BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Tinjauan tentang Komitmen 1. Pengertian Komitmen Komitmen seseorang terhadap organisasi seringkali menjadi isu yang sangat penting. Oleh karena pentingnya hal tersebut, sampai-sampai beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan untuk lowongan pekerjaan. Meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang organisasi maupun guru, tetapi belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi yang kondusif sehingga organisasi
dapat berjalan
secara efisien dan efektif. Mowday,dkk (1982 : 27) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Komitmen seorang dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu : (1) Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. (2) Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. (3) Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi). komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang guru
terhadap
organisasinya. Komitmen organisasi merupakan kondisi dimana guru sangat tertarik
7
8 terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Jenis dan Tingkatan Komitmen Setiap guru memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Guru yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan guru yang berdasarkan continuance. Guru yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki guru . Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada guru
untuk memberi balasan atas
apa yang telah diterimanya dari organisasi. Komitmen organisasi seperti yang telah diuraikan di atas lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Mowday dkk, (1982 : 51) bahwa komitmen organisasi ini memiliki tiga komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup: (1) Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi guru
tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi,
9 kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi. (2) Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Guru yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dna tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya. (3) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan guru . Guru
dengan
komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam berorganisasi, memiliki loyalitas serta afeksi positif terhadap kegiatan pendidikan di sekolah. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu lama. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
komitmen
dalam
berorganisasi
karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi. Aspek yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat.
10 Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi. Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos yang baik. Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masingmasing anggota dalam organisasi tersebut. Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya. Mowday, dkk (1982 : 182) Perbedaan yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya kepada definisi dan pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan dalam berbagai penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Attitudinal commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai memikirkan mengenai hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya terhadap organisasi. Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola pikir di mana individu memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai dengan organisasi di mana ia berada. Sedangkan behavioral commitment berhubungan dengan proses di mana individu merasa terikat kepada organisasi tertentu dan bagaimana cara mereka mengatasi setiap masalah yang dihadapi. Penelitian mengenai Attitudinal commitment melibatkan pengukuran terhadap komitmen (sebagai sikap atau pola pikir), bersamaan dengan variabel lain yang dianggap sebagai penyebab, atau konsekuensi dari komitmen. Tujuan dari
11 penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku anggota organisasi sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi), seperti anggota organisasi jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan produktivitas yang lebih tinggi. Tujuan yang kedua menunjukkan karakteristik individu dan situasi kondisi seperti apa yang mempengaruhi perkembangan komitmen berorganisasi yang tinggi. Dalam
behavioral
commitment
anggota
dipandang
dapat
menjadi
berkomitmen kepada tingkah laku tertentu, daripada pada suatu entitas saja. Sikap atau tingkah laku yang berkembang adalah konsekuensi komitmen terhadap suatu tingkah
laku.
Contohnya
anggota
organisasi
yang
berkomitmen
terhadap
organisasinya, mungkin saja mengembangkan pola pandang yang lebih positif terhadap organisasinya, konsisten dengan tingkah lakunya untuk menghindari disonansi kognitif atau untuk mengembangkan self-perception yang positif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi yang seperti apa yang membuat individu memiliki komitmen terhadap organisasinya. Komitmen dianggap sebagai psychological state, namun hal ini dapat berkembang secara retrospektif (sebagai justifikasi terhadap tingkah laku yang sedang berlangsung) sebagaimana diajukan pendekatan behavioral, sama seperti juga secara prospektif (berdasarkan persepsi dari kondisi saat ini atau di masa depan di dalam organisasi) sebagaimana dinyatakan dalam pendekatan attitudinal. Definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang
12 memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Komitmen memiliki arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilainilai organisasi , di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut. Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi maka dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga dimensi utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap organisasi, pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral untuk terus berada dalam organisasi. Faktor
utama
yang
membuat
orang
komitmen yang telah ia buat sebelumnya, seperti : (a)
Ceroboh
saat akan
tidak
dapat
mempertahankan
yaitu : (1) Internal (diri sendiri),
mengambil
keputusan, sehingga menyesal
dikemudian hari, (b) Kurang berpikir panjang sewaktu menganalisa resiko-resiko yang akan dihadapi apabila ia mengambil keputusan, (c) Keyakinan goyah disebabkan karena seseorang tidak kuat mentalnya, (2) Eksternal (di luar diri sendiri), seperti : (a) Lingkungan, seringkali karena pengaruh lingkungan, seseorang gagal dalam mempertahankan komitmennya. Didalamnya termasuk peran keluarga, pasangan, atau sahabat/teman, (b) Gaya hidup yang tidak benar. Perkembangan jaman, selain membawa dampak positif, juga terkadang membawa dampak negatif bagi seseorang, (c) Pengaruh uang, tidak bisa dipungkiri, uang memiliki power yang besar dalam hidup ini. Apabila seseorang tidak kuat mental, komitmen yang dibuat seseorang dapat kandas di tengah jalan. (d) Tidak tahan pada pasang surut kehidupan.
13 Beberapa orang dapat terpengaruh akibat kehidupan yang dijalaninya, sehingga ia menyerah pada kehidupan. Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah. Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan be lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Meyer (1997:98 ) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung kebijakan organisasi dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam organisasi) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau kesalahan organisasi pada pihak yang berwenang). 4. Upaya Pembentukan Komitmen Mowday, dkk (1992:56) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan komitmen dalam organisasi maka memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan dan loyalitas guru terhadap organisasi.
14 a. Identifikasi Identifikasi, adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kepercayaan diri seorang guru terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para guru ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan guru dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para guru dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa guru dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena guru menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula . b. Keterlibatan Keterlibatan atau partisipasi guru dalam aktivitas-aktivitas penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan guru menyebabkan mereka akan mau dan senang be sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman . Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan guru adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada guru bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Di samping itu, dengan melakukan hal tersebut maka guru merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. Hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada
15 individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan guru yang keterlibatannya lebih rendah. Robbins, (2003 : 87) mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh guru dalam organisasi. Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hingga guru memperoleh kepuasan , maka guru pun akan menyadari pentingnya memiliki kesediaan untuk menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan. c.
Loyalitas Loyalitas guru terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang
untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Kesediaan guru untuk mempertahankan diri be dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen guru terhadap organisasi dimana mereka be. Hal ini dapat diupayakan bila guru merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. Memperhatikan uraian di atas, maka terlihat bahwa komitmen individu terhadap organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini organisasi dan guru
(individu) harus secara bersama-sama menciptakan
kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Sebagai contoh seorang guru yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah be ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati
16 adanya hal-hal yang menarik dan memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, misalnya ada koperasi, ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan maka dapat dipastikan ia dapat be dengan penuh semangat, lebih produktif, dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi dalam organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis komitmen individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin ia cenderung menjelek-jelekkan tempat nya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai gejolak seperti korupsi, mogok , unjuk rasa, pengunduran diri, terlibat tindakan kriminal dan sebagainya. Inti pengertian komitmen dari kedua pendapat di atas adalah kesungguhan dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tujuan dan prosedur ditentukan serta budaya
yang telah
yang dianut oleh organisasi. Oleh sebab itu hakikat
komitmen adalah suatu tanggung jawab dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang menjadi kewajiban seseorang dalam suatu lingkungan organisasi. Pendapat lain mengenai jenis komitmen juga dikemukakan oleh Karina bahwa dimensi komitmen dalam Berorganisasi dirumuskan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, daripada jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut, yaitu, (a) Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional
17 anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu, (b) Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut, (c) Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut. Komitmen adalah suatu janji pada diri kita sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan yang selalu mempertahankan janji itu sampai akhir. Setiap orang dari kecil sampai dewasa pastilah pernah membuat komitmen, meskipun terkadang komitmen itu seringkali tidak diucapkan dengan kata-kata. Seiring bertambahnya usia seseorang, maka komitmen yang ada semakin berkembang dalam penerapannya. Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor, baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Hal ini menjadi perhatian semua yang terkait maupun yang berkepentingan untuk dapat melakukan tindakan untuk mempertahankan komitmen yang sudah terbangun antara peminpin dengan bawahan guna untuk mencapai tujuan.
Dalam perkembangannya
affective
commitment, continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing memiliki pola perkembangan tersendiri.
18 1. Proses terbentuknya Affective commitment Menurut Mathieu dan Zajac (1990 : 171) bahwa ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut yaitu: (1) Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan affective commitment adalah sistem desentralisasi, adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu. Dalam karakteristik organisasi yang dilihat adalah aliran organisasi yang digunakan, bagaimana praktek kelompok sel dalam organisasi tersebut dan bagaimana kedudukan kelompok sel sebagai strategi organisasi. (2) Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian. Selain itu usia juga mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment, meskipun tergantung dari beberapa kondisi individu sendiri. Organizational tenure status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos, dan persepsi individu mengenai kompetensinya (3) Pengalaman. Pengalaman individu yang mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu. Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu, selain itu peran individu dalam organisasi tersebut, dan hubungannya dengan atasan, Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang dilakukannya dalam organisasi dan juga interaksinya dengan anggota organisasi lain seperti pemimpinnya.
19 2. Proses terbentuknya Continuance commitment Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu. Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri. Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan khas organisasi dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari organisasi profit biasa. 3. Proses terbentuknya Normative commitment Normative commitment terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali. Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya. Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik.
20 B. Pengelolaan Pembelajaran Dikdasmen (2004:15) menegaskan bahwa: “Pengelolaan pembelajaran adalah
suatu tindakan dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi dalam rangka pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap seorang guru ketika menyampaikan informasi dan berinteraksi dengan lingkungan.” Memperhatikan uraian di atas maka inti dari makna pengelolaan pembelajaran mencakupi pemilihan, penyusunan dan penyampaian informasi dalam suatu lingkungan yang sesuai dengan cara siswa berinteraksi dengan informasi. Oleh karena itu seorang guru sangat diperlukan kepemilikan sejumlah komitmen guna menunjang tugas mengajar. Interaksi yang bermakna dan menyenangkan antara guru sebagai fasilitator dengan siswa sebagai personal yang belajar perlu dikembangkan Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pembelajaran.
Adapun pengelolaan pembelajaran menurut Muhibbin syah
(2003 : 229) ialah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajibankewajibannya secara bertanggung jawab dan layak yang meliputi penyusunan renacana, pengelolaan renaca dan tindakan evaluasi. Guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Broke and Stone, (dalam Uzer Moh. 2000 : 14) yaitu : Descriptive of qualitative natur or teacher behavior appears to be entirely meaningfull. Pendapat ini menekankan bahwa komitmen
merupakan gambaran
hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.” Komitmen guru dalam pengelolaan pembelajaran menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya, bukan sekedar
21 pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan diri untuk memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan”. Kesimpulan dari kedua pendapat di atas adalah komitmen guru adalah serangkaian tanggung jawab, kewenangan, perilaku rasional yang meliputi kecakapan atau keterampilan dan pengetahuan yang dilaksanakan secara layak dan bertanggung jawab. Komitmen mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan, komitmen menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pengelolaan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan, sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat diamati saja, tetapi meliputi yang lebih jauh dari itu yang tidak tampak. Muhibbin Syah (2003 : 230) mengatakan bahwa : “Dalam menjalankan kewajiban, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) yang bersifat psikologis, yang meliputi (1) komitmen kognitif (kecakapan ranah cipta); (2) komitmen afektif (kecakapan ranah rasa); dan (3) komitmen psikomotor (kecakapan ranah karsa). Di samping itu, ada satu macam komitmen yang diperlukan guru, yakni komitmen kepribadian.” Direct and Directive Instruction, merujuk pada pola-pola pembelajaran dimana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa dan menguji keterampilan siswa melaui latihan-latihan dibawah bimbingan dan arahan guru. Dengan demikian, tujuan pembelajaran distrukturkan oleh guru.
22 Model pembelajaran (direct instruction) merujuk pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru) yang melibatkan seluruh kelas. Pendekatan dalam model pembelajaran ini berpusat pada guru dimana guru menyampaikan isi akademik dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan kegiatan siswa, dan mempertahankan fokus pencapaian akademik. Tujuan
utama
pembelajaran
direktif
adalah
untuk
memaksimalkan
penggunaan waktu belajar siswa. Beberapa temuan dalam teori perilaku diantaranya adalah pencapaian siswa yang dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan siswa unuk berhasil dalam mengerjakan tugas sangat positif. Dengan demikian, model pembelajaran langsung dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar terstruktur dan berorientasi pada pencapaian akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan, dsb. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat berupa pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu atau pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran dimana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan oleh guru. Model ini sangat cocok jika guru menginginkan siswa menguasai informasi atau keterampilan tertentu, akan tetapi jika guru menginginkan siswa belajar menemukan konsep lebih jauh dan melatihkan keterampilan berpikir lainnya, maka model ini kurang cocok.
23 Para ahli psikologi perilaku memfokuskan pada cara-cara melatih seseorang untuk menguasai sejumlah keterampilan kompleks yang melibatkan kerja yang akurat dan presisi dan melibatkan koordinasi dengan orang lain. Prinsip pembelajaran langsung difokuskan pada konseptualisasi kinerja siswa ke dalam tujuan yang akan dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas yang ahrus dilakukan, dan pengembangan aktivitas latihan untuk memantapkan penguasaan setiap komponen tugas yang diberikan. Istilah directive digunakan untuk menekankan pembelajaran dalam mencapai tujuan bahwa siswa dapat meniru perilaku-perilaku atau keterampilan yang dimodelkan atau diperagakan atau diinstruksikan oleh guru. Strategi directive didasarkan pada teori belajar rumpun perilaku, khsususnya. Dilihat dari tugas dan tanggung jawabnya, tenaga kependidikan bahwa untuk menyandang jabatan dan pekerjaan tersebut dituntut beberapa persyaratan. Secara umum persyaratan tersebut seperti dikemukakan oleh Gumelar dan Dahyat (2003 : 110) sebagai berikut: “ (1) Menuntut adanya keterampilan yang berlandaskan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) Menuntut adanya tingkat pendidikan tinggi; (4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan; (5) Memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.” Berdasarkan kedua pendapat tersebut, tampaklah secara jelas bahwa untuk suatu jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang mempersiapkannya dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap serta keterampilan yang sesuai dengan bidang profesionalnnya. Gumelar dan Dahyat (2003 : 120) mengatakan : Sebagai indikator, tenaga kependidikan yang dinilai kompeten secara profesional
24 apabila memiliki ciri-ciri : (a) Tenaga kependidikan tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. (b) Tenaga kependidikan tersebut mampu melaksanakan peranan-peranan secara berhasil. (c) Tenaga kependidikan tersebut mampu bersaing dalam berusaha mencapai tujuan pendidikan sekolah. (d) Tenaga kependidikan tersebut harus mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar di kelas. “ Untuk membantu proses berpikir guru mengenai hal tersebut. Rohani dan Ahmadi, 1991: 66) yaitu : “The Teacher as a Decision Maker mengatakan bahwa guru hendaknya memiliki 4 komitmen : (1) Memiliki pengetahuan tentang “belajar dan tingkah laku” manusia (peserta didik) serta mampu menerjemahkan teori itu kedalam situasi yang riil. (2) Memiliki sikap yang tepat terhadap diri sendiri, sekolah, peserta didik, teman sejawat dan mata pelajaran yang dibina.(3) Menguasai mata pelajaran yang akan diajarkan. (4) Memiliki keterampilan teknis dalam mengajar, antara lain : keterampilan merencanakan pelajaran, bertanya, menilai pencapaian peserta didik, menggunakan strategi mengajar, megelola kelas dan memotivasi peserta didik. “ Kemudian lebih dalam lagi, Surachmad (1984 : 61-62) melihat bahwa kecakapan serta pengetahuan dasar seorang guru terletak dalam sedikitnya 4 bidang utama yaitu : “ (a) Guru harus mengenal setiap murid yang dipercayakan padanya. (b) Guru harus memiliki kecakapan memberi bimbingan, (c) Guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya sesuai dengan tahap-tahap pembangunan, dan (d) Guru harus memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan. Mengenai konsep tugas dan tanggung jawab guru, dikemukakan oleh Ametembun,
(1975 : 21) mengatakan bahwa,” Guru adalah semua orang yang
25 berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid–muridnya, baik secara individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ini berarti seorang guru perlu memiliki dasar–dasar komitmen
sebagai wewenang dan
kemampuan dalam menjalankan tugas.” Untuk itu seorang guru memiliki kepribadian, menguasai
bahan pelajaran dan menguasai cara – cara mengajar sebagai dasar
komitmen . Bertitik tolak pada pengertian ini, maka menurut Supriadi (1999 : 97) mengatakan, “ Wujud dari komitmen guru adalah memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.” Memang upaya pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukkan (siswa), sarana, dan faktor – faktor instrumental lainya. Tapi semua ini akhirnya tergantung
pada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran
tergantung pada mutu guru. Untuk itu seorang guru dituntut memiliki lima hal seperti yang tertuang dalam jurnal educational leadership, Supriadi (1999 : 98), yaitu : “ Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajaranya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepentingan siswanya. Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melaluli berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa dalam tes hasil belajar. Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
26 refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, cara baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya, PGRI dan organisasi profesi lainnya”. Ciri-ciri di atas terasa amat sederhana dan pragramatis. Namun justru kesederhanaan akan membuat sesuatu lebih mudah dicapai. Di samping itu profesionalisme guru yang diuraikan tersebut adalah yang bersifat umum dan cukup luas ruang lingkupnya. Berkenaan dengan ini maka dalam mengoperasionalkannya pada kegiatan proses pembelajaran di sekolah Debdikbud mengeluarkan keputusan Nomor : 025/C/1995 yang mengatakan : Komitmen guru dalam pengelolaan proses pembelajaran minimal menguasai 5 (lima) komitmen yaitu kemampuan menyusun program pengajaran, melaksanakan program pengajaran, kemampuan melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa, kemampuan menganalisis hasil evaluasi belajar siswa dan kemampuan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan.” Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Suryosubroto (2001 : 19 - 20) bahwa : “Proses belajar mengajar sebagai wujud perilaku kemampuan profesionalisme guru merupakan kegiatan yang dimulai perencanaan, pengelolaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Dalam proses pembelajaran sebagian besar hasil belajar siswa ditentukan oleh peranan guru. Guru yang berkompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu
27 pengelolaan proses pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.” Perencanaan adalah aktivitas menetapkan sasaran dan tindakan–tindakan untuk mencapai sasaran. Aktivitas perencanaan guru dalam pengelolaan pembelajaran meliputi menyiapkan bahan pelajaran, merumuskan tujuan pengajaran, memilih metode dan sumber belajar dengan tepat, memilih metode yang sesuai dengan tujuan pengajaran, dan merencanakan penilaian hasil belajar siswa. Khusus untuk penrencanaan pembelajaran Perrott (1982 : 6) mengatakan bahwa fungsi perencanaan diperlukan guru untuk membuat keputusan tentang kebutuhan murid, sasaran hasil dan tujun yang paling sesuai untuk membantu pertandingan kebutuhan itu, motivasi diperlukan untuk mencapai sasaran hasil dan tujuan mereka dan strategi pengajaran yang paling sesuai untuk pencapaian sasaran hasil dan tujuan itu semua. Fungsi perencanaan pada umumnya terjadi ketika guru adalah sendiri dan sempat mempertimbangkan rencana jangka pendek dan jangka panjang: kemajuan murid; ketersediaan sumber daya, aquipment dan material; kebutuhan waktu tentang aktivitas tertentu dan isu lain. Pada hakikatnya bila suatu kegiatan direncanakan lebih dahulu, maka tujuan dari kegiatan tersebut akan lebih terarah dan lebih berhasil. Itulah sebabnya seorang guru harus memiliki kemampuan dalam merencakan pengajaran. Dengan perencanaan maka pengelolaan pengajaran menjadi baik dan efektif yaitu murid harus dijadikan pedoman setiap kali membuat persiapan mengajar. Program pengajaran merupakan seperangkat rencana bahan pengajaran yang digunakan sebagai pedoman pengajaran. Program pengajaran tersebut tertuang dalam silabus yang di dalamnya memuat standar kompetensi, kompetensi dasar dan
28 indikator. Sebelum tampil di depan kelas, guru harus menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa dan bahan pelajaran yang mendukung jalannya proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar di sekolah pada hakikatnya merupakan perwujudan pengelolaan program pengajaran yang telah digariskan dalam kurikulum. Oleh karena itu sebelum melaksanakan kegiatan belajar mengajar guru harus memahami benar isi dari silabus tersebut, yang meliputi tujuan kurikuler, tujuan instruksional, serta materi / bahan pelajaran yang diajarkan. Analisis materi pelajaran adalah hasil dari kegiatan yang berlangsung sejak seorang guru mulai meneliti isi silabus kemudian mengkaji materi dan menjabarkannya serta mempertimbangkan penyajiannya. Analisis materi pelajaran merupakan salah satu bagian dari rencana kegiatan belajar mengajar yang berhubungan erat dengan materi pelajaran dan strategi penyajiannya. Depdikbud (1995 : 23) menegaskan bahwa : “Fungsi analisis materi pelajaran sebagai acuan untuk menyusun program pengajaran yaitu program tahunan, program semester, program satuan pelajaran dan rencana pengajaran. Sasaran analisis materi pelajaran yang merupakan komponen utama, meliputi (a) terjabarnya tema/konsep/pokok bahasan/sub pokok bahasan konsep / sub konsep / sub tema. (b) terpilihnya metode yang efektif dan efisien, (c) terpilihnya sarana pembelajaran yang paling cocok, (d) tersedianya alokasi waktu sesuai dengan lingkup materi ke dalam materi dan keluasan materi “ Kegiatan penyusunan analisis materi pelajaran ini berupa penjabaran dan penyesuaian isi silabus mata pelajaran. Adapun langkah-langkahnya adalah (a) menjabarkan kurikulum, yaitu menguraikan bahan pelajaran, menguraikan tema/ konsep pokok bahasan yang mengacu pada tujuan pembelajaran. (b) menyesuaikan
29 kurikulum yaitu menyesuaikan pembelajaran dalam kurikulum nasional dengan keadaan setempat agar proses belajar dan hasil belajar dapat dicapai secara efektif dan efisien, sesuai dengan tujuan. Kegiatan penyesuaian kurikulum mencakup pemilihan metode, pemilihan sarana pembelajaran, pendistribusian waktu belajar mengajar. Menyusun program semester didasarkan atas program tahunan. Program tahunan dan program semester merupakan sebagian dari program pengajaran. Program tahunan memuat alokasi waktu untuk setiap pokok bahasan dalam satu tahun pelajaran, sedangkan program semester memuat alokasi waktu untuk setiap satuan bahasan setiap semester. Dalam menyusun program semester dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (a) menghitung hari dan jam efektif selama satu semester, (b) mencatat mata pelajaran yang akan diajarkan selama satu semester, (c) membagi alokasi waktu yang tersedia selama satu semester.” Program satuan pelajaran merupakan salah satu bagian dari program pelajaran yang memuat satuan bahasan untuk disajikan dalam beberapa kali pertemuan. Fungsi satuan pelajaran digunakan sebagai acuan untuk menyusun rencana pelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi guru untuk melaksanakan KBM agar lebih terarah dan berjalan efisien dan efektif. Sehubungan dengan penyusunan satuan pelajaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah karakteristik dan kemampuan awal siswa. Karakteristik dan kemampuan awal siswa adalah pengetahuan dan ketermpilan yang relevan termasuk latar belakang karakteristik yang dimiliki siswa pada saat akan mulai mengikuti suatu program pengajaran. Suryosubroto (2000 : 36) mengemukakan bahwa pengelolaan proses belajar mengajar adalah proses berlangsungnya belajar mengajar di kelas yang merupakan
30 inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Jadi pengelolaan pengajaran adalah interaksi guru dengan murid dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan untuk mencapai tujuan pengajaran.“ Sesuai pengertian di atas maka pengelolaan proses belajar mengajar merupakan interaksi guru dengan siswa dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut Sudjana (1987 : 148) bahwa : “ Pengelolaan belajar mengajar meliputi pentahapan sebagai berikut : (1) tahapan pra instruksional, yaitu tahap yang ditempuh pada saat memulai proses belajar mengajar, (2) tahapan instruksional yaitu tahap pemberian bahan pelajaran, (3) tahapan evaluasi dan tindakan lanjut yaitu, untuk mengetahui keberhasilan tahap instruksional.” Hal yang senada juga dikemukakan oleh Hasibuan (1988 : 29) yaitu : “Mengajar memiliki tahap–tahap yakni (1) sebelum pengajaran, (2) pengajaran yaitu interaksi guru dengan siswa, (3) sesudah pengajaran”. Pendapat di atas menggambarkan bahwa pengelolaan pembelajaran sangat diperlukan guru untuk menerapkan keputusan dilakukan di langkah perencanaan, terutama yang berhubungan dengan mengajar metode, strategi dan aktivitas pelajaran. implementasi Fungsi ini terjadi ketika guru adalah saling berinteraksi dengan para murid. Ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa dalam melaksanakan pembelajaran memiliki
tahap
yaitu
sebelum
pengajaran
(pra
instuksional),
pengajaran
(instruksional) dan sesudah pengajaran (evaluasi dan tindakan lanjut). Berdasarkan berbagai teori yang telah diuraikan di atas, maka komitmen guru dalam pengelolaan pembelajaran dalam penelitian ini adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pengelolaan proses pembelajaran yang meliputi
kecakapan
dan
kesanggupan
seorang
guru
dalam
merencanakan
31 pembelajaran mengorganisasikan, mengevaluasi hasil belajar dan menciptakan suasana hubungan yang kondusif dengan siswa, sehingga tujuan pembelajaran akan tercapai sesuai yang direncanakan. Ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa dalam melaksanakan pembelajaran memiliki tahap yaitu sebelum pengajaran (pra instuksional), pengajaran (instruksional) dan sesudah pengajaran (evaluasi dan tindakan lanjut). Berdasarkan berbagai teori yang telah diuraikan di atas, maka komitmen guru dalam pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang meliputi
kecakapan
dan
kesanggupan
seorang
guru
dalam
merencanakan
pembelajaran mengorganisasikan, mengevaluasi hasil belajar dan menciptakan suasana hubungan yang kondusif dengan siswa, sehingga tujuan pembelajaran akan tercapai sesuai yang direncanakan. Komitmen guru dalam pengelolaan pembelajaran sesungguhnya merupakan serangkaian usaha untuk meningkatkan kemampuan mengajar guna mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan. Esensi dari tujuan yang diharapkan adalah memberikan sesuatu pelayanan yang terbaik buat siswa. Guru yang memiliki komitmen akan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi tuntutan tugas dan tanggung jawabnya seperti menguasai landasan pendidikan sebagai tempat berpijak dalam menyusun rencana pembelajaran, mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, dan dalam mengevaluasi hasil belajar siswa. Di samping itu guru juga diharapkan untuk selalu berinovasi untuk memperluas pengetahuan tentang disiplin ilmu yang diajarkan kepada siswa, menguasai penggunaan metode dan media pembelajaran, dan selalu menciptakan hubungan yang
32 harmonis dengan komponen yang terkait di sekolah baik sesama teman guru, orang tua siswa bahkan terhadap siswa itu sendiri. Proses belajar mengajar sebagai wujud perilaku kemampuan profesionalisme guru merupakan kegiatan yang dimulai perencanaan, pengelolaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal dengan guru sebagai pemegang peranan utama.