BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
2.1.Kajian Teori 2.1.1. Penerjemahan a.
Definisi Penerjemahan Para
pakar
memiliki
pendapat
masing-masing
tentang
definisi
penerjemahan.Catford (1974) mendefinisikan penerjemahan sebagai penggantian materi teks dalam bahasa sumber dengan materi teks yang sepadan dalam bahasa sasaran.Definisi ini masih terlalu luas dan kurang spesifik. Newmark (1981) lebih mengerucutkannya dengan mendefinisikan penerjemahan sebagai pengalihbahasaan keseluruhan teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi, gaya, dan nuansa budaya dari penulis aslinya. Tujuan utamanya adalah mengalihkan pesan dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan mengutamakan kesepadanan makna. Sementara itu, Kridalaksana dalam Nababan (2008: 19—20)mendefinisikan penerjemahan sebagaipemindahan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya. Dari pendapat ketiga pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan memindahkan teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan mempertahankan pesan, makna, gaya, serta amanat yang ada di dalamnya. 15
16
b. Teknik Penerjemahan Teknik penerjemahan adalah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari BSu ke BSa, diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Menurut Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik yaitu 1) memengaruhi hasil terjemahan, 2) diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks Bsu, 3) berada pada tataran mikro, 4) tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu, dan 5) bersifat fungsional. Teknik-teknik penerjemahan dapat digunakan sebagai alat untuk mengatasi kebingungan pada saat menerjemahkkan. Penggunaan teknik-teknik penerjemahan akan membantu penerjemah dalam menentukan bentuk dan struktur kata, frasa, klausa, serta kalimat terjemahannya. Selain, itu penerjemah juga akan terbantu dalam menentukan padanan yang paling tepat di dalam bahasa sasaran. Dengan demikian, kesepadanan terjemahan dapat diterapkan dalam berbagai satuan lingual. Selain itu, penggunaan teknik penerjemahan tidak hanya akan menghasilkan terjemahan yang akurat tetapi juga berterima dan mudah dibaca oleh pembaca teks sasaran. Berikut adalah teknik-teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir (2002). 1. Adaptasi (Adaptation) Teknik ini dikenal dengan teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan cara mengganti unsur-unsur budaya dalam BSu dengan unsur budaya yang mirip dan ada pada BSa. Hal tersebut dapat dilakukan karena
17
unsur budaya dalam BSu tidak ditemukan dalam BSa, atau unsur budaya pada BSa tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran. Contoh: Bsu: When in Rome, do as the Romans do. Bsa: Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.
2. Amplifikasi (Amplification) Teknik penerjemahan dengan mengeksplisitkan atau memparafrase suatu informasi yang implisit dalam BSu. Teknik ini sama dengan eksplisitasi, penambahan, parafrasa eksklifatif. Catatan kaki merupakan bagian dari amplifikasi.Yang merupakan kebalikan dari teknik ini adalah teknik reduksi. Contoh: Bsu: He lived in the era of Moses. Bsa: Dia hidup di zaman Nabi Musa.
3. Peminjaman (Borrowing) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan meminjam kata atau ungkapan dari BSu.Peminjaman itu bisa bersifat murni (pure borrowing) tanpa
penyesuaian,
atau
peminjaman
yang
sudah
dinaturalisasi
(naturalized borrowing) dengan penyesuaian pada ejaan ataupun
18
pelafalan. Kamus resmi pada BSa menjadi tolok ukur apakah kata atau ungkapan tersebut merupakan suatu pinjaman atau bukan. Contoh Peminjaman Murni (Pure Borrowing): Bsu: The hard disk is damaged and need to be repaired. Bsa: Hard disk itu rusak dan harus diperbaiki.
Contoh Peminjaman Naturalisasi: Bsu: I have sent my message to your email. Bsa: Saya telah mengirim pesan ke imel Anda.
4. Kalke (Calque) Teknik penerjemahan ini dianggap sebagai literal translation dari bahasa asing, bisa bersifat struktural maupun leksikal. Contoh: Bsu: He is the new assistant manager. Bsa: Dia adalah asisten manajer yang baru.
5. Kompensasi (Compensation) Penambahan unsur informasi atau efek stilistik dalam bahasa sumber pada bagian lain bahasa sasaran karena tidak dapat direalisasikan pada bagian yang sama seperti dalam bahasa sumbernya.
19
Contoh: Bsu: The blood had drained from her face. Bsa: Wajahnya pucat pasi.
6. Deskripsi (Description) Teknik penerjemahan dengan menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Contoh: Bsu: Several kings and queens had cabled the White House in Washington for reservations. Bsa: Beberapa raja dan ratu mengirim telegram pada Gedung Putih di Washington untuk memesan tempat.
7. Kreasi Diskursif (Discursive Creation) Teknik penerjemahan dengan penggunaan padanan yang keluar dari konteks.Hal
ini
dilakukan
untuk
menarik
perhatian
pembaca.Biasanya dilakukan dalam terjemahan judul film atau buku. Contoh: Bsu: Slammed Bsa: Cinta Terlarang
calon
20
8. Padanan Lazim (Established Equivalence) Teknik dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Contoh: Bsu: Sincerely yours Bsa: Hormat kami
9. Generalisasi (Generalization) Teknik ini menggunakan istilah yang lebih umum pada BSa untuk BSu yang lebih spesifik. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan yang spesifik. Contoh: Bsu: She lives in a beautiful town house in upper Manhattan. Bsa: Ia tinggal di sebuah rumah yang indah di Manhattan atas.
10. Amplifikasi Linguistik (Linguistic Amplification) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif dan sulih suara. Contoh: Bsu: I really need to wash. Bsa: Saya benar-benar ingin membersihkan diri.
21
11. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression) Teknik ini dilakukan dengan memadatkan elemen linguistik dari BSu ke BSa. Teknik ini dapat diterapkan dengan mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks BSa. Ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik. Teknik ini lazim digunakan pada pengalihbahasaan simultan dan penerjemahan teks film. Contoh: Bsu: Are you busy? Bsa: Sibuk?
12. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation) Teknik yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata dan penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks. Contoh: Bsu: Killing two birds with one stone. Bsa: Membunuh dua burung dengan satu batu.
13. Modulasi (Modulation) Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu.Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal maupun struktural.
22
Contoh: Bsu: You know how to do it. Bsa: Kita tahu bagaimana melakukannya.
14. Partikularisasi (Particularization) Teknik penerjemahan dimana penerjemah menggunakan istilah yang lebih konkret, presisi atau spesifik, dari superordinat ke subordinat.Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. Contoh: Bsu: Who put the idea into your head? Bsa: Siapa yang memasukkan gagasan itu ke dalam otakmu?
15. Reduksi (Reduction) Teknik yang diterapkan dengan penghilangan secara parsial, karena penghilangan tersebut dianggap tidak menimbulkan distorsi makna. Dengan kata lain, mengimplisitkan informasi yang eksplisit. Teknik ini kebalikan dari teknik amplifikasi. Contoh: Bsu: Joko Widodo, popularly known as Jokowi, was inaugurated as the seventh President of the Republic of Indonesia. Bsa: Jokowi dikukuhkan sebagai presiden Republik Indonesia yang ketujuh.
23
16. Subsitusi (Subsitution) Teknik ini dilakukan dengan mengubah elemen kebahasaan dengan paralinguistik (intonasi atau isyarat) atau sebaliknya. Contoh: Bsu: She nodded when I asked her if she was ready. Bsa: Ia mengiyakan saat aku bertanya apakah dia sudah siap.
17. Transposisi (Transposition) Transposisi
merupakan
teknik penerjemahkan dengan mengubah
kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori, struktur dan unit. Kata kerja dalam teks bahasa sumber, misalnya, diubah menjadi kata benda dalam teks bahasa sasaran. Teknik pergeseran struktur lazim diterapkan jika struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, pergeseran struktur bersifat wajib. Sifat wajib dari pergeseran struktur tersebut berlaku pada penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia untuk menghindari interferensi gramatikal yang dapat menimbulkan terjemahan tidak berterima dan sulit dipahami. Contoh: Bsu: I cut my fingers. Bsa: Jariku teriris.
24
18. Variasi (Variation) Realisasi teknik ini adalah mengubah elemen kebahasaan atau paralinguistik yang memengaruhi variasi linguistik, yaitu perubahan tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dan dialek geografis. Teknik ini biasanya diaplikasikan dalam menerjemahkan naskah drama. BSu: Just gimme the thing! Bsa: Kasih barangnya ke gue!
2.1.2. Penilaian Kualitas Penerjemahan Penilaian terhadap kualitas penerjemahan sangat relevan diterapkan pada empat bidang yaitu 1) bidang terjemahan yang dipublikasikan, 2) bidang terjemahan profesional, 3) bidang terjemahan yang dihasilkan dalam konteks pengajaran mata kuliah praktik penerjemahan, dan 4) bidang terjemahan yang dikaji dalam konteks penelitian penerjemahan (Nababan dkk: 2012). Terjemahan yang dipublikasikan dan terjemahan profesional memiliki kesamaan, yaitu dihasilkan oleh penerjemah profesional. Bedanya, terjemahan yang dipublikasikan dapat dibaca oleh masyarakat luas, sedangkan terjemahan profesional lebih terbatas pada kalangan tertentu. Terjemahan yang dihasilkan dalam pengajaran praktik penerjemahan adalah terjemahan yang dihasilkan oleh para peserta didik dalam sebuah kelas penerjemahan.Sementara itu, terjemahan yang dikaji dalam konteks penelitian bisa berupa terjemahan yang dipublikasikan, terjemahan
25
profesional, maupun terjemahan anak didik dalam kelas penerjemahan, yang diteliti untuk mengungkapkan fenomena dalam penerjemahan. Penilaian terhadap kualitas terjemahan mutlak diperlukan demi meningkatkan mutu buku-buku terjemahan. Makin tingginya produksi buku-buku terjemahan membuat kebutuhan akan penerjemah juga meningkat. Sayangnya, kebutuhan tersebut tidak serta-merta diikuti dengan kompetensi penerjemah yang baik.Sering kali terdengar, pembaca mengeluhkan kualitas buku terjemahan. Sebagian di antaranya menyatakan lebih baik membaca buku asli dibandingkan buku terjemahannya.Tentu saja, pendapat itu tidak berlaku secara umum, karena banyak juga buku-buku yang diterjemahkan dengan baik oleh penerjemahnya. Penilaian terhadap suatu karya terjemahan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan terjemahan. Penilaian terhadap karya terjemahan berupa karya yang dipublikasikan—dalam hal ini buku—akan bermanfaat bagi penerjemah, penerbit, dan pembaca. Untuk penerjemah, penilaian terjemahan akan memberikan evaluasi dan masukan kepadanya yang akan berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang. Bagi penerbit, adanya penilaian terjemahan akan memberikan masukan tentang mutu buku terjemahkan yang mereka terbitkan. Dengan demikian penerbit juga akan melakukan upaya perbaikan terhadap mutu buku-buku terjemahannya di masa mendatang. Para pembaca juga akan mendapatkan keuntungan dengan adanya kritik tentang mutu terjemahan suatu buku. Dengan demikian, tidak sia-sia mereka mengeluarkan uang mereka untuk membeli buku terjemahan.
26
Para pakar teori penerjemahan sependapat bahwa suatu teksterjemahan dapat dikatakan berkualitas baikjika: 1) teks terjemahan tersebut akurat dari segi isinya (dengan kata lain, pesan yang terkandung dalam teks terjemahan harus sama dengan pesan yang terkandung dalam teks asliatau teks sumber), 2) teks terjemahan diungkapkan dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa sasaran dan tidak bertentangan dengan norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran, dan 3) teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca sasaran (Nababan dkk.: 2012). Ketiga parameter untuk mengukur kualitas terjemahan itu dijabarkan sebagai berikut. 1) Keakuratan (Accuracy) Shuttleworth dan Cowie seperti dikutip oleh Maisinur (2009: 65) menyatakan bahwa keakuratan adalah “a term used in translation evaluation to refer to the extent to which a translation mathes its original.” MenurutNababan dkk. (2012: 44), keakuratan merupakan istilah yang digunakan dalam pengevaluasian terjemahan untuk merujuk apakah teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran sudah sepadan atau belum. Seorang penerjemah tidak diperbolehkan menambah atau mengurangi isi atau pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Jika seorang penerjemah melakukannya, meski tampaknya dalam porsi kecil, dapat berakibat pada perubahan yang cukup signifikan di dalam tataran teks. Apabila teks terjemahan adalah teks berisiko tinggi seperti teks
27
kedokteran, hukum, atau agama, hal ini dapat berakibat fatal bagi penggunanya.
2) Keberterimaan (Acceptability) Istilah keberterimaan merujuk pada apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran ataukah belum, baik pada tataran mikro maupun pada tataran makro (Nababan dkk., 2012: 44-45). Meskipun sebuah terjemahan akurat, tetapi jika diungkapan dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah, norma, atau budaya bahasa sasaran, terjemahan tidak akan dapat diterima oleh pembacanya. Sebuah terjemahan dikatakan berterima apabila terasa alamiah, sehingga pembaca tidak merasa sedang membaca sebuah teks terjemahan.
3) Keterbacaan (Readibility) Menurut Nababan (2012: 45), dalam konteks penerjemahan, istilah keterbacaan pada dasarnya tidak hanya menyangkut keterbacaan teks bahasa sumber tetapi juga keterbacaan teks bahasa sasaran. Hal ini dikarenakan kegiatan penerjemahan tidak lepas dari bahasa sumber dan bahasa sasaran. Aspek keterbacaan merujuk pada mudah atau sukarnya suatu teks terjemahan dipahami. Pinto (2001: 298) menyatakan bahwa “one important measurement of quality should be the clarity and
28
readibility of the final product.” Untuk menghasilkan terjemahan yang memiliki keterbacaan tinggi, seorang penerjemah harus paham unsurunsur kebahasaan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
2.1.3. Penerjemahan Novel Menerjemahkan karya sastra (fiksi) berbeda dengan menerjemahkan karya nonsastra.Seorang penerjemah karya sastra harus memiliki pengetahuan, pemahaman, sekaligus apresiasi yang mendalam terhadap teks yang diterjemahkannya.Hal ini karena menerjemahkan karya sastra bukan sekadar mengalihkan pesan dalam bahasa sumber (Bsa) ke bahasa sasaran (Bsa). Hartono (2012) menyatakan bahwa menerjemahkan karya sastra adalah menerjemahkan multidimensi: dimensi lahir, dimensi batin, dimensi budaya, dimensi moral, dan lain-lain.Untuk dapat menerjemahkan sebuah karya sastra dengan baik, seorang penerjemah harus peka terhadap berbagai dimensi yang ada dalam teks yang ia hadapi. Seorang penerjemah karya sastra tidak boleh hanya mementingkan isi dan meninggalkan aspek emosi sebuah teks.Ia hendaknya memiliki keterampilan dalam menerjemahkan suasana batin penulis bahasa sumber yang termuat dalam teks. Haque (2012) menyatakan bahwa a literary translator must also be skilled enough to translate feelings,cultural nuances, humour and other delicate elements of a piece of work. Anton Kurnia (2015) mengungkapkan bahwa pakar bahasa dari Rusia, Mikhail Rudnitzky, menggambarkan proses penerjemahan seperti seseorang yang
29
harus melukiskan sebuah rumah indah di negara lain, sementara di negaranya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda. Inilah salah satu masalah bagi para penerjemah, yakni memindahkan gambaran dengan kata-kata ke dalam bahasa sasaran dengan sejumlah acuan yang terkadang kurang dikuasai, termasuk pengetahuan atas ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang karya yang berkaitan dengan aspek sejarah, sosiologi, dan budaya. Oleh karena itulah, seorang penerjemah karya sastra juga dituntut untuk rajin melakukan riset tentang teks terjemahannya, terutama jika sudah menyangkut aspek sejarah, sosiologi, dan budayanya. Riset yang dilakukan akan memperkecil kemungkinan ia melakukan kesalahan dalam menerjemahkan. Sebaliknya, seorang penerjemah yang malas melakukan riset, kemungkinan besar akan “tersesat” dalam menerjemahkan. Ia yang tidak memahami apa yang dterjemahkannya akan membuat terjemahannya “kosong” atau lebih fatal lagi, keliru dalam menginterpretasikan teks yang diterjemahkannya. Menerjemahkan karya sastra bukanlah menerjemahkan pernyataan yang tersurat dalam serangkaian kalimat, namun memahami tujuan yang terkandung di balik pernyataan itu (Iser dalam McGuire, 1988: 115).Sebuah teks adalah satu kesatuan integral, meski dikerjakan bagian per bagian. Oleh karena itu, yang harus dipahami adalah tujuan yang terkandung dalam suatu pernyataan, secara menyeluruh. Hartono (2012) menyatakan kesulitan-kesulitan yang dialami seorang penerjemah sastra (novel) adalah sebagai berikut.
30
1) Kesulitan bahasa, adalah kesulitan dalam memahami diksi penulis bahasa sumber, biasanya yang mengandung unsur emosi atau artistik tertentu dan memindahkannya dengan nuansa yang sepadan dalam bahasa sasaran. Misalnya, kata “stare” dalam kalimat “He stared at the statues.” yang dapat berarti “menatap lekat”. Kata ini tentu saja berbeda tingkat emosinya dengan kata “look at” yang memiliki makna lebih umum. Jika kata “stare” diterjemahkan dengan “menatap” saja, tentu kandungan emosinya dalam teks bahasa sasaran akan berkurang. 2) Kesulitan analisis, adalah kesulitan mengidentifikasi unsur-unsur dalam novel, misalnya sudut pandang (point of view). Sebagai contoh, dalam novel yang berseting kerajaan, penerjemah dihadapkan pada pilihan kata “aku” atau “saya”, atau bahkan “hamba” untuk menerjemahkan kata “I” dalam percakapan seorang penasihat kerajaan dengan rajanya. Pilihan kata yang diambil seorang penerjemah dalam novel sastra dewasa dan anak bisa jadi berbeda. 3) Kesulitan budaya, adalah kesulitan yang ditemukan dalam mencari padanan kata yang menyangkut budaya. Penerjemah dituntut memiliki pengetahuan budaya baik dalam BSu maupun Bsa. Ini misalnya terjadi dalam menerjemahkan onomatope, misalnya “bang” menjadi “dor”, cuckoo doodle doo” menjadi “kukuruyuk”, “knock knock” menjadi “tok tok”.
31
4) Kesulitan apresiasi, adalah kesulitan yang ditemukan penerjemah dalam menyelami maksud penulis dalam bahasa sumber. Seorang penerjemah bisa jadi harus membaca beberapa kali untuk dapat menangkap maksud pengarang. Apabila penerjemah salah menginterpretasikan maksud penulis maka terjemahannya pun akan gagal. Dengan kesulitan-kesulitan yang telah dijabarkan di atas, seorang penerjemah yang ceroboh (careless translator) biasanya melakukan kesalahan-kesalahan berikut ini. 1) Salah menerjemahkan informasi. 2) Melakukan interpretasi tambahan dari teks asli. 3) Melakukan interpretasi dangkal atas beberapa hal penting yang saling berkaitan yang terkandung dalam karya sastra. (Hartono: 2012) Seorang penerjemah yang melakukan salah satu atau ketiga kesalahan tersebut akan membuat sebuah teks terjemahan menyimpang, atau bahkan keluar dari konteks yang ada dari teks aslinya. Untuk mengatasi kendala-kendala dalam menerjemahkan teks karya sastra, Hilaire Belloc dalam McGuire (1988:116) yang mengemukakan enam aturan umum bagi para penerjemah teks prosa atau novel, sebagai berikut. 1) Penerjemah hendaknya tidak menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata-per-kata atau kalimat-per-kalimat saja. Ia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya maupun karya terjemahannya.
32
2) Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom. Idiom dalam teks sumber hendaknya dicari padanan idiomnya dalam teks sasaran, meskipun kata-kata yang dipergunakan tidak sama persis. 3) Penerjemah
hendaknya
menerjemahkan
maksud
dengan
maksud.
“Maksud” dalam hal ini adalah muatan emosi yang terkandung dalam ekspresi tertentu. 4) Penerjemah hendaknya waspada terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran, padahal sebenarnya sangat berbeda. 5) Penerjemah hendaknya berani mengubah hal-hal yang perlu diubah dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan tegas. 6) Penerjemah tidak boleh membubuhi cerita asli dengan hiasan-hiasan yang bisa membuat cerita dalam bahasa sasaran lebih buruk atau lebih indah sekalipun.
Tugas seorang penerjemah adalah menghidupkan kembali sebuah “karya asing” menjadi “karya asli” yang diterima olehpembacanya. Oleh karena itu, seorang penerjemah karya sastra hendaknya dapat mengatasi kendala-kendala yang ia temukan dalam teks yang ia hadapi, terus berupaya untuk meningkatkan kepekaan terhadap teks sastra dengan banyak membaca, serta memperluas wawasannya.
33
2.1.4. Stilistika Menurut Shipley (dalam Ratna, 2009:8) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style sendiri berasal dari kata stilus (dari bahasa Latin) yang berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis pada bidang berlapis lilin. Mereka yang dapat menggunakan alat itu dengan baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stylus exercitotus), sementara mereka yang tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal (stylus rudis). Benda runcing untuk menulis itu dapat menggores, melukai, menembus, menembus bidang dasar yang digunakan sebagai alas tulisan. Dalam konotasi berbeda, alat itu digunakan untuk “menusuk” atau“menggores” perasaan penulis dan pembaca, sehingga menimbulkan efek tertentu. Stilistika sebagai bidang linguistik terapan, dalam pengertian extended adalah cara mengungkapkan teori dan metodologi penganalisisan formal sebuah teks sastra, sedangkan dalam pengertian restricted, linguistik terapan dikaitkan khususnya pada pendidikan bidang bahasa (Satoto: 2012: 36). Begitu erat hubungan pengkajian bahasa dan sastra, membuat ada sebagian orang yang memasukkan stilistika ke dalam bidang linguistik (ilmu bahasa), tetapi ada pula yang memasukkannya dalam bidang ilmu sastra. Verdonk (2002:4) memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu.Seorang penulis memiliki cara tertentu dalam mengungkapkan gagasannya dalam tulisan. Dalam karya sastra, ekspresi ini memiliki tujuan untuk menimbulkan
34
efek tertentu yang diharapkan oleh penulis.Menganalisis suatu karya sastra dengan pisau bedah stilistika berarti mengeksplorasi kreativitas penulis karya tersebut. Hal ini diungkapkan pula oleh Simpson (2004:3) bahwa to do stylistics is to explore language, and, more specifically, to explore creativity in language use. Fitur kajian stilistika dapat berupa fonologi, sintaksis, leksikal, maupun retorika. Abrams dalam Wicaksono (2014: 14) mengatakan: These stylistic features may be phonological (patterns of speech, sounds, meter, or rhyme), or syntactic types of sentence structure), or lexical (abstract vs. Concrete words, the relative frequency of nouns, verbs, adjectives), or rhetorical (the characteristic use of figurative language, imagery, and so on). Pengkajian stilistika menurut Abrams adalah meneliti gaya sebuah teks dengan menganalisis secara rinci dari sisi: 1) fonologis: berupa pola bunyi bahasa, matra, dan rima; atau 2) sintaksis: tipe struktur kalimat; atau 3) leksikal: diksi, frekuensi penggunaan kelas kata tertentu; atau 4) retoris: majas dan citraan.
Peneliti akan menganalisis novel The 100-Year Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dengan menggunakan pendekatan stilistika. Peneliti akan menganalisis tipe struktur kalimat, tipe dan peranti retoris satire, dan kemudian apakah penerjemah mengalihkan dengan baik di dalam novel terjemahannya.
35
2.1.5. Kompleksitas Kalimat dalam Gaya Bahasa Mendefinisikan kalimat bukanlah hal yang mudah. Dalam pandangan tradisional, kalimat merngungkapkan satu gagasan utuh. Hal ini tidak terlalu tepat, karena demikian pula sebuah klausa. Sementara itu, jika didefinisikan secara formal, kalimat adalah sesuatu yang dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik, tanda tanya, atau tanda seru. Menurut Berry (2013: 53) definisi populer ini mengandung dua kekeliruan, yaitu pertama, ini tidak membantu kita memahami arti kalimat—mengapa orang meletakkan tanda titik (.) di suatu tempat dan bukan di tempat lain (dan mengapa, dengan beberapa pengecualian, orang-orang sepakat di mana harus meletakkan tanda titik itu). Kedua, yang lebih penting, aturan ini hanya dapat diterapkan dalam medium tulisan, bukan tuturan. Ini adalah definisi secara grafologi. Tuturan merupakan medium yang valid sama seperti tulisan, tetapi tidak ada huruf kapital maupun tanda titik di sana. Definisi kalimat dalam secara fonologi akan tepat diterapkan dalam tuturan, yaitu jalinan kata-kata yang mengikuti pola intonasi tertentu (misalnya, intonasi turun untuk deklaratif dan wh-interogatif, naik untuk yes/no interogatif. Yang dibutuhkan adalah definisi secara gramatika. Kalimat adalah kelompok kata yang mengandung gagasan, pesan, atau informasi yang paling sedikit terdiri atas subjek dan predikat. Berry (2013: 54) lebih jauh menyatakan bahwa kalimat adalah “a string of words that follows the rules for forming clauses and combinations of clauses.” Kalimat merupakan jalinan kata yang memenuhi aturan pembentukan klausa dan kombinasi klausa.
36
Aturan pembentukan klausa adalah adanya pola verba yang menempati peran utama. Sedangkan kombinasi klausa adalah bagaimana satu atau lebih gagasan yang utuh dijalin menjadi satu kesatuan. Lebih jauh, Berry mengemukakan beberapa pembedaan berikut. 1) Major sentences vs minor sentences (kalimat mayor vs kalimat minor). Kalimat minor adalah kalimat yang tidak lengkap, kehilangan elemenelemen pentingnya. 2) Simple sentences vs multiple sentences (kalimat tunggal dan kalimat majemuk). Dalam kalimat mayor terdapat dua jenis kalinat yaitu tunggal dan majemuk. Satu kalimat tunggal hanya memiliki satu klausa, sementara kalimat majemuk memiliki lebih dari satu klausa. 3) Compound sentences vs complex sentences (kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat) Ada dua tipe multiple sentence yang merefleksikan dua cara klausa berkombinasi.
Dari pendapat Berry di atas, pembagian kompleksitas kalimat dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Minor sentence, atau kalimat minor, adalah kalimat yang sebagian unsurnya hilang. Dapat berupa fragmen maupun non-kalimat. Contoh: Misalnya, sebagai jawaban atas pertanyaan “When will she come?”: In the afternoon (frasa preposisi)
37
Sedangkan jawaban yang berupa kalmat mayor adalah: She will come in the afternoon. 2) Major sentence, atau kalimat mayor, adalah kalimat yang bagianbagiannya utuh. Terdiri atas: a. Simple sentence, kalimat yang terdiri atas satu klausa independen. b. Multiple sentence atau kalimat majemuk, terdiri atas kombinasi dua atau lebih klausa. Dibagi menjadi dua yaitu: -
compound sentence (kalimat majemuk setara) dengan kombinasi klausa koordinatif . Konjungsi yang digunakan adalah and, but, dan or. Contoh: He studied hard and he got a good score.
-
complex sentence (kalimat majemuk bertingkat) dengan kombinasi klausa subordinatif. Dalam kalimat ini, terdapat klausa utama dan klausa subordinat. Konjungsi yang digunakan adalah when, if, although, since, before, as soon as, so that. Contoh: When Michelle has time, she likes to go to the movie.
-
compound-comples
sentence
(kalimat
majemuk
menggunakan klausa koordinatif dan subordinatif.
campuran),
38
Contoh: You can take my notebook or you can take anything that you need, but don’t take this bag because it belongs to my father.
2.1.6. Satire a.
Satire sebagai Genre Satire merupakan bentuk karya yang menunjukkan kelemahan dalam perilaku
manusia maupun isu-isu politik yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi menjadi absurd, bahkan menggelikan, yang oleh karenanya dapat menghibur dan menjangkau penikmat dari kalangan luas. Satire juga mampu melindungi penciptanya dari kemungkinan dipersalahkan karena telah mengkritik, karena apa yang disampaikan dalam satire bersifat implisit. Oleh karena itulah, satire menjadi sebuah alat yang ampuh dalam pemberontakan pada masa sosial politik yang opresif. Kritikus televisi dan suratkabar Kanada, John Doyle dalam Globe and Mail (seperti dikutip oleh LeBoeuf: 2007) mengatakan bahwa “There are specific periods when satire is necessary. We’ve entered one of those times.” Globalisasi dan kemajuan dalam teknologi media memungkinkan isu-isu internasional seperti ketidakadilan yang terjadi dapat dinikmati oleh warga negara di berbagai belahan dunia. Perang, terorisme, isu kekerasan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM di suatu negara dapat terpantau oleh warga negara di belahan dunia lain. Di masa seperti inilah menyuarakan kritik sangat dibutuhkan.Ketika tangan tak dapat menjangkau, tulisan dapat menjadi lebih tajam daripada pedang.
39
Kritik disampaikan dengan berbagai bentuk. Satire dapat muncul dalam media film, tayangan televisi, puisi, lagu, cerpen, atau novel. Dengan kemajuan teknologi media, satire menemukan wadahnya di lebih banyak media. “Satire is more alive today than ever before, finding outlets in literature, television, the internet, comics and cartoons.”(LeBoeuf: 2007). Dalam perkembangan selanjutnya, satire merupakan bentuk artistik yang digunakan untuk mengkritik perilaku khusus manusia. M.D. Fletcher, penulis beberapa buku satire menyebutnya sebagai “verbal aggression in which some aspect of historical reality is exposed to ridicule”. Sementara itu, sang pembuat pesan satire menurut Max Beerbohm dalam Rahmiati (2011) adalah “a fellow laying about him lustily, for the purpose of hurting, of injuring people who, in his opinion, ought to be hurt and injured.” Pesan satire menurut Beerbohm memang dimaksudkan untuk menyakiti orang yang dituju dengan menggunakan berbagai simbol yang acap kali memiliki makna implisit. Pesan satire selalu menggunakan humor sebagai senjata menjatuhkan, sangat mengena bagi seseorang yang dimaksudkan namun memberikan hiburan bagi orang lain yang membaca pesan. (Rahmiati:2011) Satire menurut Stanton (2009:131) adalah karikatur versi sastra karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satire mengekspos absurditas manusia atau institusi, membongkar kesenjangan antara topeng dan wajah sebenarnya.Contoh satire adalah Gulliver’s Travel karya Jonathan Swift yang berisi penghinaan terhadap Inggris dan seluruh umat manusia, Babbit karya Lewis yang
40
menyerang pebisnis berkebangsaan Amerika, dan Catch 22 karya Heller yang menyerang Angkatan Udara Amerika.
b. Pengertian Satire sebagai Gaya Bahasa Dalam tataran mikro, satire adalah gaya bahasa. Suatu karya disebut satire karena menggunakan gaya bahasa ini. Secara khusus, satire menduduki peran sebagai majas. Keraf (2010:144) mendefinisikan satire sebagai ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Wicaksono (2014:44) menyatakan bahwa satire merupakan ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengancam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dan lain-lain. Definisi lain tentang satire yang terdapat dalam Encyclopaedia Britannica Elliot (2004) yaitu a rhetorical strategy in which human or individual vices, follies, abuses, or shortcomings are held up to censure by means of ridicule, derision, burlesque, irony, or other methods, ideally with an intent to bring about improvement. Dari berbagai definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa satire merupakan ungkapan yang menertawakan gagasan, kebiasaan, atau suatu kondisi dengan menggunakan berbagai peranti retoris seperti sarkasme, ironi, parodi, ridicule, dan burlesque.
c. Tipe Satire Berdasarkan Target yang Dituju The Art and Popular Culture Encyclopedia (2009) menegaskan bahwa satire biasanya memiliki target tertentu yang dapat berupa orang atau sekelompok orang, gagasan maupun sikap, institusi, maupun praktik sosial. Menurut Simpson (2003: 71),
41
target satire dibedakan menjadi empat, yaitu episodic, personal, experential, dan textual. Lebih lanjut, Simpson menyatakan, “Of course, a single satirical text may realise multiple targets, so discussing a text in terms of its perceived target is largely a question of balance and emphasis; while the principal impetus may, for example, be from one particular subtype, the flexibility of the concept of target is such that this can be expanded outwardsto cover the other three” (2003: 71). Dalam sebuah teks satire, mungkin terdapat beberapa atau semua tipe satire tersebut, dan dalam menganalisisnya, diperlukan kecermatan dalam melihat di mana letak penekanan targetnya.Tipe satire yang dikemukakan oleh Simpson dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Episodic, adalah satire yang targetnya berupa kondisi, tindakan, atau peristiwa khusus yang terjadi di ranah masyarakat. Contoh: Konteks Situasi: Ada sebuah tayangan iklan tentang kuliah online di University of Westfield Online. Seorang tokoh bernama Pedrad mengomentari iklan tersebut. “The University of Westfield Online gave me the skills I need to get the job I want! Skills like: Not mentioning in a job interview that I went to an Internet college.”(Saturday Night Live: episode 35, dalam Rulli: 2010) 2) Personal, adalah satire yang targetnya adalah individu tertentu, ditujukan pada kepribadian seseorang terutama sifat stereotipe dan arketipe perilaku manusia.
42
Contoh: Konteks situasi: Raina mengagumi seorang pimpinan tentara bernama Sergius yang dengan gagah berani memimpin pasukannya dalam peperangan. Namun, Bluntschi menganggapnya sebagai sosok bodoh dan pengecut dan membandingkannya dengan Don Quixote saat menyerang kincir angin. And there was Don Quixote flourishing like a drum major, thinking had done the cleverest thing ever known, where as he ought to be court martialled for it. (Shaw dalam Rao, 2004)
3) Experential, adalah satire yang targetnya adalah aspek kondisi dan pengalaman manusia yang bersifat menetap, sebagai lawan dari episode dan peristiwa tertentu. Contoh: Konteks Situasi: Sergius bercerita kepada Catherine bahwa ia merasa muak dan akhirnya memutuskan mundur dari pekerjaannya sebagai tentara. Ia merasa kecewa karena tidak mendapat promosi untuk naik jabatan “hanya” karena tidak mematuhi aturan peperangan. Soldiering, my dear madam, is the coward's art of attacking mercilessly when you are strong, and keeping out of harmsway when you are weak.(Shaw dalam Rao, 2004) 4) Textual, adalah satire yang targetnya adalah kode linguistik sebagai objek yang diserang. Contoh: Konteks Situasi: Per-Gunnar Gerdin menjelaskan tentang asal-usul nama organisasinya, Never Again kepada Jaksa Penuntut Umum. Semula nama itu dimaksudkan untuk menyatakan bahwa anggota organisasinya “tidak pernah ingin kembali masuk penjara meski banyak alasan legal karena itu”. Namun, kemudian nama itu berubah makna menjadi “tidak pernah ingin melanggar hukum lagi”.
43
The name originally referred to the fact that its members would never find themselves behind bars again even though there might be no lack of legal reasons for such a measure, but as of late the name has acquired another meaning. (Jonasson, 2013: 156—157)
d. Karakteristik Satire Satire cukup sulit dikenali.Untuk menangkap adanya satire, diperlukan pemahaman tentang konteks situasi.Namun, ada beberapa ciri yang menandai ungkapan yang mengandung satire, yang membedakannya dengan ungkapan jenis lain. Harris dalam disertasinya (2004) mengemukakan karakteristik satire yaitu: 1) mengandung ironi dan cenderung hiperbolis, 2) menggunakan wit atau humor untuk membuatnya lucu, 3) menggunakan exaggeration atau pernyataan yang berlebihlebihan,
4)
menggunakan
understatement,
yaitu
pernyataan
yang bersifat
merendahkan atau mengurangi efek tertentu, 4) menggunakan pernyataan atau kutipan, 5) menggunakan kosakata khusus untuk mengkritik, menyindir, atau mengejek, dan 6) menggunakan idiom. Seemntara itu, LeBeoeuf dalam disertasinya (2007) mengungkapkan bahwa karakteristik satire secara umum adalah sebagai berikut. 1) Mengandung kritik. Satire mengandung kritik tentang sikap, perilaku buruk, atau kebodohan, dengan tujuan untuk mengarahkan pada perubahan sosial ke arah perbaikan;
44
2) Bersifat ironis. Satire menggunakan ironi yang sering kali disampaikan dalam bentuk humor, untuk memperlihatkan masalah atau perilaku yang dikritik; 3) Implisit. Satire bukanlah pernyataan yang bersifat terang-terangan. Target yang dikritik itu mendekonstrusi dirinya di dalam satire dengan cara yang absurd, dilebih-lebihkan (exaggerated), atau keluar dari konteks normalnya. (LeBeoeuf (2007)
e. Peranti Retoris dalam Ungkapan Satire Rao dalam disertasinya (2004) menggunakan istilah “metode” untuk menyatakan peranti yang digunakan oleh penulis dalam menulis satire. Menurutnya, “Satiric methods include irony, sarcasm, invective, innuendo, burlesque, parody, ridiculous, exaggeration, wit, humor, farce”. Gaughen mencatat berbagai peranti retoris yang digunakan dalam satire, yaitu ironi, travesty, burlesque, parodi, farce, invective, knaves & fools, malapropisme, ridicule, serta peranti berupa perbandingan yang mengandung incongruity seperti metafor dan oksimoron. (http://teachers.sduhsd.net/mgaughen/docs/satire.pdf) Penulis menggunakan teori tentang penggunaan peranti retoris dalam satire yang dikemukakan Rao dan Gaughen, memilahnya agar tidak terjadi tumpang tindih, dan merumuskannya sebagai berikut. 1) Ironi, yaitu pernyataan yang kata-katanya mengandung maksud yang bertolak belakang. Satire umumnya mengandung ironi. Seperti yang
45
diungkapkan oleh Robêrt (2014) bahwa without irony satire would not be possible—that is not to say they are one in the same but rather that an ironic utterance must take form in order for satire to be successful. It is the devices of satire within which irony is enacted. Dalam sebuah ungkapan yang mengandung satire, di dalamnya terkandung muatan ironi. Meski tidak semua ungkapan satire mengandung ironi, tetapi karena ironilah sebuah ungkapan satire dapat sampai pada tujuannya. Contoh: Sungguh indah lukisanmu (sesungguhnya tidak). 2) Sarkasme, adalah ungkapan personal yang kasar dan menusuk atau ekspresi yang sinis untuk mengkritik atau menyindir (Rao: 2004). Contoh: Kau sungguh bodoh seperti kerbau. 3) Invective, adalah penggunaan kata-kata kasar atau memaki terhadap seseorang maupun kondisi (Rao: 2004) Contoh: His father sent the Easter egg to his ‘dear wife’, who just got angry and said that the damned layabout could at least have sent a real egg so that the family could eat. (Jonasson, 2013: 15)
4) Inuendo, pernyataan secara tidak langsung atau sindiran halus terhadap kesalahan seseorang atau kondisi, atau karakter yang buruk (Rao: 2004). Inuendo merupakan semacam sindiran yang dilakukan dengan cara mengeclkan kenyataan yang sebenarnya.
46
Contoh: Ia agak lupa dengan apa yang telah dipelajarinya semalam, dan itu membuatnya kesulitan mengerjakan soal ujian keesokan harinya. 5) Burlesque, merupakan ungkapan yang bersifat konyol dan melebihlebihkan (Rao: 2004). Contoh: .... Oh and instantly I took to him [the bug]/I did, I liked him, I fell in love with him, I could have kissed/him as an Indian kisses his squaw.... (Bert Getsthe Bug”, puisi D.H. Lawrence dalam Nash 1985: 85–86, dalam Simpson, 2003: 120) 6) Parodi, adalah ejekan atau olok-olok dengan meniru atau mengubah bentuk suatu karya yang serius. (Gaughen: 2016) Contoh: A man who had never been christened, an honest Anabaptist named James, was witness to the cruel and ignominious treatment showed to one of his brethren, to a rational, two–footed, unfledged being. (Voltaire, 1998: 7) Penggunaan nama tokoh James Anabaptist dalam Voltaire, adalah parodi dari John the Baptist. 7) Ridicule,
adalah
ucapan
atau
tindakan
yangdimaksudkan
untuk
menimbulkan tawa meremehkan atau olok-olok (Gaughen: 2016) Contoh: But he did tell Allan about Amanda’s plans and Allan sighed at the thought that somebody who couldn’t distinguish between banana liquor and vodka now believed she could become governor. (Jonasson, 2012: 136)
47
8) Exaggeration, adalah pernyataan melebih-lebihkan suatu fakta (Rao: 2004). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan istilah hiperbol. Contoh: “Alas!” said he to Pangloss, “get me a little wine and oil; I am dying.” (Voltaire: hal. 11) “He” adalah tokoh bernama Candide.Ia sebenarnya tidak berada di ambang kematian. Ia hanya malas utuk mengambil anggur dan minyak, dan menyuruh Pangloss untuk mengambilkan kedua benda itu untuknya. 9) Malapropism, salah melafalkan nama atau sesuatu dengan sengaja, dengan tujuan untuk mengolok-olok (Gaughen: 2016) Contoh: Lets dance a flamingo! (Yang benar adalah flamenco)
10) Travesty, pernyataan yang mengolok-olok sesuatu yang bersifat serius (biasanya agama) sampai tingkat yang rendah (Gaughen: 2016). Contoh: Two weeks later, they were married, after Herbert had converted to…some religion the name of which he had forgotten. (Jonasson, 2012: 134)
11) Farce, adalah situasi yang dilebih-lebihkan hingga mustahil, untuk memancing tawa. Biasanya terdapat dalam komedi tingkat rendah; adegan pertengkaran, perkelahian, kekurangajaran, permainan kasar, nyanyian yang berisik, tindakan brutal, tipu muslihat, tingkah yang konyol, tingkah orang mabuk, slapstick. (Gaughen: 2016).
48
Contoh: Upon which, The Beauty started shouting angrily at the corpse slumped over the steering wheel, her theme being how the hell he could have been so stupid as to position his car across the road like that. (Jonasson, 2012: 74)
12) Metafora, adalah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk singkat (Keraf, 2010: 139) Contoh: Orang itu lintah darat. 13) Oksimoron, adalah suatu acuan yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan (Keraf, 2010: 136) Contoh: Kesepian dalam keramaian.
2.2. Kerangka pikir Kerangka pikir adalah alur atau pemikiran dalam suatu penelitian. Alur penelitian ini diawali dengan membaca novel The 100-Year-Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan mengidentifikasi ungkapan satire yang ada di dalam novel tersebut, lalu mencocokkan dengan terjemahannya dalam novel yang berjudul sama. Setelah itu, peneliti akan mengidentifikasi jenis-jenis kalimat berdasarkan kompleksitasnya, tipe satire, dan peranti retoris yang digunakan untuk menciptakan ungkapan satire. Kemudian, peneliti akan mengidentifikasi teknik penerjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel, dan ini dijadikan pijakan untuk menentukan kualitas
49
terjemahannya. Dalam tahapan ini, peneliti akan melibatkan informan (rater) untuk memberikan penilaian yang mencakup aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Berikut adalah diagram yang menggambarkan alur penelitian yang akan dilakukan.
Gambar 2.1. Alur Kerangka Pikir dan Tahapan Penelitian Novel The 100-Year-Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared (BSu)
Novel The 100-Year-Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared (BSa)
Kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel BSu.
Kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novelBsa.
Kompleksitas kalimat yang mengandung ungkapan satire
Tipe satire
Peranti retoris
Teknik penerjemahan
Kualitas terjemahan
Keakuratan
Keberterimaan
Informan (rater)
Keterbacaan
Responden
Kesimpulan