BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran yang berarti “berbuat, to act atau to do”. Drama berarti perbuatan, tindakan, atau beraksi (action). Drama cenderung memiliki pengertian ke seni sastra. Di dalam seni sastra, drama setaraf dengan jenis puisi, prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang manusia. Cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aktion dihadapan penonton (audience) (Depdiknas, 2011: 5) Sementara Bethaazar Verhagen yang dikutip oleh Slamet Mulyana (dalam Depdiknas, 2011: 6) mengatakan bahwa drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa drama pada dasarnya adalah salah satu cabang seni sastra yang mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan menjadi
suatu lakon yang
dipentaskan di atas panggung. Drama juga adalah seni yang menggarap lakon-lakon
mulai
sejak
penulisannya
hinggga
pementasannya
yang
membutuhkan ruang, waktu, dan khalayak atau hidup yang disajikan dalam gerak yang memuat sejumlah kejadian yang memikat dan manarik hati. Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah “sandiwara”. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa “sandi” dan “warah”, yang berarti pelajaran yang diberikan secara diam-diam atau rahasia (sandi artinya rahasia, dan warah artinya pelajaran).
7
2
Istilah sandiwara seperti yang dipakai pada sandiwara radio atau sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata sandiwara dapat menggantikan kata drama. Selain kedua istilah di atas, kita juga mengenal istilah teater. Teater dan drama pada dasarnya memiliki arti yang sama, tetapi berbeda uangkapannya. Teater berasal dari kata yunani kuno "theatron" yang secara harfiah berarti gedung/tempat pertunjukan. Dengan demikian maka kata teater selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Jika peristiwa atau cerita tentang manusia kemudian diangkat ke suatu pentas sebagai suatu bentuk pertunjukan, maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulannya teater tercipta karena adanya drama. Hal senada diungkapkan oleh Tarigan (dalam Depdiknas, 2011: 7) bahwa dalam sastra Indonesia drama dipisahkan atas dua pengertian. Pertama, drama sebagai text play atau naskah karya sastra milik pribadi, yaitu naskah bacaan milik penulis drama yang masih membutuhkan pembaca soliter dan perlu digarap yang baik dan teliti jika ingin dipentaskan.
Kedua, drama sebagai teater atau
pementasan adalah seni kolektif atau pertunjukan yang siap dipentaskan sehingga berfungsi sebagai tontonan pertunjukan. Drama adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan(dialog), gerak dan tingkah laku. Naskah merupakan hal utama dalam bermain drama (modern) karena ia merupakan panduan bagi para pemeran (aktor) di atas pentas. Selain naskah, ada unsur-unsur lain yang sangat menentukan yaitu dekorasi (setting), musik, lighting, make up,kostum,nyanyian, tarian, dan unsur penunjang lainnya.
3
Menurut Aminuddin dan Roekhan (2003: 84) unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah drama adalah: 1. Penokohan dan Perwatakan Unsur utama dalam karya drama adalah pelaku. Dalam cerita pelaku berfungsi untuk (1) menggambarkan peristiwa melalui lakuan, dialog, dan monolog, (2) menampilkan gagasan penulis naskah secara tidak langsung, (3) membentuk rangkaian cerita sejalan dengan peristiwa yang ditampilkan, dan (4) menggambarkan tema atau ide dasar yang ingin dipaparkan penulis naskah melalui cerita yang ditampilkan. Fungsi tersebut dapat memberikan gambaran bahwa untuk memahami peristiwa, gagasan pengarang, rangkaian cerita, dan tema dalam suatu naskah drama, maupun karya pementas drama terlebih dahulu memahami lakuan, dialog, monolog, pikiran, suasana batin, dan hal lain yang berhubungan dengan pelaku. Berdasarkan fungsi di atas pelaku dapat dibedakan antara pelaku utama dan pelaku tambahan. Pelaku yang menjadi sumber dan berperan uatama dalam setiap peristiwa, berperan utama dalam membentuk cerita, mempunyai peranan penting dalan mewujudkan tema disebut pelaku utama. Sebaliknya pelaku yang hanya berfungsi sebagai pembantu atau pendukung kehadiran pelaku utama disebut pelaku tambahan. Agar pelaku yang ditampilkan dapat memberikan efek yang nyata atau hidup dan menarik perlu diadakan karakterisasi. Salah satu bentuk karakterisasi yang dilakukan adalah dengan memberikan gambaran penampilan dan gambaran perwatakan kepada para pelaku yang ditampilkannya. Penggambaran pelaku tersebut dapat dilakukan melalui penggambaran pikiran, sikap, suasana batin, perilaku, cara berhubungan dengan
4
orang lain, dialog, monolog komentar atau penjelasan langsung. Selain itu pelaku juga dapat digambarkan melalui pembicaraan, sikap, maupun pandangan pelaku lain terhadap yang dijadikan sebagai sasaran pemahaman. Dari sinilah para pembaca dapat merasakan adanya pelaku yang memberi kesan menyenangkan dan tidak menyenangkan. 2. Latar Cerita Termasuk dalam latar cerita adalah latar berupa peristiwa, benda, objek, suasana, maupun situasi tertentu. Latar dalam drama selain berfungsi untuk membuat cerita menjadi lebih tampak hidup juga dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan gagasan tertentu secara tidak langsung Latar cerita juga bisa berupa lingkungan kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan sosial budaya. Dalam hal demikian bisa juga latar tersebut tidak dapat ditentukan berdasarkan gambaran secara fisik tetapi mesti ditafsirkan oleh pembaca atau penonton. 3. Tema Cerita Tema merupakan ide dasar yang melandasi pemaparan suatu cerita. Tema mesti dibedakan dengan nilai moral atau amanat. Misal, ketika membuat naskah drama yang berjudul “Sampuraga” penyusun naskah bertolak dari tema “Anak yang durhaka kepada orang tua akan mendapat hukuman yang setimpal”. Tema demikian dapat saja terwujudkan dalam gambaran peristiwa maupun rangkaian cerita yang berbeda-beda sebagai lay down atau landas tumpu penceritaan sehingga pengembangan cerita mestilah menunjukkan keselarasan dengan tema ataupun berbagai pokok permasalahan yang digarap melalui pengembangan ceritanya.
5
4. Penggunaan Gaya Bahasa Sebagaimana dalam puisi, karya drama juga menggunakan gaya bahasa dalam penerapannya. Penggunaan gaya bahasa tersebut antara lain difungsikan untuk (1) memaparkan gagasan secara lebih hidup dan menarik, (2) menggambarkan suasana lebih hidup dan menarik, (3) untuk menekankan suatu gagasan, (4) untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Meskipun ada beberapa kesamaan dengan penggunaan gaya bahasa dalam puisi maupun karya drama pada umumnya, dalam drama terdapat penggunaan gaya bahasa yang sulit digunakan dalam puisi karena penggunaan gaya bahasa tersebut berkaitan dengan penggambaran suatu cerita keseluruhan. Gaya bahasa yang dimaksud adalah gaya bahasa ironi, yaitu penggunaan gaya bahasa untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung melalui pemaduan antara penggunaan bahasa, penggambaran peristiwa, dan penyampaian cerita. 5. Rangkaian Cerita Penentuan rangkaian cerita dalam drama berbagai macam. Apabila ditentukan berdasarkan cerita berbentuk roman misalnya, rangkaian cerita tersebut dapat digambarkan melalui tahap-tahap; perkenalan, komplikasi, konflik, klimaks,antiklimaks, dan penyelesaian. Unsur-unsur dan rangkaian cerita tersebut tidak selalu berlaku dalam setiap cerita drama. untuk menyusunnya pun pembaca harus menggambarkan ulang berbagai peristiwa yang termuat dalam cerita yang dibacanya. Untuk menyusun gambaran peristiwa tersebut sehingga membentuk sebuah plot, pembaca mungkin menggarapnya berdasarkan urutan waktu maupun urutan sebab akibat.
6
Dalam memerankan drama seorang pemain harus dapat membayangkan latar dan tindakan pelaku dan dapat menggunakan suara sesuai dengan pemahamannya terhadap perasaan dan pikiran pelaku. Bermain drama yang merupakan pengembangan keterampilan berbicara harus dapat dilatihkan dengan sungguh-sungguh kepada siswa sekolah dasar melalui kegiatan pembelajaran. Untuk mengembangkan keterampilan bermain drama seseorang siswa, tentunya guru harus memiliki dan memahami berbagai metode, teknik, dan model pembelajaran sehingga pembelajaran bermain drama dapat dipahami oleh siswa, dan menumbuhkan rasa antusias siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. (Lisa Rindani, 2012; 6) Dalam drama yang dibagi menjadi sejumlah babak biasanya kita menemukan detail tahapan cerita dalam setiap babaknya yang dapat kita rinci ke dalam tahap-tahap tertentu. Bahkan tidak terutup kemungkinan dalam setiap babak tersebut seakan-akan kita sudah bisa membentuk sebuah kesatuan cerita yang belum menggambarkan adanya klimaks dan penyelesaian. Sebelum bermain drama, Dewojati (2012:266) mengemukakan beberapa dasar-dasar pementasan yang perlu dikuasai dengan baik supaya pemntasan dapat menarik simpati penonton. Dasar-dasar tersebut sebagai berikut: 1) Penguasaan Lafal Seorang calon pemain drama harus menguasai pelafalan bunyi konsonandan vokal sesuai dengan artikulasinya secara tepat dan sempurna. Disertai suara yang jelas dan keras.Penguasaan lafal ini biasanya di tempat terbuka untuk mengulang-ulang suatu pelafalan/vokal tertentu sampai sempurna pengucapannya.
7
2) Penguasaan Intonasi Di samping lafal, mimik dan gerak tubuh, pemain drama harus pula menguasai intonasi dasar sedih (tempo lambat-nada rendah-tekanan lembut) intonasi marah (tempo cepat, nada tinggi, tekanan keras) dan intonasi gembira (tempo-nada-tekanan bersifat sedang). Suatu peran menjadi hidup bila aktornya memiliki penguasaan pemahaman dan penghayatan watak peran yang tepat. Ketika dialog pemain belum bisa menguasai intonasi, maka dialog yang diucapkan oleh pemain akan sulit dimengerti. 3) Penguasan Kelenturan Tubuh/Gesture Dalam penguasaan kelenturan tubuh atau gesture ini penting dalam sebuah pementasan drama.Tubuh seorang pemain drama harus lentur atau elastis sehingga dalam memainkan peran tertentu tidak kelihatan kaku.Untuk mencapai penguasaan tubuh yang elastik tersebut, perlu melakukan serangkaian gerakan seperti berlari cepat dalam jarak dekat, bolak balik ke utara, selatan, timur, barat, ke segala penjuru. Berjalan dengan menggambarkan perasaan sedih, jalan kepayahan membayangkan berjalan di padang pasir hingga jatuh bergulingan, dan seterusnya. 4) Penguasaan Mimik dan Ekspresi Seorang calon pemain harus menguasai mimik dasar seperti mimik sedih, gembira, marah dan lainlain. Mimik marah biasa ditandai dengan mata melotot, muka kemerah-merahan, kening berkerut, mimik sedih ditandai dengan wajah muram, pandangan mata sayu, dan mulut tertutup, sedang mimik gembira ditandai muka yang bercahaya, mata bersinar, dan mulut tersenyum.
8
Berbicara
merupakan
salah
satu
keterampilan
berbahasa
yang
membutuhkan suatu pemahaman dan kompetensi kebahasaan. Keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang di dalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik bersifat satu arah maupun timbal balik ataupun keduanya. Namun, keterampilan berbicara tidaklah dimiliki oleh seseorang secara otomatis. Keterampilan berbicara yang baik dapat dimiliki dengan cara mengolah maupun melatih seluruh potensi yang ada. Keterampilan berbicara harus dikembangkan melalui latihan. Salah satu latihan pengembangan keterampilan berbicara adalah bermain drama. Bermain drama merupakan suatu kegiatan memerankan tokoh yang ada dalam naskah melalui alat utama yakni percakapan (dialog), gerakan dan tingkah laku yang di pentaskan. Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa banyak manfaat yang dapat diambil dari drama diantaranya adalah dapat membantu siswa dalam pemahaman dan penggunaan bahasa (untuk berkomunikasi), melatih keterampilan membaca (teks drama), melatih keterampilan menyimak atau mendengarkan (dialog pertunjukan drama, mendengarkan drama radio, televisi dan sebagainya), melatih keterampilan menulis (teks drama sederhana, resensi drama, resensi pementasan), melatih wicara (melakukan pementasan drama) (Waluyo, 2001:158). Dalam memerankan drama, seorang pemain (aktor) harus mampu membawakan dialog sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya, menghayati sesuai dengan tuntutan peran yang ditentukan dalam naskah, mampu membawakan dialog tersebut dengan gerak yang pas (tidak berlebihan atau dibuat-buat), mampu membayangkan latar dan tindakannya serta mampu
9
mengolah suara sesuai dengan pemahamannya terhadap perasaan dan pikiran pelaku. Upaya
untuk
meningkatkan
keterampilan
bermain
drama,
perlu
menggunakan suatu metode yang mampu menggugah minat siswa dalam bermain drama. Salah satunya dengan menghadirkan suatu pembelajaran yang mampu meningkatkan keterampilan bermain drama. Pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan proses belajar yang nantinya dapat meningkatkan hasil belajar yang akan dicapai. Selama pembelajaran drama guru hanya memberikan materi, memberikan tugas
kepada
siswa
untuk
mempelajari
naskah
drama
kemudian
mempraktikkannya di depan kelas. Hal tersebut membuat peserta didik pasif dan tidak kreatif karena mereka hanya menuruti apa yang diperintah oleh guru. Pembelajaran drama seperti itu hanya akan membatasi ruang gerak peserta didik sehingga kreativitas mereka kurang berkembang. Pembelajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu (1) pembelajaran teks sastra, dan (2) pementasan drama yang termasuk bidang teater (Waluyo, 2001:156). Dalam pembelajaran drama (dan sastra), kiranya memang tidak cukup diberikan pengetahuan tentang drama. Mereka harus mampu mengapresiasi (unsur yang termasuk afektif) dan mementaskan (psikomotorik) (Waluyo, 2001: 161). Pembelajaran drama di sekolah dapat ditafsirkan dua macam, yaitu: pengajaran teori drama, atau pengajaran apresiasi drama. Masing-masing juga terdiri atas dua jenis, yaitu: pengajaran teori tentang teks (naskah) drama, dan pengajaran tentang teori pementasan drama. Pengajaran apresiasi dibahas naskah
10
drama dan apresiasi pementasan drama (Waluyo, 2001:153). Pementasan drama dibahas pementasan drama di sekolah (untuk demonstrasi) dan pementasan untuk sekolah yang ditonton oleh seluruh siswa di sekolah itu. Pementasan pertama dilakukan oleh guru bahasa Indonesia, sedangkan pementasan jenis kedua biasanya dilakukan oleh teater sekolah atau atas kerjasama guru bahasa Indonesia, teater sekolah, dan OSIS (Waluyo, 2001: 156). Dalam pembelajaran drama (dan sastra), kiranya memang tidak cukup diberikan pengetahuan tentang drama. Mereka harus mampu mengapresiasi (unsur yang termasuk afektif) dan mementaskan (psikomotorik) (Waluyo, 2001: 161). 2.1.2 Manfaat Drama Banyak hal yang dapat kita raih dalam bermain drama, baik fisik maupun psikis. Pembicaraan ini tidak akan memisahkan secara rinci antara bermain drama dan teater, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Di bawah ini akan diuraikan manfaat bermain drama atau teater. 1. Meningkatkan pemahaman
Meningkatkan
pemahaman
kita
terhadap
fenomena
dan
kejadian-kejadian yang sering kita saksikan dan kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari bahwa memahami orang lain merupakan pekerjaan yang paling sulit dan membutuhkan waktu. Untuk itu drama/teater merupakan salah satu cara untuk memecahkannya. Dengan bermain drama atau berteater kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan diri kita. Dari segi individual differences inilah kita dituntut untuk memahami orang lain. Pemahaman kita kepada orang lain tidak hanya dilihat dari orangnya, melainkan keseluruhan orang tersebut. Meliputi sifat, watak, cara
11
berbicara, cara bertindak (tingkah laku), cara merespon suatu masalah, merupakan keadaan yang harus kita pahami dari orang tersebut. 2. Mempertajam kepekaan emosi
Drama melatih kita untuk menahan rasa, melatih kepekaan
rasa,
menumbuhkan kepekaan, dan mempertajam emosi kita. Rasa kadang kala tidak perlu dirasakan, karena sudah ada dalam diri kita. Perlu diingat bahwa rasa, sebagai sesuatu yang khas, perlu dipupuk agar semakin tajam. Apa yang ada dihadapan kita perlu adanya rasa. Kalau tidak, maka segala sesuatu yang ada akan kita anggap wajar saja. Padahal sebenarnya tidak demikian. Kita semakin peka terhadap sesuatu tentu saja melalui latihan yang lebih. Rasa indah, seimbang, tidak cocok, tidak asyik, tidak mesra adalah bagian dari emosi. Oleh karena itu, perasaan perlu ditingkatkan untuk mencapai kepuasan batin. Drama menyajikan semua itu. Peka panggung, peka kesalahan, peka keindahan, peka suara atau musik, peka lakuan yang tidak enak dan enak, semua berasal dari rasa. Semakin kita perasa semakin halus pula tanggapan kita terhadap sesuatu yang kita hadapi. 3. Pengembangan ujar
Naskah drama sebagai genre sastra, hampir seluruhnya berisi cakapan. Cakapan secara tepat, intonasi, maka ujar kita semakin jelas dan mudah dipahami oleh lawan bicara. Kejelasan tersebut dapat membantu pendengar untuk mencerna makna yang ada. Harus ada kata yang ditekankan supaya memudahkan pemaknaan. Dimana kita memberi koma (,) dan titik (.). hampir keseluruhan konjungsi harus diperhatikan selam kita berlatih membaca dalam
12
bermain drama. Suara yang tidak jelas dapat berpengaruh pada pendengar dan lebih-lebih pemaknaan pendengar atau penonton. Di sini perlu adanya kekuatan vokal dan warna vokal yang berbeda dalam setiap situasi. Tidak semua situasi memerlukan vokal yang sama. Tidak semua kalimat harus ditekan melainkan pasti ada yang dipentingkan. Drama memberi semua kemungkinan ini. Sebagai salah satu karya sastra yang harus dipentaskan dan berisi lakuan serta ucapan. 4. Apresiasi dramatik.
Apresiasi dramatik dikatakan sebagai pemahaman drama. Realisasi pemahaman ini adalah dengan pernyataan baik dan tidak baik. Kita bisa memberi pernyataan tersebut jika kita tidak pernah mengenal drama. Semakin sering kita menonton pementasan drama semakin luas pula pemahaman kita terhadap drama atau teater. Karena itulah, kita dituntut untuk lebih meningkatkan kecintaan kita terhadap drama. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh wawasan dramatik yang lebih baik. 5. Pembentukan Postur Tubuh
Postur berkaitan erat dengan latihan bermain drama, latihan ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu dasar dan lanjut. Yang termasuk latihan dasar ini adalah latihan vokal dan latihan olah tubuh. Yang terkait dengan postur adalah olah tubuh. Kelenturan tubuh diperlukan dalam bermain drama, sebab bermain drama memerlukan gerak-gerik. Gerak-gerik inilah yang nantinya dapat membentuk postur tubuh kita sedemikian rupa.
13
6. Berkelompok (Bersosialisasi)
Bermain drama tidak mungkin dilaksanakan sendirian, kecuali monoplay. Bermain drama, secara umum, dilakukan secara berkelompok atau group. Betapa sulitnya mengatur kelompok sudah kita pahami bersama, bagaimana kita bisa hidup secara berkelompok adalah bergantung pada diri kita sendiri. Masing-masing orang dalam kelompok drama memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang, semuanya sama rendah dan sama tinggi, sama-sama penting. Untuk itu, drama selalu menekankan pada sikap pemahaman kepada orang lain dan lingkungannya. Kelompok drama harus merupakan satu kesatuan yang utuh. Semua unsur dalam drama tidak ada yang tidak penting, melainkan semuanya penting. Rasa kebersamaan, memiliki, dan menjaga keharmonisan kelompok merupakan tanggung jawab dan tugas semua anggota kelompok itu. Bukan hanya tugas dan tanggung jawab ketua kelompok. Baik buruknya pementasan drama tidak akan dinilai dari salah seorang anggota kelompok tetapi semua orang yang terlibat dalam pementasan. Oleh karena itu, perlu adanya kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan serta keutuhan. 7. Menyalurkan hobi
Bermain drama dapat juga dikatakan sebagai penyalur hobi. Hobi yang berkaitan dengan sastra secara umum dan drama khususnya. Dalam drama terdapat unsur-unsur sastra. Drama sebagai seni campuran (sastra, tari, arsitektur).
14
Menurut Moody (dalam Depdiknas, 2011: 70)
manfaat drama
sebagai
berikut; 1. Informasi, agar siswa mengenal informasi yang memadai tentang apa itu
drama, apa saja unsur yang membangun drama, siapa pengarang drama, kapan drama dikarang, termasuk pengarang angkatan mana, dan sebagainya. 2. Konsep, konsep adalah pengertian-pengertian pokok tentang suatu hal.
Terminologi dari setiap aspek dikenal oleh siswa. Tidak hanya sekadar tahu konsep tetapi dapat menerapkan konsep tertentu dalam suatu pembahasan karya sastra drama. Misalnya saja konsep-konsep tentang aliran drama, macam-macam drama, apa yang disebut komedi, tragedi, dagelan, dan sebagainya. 3. Perspektif, perspektif yaitu kemampuan untuk memandang bagaimana drama
itu menurut perspektif pikiran siswa. Tepatkah jalan keluar yang diambil dalam lakon? Bagaimanakah sikapnya sekiranya dia menjadi pengarang? Bagaimana dikapnya jika ia menjadi tokoh sentral dalam drama itu?. 4. Apresiasi, pengertiannya sudah masuk ke dalam ranah afektif, yaitu
pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penghargaan kepada drama. Disamping itu tujuan drama menurut Sitti (2012:11) adalah; 1. Untuk membahagiakan sekaligus instruksi. 2. Memperoleh suatu pengetahuan, kesenangan, pengalaman, dan pengetahuan
seni keindahan. 3. Untuk hiburan santai dan pengalaman mengenai estetika.
15
2.1.3 Macam-Macam Drama Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa yunani). Sedangkan ramatik adalah jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan. Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor, pelaku atau lakon. Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama. 1. Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari. 2. Drama Lama / Drama Klasik Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya. Macam-Macam drama berdasarkan isi kandungan cerita : 1) Drama Komedi
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan. 2) Drama Tragedi Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan. 3) Drama Tragedi Komedi Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya. 4) Opera Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian. 5) Lelucon / Dagelan Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
16
6) Operet / Operette
Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek. Pantomim
7)
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan. 8) Tablau Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerakgerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya. 9) Passie Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius. 10) Wayang
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya. Kalasifikasi drama didasarkan atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan atau dilihat dari modus perasaan yang dimasukan dalam drama itu. Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi kegembiraan dan kesedihan, bisa juga memberikan variasi keduanya. Tambajong (dalam Depdiknas, 2011: 30) mengklasifikasikan drama ke dalam lima macam, yaitu tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan dagelan. Berikut masing-masing penjelasannya. 1. Tragedi (Drama Duka)
Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Drama ini biasanya berakhir dengan suasana menyedihkan, bahkan seringkali maut menjemput tokoh utama pada penghujung cerita. Tokoh dalam drama ini adalah pahlawan yang mengalami nasib tragis atau tragic hero.
17
Drama Yunani karya Sophocles, Oidipus Sang Raja, Hamlet dan Romeo-Juliet karya Shakespare merupan contoh jenis drama ini. Contoh lain Kapai-kapai karya Arifin C. Noer, Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin, dan Aduh karya Putu Wijaya. 2. Komedi (Drama Ria)
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Dalam komedi ditampilkan tokoh tolol, konyol atau tokoh bijaksana yang lucu, seperti Pak Pandir, Pak Belalang, Kabayan, dan Abu Nawas. Beberapa contoh drama komedi di antaranya Akal Bulus Scapin dan Dokter Gadungan karya Molierre (seorang tokoh pencipta drama komedi terkenal asal Perancis), Kebun Ceri karya A.P. Cekhov, Si Bakhil karya Nur Sutan Iskandar, Si Kabayan karya Utuy Tatang Sontani, dan Tuan Amin karya Amal Hamzah. 3. Tragikomedi
Tragikomedi merupakan jenis drama yang memadukan dua perasaan sekaligus. Di dalam drama seperti ini dijumpai bagian-bagian yang menyedihkan dan bagian-bagian yang menggembirakan. Yang tergolong dalam drama ini adalah Jas Panjang Pesanan karya Wolf Mankowitz, Malam Jahanam karya Motinggo Boesye, Api karya Usmar Ismail, dan Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontai. 4. Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita
18
yang mendebarkan hati dan mengharukan. Drama ini sangat menonjolkan perasaan. Kadang-kadang drama seperti ini tidak bicara apa-apa, emosi disajikan dengan bantuan alunan musik. Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama, hitam-putih, dan storeotip. Tokohnya juga dilukiskan dengan menerima nasib seperti apa yang terjadi. Dua Orang Algojo karya Fernando Arrabal yang diterjemahkan Sori Siregar adalah salah satu contoh drama jenis ini. 5. Dagelan (Farce)
Dagelan disebut juga banyolan atau seringkali disebut komedi murahan, picisan, dan ketengan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan arus situasi dan tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isinya cenderung kasar, lentur, dan fulgar. Drama ini menonjolkan gerak-gerik karikatural, sehingga kadang-kadang terlihat tidak logis, terlihat dibuat-buat. Sebagai contoh adalah Si Bedul karya Elwy Mitchel dan seperti lakon pada “Srimulat”
2.1.4 Pengertian Peran Peran berarti laku, bertindak. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia peran ialah pemain sandiwara (film): utama, tukang lawak pada permainan makyung (Depdiknas, 2008: 1155) . Sedangkan menurut Harahap (2007: 854). makna peran dijelaskan dalam status, kedudukan dan peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan histories. Menurut penjelasan histories, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman yunani kuno atau romawi. Dalam hal ini, peran berarti karakter yang disandang
19
atau dibawakan oleh seorang actor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut. Jadi, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian peran adalah perangkat tingkah laku atau tindakan yang dimiliki seseorang dalam memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut. Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari status yang disandangnya. Dalam kaitannya dengan peran, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurang berhasilan dalam menjalankan perannya. Ada beberapa faktor yang menentukan kekurang berhasilan ini. Dalam ilmu sosial, ketidak berhasilan ini terwujud dalam kegagalan peran, disensus peran dan konflik peran. Kegagalan peran terjadi ketika seseorang enggan atau tidak melanjutkan peran individu yang harus dimainkannya. Implikasinya, tentu saja mengecewakan terhadap mitra perannya. Orang yang telah mengecewakan mitra perannya akan kehilangan kepercayaan untuk menjalankan perannya secara maksimal, termasuk peran lain, dengan mitra yang berbeda pula, sehingga stigma negatif akan melekat pada dirinya. Disensus peran ialah mitra peran tidak setuju dengan apa yang diharapkan dari salah satu pihak atau kedua-duanya. Ketidak setujuan tersebut terjadi dalam proses interaksi untuk menjalankan aktifitas yang berkaitan dengan perannya. Disini, persoalan bisa berasal dari aktor, bisa juga berasal dari mitra yang
20
berkaitan dengan aktifitas menjalankan peran. Konflik peran terjadi manakala seseorang dengan tuntutan yang bertentangan melakukan peran yang berbeda. Biasanya seseorang menangani konflik peran dengan memutuskan secara sadar atau tidak peran mana yang menimbulkan konsekuensi terburuk, jika diabaikan kemudian memperlakukan peran itu lebih dari yang lain. Konflik peran yang berlangsung sering terjadi apabila si individu dihadapkan sekaligus pada kewajiban-kewajiban dari dua atau lebih peranan yang dipegangnya. Pemenuhan kewajiban-kewajiban dari peranan tertentu sering berakibat melalaikan yang lain. 2.1.5 Pembelajaran Drama Pembelajaran drama berkaitan dengan dua hal yaitu (1) strategi pembelajaran teks drama dan (2) strategi pembelajaran pemeran tokoh drama yang dipentaskan. Strategi pembelajaran drama meliputi: (a) pementasan drama di kelas dan, (b) pementasan drama oleh teater sekolah (Waluyo, 2008: 186). Strategi yang digunakan dalam pembelajaran memerankan tokoh drama dalam penelitian ini adalah bermain peran (role playing). Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Metode role playing (bermain peran) termasuk metode pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari kisah kehidupan nyata sehari-hari
21
(bukan imajinatif).Role Playing dan sosiodrama merupakan langkah awal dalam pengajaran drama. Dalam role playing ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Ada sepuluh hal yang dikemukakan oleh Torrance (dalam Waluyo, 2008:189), yaitu sebagai berikut: (1) Jika mengadakan role playing, hendaknya dapat mencoba peranan dari situasi, jadi orangnya. Aktivitas ini jangan digunakan sebagai terapi, (2) tujuannya harus bersifat pendidikan, bukan memiliki hiburan, (3) jangan buru-buru, siswa harus mempunyai kesempatan untuk mengikuti peranannya dan situasi kedalaman dan meliputi beberapa aspek, (4) problem dan konflik hendaknya berhubungan dengan hal yang akan digunakan siswa, dan berkenaan dengan hal yang akan digunakan siswa, (5) situasi hendaknya tepat dengan tingkat daya tarik siswa dan kematangannya, (6) perasaan yang kompleks tidak boleh secara mudah diubah, (7) fokus dari usaha kelompok ditujukan untuk mencoba cara yang dapat ditempuh untuk mengelola kelakuan seefektif mungkin, (8) situasi hendaknya bersifat open ended,( 9) tekanan juga ditujukan untuk membantu siswa belajar berfikir untuk mereka sendiri, (10) situasi dan respon dari actor berkembang. Jangan bicara terlalu banyak untuk diri sendiri. Shaffel (dalam Waluyo, 2008: 196) menyebutkan ada sembilan langkah dalam role playing, yaitu: (1) memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran (casting ); (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap peran; (5) pemeranan (pentas di depan kelas); (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas) ; (7) pemeranan (pentas) ulang; (8) diskusi dan evaluasi II, pemecahan masalah, dan (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.
22
Dari role playing dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan. Unsur sampingan yang dapat dicapai melalui role playing adalah: (1) analisis nilai dan perilaku pribadi, (2) pemecahan masalah, (3) empati terhadap orang lain, (4) masalah social dan nilai; dan (5) kemampuan mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai perannya. Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik. Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.
23
Penerapan metode role palaying (bermain peran) adalah metode yang cocok untuk pembelajaran memerankan tokoh drama. Karena dengan metode role playing (bermain peran), pembelajaran apresiasi drama akan dapat dilaksanakan dengan baik. 2.1.6 Pengertian Metode Pembelajaran Secara harfiah, metode berarti cara. Dalam pemakaian umum, metode diartikan sebagai cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Sanjaya (2008:186) mengatakan bahwa metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah,maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2001: 76). Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Atau metode pembelajaran dapat dikatakan sebagai cara menyajikan isi pembelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi tertentu. Menurut Arindawati ( dalam Dunggio, 2006: 31) mengatakan bahwa “metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu
24
maksud”. Metode adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan bahan pelajaran kepada siswa untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Metode pembelajaran adalah komponen cara pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru dalam menyampaikan pesan/materi pembelajaran agar mencapai tujuan pembelajaran (Siddiq, 2008: 1-20). Oleh karena itu, salah satu keterampilan guru yang memegang peranan penting dalam pengajaran adalah keterampilan memilih metode. Pemilihan metode berkaitan langsung dengan usaha-usaha guru dalam menampilkan pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga pencapaian tujuan pengajaran diperoleh secara optimal (Fathurrohman, 2007: 55). Menurut Djamarah (dalam Fathurrohman, 2007:55) metode memiliki kedudukan: a) Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan pembelajaran, b) Menyiasati perbedaan individual siswa, c) Untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Guru yang profesional tidak hanya menguasai sejumlah materi pembelajaran, tetapi juga terapil dalam menggunakan metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran serta situasi pada saat materi tersebut harus disajiakn. Selain itu, guru juga harus memilih metode yang tepat agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Beberapa
metode
pembelajaran
yang
dapat
digunakan
untuk
mengimplementasikan materi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2)
25
demonstrasi; (3) eksperimen (4) diskusi (5) bermain peran, (6) simulasi dan (7) tanya jawab, dan sebagainya. 2.1.7 Pengertian Metode Bermain Peran Dalam pengajaran bahasa diperlukan metode-metode yang sesuai agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam penerapan metode tersebut pun seorang guru juga harus pandai membaca situasi agar dalam penyampaian materi dapat dipahami oleh siswanya. Ada berbagai macam metode pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam penyampaian materi, salah satunya adalah dengan menerapkan metode bermain peran. Metode bermain peran
ialah cara mengajar yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan memainkan peranan tertentu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Metode bermain peran adalah merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada siswa tentang masalah-masalah hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Tujuan yang diharapkan dengan penggunaan metode bermain peran menurut Djamarah (2006:88) 1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain. 2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab. 3) Dapat belajar bagimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara
spontan. 4) Merangsang kelas unuk berfikir dan memecahkan masalah.
2.1.8 Kelebihan dan Kelemahan Metode Bermain Peran
26
Setiap metode ada kelebihan dan kelemahannya. Demikian pula metode bermain peran. Menurut Djamarah (2006:89) kelebihan dan kelemahan metode bermain peran adalah adalah : a) Kelebihan metode bermain peran 1) Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberaniaan. 2) Metode ini akan lebih menarik perhatiaan siswa, sehingga suasana kelas
lebih hidup. 3) Siswa lebih menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah mengambil
kesimpulan berdasarkan penghayatannya sendiri. 4) Penyaluran perasaan atau keinginan-keinginan yang terpendam karena
memperoleh
kesempatan
untuk
belajar
untuk
mengekspresikan
(mencurahkan) penghayatan mereka mengenai suatu problem di depan orang banyak. 5) Untuk mengajar anak supaya ia bisa menempatkan dirinya diantara orang
lain. b) Kelemahan metode bermain peran 1) Situasi sosial yang diciptakan dalam suatu lakon tertentu, memiliki
kekurangan kualitas emosional dengan situasi sosial sebenarnya. 2) Sukar untuk memilih siswa yang berwatak cemerlang untuk memecahkan
masalah. 3) Perbedaan adat istiadat, kebiasaan dalam masyarakat akan mempersulit
pengaplikasian metode ini. 4) Kadang-kadang siswa tidak mau memerankan sesuatu adegan karena
malu.
27
5) Metode ini memerlukan waktu yang cukup panjang. 6) Siswa yang tidak mendapat giliran akan pasif.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode bermain peran menurut Djamarah (2006: 89) adalah: 1) Masalah yang dijadikan tema cerita hendaknya dialami oleh sebagian siswa, 2) Penentuan pemeran hendaknya secara
sukarela
dan
motivasi
dari
diri
sendiri,
3)
Jangan
banyak
menyutradarai/mengatur, biarkan anak mengembangkan kreatifitas mereka, 4) Diskusi diarahkan kepada penyelesaian akhir (tujuan), 5) Kesimpulan diskusi dapat dirumuskan oleh guru. 2.1.9 Penerapan Metode Bermain Peran dalam Memerankan Tokoh
Drama di Sekolah Dasar Sebelum bermain drama, Dewojati (2012:266) mengemukakan beberapa dasar-dasar pementasan yang perlu dikuasai dengan baik oleh siswa supaya pementasan dapat menarik simpati. Dasar-dasar tersebut sebagai berikut;
1) Penguasaan Lafal Seorang calon pemain drama harus menguasai pelafalan bunyi konsonan dan vokal sesuai dengan artikulasinya secara tepat dan sempurna. Disertai suara yang jelas dan keras. Penguasaan lafal ini biasanya di tempat terbuka untuk mengulang-ulang suatu pelafalan/vokal tertentu sampai sempurna pengucapannya. 2) Penguasaan Intonasi Di samping lafal, mimik dan gerak tubuh, pemain drama harus pula menguasai intonasi dasar sedih (tempo lambat-nada rendah-tekanan lembut)
28
intonasi marah (tempo cepat, nada tinggi, tekanan keras) dan intonasi gembira (tempo-nada-tekanan bersifat sedang). Suatu peran menjadi hidup bila aktornya memiliki penguasaan pemahaman dan penghayatan watak peran yang tepat. Ketika dialog pemain belum bisa menguasai intonasi, maka dialog yang diucapkan oleh pemain akan sulit dimengerti. 3) Penguasan Kelenturan Tubuh/Gesture Dalam penguasaan kelenturan tubuh atau gesture ini penting dalam sebuah pementasan drama.Tubuh seorang pemain drama harus lentur atau elastis sehingga dalam memainkan peran tertentu tidak kelihatan kaku.Untuk mencapai penguasaan tubuh yang elastik tersebut, perlu melakukan serangkaian gerakan seperti berlari cepat dalam jarak dekat, bolak balik ke utara, selatan, timur, barat, ke segala penjuru. Berjalan dengan menggambarkan perasaan sedih, jalan kepayahan membayangkan berjalan di padang pasir hingga jatuh bergulingan, dan seterusnya. 4) Penguasaan Mimik dan Ekspresi Seorang calon pemain harus menguasai mimik dasar seperti mimik sedih, gembira, marah dan lain-lain. Mimik marah biasa ditandai dengan mata melotot, muka kemerah-merahan, kening berkerut, mimik sedih ditandai dengan wajah muram, pandangan mata sayu, dan mulut tertutup, sedang mimik gembira ditandai muka yang bercahaya, mata bersinar, dan mulut tersenyum. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran apresiasi drama dalam penelitian ini adalah salah satu strategi pembelajaran teks drama, yaitu bermain peran. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis,
29
pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, siswa berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Metode bermain peran termasuk metode pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari kisah kehidupan nyata sehari-hari (bukan imajinatif). Adapun langkah-langkah penerapan bermain peran (role playing) dalam pembelajaran bermain drama adalah: 1) Guru menyusun/ menyiapkan skenario yang akan ditampilkan; 2) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum
proses pembelajaran; 3) Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang; 4) Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai; 5) Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang
sudah dipersiapkan; 6) Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil
memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan; 7) Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai
lembar kerja untuk membahas materi; 8) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya; 9) Guru memberikan kesimpulan secara umum; 10) Evaluasi; 11) Penutup;
30
Drama anak harus diciptakan dengan suasana yang menyenangkan karena eksistensi drama adalah menampilkan cerminan kejadian dalam kehidupan. Oleh sebab itu drama anak juga harus dapat dipakai mewadahi kehidupan anak melalui cerita-cerita yang dipentaskannya. 2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan
Lisa Rindani, 2012 dalam penelitiannya dengan judul: Meningkatkan Kemampuan Bermain Drama melalui Model Pembelajaran Bermain Peran pada Siswa Kelas V SDN 176/III Siulak Kecil Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci, menyimpulkan bahwa pada hasil evaluasi siswa dalam memerankan drama pendek disetiap siklusnya, yaitu pada siklus I dari 21 orang siswa yang tuntas ada 11 orang siswa (52%) dan yang tidak tuntas ada 10 orang siswa (48%), artinya pada siklus I belum berhasil karena jumlah siswa yang tuntas kemampuan dalam memerankan drama belum mencapai 80% dari 21 orang siswa. Kemudian dilanjutkan pada siklus II yang mana mengalami peningkatan di mana siswa yang tuntas dalam memerankan drama ada 15 orang siswa (71%) dan tidak tuntas 6 orang siswa (29%), namun tetap belum mencapai batas ketuntasan 80% dari 21 orang siswa. Berlanjut pada Siklus III di mana dari 6 orang siswa yang tidak tuntas pada siklus II kini sudah tuntas, itu artinya seluruh siswa pada siklus III atau 21 orang siswa (100%) tuntas dalam memerankan drama pendek. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran bermain peran (Role Pleying) pada pokok bahasan bermain drama dapat meningkatkan kemampuan drama siswa kelas V SDN 176/III Siulak Kecil. Penelitian di atas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bermain drama melalui metode bermain peran, sedangkan penelitian ini untuk
31
mengetahui penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran memerankan tokoh drama pada siswa kelas V SDN 12 Limboto Kabupaten Gorontalo. Imam Baihaqi dalam penelitian dengan judul Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan Keterampilan Bermain Drama pada Siswa Kelas. Penelitian ini menunjukan adanya peningkatan keterampilan bermain drama dengan menggunakan metode Role Playing pada siswa kelas IV SDN 4 Mojosari dimana terjadi peningkatan proses sebesar 48% dan peningkatan hasil sebesar 33,34%. Hal yang membedakan dari penelitian yang dilakukan oleh Imam Baihaqi adalah pada subjek dan objek penelitian. Pada penelitian yang akan peneliti lakukan mengambil subjek penelitian siswa kelas V dengan masalah yang akan diteliti yaitu
bermain peran dalam memerankan tokoh drama. Objek
penelitian berupa proses pembelajaran bermain drama dengan metode bermain peran.