BAB II KAJIAN TEORETIS
2.1 Hasil Penelitian yang Relevan Sesuai data yang selama ini diperoleh baik dari hasil-hasil penelitian yang ada pada beberapa perpustakaan yaitu perpustakaan pusat UNG, perpustaaan daerah, bahkan internet, penelitian yang menerapkan kajian hegemoni dalam karya sastra belum banyak diteliti. Apalagi yang berkonsentrasi dalam penerapan kajian hegemoni terhadap novel Kubah karya Ahmad Tohari. Adapun penelitian yang masih dapat dijadikan sebagai kajian yang relevansi dengan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut. 1. Dewi (2011) melakukan penelitian dengan judul skripsi Analisis Struktur dan Religius dalam Novel “Kubah” karya Ahmad Tohari. Dalam penelitian tersebut dikaji tentang analisis unsur intrinsik yang membangun jalannya cerita, serta analisis tentang religiusitas yang terkandung di dalamnya. Sebelum melakukan analisis terhadap religiusitas, terlebih dahulu peneliti menganalisis unsur intrinsik berupa tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, serta tema dan amanat pada novel Kubah karya Ahmad Tohari dengan menggunakan metode struktural. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, tampak adanya perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian ini hanya difokuskan pada hegemoni yang dialami oleh tokoh utama yaitu mencakup ketertindasan, kekuatan sosial, serta katerterimaan kembali tokoh utama dalam novel kubah karya Ahmad Tohari. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shinta Dewi mengkaji tentang analisis unsur-unsur intrinsik yang membengun jalannya cerita serta analisis tentang religiusitas dengan menggunakan metode struktural. Sedangkan persamaannya pada objek kajian yaitu sama-sama mengkaji novel kubah karya Ahmad Tohari.
2. Rumaiyah (2011) melakukan penelitian dengan judul skripsi Hegemoni yang Terjadi Antar Tokoh yang Terlibat dalam Novel “Siddhartha”. Penelitian tersebut mengaji tentang hegemoni yang terjadi pada novel Siddhartha serta membahas tentang tokoh-tokoh yang mengalami hegemoni dengan menggunakan kajian sosiologi sastra. Perbedaan yang tampak pada penelitian ini terletak pada objek kajian, yaitu novel kubah karya Ahmad Tohari serta menggunakan kajian sosiologi sastra. 3. Wiyanti (2012). Penelitian Wiyanti dengan judul skripsi Aspek Formatif Hegemoni Gramsci dalam Novel “Canting” karya Arswendo Atmowiloto. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitiannya berupa (1) aspek formatif hegemoni Gramsci dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto; (2) relasi formatif hegemoni Gramsci dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan fakta sosial masyarakat. Berdasarkan kajian penelitian tersebut, maka terlihat jelas bahwa penelitian ini berbeda secara substansial ditinjau dari aspek permasalahan yang dikaji, objek penelitian, dan hasil penelitian.
2.2 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir bertujuan untuk memberikan gambaran tentang jalan kerja dalam penelitian. Penelitian ini diawali dari pengidentifikasian konsep hegemoni dalam novel. Novel yang ditetapkan sebagai sumber data adalah novel Kubah karya Ahmad Tohari. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka berpikir dapatlah dilihat pada bagan 1 berikut ini.
Bagan 1 Kerangka Berpikir
Hegemoni
3 4
Jenis Penelitian: Pustaka
Novel
Perspektif Teori Hegemoni
Rumusan Masalah
5
6
Sumber Data: Novel Kubah
Wujud Data: Konsep Hegemoni
Ketertindasan tokoh utama 7 atas kekuasaan yang melingkupinya Analisis
Simpulan Penelitian
Kekuatan sosial dalam novel
Pengumpulan Data
Keterterimaan kembali tokoh utama di lingkungan masyarakatnya
Analisis Data
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Verifikasi
2.3 Konsep Kajian Hegemoni Konsep kajian hegemoni pada dasarnya merupakan konsep adanya ketertindasan dari pihak yang berkuasa. Menurut Baryadi (2012:20) kekuasaan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Kekuasaan berada pada struktur masyarakat, karena memang dibangun dengan cara menarik dukungan sosial. Kekuasaan pada hakikatnya berkenaan dengan hubungan antar manusia, yaitu hubungan yang tidak seimbang di antara dua pihak. Satu pihak mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada pihak lain. Pandangan tersebut memberikan gambaran bahwa kekuasaan berada dalam masyarakat. Masyarakatlah yang menerapkan kekusaan itu. Martin (dalam Baryadi 2012:19) menyatakan suatu hubungan kekuasaan biasanya bersifat tidak seimbang, dalam arti bahwa satu pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari palaku lain. Secara luas pandangan tersebut memberikan penjelasan bahwa di dalam masyarakat terdapat berbagai ragam kekuasaan. Ada yang kecil dan ada yang besar. Kekuasaan besarlah yang mendominasi terhadap kekuasaan kecil. Menurut Baryadi (2012:22) praktik kekuasaan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu. 1. Kekuasaan apresiatif atau kekuasaan penghargaan, kekuasaan ini adalah kekuasaan yang diwujudkan oleh individu atau kelompok dengan cara menghargai, menghormati, bahkan mengasihi kelompok lain. 2. Kekuasaan koersif merupakan kekuasaan yang diwujudkan oleh individu atau kelompok dengan cara memaksa individu atau kelompok lain untuk menuruti kehendaknya. Kepatuhan tersebut dicapai melalui ancaman, tekanan, peringatan, hukuman, dan cara-cara lain yang menimbulkan rasa takut pihak yang didominasi. 3. Kekuasaan persuasif adalah kekuasaan yang diwujudkan individu/kelompok dengan cara mempengaruhi individu atau kelompok lain. Kekuasaan persuasif merupakan kekuasaan
yang disebut sebagai hegemoni, yaitu kelompok yang didominasi mematuhi kehendak kelompok dominan, bukan karena paksaan melainkan karena sudah menjadi hal yang sewajarnya. Dari ketiga praktik kekuasaan tersebut, yang menjadi sumber penelitian ini yaitu pada praktik kekuasaan yang ketiga, yakni kekuasaan persuasif yang merupakan kekuasaan yang disebut sebagai hegemoni. Sehubungan dengan hal tersebut, perjuangan serta usaha kelas dominan untuk mewujudkan kekuasaanya tehadap kelompok tidak dominan untuk mencapai tujuannya mencakup berbagai cara. Di situlah titik pijak munculnya konsep hegemoni. Menurut Gramsci hegemoni sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etispolitis. Dalam hal ini hegemoni harus memperhatikan interes-interes yang dibentuk atau dengan kata lain bahwa kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi, pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh yang esensial, yaitu interes ekonomi, sebab walaupun hegemoni besifat etis politis, hegemoni juga bersifat ekonomis, harus didasarkan pada fungsi yang menentukan inti aktivitas ekonomi (Faruk 2012:142). Menurut Mantra (2011:167) konsep hegemoni lebih berada di dalam ranah ideologis ketimbang material. Dalam batasan yang sederhana, konsep hegemoni Gramsci terkait dengan kemampuan dari sebuah kelas dominan untuk membentuk suatu hubungan konsekuen dengan kelas bawah (subaltern) melalui jalur-jalur sosial dan budaya dan beragam. Berawal dari sebuah dikotomi tradisional antara daya paksa/kekuatan (force) dan persetujuan (consent), suatu karakteristik dari pemikiran politik Italia dari Machiavelli sampai Pareto, Gramsci menyatakan bahwa supremasi dari sebuah kelompok atau kelas sosial memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang berbeda, yaitu dominasi (dominio), atau paksaan, dan kepemimpinan moral dan intelektual (direzione intelletuale e morale). Manifestasi dalam cara yang kedua tersebut
(kepemimpinan moral dan intelektual), yang menjadi landasan bagi hegemoni. Dalam konteks tersebut, hegemoni dengan demikian sangat terkait dengan kontrol sosial suatu kelas atau kelompok tertentu terhadap kelas yang lain, terutama kelas yang berada pada tataran bawah (subaltern). Kontrol sosial sendiri memiliki dua bentuk dasar, yaitu secara eksternal dalam bentuk pengaruh terhadap perilaku dan pilihan melalui mekanisme imbalan dan hukuman (rewards and punishments), dan secara internal, melalui pembentukan keyakinan-keyakinan personal menjadi sebuah replika norma-norma yang berlaku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekuasaan merupakan penjabaran dari hegemoni. Hegemoni muncul berdasarkan kekuasaan yang di dalamnya terdapat unsur ketertindasan. Jadi, secara umum hegemoni sebagai suatu dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas kelas sosial lainnya. Hegemoni dapat dibentuk melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan dominasi atau penindasan. Bisa juga hegemoni didefinisikan sebagai dominasi/penguasaan oleh satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan/diucapkan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi/dikuasai diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.
2.4 Kajian Hegemoni dalam Karya Sastra Hegemoni sering dikacaukan dengan ideologi. Hegemoni dari akar kata Hegeisthai (Yunani), berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Jadi secara leksikografis hegemoni berarti kepemimpinan. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan dominasi, dengan dimasukannya unsur kepemimpinan dan persetujuan dari kelompok yang dihegemoni, maka konsep hegemoni dianggap lebih
kompleks dibandingkan dengan ideologi, tetapi belum tentu sebaliknya. Unsur represif atau menindas lebih jelas dalam hegemoni. Hegemoni dikembangkan oleh Filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891–1937). Konsep hegemoni memang dikembangkan atas dasar dekonstruksinya atau hubungannya terhadap konsep Marxis ortodoks. Menurut Mouffe (dalam Ratna, 2010:176) istilah hegemoni dipergunakan pertama kali pada tahun 1926 dalam tulisanya yang berjudul Notes on the Southern Question. Meskipun demikian, menurut Simon istilah hegemoni sudah digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya tahun 1880-an. Ratna (2010:186) menjelaskan bahwa dalam karya sastra selain sebagai refleksi masyarakat juga mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat. Dalam studi sastra teori hegemoni merupakan penelitian dalam kaitannya dengan relasi-relasi yakni (1) sastra dengan masyarakat, hubungan pengarang dengan masyarakat, kekuatan-kekuatan sosial dibangun di dalam teks sastra; (2) karya sastra tidak lagi berfungsi sebagai cermin pasif, cerita sebagai semata-mata memindahkanya dan melalui kejadian sehari-hari; (3) karya sastra adalah peristiwa kultural itu sendiri, dengan otonomi dan mekanismenya masing-masing. Dalam dikehidupan sosial seperti kekayaan, status sosial, jabatan formal, organisasi, senjata, jumlah penduduk dan lain sebagainya mencakup berbagai cara dituangkan melalui bidang sastra. Karya serta aktivitas kultural/kebudayaan menjadi proses dasar dari informasiinformasi yang melaluinya hegemoni bekerja. Teori hegemoni tersebut membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural, yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya (Faruk,
2010:154). Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni, di antarnya studi sastra dari Raimond Williams. Dalam bukunya Faruk, (2012:155) Wiliam menganggap bahwa konsep hegemoni melampaui konsep ideologi dengan tekanannya pada kesepakatan terhadap tatanan sosial yang berkuasa. Gramsci (dalam Sukeni, 2009:14) menjelaskan bahwa agar yang terhegemoni patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilainilai penghegemoni, di samping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa. Sebaliknya, massa dapat menerima prinsip, ide, dan norma sebagai miliknya. Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain bukan berdasarkan paksaan, tetapi melalui konsensus. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kajian hegemoni dalam karya sastra bertujuan membedah karya sastra dalam perspektif kesepakatan antara terpimpin untuk tunduk dan patuh terhadap pemimpin. Kesadaran terpimpin atas kekuasaan yang melingkupi dirinya diakui dan tanpa adanya perlawanan terhadap pemimpin. Lewat kekuasaan pemimpin untuk menguasai diri terpimpin, maka terpimpin membentuk dirinya untuk terus dikuasai tanpa rasa paksaan. Kajian hegemoni hadir sebagai pisau bedah karya sastra yang diawali dari kekuasaan atas diri terpimpin yang dilakukan oleh pemimpin.
2.5 Hakikat Novel Dalam sastra Indonesia, istilah novel seperti yang terdapat dalam pengertian yang sering dipergunakan dalam sastra Inggris dan Amerika, sudah mulai dipakai secara berangsur-angsur. Lebih umum digunakan selama ini adalah istilah roman. Kedua istilah tersebut dipergunakan dalam pengertian yang sama. Novel berasal dari kata latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang artinya baru. Dikatakan baru karena apabila dibandingkan dengan jenis-jenis karya
sastra yang lain seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel muncul kemudian. Dalam The American Collonge Dictionari novel merupakan suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif atau sesuai dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Dalam The Advanced Learner’s Dictionari of Current English menerangkan bahwa novel adalah suatu cerita dengan satu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria atau wanita yang bersifat imajinatif (Tuloli 2000:164 ). Dalam bukunya Tuloli, (2000:17) Forster mendefinisikan novel adalah cerita fiksi atau rekaan dalam bentuk prosa yang agak panjang. Ukuran panjangnya adalah melebihi dari 50.000 perkata. Sekarang novel dianggap sebagai suatu ragam sastra yang panjang dan kompleks yang unsur-unsur utamanya adalah plot, perwatakan, latar, dan sudut pandang. Pandangan tersebut secara substansi melihat novel dari segi kuantitatifnya. Penentuan panjang cerita didasarkan atas jumlah kata yang terdapat dalam novel. Watt dalam bukunya Tuloli, (2000:17) menjelaskan bahwa novel merupakan suatu ragam sastra yang memberikan gambaran pengalaman manusia, kebudayaan manusia, yang disusun berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh, waktu dan plot, suasana dan latar. Tentunya pandangan tersebut berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh Forster sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dalam pandangan Watt novel dilihat sebagai ragam sastra yang tidak terbatas pada kuantitatifnya saja, melainkan pada gambaran pengalaman manusia beserta budayanya. Di dalam novellah pembaca dapat menemukan budaya masyarakat tertentu. Jadi, novel merupakan struktur yang bermakna. Novel bukan sekedar rangkaian tulisan yang menggairahkan pembaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang membangun karya tersebut. Dalam novel terdapat serangkaian peristiwa, sejarah,
kehidupan atau kejadian-kejadian yang menimbulkan pergolakan batin yang mengubah perjalanan hidup/nasib tokohnya. Untuk mengetahui makna dan pikiran-pikiran tersebut, karya sastra novel harus dianalisis/dikaji. Lubis (dalam Tarigan 2000:166-168) membagi lima jenis novel yakni: (1) novel avantur; (2) novel psikologis; (3) novel detektif; (4) novel sosial dan novel politik; serta (5) novel kolektif. Dari kelima jenis novel tersebut, yang menjadi pusat penelitian ini yaitu pada jenis novel sosial dan politik. Dalam novel sosial pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelasnya atau golongan. Pada jenis novel sosial dan politik menunjukan kelas dalam masyarakat, misalnya kelas kaum majikan atau kaum kapitalis. Dalam novel tersebut persoalan ditinjau bukan dari sudut persoalan orang-orang sebagai individu, tetapi persoalan ditinjau melingkupi persoalan golongan-golongan dalam masyarakat, reaksi setiap golongan terhadap masalahmasalah yang timbul akibat adanya dominasi.
2.6 Ketertindasan Tokoh Utama Dalam karya sastra seperti novel, pada dasarnya pengarang akan menghadirkan sejumlah tokoh. Namun, dalam kaitanya dengan keseluruhan cerita peran masing-masing tokoh tidaklah sama. Jika dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, ada tokoh yang digolongkan penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita. Ada juga tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun hanya dalam porsi penceritaan yang pendek. Tokoh yang dijelaskan pertama adalah tokoh utama dalam cerita, dan yang kedua adalah tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan tokoh lain. Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam perkembangannya, tokoh utama dihadirkan oleh pengarang sebagai perwujudan keberagaman
karakter bergantung pada keinginan pengarang. Tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik. Sedangkan permunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, dan tidak terlalu penting. Kemunculan tokoh tambahan pada cerita ada keterkaitanya dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Nurgiyantro (2009:176–177) tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita bersangkutan. Pandangan tersebut memberikan kemungkinan-kemungkinan pada tokoh utama dalam berbagai watak. Bisa jadi berwatak sebagai penindas maupun sebagai tertindas. Pengarang pandai memanfaatkan tokoh utama sebagai sumber keseluruhan ide cerita. Cerita yang mengandung ketertindasan tokoh utama sebetulnya muncul karena diinginkan oleh pengarang. Ketertarikan pengarang pada ketertindasan tersebut sehingga imaji pengarang dibuktikan lewat hadirnya tokoh utama yang memainkan peran sebagai tokoh yang tertindas. Karakter tokoh tersebut banyak ditemukan dalam novel, dan bahkan hampir setiap novel terdapat tokoh yang dirugikan (ditindas) dan tokoh yang diuntungkan (menindas). Jika dilihat dari sudut pandang kekuasaan yang berakibat pada penindasan, maka kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni. 1. Kekuasaan bersifat positif merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
2. Kekuasaan bersifat negatif merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik, mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi, dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu, karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya (id.wikipedia.org/wiki, 2013. Online. Diakses tanggal 21 Agustus 2013). Dari kedua sudut pandang tersebut, maka yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah sudut pandang pertama. Yaitu, kekuasaan yang bersifat positif. Kekuasaan yang bersifat positif merupakan kekuasaan yang dilakukan tanpa pemaksaan ataupun kekerasan, akan tetapi melalui persetujuan-persetujuan yang sudah semestinya antara pemegang kekuasaan tertinggi dan individu yang terhegemoni.
2.7 Kekuatan Sosial Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga kini, boleh dikatakan mengandung sunsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu
sendiri (Nurgiyantoro, 2009:330). Pandangan tersebut memusatkan perhatiannya pada perjalanan novel Indonesia perdasarkan periodesasi sastra. Kehadiran novel sebagai bahan bacaan masyarakat dinilai merupakan kritikan pengarang terhadap lingkungan nyata masyarakat. Oleh sebab itu, pengarang tampil sebagai orang yang mengritik sesuatu dan mensosialisasikan lewat tulisannya kepada masyarakat. Kaitannya dengan kekuatan sosial, setiap karya sastra tidak pernah terlepas dengan konteks sosial cerita. Konteks sosial menjadi kekuatan dalam cerita. Cerita dikemas dan dikaitkan dengan kehidupan tokoh dalam masyarakatnya. Masyarakat tersebutlah yang menjadi kekuatan tersendiri untuk mendukung kehadiran tokoh. Kadangkala pengarang menjadikan masyarakat cerita sebagai pembenci adanya tokoh utama, misalnya. Kadang pula satu tokoh diliputi rasa cemas karena masyarakat dalam lingkungan cerita tidak ingin perwujudan karakternya lain daripada umumnya. Hal tersebutlah yang dimaksudkan sebagai kekuatan sosial. Menurut Marx (dalam Yasa, 2012:55) pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individuindividu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Oleh karena itu, sejarah hanya dapat dipahami dengan segala perkembangan yang terjadi. Kekuatan sosial dalam ranah psikologi dapat memunculkan sublimasi. Menurut Minderop (2011:34) sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman tersebut ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana. Pandangan tersebut mengomentari kekuatan sosial dalam diri tokoh sebagai perwujudan pengaruh untuk bersama-sama dengan kelompok
mayoritas. Kekuatan sosial bersifat menghegemoni individu-individu tertentu agar terlihat sama dengan kelompok mayoritas. Di situlah letak kesuksesan konsep hegemoni. 2.8 Keterterimaan Kembali Tokoh Utama di Lingkungan Masyarakatnya Keterterimaan kembali tokoh utama di lingkungan masyarakatnya merupakan konsep pemberian kebebasan terhadap tokoh utama atas kekuasaan yang membelenggunya. Konsep hegemoni yang memberikan keterikatan terhadap diri tokoh dan selanjutnya mengasingkan tokoh pembangkang adalah bagian dari taktik hegemoni. Tokoh penurut kekuasaan termasuk tokoh yang terhegemoni. Sebaliknya, tokoh yang disingkirkan, diintimidasi, dan diberikan perlakuan sebagai rasa jengkel dari masyarakat yang ada dalam cerita sebetulnya mengarah pada perlawanan terhadap hegemoni. Keadaan yang demikian itu disebabkan oleh adanya keinginan tokoh untuk tidak terikat terhadap konvensi masyarakat. Itulah yang disebut dengan konsep kebebasan. Menurut Mallarangeng (2008:2) kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, merasa, dan memilih dirinya sendiri. Karena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu memilih diri mereka sendiri. Oleh sebab itu, berdasarkan pandangan tersebut dapatlah dikatakan bahwa keterterimaan kembali tokoh utama di lingkungan masyarakatnya merupakan konsep kebebasan tokoh utama atas kekuasaan yang melingkupinya. Jika tokoh utama telah diterima oleh sebagian besar masyarakat yang ada dalam cerita tentu secara mendasar telah ada kebebasan dalam diri tokoh utama terhadap kekuasaan yang membelenggunya.
Dalam kaitannya dengan keterterimaan kembali tokoh utama di lingkungan masyarakatnya, Hilgard (dalam Minderop, 2011:34) menjelaskan bahwa kerapkali tokoh menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima dengan melimpahkannya pada alasan lain. Misalnya bersikap kritis, kasar dan lain sebagainya. Tokoh menyadari sikap tersebut pantas dilakukan dengan berbagai alasan, namun tokoh harus mengakui efek dari tindakannya. Itulah yang disebut dengan proyeksi. Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi dilimpahkan kepada orang lain. Pandangan tersebut mengarahkan bahwa dalam konsep keterterimaan kembali tokoh di lingkungan masyarakatnya secara mendasar dapatlah dilakukan oleh tokoh sebagai proyeksi atas dirinya terhadap masyarakatnya. Kesuksesan proyeksi dibuktikan dengan adanya keterterimaan kembali yang dilakukan orang lain terhadap diri individu. Individu dan masyarakat saling menentukan, masyarakat sebagai proses dimana manusia sendiri mengusahakan kehidupan bersama menurut konsepsinya dengan bertanggung jawab atas hasilnya. Manusia tidak berada di dalam masyarakat bagaikan burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Masyarakat terdiri dari sejumlah pengertian, perasaan, sikap, dan tindakan, yang tidak terbilang banyaknya. Orang berkontak dan berhubungan satu dengan yang lain menurut pola-pola sikap dan perilaku tertentu, yang entah dengan suka, entah terpaksa telah diterima oleh mereka. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang akan menyesuaikan kelakuan mereka dengan pola-pola itu. Seandainya tidak, hidup sebagai manusia menjadi mustahil. Masyarakat sebagai proses yang dapat dipandang dari dua segi yang dalam kenyataannya tidak dipisahkan satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Pertama masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang membentuk, mendukung, menunjang dan
meneruskan suatu pola kehidupan tertentu yang disebut masyarakat. Kedua masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh strukturnya atas anggotanya (file:fungsi masyarakat-dalamkehidupan.html. online. Diakses tanggal 18 september 2013). Dari kedua segi tersebut maka hubungan antara masyarakat dan individu dapat digambarkan sebagai kutub positif dan kutup negatif pada aliran listrik. Jika dua kutub itu dihubungkan pada listrik maka akan mampu memberi kekuatan baginya dan menimbulkan suasana yang cerah. Jika individu dan masyarakat dipersatukan maka kehidupan individu dan masyarakat akan lebih bergairah dan suasana kehidupan individu dan kehidupan masyarakat akan lebih bermakna dan hidup serta bergairah.