BAB II KAJIAN TEORETIS
2.1 Pengertian Konflik Konflik pada dasarnya sebagai suatu gejala yang biasa terjadi di suatu sekolah. Bahkan adanya konflik kadang dapat dihindari. Dan memang tidak harus dihindari karena konflik merupakan salah satu bagian dari kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Oleh sebab itu konflik perlu dikelola dengan baik untuk kepentingan dan kemajuan sekolah. Menyikapai konflik dengan tepat melalui pengelolaan atau alat manajemen untuk mencapai tujuan, karena merupakan bagian dari dinamika organisasi. Keberadaan konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu hadir dan tidak dapat dielakkan. Konflik sering muncul dan terjadi pada setiap organisasi, dan terdapat perbedaan pandangan para pakar dalam mengartikan konflik. Winardi (2004:346) mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun juga organisasiorganisasi. Sedarmayanti (2000:137) mengemukakan konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling bertentagan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran, nilai, pikiran, perasaan, dan perilaku. Konflik didefiniskan sebagai sutau proses interaksi sosial di mana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan meraka, Cummings,
(dalam Wahyudi 2011:17). Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Alisjahbana, (dalam Wahyudi 2011:17), mengartikan konfik adalah perbedaan pendapat dan pandangan diantara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama. Sedangkan Stoner, (dalam Wahyudi 2011:17) berpendapat bahwa, konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi atau kepribadian. Perbedaan pendapat dan persepsi mengenai tujuan, kepentingan mapun status serta nilai individu dalam organisasi merupakan penyebab munculnya konflik. Demikan halnya persoalan alokasi sumber daya yang terbatas dalam organisasi dapat menimbulkan konflik antar individu maupun antar kelompok. Husein (2000 : 42), konflik adalah suatu perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak yang ditandai dengan permusuhan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya. Stoner (1992:407) mengemukakan bahwa konflik adalah suatu perselisihan paham antara dua atau lebih kelompok atau anggota organisasi, yang timbul dari fakta karena kelangkaan baebagai sumber daya atau pekerjaan yang aktif, karena mereka mempunyai status yang berbeda, nilai-nilai dan atau persepsi. Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah relasi psikologis yang berlawanan dan tidak dipertemukan, dan sikap emosional yang bermusuhan. Dalam konteks organisasi sekolah, konflik mengandung pengertian suatu keadaan seluruh guru yang dalam suatu sistem sosial yang memiliki perbedaaan dalam memandang suatu hal dan diwujudkan dalam
bentuk perilaku yang kurang sejalan dengan pihak lain untuk mencapai suatu tujuan. 2.2 Pengertian Stres Kerja Stres kerja mempunyai arti yang berbeda-beda bagi masing-masing individu. Kemampuan setiap orang beraneka ragam dalam masing-masing individu. Kemampuan setiap orang beraneka ragam dalam masing-masing atasi jumlah, intensitas, jenis, dan lamanya stres. Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan seseorang sebgai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Bila ia sanggup mengatasi stressor kerja tersebut artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan
yang
bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut distres ( Waluyo, 2009 : 230). Stres kerja merupakan konstruk yang sangat sulit didefinisikan. Greenberg (2002 : 135) mendefinisikan stres kerja sebagai kombinasi antara sumber-sumber stres pada pekerjaan, karakteristik individual, dan stressor di luar organisasi. Selye (dalam Waluyo, 2009 : 232) Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku. Stres di tempat kerja dapat diekspresikan sebagai : sikap pesimis, tidak puas, produktivitas rendah, dan sering absen.
Gibson (dalam Yulianti, 2000: 9) bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan taggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsenkuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefiniskan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderngan individu untuk memberikan tanggapan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan
adanya
ketidakseimbangan
antara
karakteristik
kepribadian seseorang dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. 2.3 Jenis-jenis Konflik Konflik merupakan peristiwa yang menyangkut perilaku manusia di dalam organisasi termasuk sekolah. Maka tindakan-tindakan saat bekerja dalam kelompok dan organisasi secara keseluruhan menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan organisasi. Konflik dapat dilihat, dipelajari dari segi hubungan antar individu ataupun kelompok-kelompok oarang yang terlibat.
Menurut Handoko (2003 : 349) membedakan konflik menjadi 6 jenis, yaitu : 1.
Konflik dalam diri individu Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang.
Konflik ini akan terjadi ketika individu meghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya. 2. Konflik antar individu dalam organisasi Konflik ini bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam memilih mata pelajaran unggulan daerah. 3. Konflik antara individu dengan kelompok Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau ektif. Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika aggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu. Contoh konflik intragroup adalah konflik yang terjadi pada beberapa guru dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
4. Konflik antar kelompok Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningktanya tuntutan akan keahlian. Misalnya konflik antara kelompok guru kesenian dengan kelompok huru matematika.
Kelompok
guru
kesenian
memandang
bahwa
untuk
membelajarkan lagu tertentu dan melatih pernapasan perlu disuarakan dengan keras, sementara kelompok guru metematika merasa terganggu, karena peserta didiknya tidak konsentrasi belajar. 5. Konflik antar bagian dalam organisasi Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dlam hal ini orang tersebut “mewakili” unit kerja tertentu. Misalnya konflik antara unit perpustakaan dengan tata usaha. Contoh lain adalah konflik antara bidang kurikulum dengan bidang kesiswaan. 6. Konflik antar organisasi Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organsiasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat. Pada latar persekolahan, konflik yang sering timbul adalah konflik hubungan antar pribadi/individu, sebagaimana dikemukakan oleh Campbell, (1983:184) sebagai berikut “The most common and visible type of conflict in
schools as well as other organizations is interpersonal conflicl”. Konflik antar individu di sekolah melibatkan siswa, guru, kepala sekolah, dan orang tua. Konflik dapat terjadi karena dua pihak yang bekerjasama saling mempunyai ketergantungan dan mempunyai pandangan yang berbeda. Konflik antara guru dengan siswa berkenan penegakan disiplin oleh guru, proses belajar yang kurang memuaskan siswa atau guru kurang perhatian terhadap murid. Konflik antara guru dengan kepala sekolah menyangkut masalah pembagian tugas yang tidak merata, sistem ganjaran tidak berdasarkan pretasi kerja. Perbedaan pendapat antara orang tua terlalu banayak mencampuri kerikulum sekolah, orang tua memandang guru tidak mampu meningkatkan prestasi belajar anak. Berbagai jenis konflik diatas merupakan gambaran umum kejadian konflik yang muncul pada setiap organisasi. Sedangkan intensitas konflik pada masing-masing berbeda bergantung pada bagaimana individu atau kelompok menanggapi. Menafsirkannya kejadian konflik. Sedangkan gaya manajemen konflik yang dilakukan oleh pemimpin dapat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujun organsasi. 2.4 Sumber-sumber Konflik Konflik dalam organisasi termasuk sekolah tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu
menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Kajian mengenai penyebab atau sumber-sumber konflik dalam organisasi dimaksudkan sebagai dasar pertimbangan bagi pimpinan organisasi khusunya para pimpinan lembaga pendidikan dalam mengendalikan konflik. Apabila berbagai konflik dikelola secara baik, maka konflik dapat dimanfaatkan sebagai media untuk mengkritisi kinerja organisasi. Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar-belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Tiga kategori yang di maksud dijelaskan : a) Komunikasi, komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik; b) Struktur, istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik; c) Variabel Pribadi, sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya,
konflik
yang
telah
disadari
dan
dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya. Adapun menurut Winardi (2007:172) beberapa hal yang menjadi sumber terjadinya konflik dalam organisasi, yaitu :
1) Interpendensi Arus Kerja Kita mengetahui, bahwa suatu otganisasi harus di-manage sebagai sistem yang terdiri dari bagia-bagian interpenden, yang masing-masing melaksanakan fungsi-fungsi khusus, tetapi terkoordinasi dalam wujud pembagian kerja. Andaikata interpendensi arus kerja adalah demikian rupa hinggga seseorang atau kelompok harus mengandalkan diri pada kontribusi-kontribusi tugas daripihak lain untuk melaksankan tugas mereka, maka kondisi-kondisi yang muncul matang untuk terjadinya konflik. 2) Asimetri Terdapatnya asimetri pada hubungan-hubungan kerja, apabila satu pihak sangat berbeda dalam kekuasaan, niai-nilai, dan atau status dibandingkan dengan pihak lain, dengan siapa ia secara teratur berinteeraksi. Konflik karena asimetri cenderung terjadi, apabila seseorang yang memiliki kekuasaan rendah memerlukan bantuan,orang yang memiliki kekuasaan tinggi yang tidak bereaksiterhadap permintaan tersebut dan apabila orang-orang yag memiliki nilai-nilai yan secara dramatik berbeda sekali dipaksa untuk bekerja sama melaksankan sesuatu tugas atau apabila seseorang yang berstatus tinggi diharuskan untuk berinteraksi dengan dan mungkin tergantung pada pihak lain yang berstatus lebih rendah. Sebuah contoh umum tentang kasus terakhir adalah apbila seorang manajer dipaksa untuk berhubungan dengan manajer lain hanya melalui sekretarisnya.
3) Ambiguitas peranan Kurangnya pengarahan yang cukup atau kejelasan tujuan-tujuan serta tugas-tugas bagi orang-orang dalam peranan kerja mereka dapat menyebabkan timbulnya situasi penuh stres dan yang cenderung menimbulkan konflik. Pada tingkat kelompok atau departemen, hal tersebut seringkali muncul sebagai ambiguitas domein-domein atau jurisdiksi-jurisdiksi. Maksudnya, dua kelompok cenderung berkonflik apabila tidak ada satu pun di antara mereka memahami siapa yang bertanggung jawab terhadap apa. 4) Kelangkaan Sumber daya Kebutuhan-kebutuhan
aktual
atau
yang
dipersepsi
persaingan
mendapatkan sumber-sumber daya langka, menyebabkan hubungan-hubungan kerja antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok cenderung mengalami konflik. Hal tersebut terutama relevan bagi setiap individuindividu atau kelompok-kelompok yang berbeda dalam dengan organisasiorganisasi yang sedang berkembang. Sumber-sumber daya biasanya langka dalam masa mundurnya suatu organisasi, dengan akibat bahwa seringkali terjadi pemotongan-pemotongan atau pengurangan-pengurangan. Mengingat posisikan diri mereka demikian rupa, sehingga mereka dapat meraih bagian maksimum dari perbedaan sumber-sumber daya yang ada, maka pihak lain akan menentagnya atau melaksanakan tindakan-tindakan kontra guna mempertahankan kepentingan mereka masing-masing. Sumber-sumber daya bersifat, esensial bagi ketahanan
dan kemakmuran individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam organisasi-organisasi. Akibatnya adalah kelangkaan sumber daya seringkali menyebabkan timbulnya konflik. Dapat di simpulkan dari kedua teori diatas bahwa sumber-sumber konflik yang terjadi dalam organisasi termasuk sekolah yaitu ; bersumber dari kelompok organisasi, struktur organisasi serta secara pribadi individu yang berada dalam organisasi tersebut. 2.5 Faktor –faktor yang mempengaruhi timbulnya konflik organisasi Faktor –faktor penyebab terjadinya konflik menurut Gibson (1996 : 440) yakni : 1) Saling ketergantungan kerja. Saling ketergantungan kerja terjadi bila dua dan atau lebih kelompok organisasi tergantung satu dengan lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka; 2) Perbedaan tujuan. Perbedaan tujuan ini dapat mengarah kepada perbedaan harapan di antara anggota tiap unit; 3) Perbedaan persepsi. Perbedaan tujuan dapat disertai oleh perbedaan persepsi mengenai realitas. Ketidaksetujuan atas apa yang sebenarnya dari realitas yang dapat menyebabkan konflik; 4) Tuntutan yang akan meningkatkan suatu spesialis. Konflik diantara staf spesialis dan manajemen lini yang generalis mungkin merupakan hal yang paling biasa dalam konflik antar kelompok. Orang-orang manajemen lini dan staff saling menyatakan pandangannya dan peranannya dalam organisasi dari perspektif yang berbeda. Faktor –faktor penyebab terjadinya konflik menurut Husain (2000: 43) adalah : (a) Persaingan terhadap sumber daya organisasi seperti anggaran,
ruang kerja dan personalia semakin dibutuhkan oleh masing – masing individu atau kelompok dapat menjadi pemicu sumber konflik. (b) Ketergantungan tugas dari satu kelompok kerjaa dan jika terjadi perbedaan akan menimbulkan konflik. (c) Kekaburan batas –batas bidang kerja relatif tidak jelas, tumpang tindih dan tanggung jawab dan tugas, serta pengalihan pekerjaan yang tidak di sukai oleh pihak lain. (d) Masalah status. Bila individu atau kelompok mengangap bahwa dirinya memiliki status yang lebih rendah dari kelompok lainnya, maka dapat saja terjadi gerakan untuk meningkatkan status itu, walaupun dengan cara yang negatif. (e) Rintangan dalam komunikasi dan sifat-sifat individu. Tidak memadainya komunikasi dalam lingkungan organisasi dapat merintangi persetujuan
antara staf shinggan juga dapat
mengakibatkan munculnya konflik. Dengan dilihat dari kedua teori diatas, maka faktor penyebab munculnya konflik dalam lingkungan organisasi termasuk sekolah dapat di simpulkan secara konseptual yaitu adanya situasi yang tidak menunjukkan keseimbangan tujuan yang ingin dicapai dalam lingkungan sekolah, terdapatnya saranasarana yang tidak seimbang dengan kepentingan anggota organisasi sekolah, timbulnya persepsi yang berbeda dalam menggapai berbagai persoalan dalam lingkungan organisasi sekolah. 2.6 Teknik Pengendalian konflik Menurut Winardi (dalam Wahab 2011 : 357), berpendapat bahwa terdapat tiga cara dalam mengendalikan konflik yaitu : 1) Menstimulasi konflik.
Stimulasi konflik diperlukan pada saaat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan; 2) Mengurangi atau menekan konflik. Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja ditiap unit/bagian; 3) Menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi pihak-pihak yang sedang konflik dengan memberikan penyelesaian secara dominasi dan kompromis. Menurut Gibson (1996 : 452) mengatakan, memilih resolusi konflik yag cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami konflik. Dari kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik pengendalian konflik yang di lakukan dengan cara menstimulasi serta menekan dan menyelesaikan konflik
disesuaikan dengan penyebab dari konflik yang
terjadi. 2.7 Pengelolaan Konflik Konflik
dalam
lingkungan
organisai
sekolah
seharusnya
dapat
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan yang sehat. Dengan kata lain timbulnya konflik dalam organisasi harus dipandang sebagai gejala organisasi yang menuju pencapain tujuan yang akan dicapai. Hal ini sesuai dengan penegasan
dari Onong (1994:3) yakni : “Manajemen sebagai kegiatan pengelolaan atau pengurusan sumber daya organisasi, serta akan efektif mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien tanpa organisasi yang mapan. Konflik akan terjadi di sekolah sejalan dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan dan tuntutan pekerjaan. Bila dicermati secara mendalam, maka pada hakekatnya konflik yang timbul di sekolah mengandung makna yang positif dan bahkan justru sebagai salah satu sumber daya bagi pengembangan organisasi sekolah bila dikelola dengan baik. Dan sebaliknya tidak optimal dikelola akan dapat menghambat pencapaian tujuan sekolah. Oleh karena itu, maka seorang pimpinan harus mengupayakan pengelolaan konflik yang terjadi dengan cara menimalkan dampak yang negatif dan memaksimalkan dampak yang positif melalui pengelolaan konflik. Mulyasa (2004:247) mengemukakan bahwa : “Manajemen konflik sedikitnya memiliki tiga tahap yaitu ; perencanaan analisis konflik, penilaian konflik dan penyelesaian/ pemecahan konflik”. Untuk jelasnya ketiga tahap diatas akan diuraikan sebagai berikut : a. Perencanaan analisis konflik Perencanaan dalam pengelolaan konflik merupakan tahap identifikasi masalah yang terjadi, untuk menentukan sumber penyebab dan pihak-pihak yang terlibat. Konflik yag sudah dalam tahap terbuka mudah diketahui, tetapi jika masih dalam tahap potensi memerlukan stimulus agar menjadi terbuka dan dapat dikenali.
b. Penilaian konflik Penilaian konflik dilakukan untuk mengetahui kondisi konflik dan pemecahannya, apakah konflik sudah mendekati titik rawan dan perlu diredam agar tidak menimbulkan dampak negatif, apakah masih padam titik kristis yag menimbulkan dampak positif, atau baru dalam tahap tersembunyi sehingga perlu diberi stimulus agar menuju titik kritis dan memberikan damapk positif. c. Penyelesaian/pemecahan konflik Aspek penyelesaian/pemecahan merupakan tindakan untuk menyelesaikan konflik, termasuk memberi stimulus jika masih dalam tahap tersembunyi dan perlu dibuka atau di sesuaikan dengan teknik-teknik yang telah direncanakan untuk penyelesaian konflik. Cara lain yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memberikan reaksi terhadap pihak yang terlibat konflik yaitu : penarikan diri, bujukan, taktik pkasaan dan penekanan, taktik tawar-menawar dan pertukaran, dan pemecahan masalah terpadu. Sejalan dengan uraian ini Anoraga (1997 : 167) mengatakan bahwa ada tiga metode dalam manajemen konflik yaitu (a) simulasi konflik yang meliputi, pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok, penyusunan kembali organisasi, penawaran bonus, pembayaran intensif dan penghargaan untuk mendorong persaiangan, perlakuan yang berbeda dnga kebiasaan dan penilaian manajer yang tepat. (b) Penguragan konflik dilakukan dengan cara mendinginkan suasana tetapi tidak menangani masalah-masalah semua yang menimbulkan konflik dan (c)
Penyelesaian konflik melalui tiga cara pemecahan yaitu dominasi dan penekanan, kompromi dan pemecahan masalah integratif. Esensi dari pengelolaan konflik menurut pendapat ini adalah di awali dengan pemberian rangsangan
atau stimulus sehingga konflik dapat
menimbulkan dinamika dan pencapaian kegitan kerja suatu kelompok. Karena menurut pandangan situasi dimana konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif dan menjadi pasif, kemudian diikuti dengan tindakan pendinginan suasana (colling down) dari pihak sebagai sumber timbulnya konflik dan pada bagian terakhir akan dilakukan pemecahan masalah yang menjadi sumber konflik. Konflik sebagai bentuk pertentangan atau perselisihan, timbul dari berbagai perbeaan dalam kehidupan organisasi. Makin menyolok perbedaan itu makin menjurus ke arah konflik dan kalau konflik itu tidak mampu dikelola sedemikian rupa akan menimbulkan disinterasi. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Fauzi (1992:3) bahwa : “Konflik organisasi terjadi karena adanya perbedaan pendapat, pandangan, interprestasi, persepsi serta kepentingan antara individu atau antar kelompok dalam suatu organissi. Konflik anatar individu atau antar kelompok dalam suatu organisasi. “Melihat model-model gaya dari manajemen konflik di atas, tampak bahwa sesungguhnya pula konflik dapat digunakan dalam mengarahkan pada terciptanya suatu tujuan, asalkan terhadap konflik ini dilakukan manajemen konflik yang tepat dengan situasi dan kondisinya.
2.8 Pentingnya Pengelolaan konflik Konflik pada dasarnya sebagai suatu gejala yang biasa terjadi di suatu oragnisasi. Bahkan adanya konflik kadang tidak dapat dihindari, dan kadang memang tidak harus dihindari karena konflik merupakan salah satu bagian dari kegiatan penyelenggaraan organisasi tersebut. Oleh sebab itu konflik perlu di kelola dengan baik untuk kepentingan dan kemajuan organisasi. Sehubungan dengan timbulnya konflik dalam organisasi hendaknya pemimpin menyikapi konflik dengan tepat melalui pengelolaan atau alat manajemen untuk mencapai tujuan, karena merupakan bagian dari dinamika organisasi atau dengan kata lain konflik adalah kondisi ketidaksesuaian obyektif anatara nilai dan tujuan. Memperhatikan uraian diatas dapat dipahami bahwa konflik organisasi merupakan bagian dari proses dinamika dalam organisasi. Tujuan organisasi akan tercapai bila pimpinan serta bawahan dalam organisasi tersebut dapat mengelola konflik secara memadai. Hal ini sejalan dengan pandangan Handoko (2003 : 345), bahwa konflik biasanya timbul dalam organisasi sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur organisasi. Masalah komunikasi berkaitan dengan adanya salah pengertian berkenan dengan. Konflik tidak hanya harus diterima dan dikelola dengan baik, tetapi juga harus didorong, karena konflik merupakan kekuatan untuk mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga. Konflik antar orang di dalam organisasi tak dapat dielakkan, tetapi dapat dimanfaatkan ke arah produktif
bila dikelola secara baik Cummings (1980:59). Edelmen (1997) menegaskan bahwa, jika konflik dikelola secara sistematis dapat berdampak positif yaitu, memperkuat hubungan kerja sama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas, dan meningkatkan kepuasan kerja. Akan tetapi sebaliknya, manjemen yang tidak efektif dengan cara menerapkan sanksi yang berat bagi penentang, dan berusaha menekan bawahanyang menentang kebijakan sifat ingin merusak (Owens 1991). 2.9 Dampak pengelolaan konflik Konflik sebagai bagian yang integral dari proses dinamika organisasi mengakibatkan kondisi negatif dan positif bagi penciptaan iklim organisasi. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Mulyasa (2004:239) menjelaskan bahwa : “Konflik dapat diibaratkan pedang bermata dua, di satu sisi dapat bermanfaat, jika digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, di sisi lain dapat merugikan dan mendatangkan malapetaka jika digunakan untuk bertikai atau berkelahi”. Pendapat ini mengidentifikasikan bahwa timbulnya konflik dalam organisasi dapat berakibat buruk jika kurang dikelola dengan baik dan sebaliknya jika dioptimalkan pengelolaannya akan menjadi sumber daya organiasi dalam mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan dampak konflik diatas, Mulyasa (2004:245:246) mengemukakan dampak positif dan negatif dari konflik, sebagai berikut :
Dampak positif atau keuntungan dari konflik adalah : a) kemampuan mengintropeksi diri. Konflik dapat dirasakan oleh pihak lain, dan mereka dapat mengambil keuntungan sehingga mampu melakukan intropeksi diri, karena mengetahui sebab-sebab terjadinya konflik. b) Meningkatkan
kinerja.
Konflik
dapat
menjadi
cambuk
sehingga
menyebabkan peningkatan kinerja. Konflik dapat mendorong individu untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu meningkatkan kinerja dan mencapai sukses. c) Pendekatan yang lebih baik. Konflik dapat menimbulkan kejutan (surprise) karena kehadirannya sering tidak diduga, sehingga setiap orang berusaha lebih hati-hati dalam berinteraksi, dan menyebabkan hubungan yang lebih baik. d) Mengembangkan alternatif yang lebih baik. Konflik dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan pihak tertentu jika terjadi antara atasan dan bawahan, misalnya tidak memberikan suatu jabatan atau memberi hukuman yang berlebihan. Kondisi ini sering menjadi tantangan untuk mengembangkan solusi yang lebih baik. Selanjutnya dampak negatif atau kerugian dari konflik adalah : a) Subyektif dan emosional. Pada umumnya pandangan pihak yang sedang konflik satu sama lain sudah tidak obyejtif dan bersifat emosional. b) Apriori. Jika konflik sudah meningkat bukan hanya subyektivitas dan emosional yang muncul tetapi dapat menyebabkan apriori, sehingga
pendapat pihak lain selalu dianggap salah dan dirinya atau kelompoknya selalu merasa benar. c) Saling menjatuhkan. Konflik yang berkelanjutan dapat mengakibatkan saling benci, yang memuncak dan mendorong individu untuk melakukan tindakan kurang terpuji untuk menjatuhkan lawan, misalnya memfitnah, mengahambat dan mengadu. d) Stres. Konflik yang berkepanjangan, tidak saja dapat menurunkan kinerja, tetapi dapat menimbulkan stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan menimbulkan
ketidakseimbangan fisik dan psikis,
sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi. e) Frustasi. Konflik dapat memacu berbagai pihak yang terlibat untuk lebih berprestasi, tetapi jika konflik tersebut sudah pada tingkat ada yang lemahh mentalnya bisa menimbulkan frustasi. Maka inti dari pendapat di atas adalah banwa pengelolaan konflik yang kurang efektif pada organisasi dapat menjatuhkan salah satu pihak ke dalam jurang ketegangan, yang berisi perasaan kegelisahan, kecemasan, rasa bersalah, rasa takut, konflik pribadi, stres,, dan frustasi. Dalam keadaan seperti itu maka sulit diharapkan para pegawai yang megalaminya untuk dapat berfungsi secara wajar dan berdaya guna secara maksimal bagi kepentingan bersama/organisasi.
Selain itu, usaha koordinasi,
pembinaaan untuk
meningkatkan semangat moral kerja, produktivitas dan kualitas kerja akan siasia.
2.10 Penyebab Stres Kerja Menurut Cooper (dalam Jacinta 2002 : 241), penyebab terjadinya stres yaitu : a) konflik peran. Stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu yang diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketgangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya wanita bekerja ini mengahdapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga; b) Struktur organisasi. Gambaran suatu lembaga yang diwarnai dengan struktur organisasi yang tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran,, wewenang dan tanggung jawab, aturan main yang terlalu kaku atau tidak jelas, iklim politik suatu lembaga tersebut yang tidak jelas serta minimnya keterlibatan atasan membuat pegawai menjadi stres. Hal ini dalam desain organisasi yang juga dapat menyebabkan stres menurut Robin (2003:67) antara lain adalah, level diferensiasi dalam lembaga serta adanya sentralisasi yang menyebabkan pegawai tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Seseorang dapat menanggapi kondisi-kondisi tekanan tersebut secara positif maupun negatif. Stres dikatakan positif dan merupakan suatu peluang bila stres tersebut merangsang mereka untuk meningkatkan usahanya untuk memperoleh hasil yang maksimal. Stres dikatakan negatif bila stres memberikan hasil yang menurun pada produktivitas seseorang. Akibatnya, ada konsekuensi yang konstruktif maupun destruktif bagi badan usaha maupun
pegawai. Pengaruh dari konsekuensi tersebut adalah penurunan ataupun peningkatan usaha dalam jangka waktu pendek maupun berlangsung dalam jangka panjang. Berikut ini adalah penyebab stres John (2003:65) : 1) Penyebab fisik meliputi : a) Kebisingan; b) Kelelahan; c) Penggeseran kerja; d) Jetlag; e) Suhu dan Kelembapan. 2) Beban kerja Beban kerja yang terlalu dapat menyebabkan ketegangan dalam diri seseorang sehingga menimbulkan stres. Hal ini bisa disebabkan oleh tingkat keahlian yang dituntut terlalu tinggi, kecepatan kerja mungkin terlalu tinggi, volume kerja mungkin terlalu dan sebagainya. 3) Sifat pekerjaan meliputi : a) Situasi baru dan asing; b) Ancaman Pribadi; c) Percepatan; d) Ambiguitas; d) Umpan balik. 4) Kebebasan Kebebasan yang diberikan kepada karyawan belum tentu merupakan hal menyenangkan. Ada sebagian karyawan justru dengan adanya kebebasan membuat mereka merasa ketidakpastian merupakan sumber stres bagi seseorang. 5) Kesulitan Kesulitan-kesulitan yang dialami di rumah, seperti ketidakcocokan suami-istri. Masalah keuangan, perceraian dapat mempengaruhi prestasi seseorang. Hal-hal seperti ini dapat merupakan sumber stres bagi seseorang.
2.11. Tingkatan Stres Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma, pengalaman dan pola hidu, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga, pengalaman masa lalu denga stres dan mekanisme koping. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Dengan kata lain bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran
dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Penilaian kognitif bersifat individual differences, makksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh persepsi dan respon yang berbeda terhadap stres tersebut. Penilaian kognitif itu, biasa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu. Potter dan Perry ( 2005 : 134) membagi tingkatan dalam stres menjadi tiga bagian, antara lain : 1. Situasi stres ringan Stres ringan merupakan stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti terlau banyak tidur, kemacetan lalu lintas serta kritikkan dari atasan. Kondisi ini berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam. Stressor ini bukan resiko signifikan yang dapat menimbulkan gejala yag mincul akibat
stres. Akan tetapi, stressor ringan banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit. 2. Situasi stres sedang Kondisi stres sedang berlangsung lebih lama, beberapa jam sampai beberapa hari. Jenis stressor yang dihadapi misalnya perselisihan dengan rekan kerja, anak yang sedang sakit, serta ketidakhadiran anggota keluarga dalam waktu yang lama. 3. Situasi stres berat Kondisi stres berat merupakan kondisi kronis yang berlangsung lama, durasinya mulai beberapa minggu sampai beberapa tahun. Jenis stressor yang dihadapi misalnya, perselisihan perkawinan, kesulitan keuangan yang berkepanjangan, serta penyakit kronis. Semakin sering dan semakin lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Adapun tahapan-tahapan tingkatan stres menurut Amberg (1999 : 223) antara lain : Stres Tingkat I. Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya disertai denga perasaan-perasaan seperti semangat yang cenderung besar, penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, energi dan gugup yang berlebihan, dan kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Gejala yang ada pada Tahapan stres I ini biasanya
menyenangkan dan nyaris selalu dianggap positif. Padahal sebenarnya tanpa disadari bahwa cadangan energi sedang menipis . Stres Tingkat II. Gejala dalam tahapan ini mulai berbeda dengan tahapan stres I. Gejala yang dominan adalah keluhan-keluhan yang dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Stres Tingkat III. Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan ciri-ciri antara lain untuk bisa bertahan sepanjang hari tersa sangan sulit, kegiatan-kegiatan yag semula menyenangkan
kini
terasa
sulit,
kehilangan
kemampuan
untuk
menanggapi situasi, pergaulan sosial dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat, tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seing kali terbangun dini hari, perasaan negativisik, kemampuan berkonsentrasi menurun tajam, perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak dimengerti . Stres Tingkat IV. Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan di atas, yaitu keletihan yang mendalam, untuk pekerjaanpekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu, perasaan takut semakin menajadi. Stres Tingkat V. Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaaan
gawat
darurat.
Tingkat
stres
ini
telah menunnjukkan
manifestasibdi bidang fisik juga psikis. Di bidang fisik sering berupa kelelahan, sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depsresi.