BAB II KAJIAN TEORI 2.1
Kekerasan dalam pacaran
2.1.1 Konsep Pacaran Menurut KBBI (1986) pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah suatu proses penjajakan untuk memilih pasangan hidup yang di dalamnya terhadap suatu hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya diekspresikan melalui kontak fisik dan dapat menimbulkan rasa bahagia bila berada di dekat pasangannya. Pacaran (dating) dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran ada yang diartikan sebagai hubungan yang dijalani ketika seorang pria dan seorang wanita saling menyukai satu sama lain dan ingin menjajaki kemungkinan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius lagi, pelaku pacaran untuk merasa bebas saat terlihat dan itu selalu berdua dan saling mengungkapkan ekspresi sayang, atau hubungan yang dijalani sebagai kesempatan untuk mengenal lebih dalam seseorang yang akan menjadi suami atau istri di kemudian hari. Menurut Harrlock (1999) alasan mengapa para remaja melakukan pacaran adalah : a.
Untuk mendapat hiburan Remaja mengingini pacarnya memiliki ketrampilan sosial yaitu
1
b.
c.
d.
baik hati dan menyenangkan serta diharapkan pacarnya memiliki mobil dan uang sehingga dapat bersenang-senang. Sosialisasi Berpacaran dianggap perlu jika masih ingin menjadi anggota data suatu kelompok. Status Berpacaran dapat memberikan status didalam kelompok teman sebaya, semakin popular pacarnya semakin tinggi pula statusnya dalam kelompok. Pemilikan teman hidup Remaja memiliki tujuan untuk mendapatkan keserasian pasangannya sebagai teman hidupnya kelak. Remaja memutuskan untuk mencari seseorang pacar, bisa juga disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, sehingga anak yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orangtua, sang anakpun memutuskan untuk mencari-cari seseorang yang bisa mengerti dan menemani kesepian yang anak rasakan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah suatu keadaan dimana seorang laki-laki jatuh cinta kepada seorang wanita atau sebaliknya seorang wanita yang sedang jatuh cinta kepada seorang laki-laki. Atau keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan saling berkomitmen untuk mempunyai hubungan yang spesial. Pacaran dilatar belakangi oleh pelaku dan perilaku berpacaran yang memunculkan suatu paradigma dalam memahami dan menyikapi pacaran. Perilaku berpacaran merupakan upaya untuk mencari seseorang teman dekat yang dimana didalamnya terdapat komunikasi yang membangun, kedekatan emosi dan proses pendewasaan kepribadian. Pada hakikatnya berpacaran adalah suatu wadah bagi dua manusia yang berbeda jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk mengenal pasangan masing-masing, memahami karakter satu dengan yang lain dimana yang bertujuan untuk menuju ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.
2
2.1.2 Konsep Perilaku Kekerasan dalam pacaran Menurut Salim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) istilah “kekerasan” berasal dari kata “keras” yang berarti kuat, padat dan tidak mudah hancur, sedangkan bila diberi imbuhan “ke” maka akan menjadi kata “kekerasan” yang berarti: (1) perihal/sifat keras, (2) paksaan, dan (3) suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain. Menurut KUHP pasal 89, kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin secara tidak sah sehingga orang yang terkena tindakan itu merasakan sakit yang sangat. Menurut Murray (2006), kekerasan dalam pacaran merupakan suatu tindakan yang dilakukan kepada pasangan dengan menyalahkan, mengisolasi, memanipulasi, mengancam, menghina, serta melakukan kekerasan verbal, emosi, seksual, hingga kekerasan fisik. Murray mengatakan bahwa didalam perilaku kekerasan dalam pacaran juga terdapat kekuasaan, kontrol, dan dominasi yang kuat, yang membuat korban tetap bersama dan akan selalu tunduk atas semua perkataannya. Kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari dan benar-benar dilakukan secara sadar dan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan fisik atau non fisik/psikis pada orang lain. Tak ada yang memaksa para pelaku kekerasan bertindak demikian karena yang memiliki kekuasaan penuh untuk menghentikan tindakan tersebut adalah diri para pelaku itu sendiri. Seagal,(1997) menyatakan bahwa kesadaran dan pengetahuan tentang emosi memungkinkan bagi seseorang untuk memulihkan berbagai aspek
3
kehidupannya. Maka dari itu kecerdasan emosi sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam berhubungan sosial. Pusat pencegahan dan kesadaran serangan seksual pada Universitas Michigan di Ann Arbo (Murray, 2006), mendefinisikan kekerasan dalam pacaran (abusive datting relathionship) sebagai penggunaan dengan sengaja taktik kekerasan dan tekanan fisik untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dan kontrol terhadap pasangan intimnya. Set (2009) menambahkan pendapat bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan pola kekerasan berupa pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta untuk mengendalikan dan mengatur pasangan menuruti semua keinginan pelaku. Set menambahkan kekerasan dalam pacaran terjadi ketika ada kondisi yang tidak setara antara pasangan remaja, yang disebut sebagai hubungan dominan tidak seimbang. Set menambahkan bahwa sebagian besar hubungan cinta remaja memiliki titik lemah di dalam masalah kesimbangan dan kesetaraan dalam berpendapat, bersikap dan berbuat. Ketika dominasi terjadi tanpa perlawanan dari pasangan untuk kembali menyetarakan posisinya dalam hubungan cinta pasangan, maka akan muncul kondisi yang disebut sebagai kekerasan dalam pacaran. Dalam hal berpacaran masih banyak yang tidak peduli terhadap kekerasan yang terjadi, banyak diantaranya masih menganggap bahwa remaja yang sedang berpacaran baik-baik saja. Karena pada umumnya pacaran adalah masa yang indah untuk menyatukan dua perbedaan watak yang diwarnai emosi bahagia dan manisnya perbedaan.
4
Di tengah indahnya masa pacaran dan perasaan cinta yang bergelora justru tidak jarang terjadi tindak kekerasan didalamnya. Kekerasan dalam pacaran tidak mengenal batas usia pacaran maupun usia individu yang terlibat. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai tindak kekerasan dalam pacaran. Kekerasan yang terjadi dalam relasi berpacaran ini biasanya terdiri dari beberapa jenis misalnya serangan terhadap fisik, mental/ psikis,ekonomi, dan kekerasan seksual. Dari segi fisik seperti menendang, menampar, mencubit, menjambak, dan lain-lain. Sedangkan terhadap mental/ psikis seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, memaki-maki didepan umum, dan sebagainya. Sedangkan ekonomi sering meminjam uang atau barang-barang yang lain dan tanpa pernah dikembalikan, selalu meminta ditraktir, dan lain-lain. Dari beberapa pengertian mengenai kekerasan dalam pacaran yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dilakukan dengan sengaja oleh para pelaku kekerasan dengan menggunakan taktik dominasi yang digunakan oleh para pelaku sebagai cara untuk mengendalikan dengan adanya kekuasaan kontrol, dari segi fisik, psikis, ekonomi, termasuk ancaman untuk melakukan suatu tindakan dalam situasi berpacaran terhadap korban kekerasan. 2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran Menurut Metropolitan king City Counsil (Murray, 2006) ada beberapa faktor :
5
a. Penerimaan teman sebaya Remaja sangat bergantung pada penerimaan teman sebaya. Jika teman perempuannya percaya bahwa hubungan normal, ia biasanya tidak mampu menilai apakah pacarnya menunjukkan perilaku kekerasan. b. Ekspetasi gender Meskipun sekarang sudah terdapat persamaan gender, namun konsep wanita masih seperti yang dulu bahwa wanita tetap berada di bawah lakilaki. c. Kurang pengalaman, kurang informasi Umumnya remaja kurang pengalaman dalam berpacaran dan menjalin sebuah hubungan dibandingkan orang dewasa serta mungkin belum mengetahui apa yang boleh ada apa yang tidak boleh dilakukan. Misal pacar pemaksa, pacar yang pencemburu, posesif, dianggap sebagai tanda cinta dan kesetiaan. d. Punya sedikit kontak dengan orang dewasa Remaja sering merasa bahwa orang dewasa tidak menanggapi masalah remaja secara serius dan campur tangan orang dewasa menyebabkan hilangnya kepercayaan dan kemandirian, yang merupakan salah satu penyebab remaja menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri. e. Kurang akses pada sumber sumber sosial Remaja baik awal hingga akhir dan kurang memiliki akses kepenanganan medis dan tempat penampungan wanita yang mengalami kekerasan. f. Masalah legal Remaja pada umumnya kurang mendapat peluang legal seperti orang dewasa untuk memiliki akses kepengadilan dan bantuan polisi, sehingga menjadi penghalang bagi remaja yang tidak menginginkan adanya keterlibatan orangtua masing-masing dalam mengatasi kekerasan dalam hubungan. g. Penyalahgunaan subtansi Meskipun penyalahguaan subtansi bukan penyebab dari kekerasan dalam berpacaran, hal itu dapat meningkatkan peluang dan parahnya kekerasan. Alkohol dan obat-obatan mengurangi kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat keputusan denagan baik, pada remaja perempuan dan laki-laki. 2.1.4 Aspek-Aspek Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran Menurut Murray (2006) terdapat empat aspek kekerasan dalam pacaran yaitu verbal, emosi, kekerasan seksual dan fisik. Dalam verbal terdapat hal yang menjadi suatu perilaku kekerasan seperti memanggil dengan sebutan buruk (seperti jalang, pelacur, oon dan sebutan yang tidak pantas lainnya), kata-kata kasar dengan nada tinggi, dan memaki-maki pasangan pada saat berdua maupun
6
secara sengaja maupun tidak sengaja mempermalukan pacar didepan umum dengan kata-kata yang kasar atau mengejeknya. Kekerasan emosi jarang sekali disadari oleh para pelaku berpacaran, antara penggunaan tatapan yang mengintimidasi , memonopoli waktu pacar, mengisolasi pasangan dalam menjalin hubungan, dari keluarga dan teman, tidak mau disalahkan atas kesalahan yang dibuatnya, melakukan pengancaman dan pengintrogasian, bersikap mengekang, sering merusak benda milik pacar, dan paling tidak disadari oleh pelaku berpacaran sebagai tindakan kekerasan emosi yaitu sering mengkriktik penampilan pacarnya. Dalam perilaku kekerasan seksual sering kali yang terjadi adalah pemerkosaan dalam berpacaran. Bentuknya bisa berupa rabaan, ciuman, sentuhan yang tidak dikehendaki, pelecehan seksual, memaksa untuk melakukan hubungan seks dengan beribu satu alasan tanpa persetujuan, apalagi dengan ancaman akan meninggalkan, atau melakukan penganiayaan. Kekerasan fisik merupakan tingkat terakhir karena biasanya ada sejarah kekerasan mulai dari verbal, emosi, dan seksual. Kekerasan fisik biasanya yang dilakukan dalam berpacaran adalah dengan memukul, menampar, menekan, menendang, menjambak, mencubit, dan mendorong pacar. 2.2 Kecerdasan Emosi 2.2.1 Konsep Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosi pertama kali dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 2002) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi. Kualitaskualiatas tersebut antara lain empati, mengungkapkan, dan memahami
7
perasaan, pengendalian diri, amarah, kemandirian, penyesuaian diri, memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Menurut Goleman, (2002), manusia memiliki kecerdasan lain selain kecerdasan rasional, yaitu kecerdasan emosi. Keberhasilan individu ditentukan oleh kecerdasan rasional dan kecerdasan emosi serta intelektualitas. Shapiro (2003) menegaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah
semuanya,
dan
menggunakan
informasi
ini
untuk
membimbing pikiran dan tindakan. Goleman, (2002) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati kepada orang lain, serta adanya prinsip berusaha senang berdoa. Goleman, (2002) juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosi lebih ditujukan kepada upaya mengenali diri dan upaya mengelola emosi, agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan, terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk memotivasi, mengenali, menguasai, memahami, dan mewujudkan emosi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar
8
terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan, terutama yang terkait dengan sosial. 2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi Ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang Goleman (2002), yaitu : a. Lingkungan keluarga, kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Orangtua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi sehingga akhirnya menjadi bagian dalam kepribadian bagi sang anak. Orangtua yang baik akan dapat menyesuaikan dan mengerti perasaan anak dengan baik. b. Non lingkungan, non keluarga dalam hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat, dan lingkungan pendidikan kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Joseph Le Doux (dalam Goleman, 2002) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi, yaitu : a. Fisik, secara fisik bagian yang paling penting atau paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain bagian otaknya. Bagian-bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (disebut juga neocortex). Sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi yaitu limbic, tentang sesungguhnya hubungan antar ke dua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. b. Psikis, kecerdasan emosi selalu dipengaruhi oleh kepribadian individu, dapat disimpulkan dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi adalah suatu bentuk kecerdasan yang diperoleh dengan proses belajar. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan seseorang antara lain lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik dan psikis. 2.2.3 Aspek Aspek Kecerdasan emosi Menurut Goleman (2002) aspek-aspek kecerdasan terdapat lima aspek kemampuan yang terdiri dari :
9
a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan mengenali perasaan. b. Pengaturan diri, yaitu kemampuan untuk menangani emosi. Kemampuan ini tergantung pada kemampuan individu mengelola emosi supaya berdampak positif bagi dirinya sendiri ataupun bagi lingkungannya. c. Motivasi, yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita dalam mengambil inisiatif, dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. d. Empati, yaitu kemampuan mengenali dan ikut merasakan apa yang dirasakan
oleh
orang
lain,
mampu
memahami
perspektif
menimbulkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. e. Keterampilan sosial, yaitu ketrampilan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima aspek yang terdapat dalam kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. 2.2 Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Kekerasan Dalam Pacaran Pada umumnya pacaran yang ideal adalah hubungan cinta yang didalamnya ada perasaan saling memahami, memberi semangat, saling menjaga dalam hal-hal yang mengarah ke arah yang positif. Namun suatu yang ideal tersebut kadang bertentangan dengan kenyataan yang ada, sehingga muncullah suatu bentuk pacaran yang negatif, atau yang mengandung kekerasan. Menurut Murray (2006), kekerasan dalam pacaran dilakukan kepada pasangan dengan menyalahkan,
mengisolasi,
10
memanipulasi,
mengancam,
menghina, serta melakukan kekerasan verbal, emosi, seksual, hingga kekerasan fisik. Murray mengatakan bahwa didalam perilaku kekerasan dalam pacaran juga terdapat kekuasaan, kontrol, dan dominasi yang kuat, yang membuat korban tetap bersama dan akan selalu tunduk atas semua perkataannya. Sebuah tindak kekerasan dilakukan dalam keadaan sadar. Orang yang melakukan tindakan kekerasan dalam pacaran kebanyakan dikarenakan tidak memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol emosi disini dikaitkan dengan kecerdasan emosi, di mana pelaku kekerasan tersebut belum dapat mengenali, memahami, dan mengatur emosi dengan efektif sebagai ukuran dari kecerdasan emosi. Davis,(2006) menyatakan bahwa emosi adalah sejenis isyarat singkat bahwa kita telah mengevaluasi sesuatu disekitar dengan cara positf atau negatif. Emosi tersebut sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah ketika seseorang berada dalam situasi berpacaran. Akan sangat mungkin terjadi kekerasan dalam pacaran jika para pelaku tidak menyikapi suatu hal yang terjadi dalam berpacaran secara positif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran terhadap remaja, dengan r=-0,469 dan p = 0,000. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang semakin rendah perilaku kekerasan dalam pacaran. Begitu sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi seseorang maka semakin tinggi perilaku kekerasan dalam pacaran. Sebaliknya, peneltian yang dilakukan oleh Christiana, (2010) yang dilakukan pada siswa SMA Negeri 2 Ungaran, dimana dalam penelitiannya
11
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap informasi mengenai kekerasan dalam pacaran dari orangtua dan kecerdasan emosi dengan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja, dengan r=-0,157 dengan p=0,115 (p> 0,05) dimana mempunyai arti tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja. 2.4. HIPOTESIS 2.4.1. Hipotesis penelitian Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik hipotesis : ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Angkatan 2010-2013.
12