BAB II KAJIAN TEORETIS
2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Hakikat Kecerdasan Kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia kecerdasan ini diperoleh manusia sejak lahir, dan sejak itulah potensi kecerdasan ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan individu, dan manakala sudah berkembang, maka fungsinya akan semakin berarti lagi bagi manusia yaitu akan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungannya (Lwin, 2008:2). Kemampuan kecerdasan dalam fungsinya yang disebutkan terakhir bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir, melainkan merupakan kemampuan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai oleh individu. Kecerdasan merupakan kata benda yang menerangkan kata kerja atau keterangan. Seseorang menunjukkan kecerdasannya ketika ia bertindak atau berbuat dalam suatu situasi secara cerdas atau bodoh; kecerdasan seseorang dapat dilihat dalam caranya orang tersebut berbuat atau bertindak. Sedangkan menurut Munandir (2001:122) kecerdasan juga merupakan istilah umum untuk menggambarkan .kepintaran. atau .kepandaian. orang. Beberapa ahli mencoba merumuskan definisi kecerdasan diantaranya adalah Suharsono (2003:43) menjelaskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan
7
dengan usia biologisnya. Gardner (2002:58) dalam Rose mengemukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih. Definisi
dari Suharsono dan Gardner adalah Suharsono (2003:43)
menyebutkan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya. Jika Suharsono menilai kecerdasan dari sudut pandang waktu, sementara Gardner menilainya dari sudut pandang tempat. Amstrong berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita dan bukan tergantung pada nilai IQ, gelar dari perguruan tinggi atau reputasi bergengsi. Kecerdasan sebagai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman. Hal ini didasarkan bahwa manusia hidup dan berinteraksi di dalam lingkungannya yang komplek. Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk menguasai diri dengan lingkungannya demi kelestarian hidupnya. hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan, tetapi juga untuk perkembangan pribadinya. Karena itu manusia harus belajar dari pengalamannya. Dari beberapa pengertian kecerdasan yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya sesuai dengan kondisi ideal suatu kebenaran.
2.1.2 Pengertian Emosi Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif Singer-Schachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan tentang emosi secara tunggal dan universal. English and English (dalam Yusuf, 2003:93) menyebut emosi ini sebagai “A complex feeling state accompanied by characteristic motor and grandular activities”. Menurut Makmun (2003:83) bahwa aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang
dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Berdasarkan pengertian ini, emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Menurut Uno (2010:62) menjelaskan bahwa emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam member tanggapan (respons) terhadap suatu peristiwa. Artinya bahwa pengalaman emosi merupakan persepsi dari reaksi terhadap situasi. Emosi itulah yang mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dengan kata lain, emosi dapat dikatakan sebagai refleksi perasaan sekaligus barometer kestabilan perasaan. Reaksi yang timbul bisa berupa kekecewaan, kemarahan, kekesalan atas kenyataan yang diterima. Karena itu, emosi bisa bersifat konstruktif maupun destruktif.(www.beritanet.com,one.indoskripsi.com,ceritapuji.blog.frienster.com). Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika
perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing). Menurut Yusuf (2003:125) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan keTuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious).
Dengan kemampuan siswa dalam mengelola emosi menjadi satu kecerdasan emosional, diharapkan menjadi titik terang terhadap peningkatan hasil belajar siswa hal ini perkuat oleh pendapat menurut Harmoko (2005:64) kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik. Selain itu Chaplin (2000: 165) mendefinisikan kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Walgito (2002: 42) menyatakan bahwa seseorang telah mencapai kematangan emosi bila dapat mengendalikan emosinya dan diharapkan individu berpikir secara matang, melihat persoalan secara obyektif. Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan oleh para ahli, dapat tarik simpulan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk mengadakan tanggapan-tanggapan
emosi
secara
matang
dan
mampu
mengontrol
serta
mengendalikan emosinya sehingga menunjukkan suatu kesiapan dalam bertindak.
2.1.3 Pengertian Kecerdasan Emosional
Definisi kecerdasan emosional pertama kali disebutkan dalam majalah Time edisi Oktober 1995 oleh psikolog Peter Salovey dari Universitas Yale dan John Mayer dari Universitas Hampshire. Kecerdasan emosi adalah sebuah konsep untuk memahami perasaan seseorang, memahami empati seseorang terhadap perasaan orang lain dan memahami “bagaimana emosi sampai pada tahap tertentu menggairahkan hidup” (Kompas, 2001: 181). Namun konsep kecerdasan emosi baru memasuki forum publik setelah psikolog Danrel Goleman dari Universitas Harvard dalam buku “Emotional Inteligence” (1994) menyatakan bahwa “Kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan emosional”. (Kompas, 2001: 182). Menurut Harmoko (2005:73) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Kecerdasan
emosional
(EQ) adalah proses pembelajaran yang berlangsung seumur hidup. Memang ada temperamen khusus yang dibawa seorang anak sejak ia dilahirkan, tetapi pola asuh orang tua dan pengaruh lingkungan akan membentuk “cetakan emosi seorang anak yang akan berpengaruh besar pada perilakunya sehari-hari” (Bambang Sujiono dan Yuliani Nurani Sujiono, 2005: 115).
Menurut Goldeman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan anak untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. 2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Menurut Goedlman (2002:512) kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya: 1. Internal, diantaranya adalah a. Pola asuh, terdiri dari beberapa jenis yakni ; 1). Pola asuh permisif Pola asuh permisif yaitu orang tua seolah bersikap demokratis dan sangat menyayangi anaknya. Namun disisi lain, kendali orang tua terhadap anak sangat rendah. 2). Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah peran orang tua sangat dominan. Mereka menanamkan disiplin yang ketat dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapatnya.
3). Pola asuh otoritatif Pola asuh otoritatif adalah pola asuh ini tetap menambah kendali yang tinggi pada anak namun dibarengi dengan sikap demokratis. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya dan memilih apa yang paling disukainya. 2. Eksternal, diantaranya adalah ; a. Teman sebaya Pada intinya, setiap anak perlu dilatih untuk bersosialisasi dan bekerja sama, kalau kecerdasan emosinya terlatih dengan baik, seorang anak akan berperilaku positif. Misalnya: anak tidak mengganggu teman pada saat bermain. Teman sebaya mampu meningkatkan motivasi dan minat anak dalam kegiatan belajar serta mampu meningkatkan kecerdasan anak. Sardiman, (2004: 83) mengemukakan ciri-ciri seseorang yang memiliki minat (motivasi) tinggi yaitu berupa; (1) Tekun dalam menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhentisebelum selesai), (b) Ulet menghadapi kesulitan ridak (tidak lekas putus asa), (c) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah, (d) Lebih senang bekerja mandiri, (e) Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang berifat mekanis, berulang-ulang begitu saja sehingga kurang kreatif), (f) Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu), (g) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu, dan (h) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. Hubungan antara teman sebaya terhadap motivasi belajar anak akan mampu meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan pada anak.
b. Lingkungan sekolah Disini yang paling dominan adalah guru. Seorang guru harus bersikap sabar, agar anak dapat bersikap positif. Dunia pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, menyediakan berbagai jenis program yang diperkirakan relevan dengan kebutuhan jenis tenaga kerja masyarakat. Untuk menetapkan pilihan jenis pendidikan dan pekerjaan yang diidamkan banyak faktor yang dipertimbangkan. Dengan demikian lingkungan pendidikan luar sekolah sangatlah berpengaruh terhadap peningkatan interaksi anak yang berkaitan dengan perkembangan kecerdasan emosional anak. c. Bermain Bermain merupakan hal yang esensial bagi kesehatan anak. Bermain akan meningkatkan kerjasama dengan teman sebaya, menghilangkan ketegangan, dan merupakan pengamanan bagi tindakan yang potensial berbahaya. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat peka untuk menerima berbagai rangsangan dari lingkungan. Keberhasilan anak dalam mencapai perkembangan yang optimal pada masa ini akan menunjang perkembangan jasmani dan rohani yang ikut serta menentukan keberhasilan anak didik dalam mengikuti pendidikannnya di kemudian hari. Menurut Soejanto (2005:28) bermain merupakan makanan rohani bagi anak. Tanpa dirangsang atau digunakan, otak manusia tidak akan berkembang karena pertumbuhan otak memiliki keterbatasan waktu, dengan demikian rangsangan otak pada usia dini ini menjadi sangat penting. Penundaan yang terjadi akan membuat
otak itu tetap tertutup sehingga tidak dapat menerima program-program baru (Solehudin, 2000:3). Bermain merupakan cara alamiah anak untuk menemukan lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsipnya bermain mengandung rasa senang dan lebih mementingkan proses daripada hasil akhir. Perkembangan bermain sebagai cara pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan perkembangan umur dan kemampuan anak didik, yaitu berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih besar) menjadi belajar sambil bermain (unsur belajar lebih banyak). Dengan demikian anak didik tidak akan canggung lagi menghadapi cara pembelajaran di tingkat berikutnya. Oleh karena itu dalam memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus diperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, alat bermain atau alat bantu, metode yang digunakan, waktu dan tempat serta teman bermain (Depdikbud 1995: 8) Menurut Dariyo (2007:217) bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan, spontan dan didorong oleh motivasi internal yang umumnya dilakukan oleh anak-anak. Maxim (dalam Solehuddin, 2000;88) menjelaskan peranan bermain terhadap perkembangan anak sebagai beriku; 1) fisik; mengembangkan otototot besar dan kecil. Misalnya mengangkat balok, melempar bola, melukis, menggunting, dan sebagainya, 2) keterampilan intelektual; mengembangkan aktivitas berfikir anak melalui bahasa, mengamati warna, bentuk, problem solving, dan sebagainya, 3) keterampilan sosial; mengembangkan aktivitas interaksi anak dengan yang lain, belajar untuk diterima, terlibat dengan yang lain dan empati. Misalnya :
menunggu giliran.Emosi; mengembangkan ekspresi anak, mengendalikan emosi, menghadapi ketegangan, takut dan frustrasi. 2.1.4 Metode Belajar Yang Menunjang Perkembangan Emosional Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi sebagai berikut : a. Belajar secara coba-coba Anak belajar secara coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. b. Belajar dengan cara meniru Anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya. c. Belajar dengan cara mempersamakan diri Anak menirukan reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. d. Belajar melalui pengkondisian Dalam metode ini obyek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. e. Pelatihan Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan terbatas pada aspek reaksi yaitu reaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Peran orang tua, guru dan lingkungan sekitar sangat menentukan dalam proses belajar anak. Mereka harus sabar
dan menjadi tauladan bagi anak-anak mereka. Apabila anak melakukan hal-hal yang positif maka orang tua tidak segan-segan memberikan pujian. 2.1.6 Prinsip-prinsip Mengasuh Anak Dengan Kecerdasan Emosional Ada lima prinsip mengasuh anak dengan yang menjadi tujuan bagi orang tua dan anak. Berusaha mencapai tujuan tersebut akan menciptakan keluarga yang harmonis dan membuat anak-anak tumbuh dewasa dengan disiplin diri dan tanggung jawab. Menurut Lwin (2008:207) bahwa prinsip-prinsip mengasuh anak dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosional anak adalah sebagai berikut : 1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Perasaan adalah sesuatu yang sulit disadari. 2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain. Empati adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Untuk dapat melakukan hal ini, seorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupun perasaan orang lain. 3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilakunya. 4. Berorientasi pada tujuan dan rencana positif. Salah satu hal terpenting tentang manusia adalah dapat menetapkan tujuan dan membuat rencana untuk mencapai tujuan. Teori kecerdasan emosional menyatakan bahwa hal ini memiliki implikasi penting yaitu sebagai berikut : a. Mengakui kekuatan ampuh optimisme dan harapan. b. Dalam berusaha mencapai tujuan, ada waktu-waktu ketika lebih atau kurang efektif.
c. Orang tua dapat memperbaiki cara dalam penetapan dan perencanaan tujuan sebagaimana menghendaki anak-anak melakukannya. 5. Gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan. Contoh kecakapan sosial yaitu komunikasi dan pemecahan masalah. Sebagai orang tua harus memberikan kebebasan kepada anak untuk bergerak. Namun orang tua tetap mengontrol anak walaupun tidak terlalu ketat. Selain itu orang tua dapat memahami perasaan anak, apakah anak sedang sedih atau senang. 2.1.7 Peranan Guru Mengelola Kecerdasan Emosional Anak Kecerdasan yang sering dinyatakan dengan angka IQ (Intellegence Quotient) bukan satu-satunya jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian serius dari orang tua adalah kecerdasan emosional. Salah satu aspeknya adalah kecerdasan sosial, dimana anak memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain. Kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan seseorang untuk mengenali emosinya sendiri serta mengelola emosi tersebut dengan cara yang benar. Selain itu, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan. (Kompas, 2001:124). Kecerdasan emosional dapat dilatih pada anak-anak sejak dini. Misalnya, menciptakan suasana kedamaian penuh kasih sayang dalam keluarga, memberikan contoh-contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, serta lebih banyak tersenyum dari pada cemberut. Semuanya ini
memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan emosionalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, refleksi emosi nyata lebih banyak memainkan peran dalam proses pengambilan keputusan atau menampakkan perilaku seseorang ketimbang perhitungan nalar. Seorang anak perlu dibekali kecerdasan emosi yang maksimal sejak dini karena kecerdasan emosi dapat dipelajari dan dilatihkan pada anak. Latihan meningkatkan kecerdasan emosi anak bisa dilakukan oleh orang tua dalam interaksi dengan anak-anaknya yaitu melalui pengasuhannya. Anak yang mendapat stimulasi perkembangan kecerdasan emosi baik. Dengan begitu sikap dan perilaku anak akan berkembangan dengan baik menuju ke arah perkembangan yang positif. Peranan guru dalam mengelola kecerdasan emosi anak dapat pula dilakukan melalui kegiatan pembelajaran yang menyenangkan seperti; bermain peran, diskusi kelompok, pemberian motivasi dan penguatan, pembimbigan serta memberikan teladan secara langsung kepada anak ataupum modeling langsung atau modeling teman sebaya. 2.2 Kajian Penelitian Relevan Menurut Satrianingsih (2006) melalui judul penelitiannya ”pengaruh kecerdasan musik terhadap kecerdasan emosi anak menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosional pada anak dapat dikembangkan melalui kegiatan bermain musik dan berbagai kegiatan bermain lainnya.
Sedangkan menurut Wahyuningsih (2009) melalui penelitiannya yang berjudul hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar menunjukkan hasil bahwa Rata-rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, lebih impulsif dan agresif. Sehingga mempengaruhi prestasi belajar siswa. Kaitanya dengan penelitian ini adalah bahwa kecerdasan emosional pada anak mampu dianalisis berdasarkan karakteristik yang dimiliki dan melalui kegiatan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.