BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori 1. Pembelajaran IPS a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata "instruction" yang dalam bahasa Yunani disebut instructus atau "intruere" yang berarti menyampaikan pikiran, dengan demikian arti instruksional adalah menyampaikan pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan (Warsita, 2008: 265). Sagala berpendapat (2013 : 61) bahwa pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Pada hakikatnya pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik (Mulyasa, 2007: 255). Jadi, pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar untuk mencapai tujuan belajar peserta didik tersebut. Sanjaya (2014: 129) menyatakan pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berpikir informasi dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita
13
14
semestinya berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Ini sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu, sebelum menentukan strategi pembelajaran yang dapat diguakan, ada beberapa pertimbangan apa yang harus diperhatikan. Istilah pembelajaran sering diidentikan dengan pengajaran juga terlihat dalam redaksi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 20 (tentang Standar Proses) dinyatakan : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar “ ( Suyono dan Hariyanto, 2014 : 4). Pembelajaran membutuhkan sebuah proses yang disadari yang cenderung bersifat permanen dan mengubah perilaku. Pada proses tersebut terjadi pengingatan informasi yang kemudian disimpan dalam memori dan organisasi kognitif. Selanjutnya, keterampilan tersebut diwujudkan secara praktis pada keaktifan siswa dalam merespon dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi secara pada diri siswa ataupun lingkungannya (Thobroni, 2015:17). Berdasarkan
berbagai
pendapat
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk membelajarkan siswa secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pengetahuan tidak hanya langsung ditransfer kepada siswa dengan menganggap bahwa siswa itu seperti gelas yang masih kosong akan tetapi siswa juga harus dihormati sebagai individu. Individu yang pada dasarnya telah
15
memiliki pengetahuan sebelumnya. Proses pembelajaran dituntut untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sehingga siswa mempunyai inisiatif dan merasa bertanggung jawab atas pengalamannya dalam belajar serta memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri. Menurut Sugandi, dkk dalam Poerwati (2013 : 59) Ciri – ciri pembelajaran antara lain : a. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi dalam belajar. b. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang bagi siswa. c. Pembelajaran dapat menciptakan suasana yang aman dan menyenangkan bagi siswa. d. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis. e. Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara fisik maupun psikologis. b. Perencanaan Pembelajaran Menurut Sanjaya (2010) dalam Agung dan Wahyuni (2013 : 1-6) secara terminologi, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua kata, yakni perencanaan dan pembelajaran. Perencanaan berasal dari kata rencana dan berarti pengambilan keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, proses suatu perencanaan harus dimulai dari penetapan tujuan yang akan dicapai melalui analisis kebutuhan kemudian menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat unsur yakni (1) adanya tujuan yang
16
harus dicapai; (2) adanya strategi untuk mencapai tujuan; (3) adanya sumber daya yang dapat mendukung; dan (4) implementasi setiap keputusan. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
yang memuat identitas materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar (Suprihatiningrum, 2013: 114 ). Dalam penyusunan perencanaan khususnya dalam pendidikan karakter di sekolah harus terdapat beberapa hal sebagai berikut : a. Perencanaan hendaknya selalu berorientasi ke depan. Itu artinya perencanaan pendidikan karakter harus bisa meramal nilai-nilai yang akan terjadi di masa yang akan datang, berdasarkan analisis yang akan terjadi di masa yang akan datang, berdasarkan analisis atau kajian terhadap kondisi masa lalu, dan masa sekarang; b. Perencanaan itu hendaknya sengaja dilahirkan, bukan karena faktor kebetulan, tetapi merupakan hasil pemikiran yang matang dan cerdas, serta bersumber pada data eksplorasi sebelumnya; c. Perencanaan hendaknya disertai tindakan nyata dari segenap warga sekolah, seperti kepala sekolah, guru, peserta didik, dan tenaga kependidikan lainnya; d. Perencanaan harus bermakna. Itu artinya perencanaan usaha atau tindakantindakan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan karakter yang sudah ditetapkan, hendaknya menjadi efektif dan efisisen.
17
Oleh karena itu sebelum menyusun perencanaan pendidikan karakter, hendaknya dilakukan kajian yang mendalam, kritis dan komprehensif terhadap harapan peserta didik, sekolah, guru, masyarakat pengguna (customers) dan stakeholders. Hasil analisis internal dan eksternal itu, kemudian dijadikan pertimbangan dalam penyususnan rencana strategis pengembangan pendidikan karakter, serta untuk merealisasikan visi dan misi sekolah (Wibowo, 2013: 144). Perencanaan pembelajaran yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Perencanaan ini meliputi: (1) tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar; (2) bahan pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan; (3) bagaimana proses belajar mengajar yang akan diciptakan oleh guru agar siswa mencapai tujuan secara efektif dan efisien; (4) bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui atau mengukur apakah tujuan itu tercapai atau tidak (Ali, 2010: 4-5). c. Pembelajaran IPS di SMP/MTs Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik. Salah satu diantaranya
18
adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari. Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu tema dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial (Kemdikbud, 2014:10). `
Konten pendidikan IPS dalam Kurikulum 2013 meliputi : 1. Pengetahuan : tentang kehidupan masyarakat di sekitarnya, bangsa, dan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkunganya. 2. Keterampilan : berfikir logis dan kritis, membaca, belajar (learning skills, inquiry), memecahkan masalah, berkomunikasi dan bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa.
19
3. Nilai : nilai- nilai kejujuran, kerja keras, sosial, budaya, kebangsaan, cinta damai, dan kemanusiaan serta kepribadian yang didasarkan pada nilai-nilai tersebut. 4. Sikap : rasa ingin tahu, mandiri,menghargai prestasi, kompetitif, kreatif dan inovatif, dan bertanggungjawab. Konten tersebut dikemas dalam bentuk Kompetensi Dasar. Kompetensi Dasar IPS SMP dikemas secara integratif dengan menggunakan aspek geografis sebagai elemen pengikat (Kemdikbud, 2014:13). d. Tujuan IPS Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Trianto, 2013 : 176). Abdu-Raheem dan Oluwagbohunmi dalam jurnalnya yang berjudul “PreService Teachers’ Problems of Improvisation of Instructional Materials in Social Studies in Ekiti State University” menjelaskan bahwa Ilmu sosial adalah subjek yang membantu peserta didik untuk menjadi lebih kompeten untuk tinggal di dunia modern. Hal ini juga memungkinkan mereka untuk mengembangkan wawasan ke dalam hubungan manusia , sikap dan nilai-nilai sosial. “Social Studies is a subject that assists learners to become more competent for living in the modern world. It also enables them to develop insight into
20
human relationship, social values and attitudes. For the above aims and goals to be achieved, teachers of Social Studies including the pre-service teachers need to bear in mind all necessary ingredients of learning, such as methods, techniques, devices and instructional materials that can be used for effective teaching and learning of the subject” (Oluwagbohunmi & Abdu-Raheem, 2015: Vol.6, No.3 hlm 207). Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Kemendikbud ( 2014 : 9) adalah menekankan pada pengetahuan dan pemahaman tentang bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah NKRI. Sedangkan menurut Gunawan (2013: 51) mengemukakan, mata pelajaran IPS bertujuan agar anak didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu. Dengan rumusan tujuan di atas, hasil belajar IPS yang diharapkan adalah melahirkan warga negara yang baik, yang demokratis, kreatif, kritis, memiliki kemampuan belajar, senang membaca, rasa ingin tahu, mampu berkomunikasi secara produktif di masyarakat, jujur, kasih sayang, bertanggung jawab, empati dan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sosial serta fisik, toleransi dan saling menghargai, santun dan saling menghormati, kemandirian dan kebersamaan, rasa kebangsaan dan menghargai karya budaya bangsa sendiri. Dengan memperhatikan tujuan dan hasil belajar tersebut, pembelajaran IPS adalah mata pelajaran yang sarat dengan pendidikan nilai atau pendidikan
21
karakter. Pembelajaran IPS senantiasa memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam pendidikan nilai atau pendidikan budaya dan karakter bangsa. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di SMP/MTs diorganisasikan secara baik. Ketercapaian tujuan mata pelajaran IPS didukung oleh proses pembelajaran yang dirancang dalam Kurikulum 2013 dan berlaku juga untuk IPS. Ada dua hal dalam pembelajaran IPS yaitu pendekatan pengembangan materi ajar yang selau dikaitkan dengan lingkungan masyarakat di satuan pendidikan dan model pembelajaran yang dikenal dengan istilah pendekatan saintifik. Duwarna (2004:55) dalam Susanto (2014 : 5) mengidentifikasi beberapa kelemahan guru pendidikan IPS ke dalam tujuh hal serius, yaitu : 1. Guru pendidikan IPS tidak bertindak sebagai fasilitator akan tetapi lebih banyak bertindak dan berposisi sebagai sumber belajar. 2. Guru pendidikan IPS lebih banyak cenderung tampil sebagai pendidik yang dapat mengembangkan secara terintegrasi dimensi intelektual, emosional, dan sosial. 3. Guru pendidikan IPS lebih cenderung bertindak sebagai pemberi bahan pembelajaran belum bertindak pembelajar. 4. Guru pendidikan IPS belum dapat melakukan pengelolaan kelas secara optimal lebih banyak bertindak sebagai penyaji informasi dari buku. 5. Guru pendidikan IPS belum berkiprah secara langsung terencana membentuk kemampuan berpikir dan sistem nilai peserta didik.
22
6. Guru pendidikan IPS lebih banyak bertindak sebagai pengajar, sehingga belum banyak bertindak sebagai panutan. 7. Guru pendidikan IPS belum secara optimal memberikan kemudahan bagi apara peserta didik perlu bertindak sebagai motivator dalam belajar. 8. Kelemahan pembelajaran dalam pendidikan IPS sebagaimana yang digambarkan di atas, pada intinya dapat disimpulkan adalah karena terbatasnya aktivitas belajar peserta didik dan sangat dominannya peran guru dalam proses pembelajaran. e. Karakteristik IPS Karakteristik mata pelajaran IPS di SMP/MTs menurut Kemdikbud (2014: 8) antara lain sebagai berikut : 1.
IPS dibelajarkan dengan menggunakan geografi sebagai platform.
2. IPS merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, eknomi, hukum dan plitik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama. 3. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi dan sosiologi yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau tema tertentu. 4. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. 5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan,
23
adaptasi dan pengelolaan lingungan, struktur, proses dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kenutuhan, kekuasaan, keadilan danjaminan keamanan. 6. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan. f. Nilai-nilai Karakter dalam Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah adalah mengusahakan agar peserta didik itu mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik mereka. Siswa dapat bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan kaykinan diri (Wibowo dan Hamrin, 2012 : 85). Kehidupan menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter yang begitu kaya. Begitu pula dengan agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang memberi pesan untuk
menjadikan
manusia
bermartabat
marupakan
sumber-sumber
pembelajaran pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi wadah dalam menghimpun nilai-nilai keluhuran umat manusia yang terhimpun dari agama, budaya, adat istiadat, kearifan lokal dan sebagainya. Semua mata pelajaran mengusung pendidikan karakter sebagai salah satu substansi pengetahuan dan nilai yang ingin ditanamkan kepada siswa. Berikut disajikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
24
Sosial (IPS) sebagaimana dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berikut ini : Tabel 1. Nilai-nilai Karakter dalam Mata Pelajaran IPS Mata Pelajaran
Nilai Utama Religius,
IPS
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
demokratis, nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, kerja keras. (Sumber: Kemendikbud, 2014: 80).
Nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat mengintegrasikan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario
pembelajaran)
dengan
memilih
metode
yang
cocok
untuk
dikembangkannya karakter peserta didik. Seperti contoh materi IPS Sejarah dengan materi “Pergerakan Nasional”, guru menerapkan nilai0nilai karakter tangguh, demokrtais, nasionalis serta kerja keras. 2. Nasionalisme a. Konsep Nilai Nasionalisme Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik,
25
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat ( Adisusilo, 2014: 56). Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (the believed capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai itu hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek, bukan objek itu sendiri (Darmadi, 2012 : 67). Menurut Winarno (2010 :3) Nilai bersifat abstrak, artinya nilai tidak dapat ditangkap melalui indra. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Misalnya nilai keadilan, kesederhanaan. Orang hidup mengharapkan mendapat keadilan. Kemakmuran adalah keinginan setiap orang. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Sependapat dengan itu Sjarkawi (2006: 29) mengungkapkan bahwa nilai merupakan kualitas suatu hal yang dapat menjadi objek kepentingan. Nilai merupakan suatu yang tidak hanya diyakini melainkan suatu yang menjiwai tindakan seseorang. Nilai seseorang selalu diukur melalui tindakan yang telah dilakukannya. Nilai-nilai ini merupakan bagian kenyataan yang tidak dapat dipisahkan atau diabaikan. Setiap orang melakukan tindakan haruslah sesuai
26
dengan seperangkat nilai-nilai baik nilai yang telah tertulis di masyarakat maupun belum. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya nilai adalah hal yang bersifat abstrak yang tidak ditangkap melalui indra dan merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Jadi pada dasarnya niai tidak dapat dilihat maupun dirasakan oleh indra manusia. Apabila suatu objek memiliki sifat atau kualitas yang baik maka dapat dikatakan objek itu bernilai positif. Nilai seseorang selalu diukur melalui tindakan yang telah dilakukannya, sehingga segala tindakan seseorang haruslah didasari dengan nilai-nilai yang sesuai dan telah berlaku di masyarakat. Dalam pembelajaran sejarah, nasionalisme merupakan tujuan pembelajaran yang sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran sejarah telah diberikan pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri (Aman, 2011:34). Nasionalisme sendiri mengacu pada faham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan nasion atau bangsanya. Di Indonesia terdapat banyak suku atau etnik. Kelompok etnik yang bersifat sangat lokal ini perlu dikoordinasi secara kolektif untuk menuju keinginan bersama. Jadi, klimaks dari pergerakan nasional adalah pembentukan bangsa Indonesia. E Renan menyebut bahwa nation est le desir d etre ensemble yaitu keinginan untuk ada bersama atau
27
nation est le desir de vivre ensemble yaitu keinginan untuk hidup bersama (Suhartono, 2001:4). Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama
utuk sekelompok manusia.
Substansi
nasionalisme
Indonesia
mempunyai dua unsur. Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia ( Susanto, 2014: 2). Menurut Abdullah (2001: 45) nasionalisme adalah sebuah cita-cita yang ingin memberi batas antara “kita yang sebangsa” dengan mereka dari bangsa lain, antara “negara kita” dan negara mereka, hubungan cita-cita nasionalisme, yang bercorak trans-etnik dan yang menginginkan terjadinya identifikasi “bangsa” dan “negara”, bisa tersalin dalam pola perilaku, yang bahkan menuntut pengorbanan. Berdasarkan pengertian nasionalisme di atas, maka terdapat unsur pokok pembentukan nasionalisme yaitu : a. Kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada Negara kebangsaan. b. Keinginan untuk hidup bersama, pendirian rohani yang diwujudkan dengan keinginan untuk membentuk suatu Negara kedaulatan. Kesimpulan dari unsur-unsur di atas bahwa nasionalisme adalah paham kesadaran seseorang (individu) dalam suatu bangsa yang berkeinginan untuk mendirikan,
mempertahankan
serta
mengisi
suatu
bangsa
untuk
28
memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasionalnya yang didorong oleh keinginan untuk hidup bersama, persamaan satu jiwa serta suatu kebudayaan. Sikap nasionalisme merupakan sikap cinta akan tanah air, menurut (Aman, 2011 :141) ada 6 indikator yang menunjukkan sikap nasionalisme yaitu sebagai berikut : a. Cinta tanah air Cinta tanah air atau patriotisme merupakan modal yang penting dalam membangun suatu Negara. Suatu Negara yang dihuni oleh orang-orang yang cinta tanah air akan membawa kearah kemajuan. Sebaiknya negara yang tidak didukung oleh cinta tanah air dari penduduk tersebut maka negara tersebut menunggu kehancuran. Pergerakan nasional yang tumbuh dan berkembang pada masa kolonial, merupakan wujud cinta tanah air yang puncaknya dengan diproklamasikan kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Wujud negara yang cinta tanah air ialah melestarikan budaya bangsa di era globalisasi dunia, meningkatkan etos kerja, mempunyai disiplin dalam arti luas, penghargaan terhadap pahlawan, peringatan hari bersejarah, mempunyai semangat kerja dan pengabdian terhadap negara. b. Menghargai jasa-jasa pahlawan Meneladani sikap kepahlawanan dan patriotisme adalah bentuk nyata penghargaan terhadap para pahlawan. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat melatih diri supaya memiliki sifat-sifat kepahlawanan dan semangat cinta bangsa dengan memulainya menghargai para pahlawan bangsa dengan
29
mengingat jasa-jasa mereka. Selain itu, mencontoh beberapa sikap mereka seperti sikap rela berkorban, bersedia meminta dan memaafkan. c. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara Realitas menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa mengarahkan kepada bangsa Indoenesia pluraritas diberbagai hal seperti suku, budaya, ras, agama, dan sebagainya. Anugrah itu patut disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan tetap dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan demi kemajuan dan kejayaan bangsa. d. Mengutamakan persatuan dan kesatuan Kata persatuan dan kesatuan berasal dari kata “satu” yaitu sesuatu yang tidak terpisah-pisah. Nilai persatuan Indonesia mengandung usaha kearah bersatu dalam kebulatan rakyat membina nasional dalam Negara. Mengutamakan persatuan
dan kesatuan merupakan suatu proses
terwujudnya nasionalisme. Modal dasar persatuan suatu warga negara Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing dari macam-macam suku bangsa dapat menjalin kerjasama yang erat dalam gotong royong dan kebersamaan e. Berjiwa pembaharu dan tidak kenal menyerah Kesadaran bernegara dari seseorang ditentukan oleh kualitas mental sumber daya manusia itu sendiri. Kualitas mental yang diharapkan adalah manusia yang berkualitas tersebut maka diperlukan manusia yang berjiwa inovatif dan tidak kenal menyerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
30
usaha mempertahankan kelangsungan bangsa dan tanah air, giat mempelajari sejarah bangsa. f. Memiliki sikap tenggang rasa sesama manusia Tenggang rasa artinya dapat menghargai dan menghormati perasaan orang lain, dengan tenggang rasa manusia dapat merasakan atau menjaga perasaan orang lain sehingga orang lain tidak merasa tersinggung. Pelaksanaan sikap tenggang rasa dapt diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebagai berikut: a) Menghormati hak-hak orang lain. b) Kerelaan membantu teman yang mengalami musibah c) Kesediaan menjenguk teman yang sedang sakit. d) Kemampuan mengendalikan sikap, perbuatan, dan tutur kata yang dapat menyinggung atau melukai perasaan orang lain. Nasionalisme siswa dapat dilihat dari tingkah lakunya. Adapun sikap atau tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai nasionalisme adalah sebagai berikut : a) Siswa merasa senang dan bangga menjadi warga negara Indonesia b) Siswa mampu menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. c) Siswa giat belajar untuk menghadapi tantangan di era globalisasi. d) Siswa mempunyai rasa tolong menolong kepada sesamanya yang membutuhkan. e) Mencintai produk dalam negeri.
31
f) Menjenguk teman yang sakit. g) Menghormati bapak ibu guru di sekolah h) Menghormati teman di sekolah i) Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain. Sedangkan menurut Yaumi (2014 : 105) karakter cinta tanah air harus ditanamkan sejak dini sehingga peserta didik bisa memiliki cinta yang begitu besar kepada negara dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menggali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia untuk menjadi modal dasar dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. 2. Menunjukkan rasa cinta kepada budaya, suku, agama, dan bahasa Indonesia. 3. Memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada perjuangan para pendahulu (pendiri) bangsa dengan menghargai dan mengamalkan hasil karya dan jerih payah yang ditinggalkan. 4. Memiliki
kepedulian
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
kebersihan
lingkungan, dan pemeliharaan terhadap flora dan fauna. 5. Berpartisipasi aktif untuk memberikan suara dan memilih pemimpin bangsa yang mampu membawa kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia. Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yaitu: a. Kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintah, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy kehidupan.
32
b. Kebebasan (liberty,freedom,independence), dalam beragama, berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi. c. Kesamaan (equality), dalam keadaan hukum, hak dan kewajiban. d. Kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaan. e.
Prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (walfare) serta kebesaran dan manusia (the greatnees and the gloryfication) dari bangsanya (Kartodirjo dalam Aman, 2011:41). Dari berbagai pendapat yang terdapat pada pengertian nilai dan pengertian
nasionalisme, dapat dikaji bahwasanya nilai nasionalisme yakni rasa cinta tanah air serta sikap untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsa, sehingga akan muncul perasaan satu sebagai suatu bangsa, satu dengan seluruh warga yang ada dalam masyarakat. Adapun bentuk dari nasionalisme yaitu memiliki toleransi, memiliki kedisiplinan, memiliki tanggung jawab, memiliki kerja keras, memiliki sopan santun, dan memiliki sikap peduli sosial. b. Strategi Penanaman Nilai Nasionalisme Nasionalisme berkaitan erat dengan pendidikan karakter. Karakter sepeti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Sekolah perlu memilih model penanaman nilai yang sesuai dengan kenyataan dan kondisi sekolah masing-masing. Dari model yang dipilih, metode penyampaiannya pun perlu diperhatikan. Metode penyampaian harus sesuai dengan model pendidikan
33
karakter dan tujuan yang akan di capai, metode adalah cara untuk menyampaikan nilai-nilai kepada siswa (Suprihatiningrum, 2013 : 262). Menurut Samani (2011 : 58-63) strategi penanaman nilai bisa melalui: 1. Penanaman nilai secara terpadu melalui pembelajaran Penanaman karakter atau nilai yang terpadu dalam pembelajaran merupakan pengenalan nilai-nilai, diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan internalisasi nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun luar kelas pada semua mata pelajaran. Kegiatan pembelajaran bertujuan menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan. Serta, dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari atau peduli, dan menginternalisasi nilainilai dalam bentuk perilaku. 2. Penanaman nilai secara terpadu melalui manajemen sekolah Manajemen didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan. Sedangkan proses yang berlangsung terus menerus, yakni dimulai dari membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning), mengorganisasikan sumber daya yang dimiliki (organizing), menerapkan kepemimpinan untuk menggerakkan sumber daya (actuating); hingga melaksanakan pengendalian (controlling). Sebagai suatu sistem pendidikan, dalam menanamakan nilai juga terdiri atas unsur-unsur pendidikan, yang selanjutnya akan dikelola mellaui
34
bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur penanaman nilai yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, muatan kurikulum nilai-nilai karakter, nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, nilainilai karakter pendidik dan tenaga kependidikan, serta nilai-nilai karakter pembinaan peserta didik. Manajemen yang diterapkan dalam pendidikan karakter harus bersifat partisipatif, demokratis, eloboratif, dan eksploraif sehingga semua pihak merasakan kemajuan secara signifikan. 3. Penanaman nilai secara terpadu melalui ekstrakulikuler Kegiatan ekstrakulikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berwenang di sekolah. Ekstrakulikuler jangan hanya didesain biasa-biasa saja, tidak menarik, monoton, menjadi beban bagi anak, tidak ada nilai rekreasi dan refreshingnya serta memusingkan kepala dan memberatkan peserta didik. Ini yang harus dihindari dan menjadi tantangan bagi kepala sekolah dalam memberdayakan ekstrakulikuler ini secara maksimal, efektif, dan produktif bagi perkembangan karakter anak. Sependapat dengan hal tersebut, Kokom Komalasari dkk menyebutkan dalam jurnalnya yang berjudul “Living Values Education Model in Learning and Extracurricular Activities to Construct the Students’ Character” bahwa
35
sekolah sebagai pendidikan lingkungan merupakan suatu wadah dalam membangun karakter generasi muda. Pembangunan karakter di sekolah dilakukan melalui integrasi dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dan di luar kelas melalui kegiatan ekstrakurikuler. “School as education environment is a place to construct the character of young generation. The construction of character at school is conducted through the integration of learning activities in the classroom and outside the classroom through extracurricular activities” ( Komalasari, 2014 : Vol.5, No.7 hlm 168). Suparno (202 : 45-47) memberikan contoh metode penyampaian penanaman nilai yang relevan : 1. Metode keteladanan Keteladanan merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengajarkan nilai-nilai. Siswa terutama di tingkat pendidikan dasar akan meniru apa yang dilakukan oleh guru dan orang tuanya. Hal ini penting bagi guru dan orang tua memberikan teladan yang baik. Pengalaman anak sewaktu kecil yang terendap di memori jangka panjang akan lebih mudah dimunculkan kembali ketika anak menjadi dewasa. Dengan demikian, penting untuk menciptakan lingkungan yang penuh dengan keteladanan nilai-nilai baik. 2. Metode Pembiasaan Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah operan conditioning, mengajarkan pesera didik untuk membiasakan perilaku terpuji, disiplin, giat belajar, bekeraj keras, ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan. Metode
36
ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter, untuk membiasakan peserta didik dengan sifat-sifat baik dan terpuji. 3. Metode live in (Boarding School) Metode live in memungkinkaan anak memiliki pengalaman hidup bersama orang lain dalam situasi yang berbeda dengan situasi hidupnya sehari-hari, metode ini diterapkan dalam pondok pesantren, panti asuhan, atau asrama. Namun dapat juga dilaksanakan secara periodik seperti pesantren kilat atau tinggal di panti asuhan selama beberapa hari. Pada umumya, orang-orang yang tinggal di tempat tersebut berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Hal ini akan memberikan pengalaman kepada anak dalam mengenal lingkungan yang berbeda. Dengan pengalaman langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan dan dapat jadi tentang nilai-nilai hidupnya. c. Media Penanaman Nilai Nasionalisme Media apa saja yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai karakter seseorang? Banyak faktor atau media yang memengaruhi penanaman nilai karakter ini, menyebabkan pendidikan sebagai wahana penanaman karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Dalam berkembangnya teknologi informasi saat ini, peran media masa yang terdiri atas media cetak, elektronik maupun multimedia termasuk di dalamnya internet, juga memberikan pengaruh positif terhadap penanaman nilai karakter. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
37
karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, lingkungan sosial, pendidikan formal, dan media massa (Sulistyowati, 2012:38). 1. Keluarga Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejakn usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih bdewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, empati, kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia berbeda status sosial, suku, agama, ras, latar belakang budaya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan, faktor sosialisasi dan lingukungan. Oleh karea itu, disamping pendidikan, peran keluarga juga sangat penting terhadap berkembangnya karakter anak. Sebagimana yang diungkapkan Istiningsih dalam jurnalnya yang berjudul “Contribution of
Religion and Media Awareness in
Building Character Appearance in the Family, Campus, Community, and in the Self” bahwa keluarga merupakan lingkungan strategis dalam membentuk karakter siswa dan menekan munculnya karakter. Oleh karena itu penting untuk memberdayakan keluarga. “The family is the strategic environment in shaping the character of the students and suppress the appearance of the character. Therefore
38
important to empower families” (Istianingsih, 2013 : Vol.4, No.9 hlm 72). 2. Pendidikan Formal Pendidikan formal yang dikelola dalam berbagai lembaga pendidikan diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembagalembaga pendidikan formal diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian, pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolahsekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang, belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Dalam menjalankan pendidikan karakter, terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan praktiknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu, nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum. Sehingga, semua siswa dalam sekolah
paham
menerjemahkannya
benar
tentang
dalam
nilai-nilai
perilaku nyata.
tersebut
dan
Untuk itu,
mampu
diperlukan
pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif diterapkan di seluruh sekolah. 3. Media Masa Peran media dalam penanaman karakter siswa sangat besar. Pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, di antaranya : a. Menimbulkan peniruan langsung (copy-cut) b. Menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation)
39
c. Terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa. 3. Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter merupakan proses untuk menuntun peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, raga, pikir, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani 2011 : 45). Menurut Jarolimek dalam Zuriah (2007: 19) pendidikan karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai-nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Sedangkan Amri (2011: 6) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Oleh karena itu, dari pengertian pendidikan karaker diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan konsep dasar yang diterapkan ke dalam pemikiran seseorang untuk menjadikan akhlak jasmani
40
rohani maupun budi pekerti agar lebih berarti dari sebelumnya sehingga dapat mengurangi krisis moral yang menerpa negeri ini b. Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya untuk mengkaji, menanamkan, serta memaknai nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Amri 2011:31). Adapun tujuan pendidikan karakter menurut Aqib (2012 : 65) adalah : 1. Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. 2. Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. 3. Memupuk ketegaran dan kepekaan peserta didik terhadap situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial. 4. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Guru merupakan aktor utama pembelajaran. Karena itu, guru sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan
41
pendidikan karakter lebih-lebih pendidikan antikorupsi yang saat ini tengah menjadi andalan pemerintah, maka peranan guru sangat penting. Pendek kata, peran guru dalam keberhasilan internalisasi pendidikan karakter kepada anak didik adalah kunci utama. Faktor lain seperti kurikulum, budaya, kegiatankegiatan spontan, hanya merupakan pendukung bagi guru (Wibowo, 2013 :125). c. Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 berkaitan erat dengan penerapan pendidikan karakter di sekolah melalui pembelajaran di kelas. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada model pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik yang berbasis pada pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengembangkan tiga kompetensi penting, yakni kognisi, afeksi, dan psikomotor. Kurikulum 2013 telah mengamanatkan
untuk
memberikan
kesempatan
pada
siswa
dalam
mengembangakan domain sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dituangkan dalam standar Kompetensi Lulusan (SKL) baik tingkat SD, SMP maupun SMA/SMK yang selanjutnya di uraikan dalam Kompetensi Inti (KI) yang terdiri dari KI sikap spiritual, KI sikap sosial, KI pengetahuan dan KI keterampilan. Kompetensi inti ini menjadi payung bagi semua mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang sekolah tertentu. Kompetensi Inti ini selanjutnya dijabarkan di masing-masing mata pelajaran dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD) yang meliputi KD yang berasal dari sikap spiritual, KD yang berasal dari sikap social, KD yang berasal dari pengetahuan, dan KD dari keterampilan. Dalam proses pembelajaran yang dilakukan guru terhadap siswa harus mencakup KD sikap spiritual, KD sikap sosial, KD pengetahuan dan KD keterampilan sehingga
42
kompetensi yang berkembang dalam pribadi siswa tentu menyeluruh dari semua domain sikap, pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut sesuai dengan Muzamiroh (2013:54) pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan, kurikulum 2013 menekankan pada pembentukan sikap. Salah satu ciri kurikulum 2013 adalah selalaui mengaitkan antar sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam satu kontek pembelajaran. Guru menyampaikan materi dari KD yang berasal dari KI 3 yaitu unsur pengetahuan, selanjutnya dikembangkan KD yang berasal dari KI 4 yaitu unsur keterampilan, barulah di pikirkan sikap(KD yang berasal dari KI 1 dan 2) apa yang akan dikembangkan melalaui KD 3 dan KD 4 itu. Dengan demikian satu proses pembelajaran berlangsung siswa akan mengembangkan aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan secara bersamasama, artinya dengan kurikulum 2013 itu akan terbangun pendidikan karakter secara otomatis karena penanaman nilai-nilai kehidupan (nilai-nilai karakter) terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran. d. Pendidikan Karakter Kemendiknas Grand desain yang dikembangkan Kemendiknas (2010) mengandung arti bahwa secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu meliputi fungsi dari seluruh potensi manusia yakni meliputi kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik
dalam konteks interaksi sosial kultural.
Interaksi sosio kultural tersebut yakni dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat
43
yang berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial kultural tersebut dapat dikelompokkan menjadi olah hati (spiritual and emosional development), olah pikir (intellectual development) olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), serta olah rasa (affective and creativity development).
Gambar 1 : Pengelompokan Konfigurasi Karakter dalam Psikologis (Sumber : Aqib, 2012: 32) Berdasarkan gambar di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosialkultural dalam konteks interkasi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat (Wibowo, 2011: 45). Pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan, pembelajaran, dan fasilitas. Melalui pendidikan, pembangunan karakter dilakukan dalam konteks makro dan mikro. Dalam konteks makro, penyelenggaraan
44
pendidikan
karakter
mencakup
keseluruhan
kegiatan
perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan (implementasi) dan pengendalian mutu, yang melibatkan seluruh unti utama di lingkungan pemangku kepentingan pendidikan nasional. Sedangkan dalam konteks mikro
merupakan penyelenggaraan
pendidikan karakter pada tingkat sekolah (Sulistyowati, 2012: 9) Alur penyelenggaraan pendidikan karakter secara makro seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 2 : Desain pengembangan pendidikan secara makro (Sumber: Aqib, 2012: 72) Berdasarkan gambar di atas, implementasi nilai-nilai pendidikan karakter dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yakni dalam : 1) sekolah, 2) keluarga, 3) masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan, akan ada dua jenis pengalaman belajar yang akan dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi, dikembangkan suasana interaksi belajar dan
45
pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur . Agar proses pembelajaran tersebut berhasil, peran guru sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Menurut Mir Abdullah Shahneaz dalam jurnalnya yang berjudul “ The Impact of Teacher and Technology in Class Room” guru dalam menjalankan perannya tidak saja hanya menjadi penyampai ilmu tapi juga menjadi contoh anak didiknya serta bisa menjadi peran apapun yang dibutuhkan anak didiknya termasuk penasihat yang bijak. “Teacher is responsible for many tasks in the classroom teaching. Teacher plans and implement the instructions. He plays the role of managers, psychologists, counselors, custodians, communicators, social ambassadors and entertainers”. (Shahneaz, 2014 : Vol.5, No.27 hlm 84). Sedangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat, intervensi dilakukan dengan memberikan contoh pembelajaran melalui perilaku terpuji dan karakter yang baik. Sementara itu, dalam habituasi, diciptakan situasi dan kondisi dan penguatan yang memungkinkan siswa pada sekolah, rumah, lingkungan, membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian
contoh,
pembelajaran,
pembiasaan,
dan
penguatan
harus
dikembangkan secara sistematik, holistik, dinamis, kuat dan pikiran yag argumentatif. Diharapkan, melalui pilar satuan pendidikan (sekolah), keluarga dan
46
masyarakat dapat dilakukan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai karakter secara efektif. Sedangkan alur penyelenggaraan pendidikan karakter secara mikro seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 3 : Desain pengembangan pendidikan karakter secara mikro (Sumber: Aqib, 2012: 34) Pengembangan karakter di sekolah dibagi dalam empat pilar, yakni belajarmengajar di kelas, keseharian dalam bentuk pengembangan budaya sekolah; kokurikuler dan/ atau ekstrakulikuler, serta keseharian di rumah dan masyarakat. Implementasi pendidikan karakter di sekolah dikembangkan melalui pengalaman belajar, dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri siswa. Pendekatan karakter dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dilaksanakan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata
47
pelajaran. Selain itu, pendidikan karakter juga dikembangkan melalui kegiatan ekstrakulikuler. Melalui kegiatan tersebut, siswa dapat difasilitasi untuk mengembangkan karakter mereka, pendidikan karakter di sekolah juga harus dilaksanakan melalui pengelolaan sekolah. Selanjutnya implementasi pendidikan karakter bisa dilakukan dalam bentuk budaya sekolah, perlu dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio kultural sekolah, memungkinkan para siswa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Pola ini ditempuh dengan melakukan pembiasaan dengan pembudayaan aspek-aspek karakter dalam kehidupan keseharian di sekolah dengan pendidik sebagai teladan (Aqib, 2012:35). Pendidikan karakter, selain diterapkan di sekolah, dilingkungan keluarga dan masyarakat, diupayakan juga agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan lingkungan masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah, pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang berhubungan dengan kumpulan kegiatan sekolah dan keluarga yang bertujuan menyamankan langkah dalam membangun karakter di sekolah, rumah, dan masyarakat (Wibowo, 2011:48). Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan assesment program untuk perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri siswa sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan
48
pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan pikiran yang argumentatif. Ketika semua urusan sekolah dari hari ke hari dikelola dengan dilandasi oleh pelaksanaan nilai-nilai karakter, sekolah akan menjadi komunitas yang berkarakter. Sekolah akan menjadi tempat di mana nilai-nilai karakter dilaksanakan, dan sekolah akan menjadi tempat bagi setiap siswa membiasakan perilaku berkarakter. B. Penelitian yang Relevan Berikut ini akan dikemukakan penelitian yang relevan dengan bahasan dalam penelitian ini : 1. Jurnal pendidikan karakter, Tahun IV, Nomor 1, Februari 2014. Aman Dengan judul “Aktualisasi Nilai-Nilai Kesadaran Sejarah dan Nasionalisme Dalam Pembelajaran Sejarah di SMA” Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) aktualisasi nilai-nilai kesadaran sejarah dalam pembelajaran sejarah ditunjukkan melalui upaya a)penanaman penghayatan arti penting, sejarah untuk masa kini dan mendatang, b) mengenal diri sendiri dan bangsanya, c) pembudayaan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa, dan (d) menjaga kepentingan sejarah bangsa. (2) aktualisasi nilai-nilai nasionalisme ditunjukkan melalui upaya penanaman (a) rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, (b) rasa cinta tanah air dan bangsa, (c) rela berkorban demi bangsa, (d) menerima kemajemukan, (e) rasa bangga pada budaya yang beraneka ragam, (f) menghargai jasa para pahlawan, dan (g) mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
49
2. Skripsi.Gita Enggarwati (2013) berjudul “ Penanaman Sikap Nasionalisme Melalui Mata Pelajaran IPS Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Sumampir” Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa cara guru untuk menanamkan sikap nasionalisme melalaui mata pelajaran IPS antara lain dengan pembiasaan, keteladanan, pemberian contoh yang kontekstual, pembelajaran melalui cerita dan media, seperti gambar pahlawan dan lagu nasional. Hal yang paling efektif dilakukan oleh guru diantara cara tersebut adalah pembiasaan dan keteladanan karena dapat dilakukan guru setiap hari. Perwujudan sikap nasionalisme siswa antara lain perilaku rela berkorban, cinta naha air, bangga sebagai bangsa Indonesia, persatuan dan kesatuan, patuh terhadap peraturan, disiplin, berani, jujur, serta bekerja keras. Perilaku siswa yang paling menonjol diantara aspek tersebut adalah kerja keras karena guru melakukan pembiasaan kepada siswa untuk aktif ketika pembelajaran. Penyebab terhambatnya penanaman sikap nasionalisme antara lain keterbatasan media pembelajaran, waktu, serta kesenjangan antara lingkungan keluarga dan masyarakat. 3. Agung, Leo.2011. Vol XII, No. 2 : “Character Education Integration in Social Studies Learning, dalam HISTORIA: International Journal of History Education”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan karakter yang berfokus pada pengembangan identitas siswa untuk menjadi cerdas dan berkarakter perlu dipaksa melalui pendidikan formal dan informal. Hal ini dapat diimplementasikan dalam pendidikan formal di sekolah, khususnya melalui pelajaran IPS, karena tujuan IPS tidak hanya tentang aspek kognitif
50
(keterampilan intelektual), tetapi juga aspek afektif (keterampilan personal). Dengan kata lain, pembelajaran IPS umumnya diajarkan tentang sikap, nilai, dan moral. Oleh karena itu, guru IPS harus mampu kreatif merencanakan pelajaran dan menerapkannya. Hal yang penting dalam proses pembelajaran adalah guru sebagai model peran. 4.
Sutrisna, Edy dan Wasino.2010. Vol 20 No.2 dalam PARAMITA hlm 178189 “Pembelajaran IPS dalam realita di era KTSP: Studi Eksplorasi Pelaksanaan Pembelajaran IPS Pada SMP di Kabupaten Pati” menyatakan bahwa Di tengah-tengah keterbatasan media pembelajaran dan sumber pembelajaran IPS yang tersedia di sekolah, para guru IPS secara umum juga jarang memanfaatkan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial sebagai media dan sumber pembelajaran. Padahal rata-rata guru telah memahami bahwa laboratorium IPS sebagian besar justru terdapat di lingkungan. Sejatinya, para guru IPS telah mengetahui dengan baik bahwa lingkungan merupakan sumber dan media pembelajaran IPS. Kepedulian dan kreativitas guru dalam merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pembelajaran yang baik masih menjadi kendala.
5. Citra
Ayu
(2014)
Universitas
Negeri
Semarang,
Judul:
“Peranan
Pembelajaran Sejarah Dalam Penanaman Sikap Nasionaslisme siswa kelas XI IPS SMA Negeri Pecangaan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh globalisasi, internet dikalangan siswa kelas XI IPS SMA Negeri Pecangaan begitu mudah memasuki pikiran siswanya. Hal ini mengakibatkan siswa susah menerima apa yang disampaikan oleh guru. Siswa seringkali menggunakan
51
intenet tidak secara bijak sehingga dampak dalam pembelajaran berlangsung, siswa tidak konsentrasi dan penyerapan nilaipun terhambat. 6. W. O Ibukun. 2010. Vol 1, No 2. “Nigeria’s National Policy on Education and the University Curriculum in History: Implication for Nation Building” Penelitian ini mengkaji masalah pendidikan di Nigeria yang menekankan pendekatan yang lebih proaktif dalam pengajaran sejarah di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Pendidikan di Nigeria telah mengajarkan studi sosial karena pengajaran IPS dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk dapat maju dalam rangka membangun bangsa dari sekelompok etnis yang beragam. Pemerintah Nigeria membuat strategi adanya pengajaran sejarah atau ilmu sosial di tingkat sekolah dan perguruan tinggi disebabkan kurangnya kesadaran historis. pengajarn sejarah sebagai pendekatan untuk mencapai pembangunan bangsa di Nigeria hanya bisa bermakna jika teknik mengajar yang seperti teknik berpikir kritis yang digunakan di dalam kelas. Dalam penerapan pembelajaran sosial di sekolah menengah di Nigeria menggunakan pendekatan yang menekankan siswa pada ketrampilan berpikir analisis untuk memahami arti dan makna peistiwa masa lalu. Strategi tersebut mendorong siswa lebih mengerti keadaan historis negaranya yang membuat kecintaannya bertambah
terhadap negara dan membuat siswa lebih
menghormati kelompok-kelompok etnis lain yang ada di Negara tersebut. C. Kerangka Pikir Kerangka teoritis adalah kerangka pikir yang bersifat teoritis atau konseptual mengenai masalah yang akan diteliti. Kerangka pikir tersebut
52
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti. Pendidikan dewasa ini mempunyai tantangan yang besar, terkait masalah moral bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pergeseran moral anak bangsa, misalnya banyak siswa yang tawuran, demo mahasiswa yang berakhir kerusuhan merusak fasilitas umum, hal ini disebabkan karena mereka tidak menjunjung nilai nasionalis dan persatuan bangsa. Demikian ini sudah tergerusnya nilai-nilai bangsa yang mulai luntur, pendidikan merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks tersebut. Konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah tentang penanaman nilai nasionalismemelalui pembelajaran IPS sehingga dapat membentuk sikap nasionalisme peserta didik. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa sendiri. Baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri. Melalui Pendidikan karakter inilah penanaman nilai-nilai karakter yang saat ini sedang gencar dideklarasikan oleh pemerintah ditujukan untuk perbaikan moral bangsa. Guru IPS sebagai pendidik merupakan salah satu agen perubahan yang dapat ikut andil dalam pelaksanaan pendidikan karakter melalui proses pembelajaran IPS. Mata pelajaran IPS ini meliputi materi yang
53
telah dianalisis oleh guru sehingga didapatkan nilai-nilai karakter yang baik yang dapat dikembangkan dari diri peserta didik. Metode penanaman nilai yang dilakukan oleh guru IPS yaitu metode kebiasaan dan metode keteladanan untuk menenamkan nilai nasionalisme dalam pembelajaran IPS. Dalam penyampaian pembelajaran, metode, model, dan media (perencanaan pembelajaran) yang digunakan pun disesuaikan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan melalui budaya sekolah, kegiatan ekstrakulikuler yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Selain itu, faktor-faktor yang menghambat pengembangan karakter pun perlu untuk digali agar pendidikan karakter dalam pelaksanaannya benar-benar maksimal dan terealisasi dengan baik sehingga pengembangan karakter peserta didik dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari adanya pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan Karakter Kegiatan Ekstrakulikuler
Penanaman Nilai Nasionalsime
Budaya Sekolah Pembiasaan Pembelajaran IPS Peneladanan
Perencanaan Pembelajaran Guru IPS
Kendala
Gambar 4 : Kerangka Pikir Penelitian Evaluasi