduanya berkaitan dengan aspek keindahan. Setiap penulis menciptakan gaya bahasa secara sadar dengan maksud untuk memperoleh aspek keindahan secara maksimal. Dalam karya sastra, baik gaya maupun gaya bahasa memegang peranan penting. Gaya lebih menitikberatkan pada masalah umum penulisan, seperti penyajian, komposisi, struktur penceritaan, termasuk cara penampilan karakter huruf, cover, dan ukuran buku (Ratna, 2013:163). Sedangkan gaya bahasa merupakan cara-cara penggunaan medium bahasa secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal. Ruang lingkup gaya bahasa meliputi: panjang pendeknya kalimat, tinggi rendahnya tingkatan bahasa yang digunakan, penggunaan kata-kata serapan, penggunaan kosakata daerah, serta penyusunan unsur intrinsik secara keseluruhan yang meliputi plot, tokoh kejadian, dan sudut pandang (Ratna, 2013:165). Perhatian utama yang ditandaskan dalam stilistika merupakan style (gaya). Pada hakikatnya, style merupakan sarana retoris, sebagai cara mengungkapkan keindahan, sebagai bentuk pengungkapan emosi terdalam, dan sebagai cara dan bentuk ekspresi dunia yang mungkin (Sutejo, 2010: 3). Dalam stilistika terdapat lima unsur style (gaya), yaitu: gaya diksi (pilihan kata), gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif (majas), dan citraan. Abrams (1999: 303) berpendapat bahwa berdasarkan tujuan retorisnya, style terbagi atas: diksi atau pilihan kata, jenis struktur kalimat dan sintaks, dan jenis-jenis bahasa figuratif (majas).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4.
30 digilib.uns.ac.id
Majas Majas adalah bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya dengan menggunakan kata-kata kiasan tertentu.Majas bertujuan untuk menciptakan kesan keindahan yang ada dalam karya sastra. Menurut Abrams (1999: 97), “figurative language is a conspicuous departure from what users of a language apprehend as the standard meaning of words, in order to achieve some special meaning effect.” Tarigan (2009: 5) menyatakan bahwa majas sebagai bahasa yang indah, digunakan untuk memberikan efek dengan cara membandingkan hal satu dengan yang lain. Tarigan juga menambahkan bahwa majas sebagai bahasa retoris yang digunakan untuk mempengaruhi dan memikat pembaca ataupun pemirsa dalam karya sastra tertulis maupun lisan. Majas yang digunakan masing-masing penulis bisa berbeda-beda. Perbedaan gaya bahasa mempengaruhi majas yang dihasilkan. Pada dasarnya, setiap penulis memiliki gaya bahasa penulisan yang berbeda-beda karena apa yang tersirat dalam tulisan yang dihasilkan merupakan isi hati yang sebenarnya dari seorang penulis. Penulis-penulis terkenal yang menciptakan karya-karya terbaik mereka pasti memiliki ciri khas yang berbeda-beda dalam setiap penulisannya. Jane Austen yang menciptakan cerita Pride and Prejudice, pasti berbeda gaya bahasa penulisannya dengan Nathaniel Hawthorne, penulis The Scarlet Letter, begitu pula penulis-penulis novel populer seperti J.K Rowling, juga memiliki ciri khas gaya penulisan yang berbeda dengan Rick Riordan. Latar belakang pribadi penulis juga mempengaruhi gaya penulisan mereka. Para penulis dari luar negeri pasti memiliki perbedaan dengan para penulis dalam negeri. Novel-novel angkatan 1900-an pasti memiliki perbedaan gaya bahasa dengan novel-novel angkatan 2000-an. Keraf (2010:129) menyatakan bahwa gaya bahasa yang berdasarkan langsung tidaknya makna disebut juga sebagai trope atau figure of speech, yang kemudian dikenal dengan majas. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi menjadi dua, yaitu: gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (Keraf, 2010:129). Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Penyimpangan yang dimaksud dapat meliputi penyimpangan secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa. Kadangkala gaya bahasa retoris masih menggunakan bahasa biasa, bahasa yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
mengandung unsur-unsur kelangsungan makna. Arti yang didukungnya tidak lebih dan tidak kurang dari nilai lahirnya, tidak ada makna lain yang tersembunyi di dalamnya. majas-majas yang termasuk gaya bahasa retoris diantaranya adalah hiperbola, litotes, paradoks, dan lain-lain. Sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa dimana ada penyimpangan yang lebih jauh di dalamnya, khususnya dalam bidang makna (Keraf, 2010:129). Gaya bahasa kiasan pertama kali dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Suatu hal dibandingkan dengan sesuatu yang lain, dimana berusaha menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan diantara kedua sesuatu tersebut. Majas-majas yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan antara lain: simile, metafora, personifikasi, dan lain-lain.
5.
Jenis-Jenis Majas Tarigan (2009) mengelompokkan jenis-jenis majas menjadi 4 klasifikasi utama,
yaitu: 1)
Majas perbandingan
Majas perbandingan terdiri dari sepuluh majas, yaitu: simile, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis/antisipasi, dan koreksio/epanortesis. 2)
Majas pertentangan
Majas-majas yang termasuk dalam kelompok ini terdapat dua puluh majas, yaitu: litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma/silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis, histeron proteron, hipalase, sinisme, sarkasme, dan hiperbola. 3)
Majas pertautan
Majas pertautan terdiri dari tiga belas jenis majas, yaitu: metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton 4)
Majas perulangan
Dalam kelompok majas ini terdapat dua belas majas, yaitu: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas tentang
majas
pertentangan, khususnya hiperbola yang terdapat dalam novel The Lord of the Rings: The Two Towers dan terjemahannya The Lord of the Rings: Dua Menara.
6.
Majas Hiperbola Majas hiperbola merupakan majas yang termasuk dalam majas pertentangan
(Tarigan, 2009:55).
Kata hiperbola berasal dari bahasa Yunani yang berarti
„pemborosan‟; „berlebih-lebihan‟. Hiperbola diturunkan dari kata hyper yang berarti „melebihi‟ dan balien yang artinya „melemparkan‟. Menurut Tarigan (2009:55), hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifat-sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Dale dkk (1971:233 dalam Tarigan) menyatakan bahwa hiperbola merupakan suatu cara yang berlebih-lebihan mencapai efek; suatu gaya bahasa yang di dalamnya berisi kebenaran yang direntangpanjangkan. Sedangkan Keraf (2010:135) menyatakan bahwa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Lebih lanjut, Abrams dalam bukunya, The Glossary of Literary Terms (1999:120), menyatakan “the figure of speech, or trope, called hyperbole (Greek for “overshooting) is bold overstatement, or the extravagant exaggeration of fact or of possibility.” Abrams menambahkan, majas hiperbola dapat digunakan untuk situasi yang serius atau ironis maupun bahagia, majas ini juga digunakan sebagai efek hiburan dengan adanya unsur penyangatan yang ditonjolkan. Biasanya majas hiperbola dapat diketahui dengan melihat konteks situasi yang melingkupinya. Jika ada suatu majas muncul dalam kalimat di sebuah cerita, maka harus dilihat konteks ceritanya terlebih dahulu, dengan begitu bisa ditentukan majas itu termasuk hiperbola atau bukan hiperbola. Berikut ini adalah contoh-contoh majas hiperbola: - Saya terkejut setengah mati menyaksikan penampilan yang menegakkan bulu roma dan menghentikan detak jantung seperti itu (Tarigan, 2009: 56). - I’d give my right arm for a piece of pizza (Maisinur, 2009: 42). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
- Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku (Keraf, 2010: 135). Dalam buku Christina Alm-Arvius yang berjudul Figure of Speech (2010), dijelaskan bahwa terkadang majas hiperbola dapat muncul dalam bentuk metafora. Contohnya dapat dilihat di bawah ini: - I‟ve been working my fingers to the bone (Alm-Arvius, 2007: 135). - His words were icy, painful stabs at her heart, causing oozing and lethal wounds (Alm-Arvius, 2007: 136). Pada dasarnya majas hiperbola adalah majas yang memberikan efek berlebihlebihan atau penyangatan. Fungsi utama dari majas ini yaitu untuk mengekspresikan sesuatu dari yang terlihat „biasa‟ menjadi „luar biasa‟. Namun, bukan berarti majas hiperbola adalah majas yang menyampaikan suatu ketidakbenaran yang berlawanan dengan kenyataan. Justru majas hiperbola menunjukkan suatu fakta yang terjadi dengan cara memberikan penekanan yang luar biasa dalam hal sifat, jumlah, dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Snoeck Henkemans yang menyatakan “although hyperbole exaggerates how things are in reality, and thus involves saying something which is strictly speaking untrue, or unwarranted, it is not considered as a form of lying” (2013:3). Para ahli, seperti Claridge dan Cano Mora memaparkan beberapa fungsi majas hiperbola, fungsi-fungsi tersebut yaitu: a) Berfungsi sebagai media untuk menekankan pernyataan dan menyampaikan emosi. Hal ini didukung oleh pendapat Ueding, Roberts, dan Kreuz yang dikutip oleh Snoeck Henkemans (2013:4), yang menyatakan “in both classical and modern rhetoric, hyperbole is seen as a device that can be used both to highlight or emphasize certain aspects to convey and arouse specific emotions.” b) Berfungsi untuk memberikan penilaian suatu keadaan melalui ekspresi penyangatan. Snoeck Henkemans (2013:5) menyatakan: In classical rhetoric, hyperbole and other forms of amplification were already seen as techniques that can be used to exaggerate certain facts or value judgements and thereby strengthen the arguer‟s defence or attack. c) Pada percakapan sehari-hari, majas hiperbola dapat berfungsi sebagai media persuasif yang dapat menarik perhatian lawan bicara dalam suatu percakapan. commit to user kadang memberikan efek Beberapa karakteristik majas hiperbola
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
„ketidakjelasan‟ bagi lawan bicara, namun hal inilah yang membuat majas ini menjadi lebih menarik. Menurut Claridge (2011:209), “such vagueness may favour the use of a word for hyperbolic purposes, as the extension can be seen as gradual, not too blatant and also easily retractable.” d) Dapat berfungsi sebagai media untuk memuji, menyatakan komplain, atau mengkritik pada percakapan sehari-hari. Seperti pernyataan Snoeck Henkemans (2013:6, yang mengacu pada pernyataan Cano Mora), “Cano Mora found that many hyperbolic utterances were used on the one hand to praise someone or to approve of something and on the other to complain, attack and criticize someone or something.” e) Lebih khusus dalam konteks politik, majas hiperbola dapat digunakan untuk menekankan kesungguhan terhadap suatu keadaan, tindakan darurat, mengkritik lawan politik, dan memuji anggota partai atau suatu kebijakan. Hal ini mengacu pada pendapat Claridge: While hyperbole is not very common in modern political speeches, it there fulfils some functions also identified in other contexts such as self-presentation, humour and politeness, but also some more clearly political ones like emphasizing the seriousness of the situation, the urgency of action, criticising the political opponent and praising one own‟s party or policies. (2011:265)
7.
Kategori Majas Hiperbola Beberapa ahli mengelompokkan majas hiperbola menjadi beberapa kategori.
Menurut Claridge (2011), majas hiperbola dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu basic dan composite hyperbole. “Basic hyperbole do not leave the domain of the corresponding intended expression” (Claridge, 2011:40). Composite hyperbole adalah majas hiperbola yang penerapannya digunakan bersamaan dengan majas lain (Claridge, 2011:41). Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah penerapan majas hiperbola basic dan composite: a) Basic Hyperbole It was so cold in the restaurant, I was freezing! Pada contoh di atas terdapat ekspresi pengungkapan berlebihan yang berupa commit to user „freezing‟. Hal ini masih tetap pada domain yang sama, yang artinya memang
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benar-benar „sangat dingin‟. Majas hiperbola tersebut masih tetap menyampaikan keadaan sebenarnya yang dialami oleh penutur dimana penutur memang di dalam lingkungan sekitarnya bertemperatur sangat dingin. b) Composite Hyperbole When I saw him walking down the street, I was petrified. Contoh hiperbola di atas termasuk dalam kategori composite karena di dalamnya terdapat domain-switching, dimana di dalamnya selain hiperbola, kalimat tersebut juga mengandung majas metafora. Contoh tersebut tidak serta merta berarti penutur benar-benar „membatu‟ namun terdapat makna lain yang diungkapkan oleh penutur. Majas tersebut dapat memiliki beberapa kemungkinan arti yang ingin disampaikan oleh penutur, antara lain: merasa ketakutan atau kaget hingga tidak bisa bergerak ataupun bicara. Selain kedua jenis di atas, Claridge juga mengelompokkan majas hiperbola menjadi tiga jenis berdasarkan bentuknya, yaitu single-word hyperbole, phrasal hyperbole, dan clausal hyperbole. Berikut ini adalah contoh-contoh dari pengelompokan majas hiperbola menurut bentuknya: a) Single-word Hyperbole She‟s allergic to everything (SBCI, dikutip oleh Claridge, 2011:51). Oh, God they‟re never in, they‟re not (BNC KBI 45, dikutip oleh Claridge, 2011:51). Kedua contoh majas hiperbola di atas adalah kategori majas yang berbentuk single-word. Berbagai kelas kata dapat dimasukkan dalam kategori ini, akan tetapi biasanya noun dan adjective adalah kelas kata yang paling banyak digunakan (Claridge, 2011:49). b) Phrasal Hyperbole He works all bloody hours that God sent (Claridge, 2011:53). Brazilian artistry, English fighting spirit, Henman grit. Oh, and avian pigs (Tim I July 2002:16, dikutip oleh Claridge, 2011:53). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Pada kedua contoh di atas, hiperbola muncul dalam bentuk frasa. Pada kategori ini majas hiperbola dapat berupa bermacam-macam frasa seperti noun phrase, adjective phrase, verb phrase, dan lain-lain. Contoh pertama di atas adalah termasuk bentuk noun phrase. Penanda hiperbola yang berupa „all bloody hours that God sent‟ adalah suatu ekspresi penyangatan. Bila noun phrase tersebut diganti hanya dengan „all hours‟ maka kesan melebih-lebihkan akan hilang. Begitu pula dengan contoh kedua yang juga berbentuk noun phrase. Bila kata „avian‟ dan „pigs‟ berdiri sendiri, keduanya terlihat normal, namun pada contoh tersebut kedua kata digabungkan dan menimbulkan efek penyangatan yang menimbulkan ide „pigs can fly‟. Efek tersebut menimbulkan suatu evaluasi yang positif dan antusiasme terhadap musim pertandingan olahraga yang sedang bagus (Claridge, 2011:53). c) Clausal Hyperbole I was the only kid who only had to walk past the bakery to gain weight (Claridge, 2011:56). I‟m just the ultimate wimp. I’m the world’s worst patient (BBCI, „Vets in Practice‟, 6 September 2002, dikutip oleh Claridge, 2011:83). Contoh-contoh di atas adalah penerapan kategori clausal hyperbole. Jelas sekali bahwa kedua contoh tersebut adalah suatu pernyataan yang berlebihan. Pada contoh pertama menandakan penutur adalah orang yang sangat suka makan pada waktu masih anak-anak. Penutur menyatakan bahwa dia bisa menghabiskan banyak makanan dan dia menyatakan efek penyangatan dengan mengatakan bahwa dia adalah satu-satunya anak yang melewati sebuah toko roti, membeli banyak roti dari toko tersebut untuk menambah berat badan. Contoh kedua adalah kutipan dialog dalam acara Vets in Practice. Penutur menyatakan bahwa dia adalah pasien paling buruk. Penutur berbagi pengalamannya ketika dia akan melakukan operasi, dia sudah jatuh pingsan saat dilakukan pengambilan darah sebelum operasi dimulai. Efek takut yang dia rasakan menimbulkan kesan penyangatan dalam pernyataannya bahwa dia adalah pasien terburuk yang pernah ada. Pakar lainnya yang mengklasifikasikan majas hiperbola adalah Laura Cano Mora. Menurut pendapat Cano Mora (2009:29), majas hiperbola dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu evaluative realm dan quantitative realm. Kedua kelompok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
tersebut terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Kategori-kategori majas hiperbola akan dijelaskan pada pemaparan berikut ini. a) Evaluative Realm adalah kategori majas hiperbola yang melebih-lebihkan pernyataan akan suatu hal yang berhubungan dengan kualitas dan sifatnya. Pada kategori ini, majas hiperbola dapat diklasifikasikan lagi menjadi beberapa subkategori, yaitu: i.
Positive evaluation, yaitu sub-kategori majas hiperbola dimana di dalamnya meliputi pengakuan dan kekaguman atau pujian. Beberapa penanda majas hiperbola yang termasuk sub-kategori positive evaluation yaitu: Idea of life, heaven: revived, reviving, vital, paradise. Idea of perfection, magnificence: ideal, excellent, great, wonderful. Idea of splendour, beauty: lovely, gorgeous, precious, brilliant. Contoh-contoh majas hiperbola yang termasuk sub-kategori positive evaluation adalah: -
“We have in fact had a very impressive record on competitiveness.” Cano Mora, 2005:162)
-
“I’ve got the reviving ones next. You‟re all right?” (Cano Mora, 2005:173)
ii.
Negative evaluation, yaitu sub-kategori yang di dalamnya menyatakan penolakan, dan kritikan atau kecaman. Penanda majas hiperbola yang dapat dikategorikan menjadi negative evaluation adalah: Idea of chaos, disorder: mess, mess up, illegible. Idea of shrillness, pungency: scream, squeal. Idea of badness, evil: worst, wicked, relentless, obnoxious. Idea of frightfulness: horrible, terribly, terrible, an awful (lot of). Idea of violence, destruction: disaster, a recipe for disaster, disgrace, devastated, ruin, erupted, blasting away, thrown on the scrap heap. Idea of sorrow or pain: pathetic, sickening, starve, starving, freezing, can‟t breathe, drained, (give me a) headache. Idea of deadliness, hell: killing, dead, limbo, hell, a hell of. commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Idea of physical or psychic abandonment, loss of control: desperately, frantically, gets on your nerves, get out of my head, crazily, went haywire, mental health problem, in fits, crack me up, living on drugs, asleep, can‟t resist. Contoh-contoh majas yang termasuk dalam sub-kategori negative evaluation adalah: -
“Can you imagine the worst American teen corn movie... that you’ve ever seen? This was.” (Cano Mora, 2003-2004:23)
-
iii.
“Tha’s a recipe for disaster.” (Cano Mora, 2005:214)
Idea of Impact/Singularity, yaitu sub-kategori dimana di dalamnya meliputi ketertarikan atau ketakjuban yang berkelanjutan sehingga dapat menimbulkan pengaruh positif maupun negatif. Beberapa hal yang dapat dijadikan penanda majas hiperbola yang termasuk dalam sub-kategori impact/singularity adalah: smashing, amazed, astonish, shock, shocked, thrilled, unbelievable, couldn‟t believe, extraordinary, another world, impressive. Contoh-contoh majas yang termasuk dalam sub-kategori impact/singularity yaitu: -
“You have to realize that... we’re never gonna get away from work. ‘Cos when the wind blows you can smell a tandoori.” (Cano Mora, 20032004:19)
-
“Bet you smelled lovely when you came out.” (Cano Mora:2005:157)
b) Quantitave Realm adalah kategori majas hiperbola yang mengungkapkan pernyataan berlebih-lebihan akan suatu hal berdasarkan kuantitas atau jumlahnya. Dalam kategori ini, majas hiperbola dapat diklasifikasikan lagi menjadi 3 subkategori, yaitu: i.
Purity, dalam sub-kategori ini, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan penanda yaitu: Idea of completeness, absoluteness: completely, absolute, absolutely, total, totally, entirely, full, fully, whole, sheer, pure. commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Idea of universality, non-exceptionally: all, always, everywhere, throughout the world, everybody, everybody else, every one, every, everything, anything. Idea of non-existence, nullity: no, no one, no one else, nobody, nothing, nothing else, not any, not anything, never, not at all. Idea of veracity: literally, beyond any doubt, definitely. Contoh-contoh majas hiperbola yang termasuk dalam sub-kategori purity yaitu: -
“I entirely agree with my honourable friend.” (Cano Mora, 2005:163)
-
“What is the matter for the honourable gentleman is giving his constituents hope, what he appears completely unable to do.” (Cano Mora, 2005:189)
ii.
Time/Quantity/Measure,
yang
meliputi
angka
dan
kata-kata
yang
mengindikasikan standar unit pengukuran. Pada sub-kategori ini penanda yang dapat dilihat meliputi: Time measure: period units: ten times, a second, a minute, ten minutes, an hour, the evening, two days, the weekend, a week, six months, months and months and months, ages, ages and ages and ages. Length/linear measures: two inches, an inch. Other numerical expressions: two thousand, four thousand, not half as much, half a million, one and a half million, three hundred million. Quantity words: idea of accumulation: a load, loads of, a pile of, compost heap, lots. Contoh-contoh sub-kategori number/quantity/measure adalah sebagai berikut: -
“I have told you about ten times I have not got a pen” (Cano Mora, 2005:178).
-
“Oh dear, pick it up. Just a minute, just a minute. Watch this here.” (Cano Mora, 2005:191)
iii.
Magnitude, merupakan sub-kategori dimana terdiri dari bentuk bahasa yang alami sebagai pertentangan dari bentuk jumlah yang diungkapkan dengan angka. Penanda yang dapat dilihat dalam sub-kategori ini meliputi: commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Idea of greatness: mammoth, dinosaurs, like a horse‟s nose bag, riding jodhpurs, great big, massive, vast, huge, enormous (amount of), tremendous
(amount
of),
immensely
(size);
moustache,
beard,
mushrooming, rolling in, coining money (superabundance); day in, day out, forever, lifelong, like a lifetime (duration); most, the most, utmost, infinitely, extremely (degree, limit); remotely (distance). Idea of smallness: a flea on a dog‟s back, little tiny, tiny, minuscule, box room (size); next to (distance), instantly (duration); don‟t move (motion). Contoh-contoh yang termasuk dalam sub-kategori magnitude adalah: -
“May I thank my honourable friend for that extremely helpful reply and for the encouraging figures which he has given to the House this afternoon?” (Cano Mora, 2005:175)
-
“That’d be a mammoth task.” (Cano Mora, 2005:214)
Penelitian ini akan menerapkan teori pengelompokan majas hiperbola berdasarkan pendapat yang diutarakan oleh Laura Cano Mora (2009), yang mengelompokkan majas hiperbola menjadi dua kategori, yaitu evaluative realm dan quantitative realm.
8.
Novel The Lord of the Rings: The Two Towers Novel The Lord of the Rings: The Two Towers adalah sebuah karya epik fantasi
novel karya J.R.R Tolkien, seorang filologis dan guru besar Universitas Oxford berkebangsaan Inggris. Novel ini adalah novel kedua dari trilogi The Lord of The Rings, yang pertama berjudul The Fellowship of the Rings dan yang terakhir berjudul The Return of the King. Ketiga kisah trilogi tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain karena alur cerita di setiap volumenya berkaitan erat. Tolkien menulis karyanya tersebut antara tahun 1937 sampai 1949, kebanyakan ditulis pada masa Perang Dunia II. Pada awalnya, karya Tolkien tersebut akan diterbitkan dalam dua volume tetapi karena alasan ekonomi maka penerbitan dilakukan bertahap menjadi tiga volume sehingga sampai sekarang dikenal dengan novel trilogi. Karyanya tersebut telah diterbitkan ulang berkali-kali dan menjadi salah satu novel best-seller yang terjual lebih dari
150
juta
copy
dan
telah
diterjemahkan
(https://en.wikipedia.org/wiki/The_Lord_of_the_Rings). commit to user
dalam
beberapa
bahasa
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel ini mengisahkan tentang seorang hobbit bernama Frodo Baggins yang mewarisi sebuah cincin utama dari pamannya, Bilbo Baggins. Cincin utama merupakan cincin yang paling penting dari rangkaian cincin kekuasaan yang dapat menimbulkan malapetaka bila jatuh pada tangan yang salah. Maka, agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak tepat, diputuskan agar cincin tersebut dimusnahkan di gunung berapi Mordor. Dalam perjalanannya ke Mordor, Frodo dikawal oleh rombongan yang terdiri dari: Aragorn dan Boromir putra penguasa Gondor, mewakili manusia; Legolas putra raja peri di Mirkwood, mewakili kaum peri; Gimli putra Gloin dari Pegunungan Sunyi, mewakili kaum kurcaci; Frodo bersama pelayannya Samwise, dan dua kerabatnya, Meriadoc dan Peregrin, mewakili kaum hobbit; dan Gandalf si penyihir. Buku pertama diakhiri dengan peristiwa tewasnya Boromir yang disebabkan nafsunya untuk memiliki cincin tersebut dan berakibat menghilangnya Frodo dan Samwise, sementara anggota rombongan yang lain tercerai-berai karena serangan mendadak kaum Orc, yang sebagian melayani sang penguasa kegelapan dari Mordor, dan sebagian lagi pelayan Saruman dari Isengard. Dalam buku kedua ini, The Two Towers – Dua Menara, diceritakan nasib masing-masing anggota rombongan setelah mereka tercerai-berai, sampai kedatangan kegelapan besar dan pecahnya perang cincin, yang akan diceritakan dalam buku ketiga.
B. Kerangka Pikir Kerangka pikir merupakan alur pemikiran dalam suatu penelitian. Alur penelitian ini dimulai dengan membaca novel The Lord of the Rings: The Two Towers dan mengidentifikasi majas hiperbola yang ada dalam novel tersebut, serta menemukan terjemahannya dalam novel The Lord of The Rings: Dua Menara. Kemudian peneliti mengidentifikasi teknik yang dipakai dalam terjemahan majas hiperbola tersebut. Tahap berikutnya yaitu menganalisis tentang pergeseran yang terjadi sebagai akibat dari penerapan teknik penerjemahan. Setelah itu peneliti menganalisis kualitas terjemahan majas hiperbola yang melibatkan para pembaca ahli (rater) dan informan dalam memberikan penilaian yang mencakup penilaian kualitas terjemahan dari aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Pada diagram berikut ini akan disajikan mengenai alur penelitian yang dilakukan oleh peneliti: commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 2.1 Kerangka Pikir Penelitian Novel The Lord of the Rings: The Two Towers(Bsu)
Novel The Lord of the Rings: Dua Menara(Bsa)
Majas Hiperbola dalam novel Bsu
Majas Hiperbola dalam novel Bsa
Teknik Penerjemahan
Pergeseran Majas
Kualitas Terjemahan
Keakuratan
Keberterimaan
Pembaca Ahli/ Raters
Keterbacaan
Responden
Kesimpulan
commit to user