7
BAB II KAJIAN TEORETIS
2.1
Pengertian
2.1.1
Definisi Kenakalan Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kenakalan dengan kata dasar nakal
adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut. Sedangkan kenakalan adalah perbuatan nakal, perbuatan tidak baik dan bersifat mengganggu ketenangan orang lain, tingkah laku yang melanggar norma kehidupan masyarakat. Kenakalan remaja di era modern ini sudah melebihi batas yang sewajarnya. Definisi kenakalan remaja menurut para ahli, salah satunya adalah Kartono seorang ilmuan sosiologi mengemukakan pendapatnya bahwa “Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang”. Dan Santrock mengatakan bahwa ”Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal”. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari normanorma hukum pidana yang dilakukan
oleh remaja. Perilaku tersebut
akan
merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Banyak anak dibawah
7
8
umur yang sudah mengenal Rokok, Narkoba, Freesex, dan terlibat banyak tindakan kriminal lainnya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kenakalan adalah suatu bentuk perilaku yang tidak baik, yang bersifat mengganggu ketenangan orang lain dan melanggar norma serta aturan yang berlaku dalam masyarakat. 2.1.2
Definisi Remaja Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan
dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002). Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut : Remaja adalah suatu masa dimana : 1.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2.
Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
9
3.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980:9). Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari (2004: 53) “masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa, di mana mereka mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa”. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Menurut Zakiah Darajat (1990: 23), “remaja adalah masa peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa”. Dalam masa ini, anak mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan. Baik perkembangan fisik maupun psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak, dalam bentuk badan ataupun cara berpikir dan bertindak, tetapi mereka bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa “remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional”. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga tahapan, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini dan Siti Sundari, serta Zakiah Darajat dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa “masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-21
10
tahun, di mana pada masa tersebut terjadi proses pematangan, baik pematangan fisik maupun psikologis”. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Masa remaja adalah masa transisi/ peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik,psikis dan psikososial.
11
Remaja awal (13-14 tahun) Remaja Tengah (15-17 Tahun) Remaja akhir (18-21 Tahun). Istilah “Remaja” berasal dari bahasa latin “Adolescere” yang berarti remaja. Mencakup kematangan mental, emosi, social, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Jean Piaget, secara psikologi “masa remaja adalah usia saat individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkat yang sama”. Persepsi umum tentang remaja merupakan kelompok yang biasanya tidak berada dengan kelompok manusia yang lain, ada yang berpendapat bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang tua. Remaja merupakan kelompok manusia yang penuh dengan potensi berdasarakan catatan sejarah remaja Indonesia yang penuh vitalitas, semangat patriotisme yang menjadi harapan penerus bangsa perlu dilakukan pembinaan remaja oleh orang tua dan guru harus memahami kejiwaan dan dunia mereka. Bila tidak akan menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Dari beberapa definisi tentang remaja, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah seorang individu yang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dan dalam peralihan tersebut, terdapat banyak perubahan-perubahan dari segi fisik, psikis dan psikososial yang sangat mempengaruhi remaja dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, serta mencakup kematangan mental, emosi, sosial ,dan fisik.
12
2.1.3 Definisi Kenakalan Remaja Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Juvenile delinquency (kenakalan remaja) ialah perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit ( patologis ) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Pengertian kenakalan remaja menurut Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules ) khusus
dalam
rules
2.2
adalah
salah
seorang
anak
atau
orang
muda
(remaja) yang melakukan perbuatan yang „dapat dipidana‟ menurut sistem hukum yang berlaku dan diperlakukan secara berbeda dengan orang dewasa. Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma
13
hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan : 1.
Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,
pergi dari rumah tanpa pamit. 2.
Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti
mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. 3.
Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar
nikah, pemerkosaan dll. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian. Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak
14
disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat. Kenakalan remaja, sering kali merupakan produk sampingan dari beberapa hal berikut : a)
Pendidikan dasar yang tidak menekankan pada pendidikan watak dan kepribadian siswa.
b)
Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa dalam menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada remaja.
c)
Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial dalam diri remaja. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja
adalah suatu bentuk perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku dan dilakukan oleh remaja dalam menanggapi permasalahan yang terjadi di lingkungan keluarga,sekolah serta lingkungan masyarakat. 2.2
Teori Perilaku Kenakalan Remaja Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam
arti kenakalan anak dilakukan oleh M. Gold dan J. Petronio (Weiner, 1980: 497), yaitu “kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum, ia bisa dikenai hukuman”. Ada beberapa teori yang membahas mengenai sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan remaja yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir bagaikan kertas putih
15
(tabula rasa) yang dipelopori oleh John Locke dan teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir telah membawa potensi-potensi psikis yang biasa disebut dengan aliran nativisme. a)
Teori Biologis Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada
anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah seseorang, dan juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung (Kartono, 2001). 1.
Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui
kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen-gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan perilaku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. 2.
Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal),
sehingga membuahkan tingkah laku delinkuen. 3.
Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang
menimbulkan perilaku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan bracydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes mellitus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. Lebih jelas Jensen (1985) yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono, menurutnya teori psikogenik menyatakan bahwa kelainan perilaku disebabkan oleh kelainan fisik atau genetic (Sarwono, 2001). Searah dengan Jensen, Sheldon dalam teori konstitusinya beranggapan bahwa faktor-faktor genetik dan faktor-faktor
16
biologis lainnya memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan individu. Sheldon menjelaskan bahwa ada sejenis struktur biologis hipotesis (morfogenotipe) yang mendasari jasmani luar yang bisa diamati (fenotipe) dan yang memainkan peranan penting tidak hanya dalam menentukan perkembangan jasmani, tetapi juga dalam membentuk tingkah laku (Hall, 1993). (Dikutip
dari
http://edukasi.kompasiana.com).
/2011/03/21/kenakalan-remaja/
(diunduh tanggal 29 mei 2012 pukul 17.50) b)
Teori Psikogenis Teori ini menekankan sebab-sebab perilaku delinkuen dari aspek psikologis.
Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain. Menurut Sigmund Freud, sebab-sebab kejahatan dan keabnormalan adalah karena pertempuran batin yang serius antara ketiga proses jiwa (Id, Ego, Superego) sehingga menimbulkan hilangnya keseimbangan dalam pribadi tersebut. Ketidak seimbangan itu menjurus pada perbuatan kriminal sebab fungsi Ego untuk mengatur dan memcahkan persoalan secara logis menjadi lemah (Mulyono, 1995). Argumen sentral dari teori ini adalah sebagai berikut: delinkuen merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal atau sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis (Kartono, 1998).
17
c)
Teori Sosiogenis Teori sosiogenis yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber-sumber
penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Termasuk dalam teori sosiogenis ini adalah teori Broken Home dari Mc. Cord (1959) dan teori “penyalahgunaan anak” dari Shanok (1981) (dalam Sarwono, 2001). Sutherland menyatakan bahwa anak dan para remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efesien untuk mengatasi kesulitan hidupnya (Dalam Kartono, 1998). Healy dan Bronner sarjana Ilmu sosial dari Universitas Chicago yang banyak mendalami sebab-sebab sosiogenis kenakalan remaja sangat terkesan oleh kekuatan kultural dan disorganisasi sosial dikota-kota yang berkembang pesat, dan banyak membuahkan perilaku delinkuen pada anak, remaja serta pola kriminal pada orang dewasa (Dalam Sarwono 2001). Argumen sentral dari teori ini menyatakan bahwa perilaku delinkuen pada dasarnya disebabkan oleh stimulusstimulus yang ada diluar individu (Dikutip
dari
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/21/
kenakalan-remaja/
(diunduh tanggal 29 mei 2012 pukul 17.50). 2.3
Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja Dalam Jensen (1985) yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono (2001;255)
banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada umumnya. berbagai teori yang mencoba kenakalan remaja dapat digolongkan sebagai berikut :
menjelaskan penyebab
18
1.
Rational choice : teori ini mengutamakan faktor individu dari pada faktor
lingkungan.kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihan, interes, motivasi atau kemauannya sendiri. Di Indonesia banyak yang percaya teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau dimasukkan ke sekolah agama. Yang lain menganggap remaja yang nakal kurang disiplin sehingga diberi latihan kemiliteran. 2.
Social disorganization : kaum positivis pada umumnya lebih mengutamakan
factor budaya . yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat. Orang tua yang sibuk dan guru yang kelebihan beban merupakan penyebab dari berkurangnya fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata kontrol. 3.
Strain : teori ini dikemukakan oleh Merton yang intinya adalah bahwa
tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya : kemiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih jalan rebellion melakukan kejahatan atau kenakalan remaja. 4.
Differential association : menurut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat
salah pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga. Paham ini banyak dianut orang tua di Indonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan teman-teman yang dianggap nakal, dan menyuruh anak-anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rajin belajar.
19
5.
Labelling : ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap
atau dicap (diberi label) nakal. Di Indonesia , banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasa-basi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul diruang tamu, ia mengatakan pada tamunya, “ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakaaalnya bukan main”. Kalau terlalu sering anak diberi label seperti itu, maka ia akan jadi betul-betul nakal. 6.
Male phenomenom : Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal dari
pada perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal. Jensen (1985) membagi kenakalan remaja ini menjadi empat jenis yaitu : a). Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. b).
Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain-lain. c).
Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain :
pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini. d).
Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum
dalam arti yang
sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer
20
(keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan tetapi, kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya di kantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang. Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). 1.
Faktor internal : a)
Krisis identitas
Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. b)
Kontrol diri yang lemah
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
21
2.
Faktor eksternal : a)
Keluarga
Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
2.4
b)
Teman sebaya yang kurang baik
c)
Komunitas / lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Penanganan terhadap perilaku menyimpang remaja Menurut Rogers ( Adams & Gullotta, 1983: 56-57 ) ada beberapa teknik yang
biasa dilakukan oleh para tenaga professional dalam menangani masalah remaja yaitu: 1)
Penanganan individual Remaja ditangani sendiri, dalam tatap muka empat mata dengan psikolog atau
konselor. Kalaupun diperlukan informasi dari orang tua atau orang-orang lainnya, mereka diwawancara tersendiri pada waktu yang berlainan. Dalam penanganan secara individual ini bisa dilakukan beberapa macam teknik : a.
Pemberian petunjuk atau nasihat (guidance). Di sini konselor atau psikolog
memanfaatkan pengetahuannya yang lebih banyak dari klien untuk memberikan informasi atau mencarikan jalan keluar mengenai hal-hal atau masalah-masalah yang belum diketahui oleh klien. Misalnya : memberi tahu tentang kemungkinan
22
melanjutkan sekolah, tentang cara-cara belajar yang efektif, tentang seksualitas, dan sebagainya. Dengan mendapatkan pengetahuan tambahan ini diharapkan klien remaja itu dapat menyelesaikan masalahnya. b.
Konseling. Di sini konselor atau psikolog tidak menunjukkan dirinya pada
posisi yang lebih tahu daripada kliennya, melainkan dari posisi yang sejajar mencoba bersama-sama klien memecahkan persoalannya. Masalah yang perlu ditangani dengan teknik ini adalah jika menyangkut norma, nilai atau perasaan yang subjektif sifatnya di dalam diri klien itu sendiri menyebabkan timbulnya konflik. Tugas konselor adalah menjadi mitra klien sebagai tempat penyaluran perasaan atau sebagai pedoman di kala bingung atau sebagai pemberi semangat di kala patah semangat. Tujuan konseling adalah membangun kembali pribadinya yang tergoncang untuk kemudian mencoba menghadapi kenyataan dan menyesuaikan diri terhadap kendala yang ada serta akhirnya mencari jalan keluar dari masalah. c.
Psikoterapi. Di sini ahlinya biasanya adalah psikolog atau psikiater yang telah
mendapat latihan khusus. Keterampilan khusus ini diperlukan karena teknik ini memang lebih sukar daripada dua teknik sebelumnya dan kasus-kasus yang ditanganinya pun lebih berat. Yang dimaksud dengan psikoterapi adalah menyembuhkan jiwa yang terganggu, mulai dari gangguan ringan seperti jiwa yang terkena stress sampai gangguan yang berat seperti psikoneurosis dan yang sangat berat seperti psikosis. Sasarannya adalah mengubah struktur kejiwaan klien agar ia mampu untuk lebih menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
23
2)
Penanganan keluarga Penanganan ini dilakukan apabila masalah yang dihadapi remaja berkaitan
erat dengan perilaku atau cara-cara pendekatan yang dilakukan oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya di rumah terhadap remaja yang bermasalah itu. Tujuan dari teknik terapi keluarga ini adalah agar keluarga sebagai suatu kesatuan bisa berfungsi dengan lebih baik dan setiap anggota keluarga bisa menjalankan perannya masingmasing yang saling mendukung dan saling mengisi dengan anggota keluarga yang lain. Dasar teori yang digunakan dalam teknik terapi keluarga ini antara lain adalah teori lapangan dari kurt lewin. Menurut Lewin saling pengertian antar anggota keluarga bisa menjadi sulit jika dinding pemisah psikologis (psychological barrier) yang terdapat antar anggota keluarga makin tebal. Dinding pemisah yang tebal ini ditandai oleh perasaan saling segan, saling gengsi, enggan menyapa duluan, takut saling menyinggung perasaan, dan sebagainya. Dengan adanya dinding-dinding pemisah itu, jarak psikologis antara masing-masing anggota menjadi makin jauh walaupun secara fisik mereka masih tinggal serumah. Terapi keluarga diharapkan bisa mengurangi ketebalan dinding-dinding pemisah itu sehingga antar anggota keluarga bisa lebih saling mendekati. 3)
Penanganan kelompok Dalam hal ini konselor bertugas merangsang anggota kelompok untuk saling
bertukar pikiran, saling mendorong, saling memperkuat motivasi, saling memecahkan masalah, dan sebagainya.
24
4)
Penanganan pasangan Jika dikehendaki terapi melalui hubungan yang intensif antara dua orang, bisa
juga dilakukan terapi pasangan. Klien ditangani berdua dengan temannya, sahabatnya atau salah satu anggota keluarganya,dan sebagainya. Maksudnya adalah agar masingmasing bisa betul-betul menghayati hubungan yang mendalam, mencoba saling mengerti, saling memberi, saling membela. 2.5
Kiat-Kiat Dalam Menangani Kenakalan Remaja Di Sekolah
1)
Keteladanan Keteladanan yang baik dari kepala sekolah, guru,dan semua personil sekolah
adalah suatu keniscayaan dalam upaya pembangunan moral yang baik. Remaja adalah dunia imitasi, sehingga apa yang dilihat dan disaksikan secara langsung olehnya akan mempunyai efek yang besar terhadap perilakunya. Ia akan berusaha meniru secara bertahap apa-apa yang ia lihat dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini tentunya sangat bagus jika ia tinggal dan belajar di lingkungan keluarga dan masyarakat yang kondusif. Keteladanan dalam berkata, berperilaku, mengamalkan ajaran agama, dan menghargai orang lain yang diperagakan oleh guru akan menimbulkan efek sangat membekas dalam kepribadian para remaja di sekolah. Guru yang sikap dan perilakunya terpuji dapat dijadikan sebagai panutan dan sumber motivasi dalam melangkah dan mengukir prestasi. Inilah peran penting dari kredibilitas dan integritas moral sebagai modal berharga dalam membimbing dan mengarahkan moralitas remaja yang mudah tergoda hal-hal baru yang menjanjikan kenikmatan sesaat.
25
2)
Pendekatan agama yang mencerahkan Agama adalah elemen penting yang mempunyai kekuatan mengubah.
Pendekatan agama yang menitikberatkan kepada penghayatan, penyadaran dan pergerakanlah yang mampu membangkitkan semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu ajaran agama yang harus diberikan kepada siswa sejak dini adalah kepercayaan, keberanian, pergaulan social yang baik, sikap mandiri, moderat, menjaga kehormatan, menepati janji, menghormati orang lain,cinta kasih, mengutamakan orang lain, kesantunan, dan adil. Ajaran agama ini harus disampaikan dengan kekuatan spiritual yang mendalam, keluar dari pribadi yang tulus, dan dengan keteladanan yang tinggi. Internalisasi agama secara intensif ini akan membentuk karakter yang kuat, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan zaman yang semakin modern. 3).
Optimalisasi Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Pendidikan agama akan mantap dengan optimalisasi pendidikan moral dan
budi pekerti. Pendidikan moral dan budi pekerti ini juga menjadi tujuan pendidikan agama. Namun, budi pekerti ini bisa melibatkan aspek yang lebih luas, misalnya peraturan pemerintah dan hukum adat. Agama yang dikombinasikan dengan peraturan pemerintah dan hukum adat akan menjadi kekuatan dalam melakukan perubahan struktural dan kultural. Pendidikan budi pekerti akan terus mengalami peningkatan seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi yang mengubah kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi dunia.
26
4)
Perlunya kerjasama pihak sekolah dengan orang tua Sebuah sekolah tidak akan pernah bisa melaksanakan proses pembelajaran
dengan baik tanpa bantuan dari pihak-pihak lain, sebab berbagai persoalan dari keanekaragaman karakter dan pribadi siswa, akan teratasi apabila ada kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua, dan dalam hal ini akan terwujud perbaikan moralitas dan mentalitas siswa secara sinergi. 5)
Pembekalan aspek hukum Pembekalan aspek hukum ini harus disampaikan pada remaja dalam upaya
memproteksi remaja agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, sehingga remaja dapat melindungi dirinya sendiri. Pembekalan ini dapat dilakukan dengan mengundang wakil dari aparat penegak hukum, misalnya dari kepolisian atau kejaksaan untuk memberikan pengarahan singkat di sekolah. 6)
Mengisi waktu luang remaja dengan kegiatan positif Seperti
memberikan
program-program
atau
kegiatan-kegiatan
yang
bermanfaat untuk mengisi waktu luang bagi remaja. Misalnya dengan meningkatkan program kepemudaan di setiap karang taruna, membekali remaja dengan keterampilan sehingga mereka mampu bersaing dalam lingkungannya.