BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Berdasarkan hasil penelusuran pada perpustakaan Fakultas Sastradan Budaya, Unifersitas Negeri Gorontalo penelitian yang berhubungan dengan penelitian, Nilai Pendidikan Karakter dalam Pemakaian Bahasa Muna pada Ritual Katoba belum pernah diteliti. Penelitian yang dianggap relefan dengan penelitian ini peneliti dapatkan dalam penelurusan internet yaitu penelitian Prodi Pendidikan Kewarganegaraan unifersitas Yogyakarta, oleh Muchson AR tahun 2009 tentang Kandungan nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wedhatama. Adapun permasalah yang diungkapkan dalam penelitian ini yaitu: 1) Masih kurang dikenalnya Serat Wedhatama serta sosok pribadi KGPAA Mangkunegoro IV sebagai pengarangny, 2) Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama, dan 3) Masih belum jelasnya makna nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam Serat Wedhatama. Hasil penelitian ini dititikberatkan pada kandungan nilai-nilai pendidikan karakter dalam serat wedhatama Berdasarkan penelitian di atas maka relevansi dengan penelitian ini adalah nilai pendidikan karakter itu sendiri. Nilai pendidikan karakter yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai yang terdapat dalam isi tuturan ritual Katoba yaitu nilai religius, nilai kedisiplinnan dan nilai kejujuran. Kesamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama melihat nilai-nilai pendidikan karakter sedangkan perbedaannya adalah dari segi objeknya yaitu tuturan ritual katoba itu sendiri.
2.2 Hakikat Nilai Menurut Gazalba (1986: 36) nilai itu idill bersifat ide. Oleh karena itu nilai yang bersifat abstrak yang tidak dapat disentuh oleh panca indra. Nilai bukan soal benar atau sala, tetapi soal dikehendaki atau disenangi atau tidak, yang dapat ditangkap adalah barang atau perbuatan mengadung nilai. Syam (1986: 36) mengatakan bahwa nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan itelektual dan keinginan manusia. Tetapi nilai berfungsi untuk membibing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat yang menjadi tujuan dan ciri-ciri manusia. Menurut Zainal Aqib dan Sujak (2011: 6) nilai-nilai karakter dapat dikelompokan menjadi lima nilai utama. Adapun nilai utama yang dimaksud adalah a.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Nilai yang berhubunga dengan Tuhan seperti religius. Nilai ini merupakan sebuah pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan atau ajaran agama
b.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri seperti sikap dan perilaku yang dapat dipercaya untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang dilakukan oleh setiap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam sosial dan budaya) dan segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik serta tidak tergantung pada orang lain.
c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama seperti sifat yang halus dan baik dari sudut pandan tata bahasa, maupun perilakunya terhadap orang lain. Selalu mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik has diri sendiri dan orang lain. d.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan seperti peduli sosial dan lingkungannya ini merupakan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkannya.
e.
Nilai Kebangsaan Nilai kebangsaan merupakan cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menurut Muchlas Samani dan Hariayanto (2011: 138) secara garis besar
nilai dapat dikelompokan menjadi empat kelompok berdasarkan kebutuhan bangsa saat ini yang dikembangkan dalam implemansi pendidikan karakter di Indonesia. Adapaun nilai-nilai inti yang dikembangkan dalam pendidikan karakter Indonesia adalah kecerdasan, tangguh, jujur dan peduli.
Otak
Hati
Cerdas
Jujur
Tangguh
Peduli
Niali-nilai inti tersebut, kemudian dapat dijabarkan menjadi nilai-nilai turunan sebagai berikut: No 1.
Nilai inti Personal Jujur
Nilai turunan Kesalehan, keyakinan, iman dan takwa, integiritas, dapat menghargai diri sendiri, dapat menghormati sang pencipta, bertanggung jawab, ketulusan hati (iklas) protivitas, amanah Analitis, akal sehat, kurioritas, kreatifitas, kekritisan, inofatif, inisiatif, suka memecahkan masalah, produktifitas, kepercayaan diri, kontrol diri, disiplin diri, kemandirian, ketelitian, kepemilikan, visi Penuh kasih sayang, perhatian, kebajikan, kewarganegaraan, keadaban, komitmen, keharuan, kegotongroyongan, kesantuan, rasa hormat, demokratif kenbijaksanaan, disiplin, empati, kesetaraan, suka memberi maaf, persahabatan kesahajaan (kesederhanaan), kelmahlembutan, pandai berterimah kasih, pandai bersyukur, suka membantu, suka menghormati, keramah tamaan, kemanusiaan, kerendahan hati, kesetiaan, kelembutan hati, moderasi, kepatuhan, keterbukaan, kerapian, patriotisme, kepercayaan, kebanggan, ketetapan waktu, suka menghargai, punya rasa humor, kepekaan, sikap berhemat, kebersamaan toleransi, kebajikan, kearifan. Kewaspadaan, antisipasi, ketegasan, kesediaan, keberanian, kehati-hatian, keriangan, suka berkopentensi, keteguhan, besikap yakin, keteladanan, ketetapan hati, keterampilan dan kecekatan, kerajinan, dimamis, daya upaya, ketabahan, keantusiasian, kebebasan, keluwesan, keceriaan, ketabahan, keuletan, suka mengambil resiko, beretos kerja.
2.
Cerdas
3.
Sosial Peduli
4.
Tangguh
2.3
Nilai Pendidikan Karakter Menurut Sikki Muhammad dkk (1991: 32) nilai pendidikan adalah salah
satu sarana utama pembinaan agar menjadi manusia yang dewasa berpikir, bertingkah laku yang baik, serta berjiwa luhur. Raharjo (2010: 17) memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistis yang berhubungan dengan dimensi moral dan ranah
sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai pondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi (2004: 95) sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Defenisi lain yang dikemukakan oleh Gaffar (2010: 1) adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam kehidupan orang itu. Dalam defenisi tersebut ada tiga ide pikiran penting yaitu: 1) proses trasformasi nilai-nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam pribadi. Amin (2011:43) mengatakan bahwa pendidikan yang pertama sekali yang diberikan kepada anak adalah pendidikan dalam keluarga. Setelah anak berumur 6 (enam) atau 7 (tujuh) tahun barulah masukan ke sekolah dasar. Walaupun sebelum itu anak dimasukan ke dalam pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), namun peran pendidikan dalam keluarga sangat menentukan karakter/budipekerti anak. Jadi
pendidikan
karakter
dimaknai
sebagai
pendidikan
yang
mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreaktif.
2.3.1 Jenis-Jenis Nilai Pendidikan Karakter Menurut Khan (2010: 2) ada empat jenis nilai karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu: 1) Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu tuhan (konservasi moral). 2) Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa. 3) Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan). 4) Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis). Dalam publikasi pusat kurikulum badan penelitian dan pengembangan kementrian pendidikan nasional berjudul pedoman pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011), telah mengidentifikasikan sejumlah jenis-jenis nilai pembentuk karakter yang merupakan kajian empirik Pusat Kurikulum yang bersumber dari agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut ada 18 jenis nilai pendidikan karakter. Adapun nilai yang dimaksud sebagai beriku: 1.
Nilai religius Nilai religius menyangkut sikap dan perilaku melaksanakan ajaran agama yang dianut-Nya, toleran terhadap terhadap pelaksanaan agama lain, dan hidup rukun terhadap pemeluk agama lain
2.
Jujur
Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan) 3.
Toleransi Toleransi merupakan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
4.
Disiplin Disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patut pada berbagai kententuan dan perlaturan.
5.
Kerja keras Kerja keras merupakan perilaku yang menunjukan upaya yang sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna mengerjakan tugas belajar dengan sebaik-baiknya.
6.
kreatif berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasik baru dari sesuatu yang telah dimulikinya.
7.
Mandiri Mandiri merupakan sikap dan perilau yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
8.
Demokratis Demokratis merupakan cara berikir, bersikap dan bertindak ang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9.
Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. 10.
Semangat kebangsaan Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir bertindak dan berwawasan yang menetapkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.
Cinta tanah air (cara berfikir, bersikap dan berbuat, yang menunjukan kesetiaan kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa lingkungan fisik, ekonomi dan politik bangsa
12.
Menghargai prestasi Menghargai prestasi merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta mengormati keberhasilan orang lain.
13.
Bersahabat/komunikatif Bersahabat/komunikatif merupakan tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.
Cinta damai Cinta damai merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui setra menghormati keberhasilan orang lain.
15.
Gemar membaca Gemar membaca merupakan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli lingkungan Peduli lingkungan merupakan sikap dan perilaku yang mecegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli sosial Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu memberi bantuan pada orang lain dan masyarakt yang membutuhkan.
18.
Tanggung jawab Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, tehadap diri sendiri, masyarakat, lungkungan (alam sosial budaya) negara dan Tuhan Yang Maha Esa). Berdasarkan hasil uraian di atas, disimpulkan bahwa pendidikan karakter
dalam penelitian ini di batasi 3 jenis nilai pendidikan karakter yaitu; (a) Nilai religius yaitu nilai menyangkut sikap dan perilaku melaksanakan ajaran agama yang dianut-Nya; (b) Nilai kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (c) Nilai disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patut pada berbagai kententuan dan perlaturan dan lain-lain.
2.3.2 Tujuan Pendidikan Karakter Secara sederhana tujuan pendidikan karakter dapat dirumuskan menjadi merubah manusia menjadi lebih baik, dalam pengetahuan sikap dan keterampilan. Dalam konteks yang lebih luas tujuan pendidikan karakter dapat dipilah menjadi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dalam pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Sedangkan tujuan pendidikan karakter jangka panjang adalah mendasarkan diri pada tangapan aktif kontekstual individu, yang pada gilirannya semakin mempertajam misi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus-menerus. Pendidikan karakter bertujuan agar pembelajaran yang dikehendaki adalah perubahan sikap anak didik yang semula kontraproduktif berubah menjadi produktif, inovatif dan kreatif. Dengan kata lain, proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mampu mengatasi diri, melalui kebebasan dan penalaran, serta mengembangkan segala potensi diri yang dimiliki anak didik (Khan, 2010:2). Pendapat dari Koesoema (2000:134), tujuan pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan moral yang positif, memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan dengan perkembangan harkat dan martabat manusia, dan pedoman pembentukan perilaku. Sedangkan menurut Sudrajat (2010), pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Jadi, tujuan utama dari pendidikan karakter adalah untuk membangun dan mengembangkan karakter anak. Karakter ini berhubungan dengan budipekerti, dan seorang anak yang akan didik pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan agar dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur menurut ajaran agama. Secara khusus pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar berhati baik, berpikir baik, berkelakuan baik, memiliki sikap percaya diri, mencintai sesama umat manusia. 2.4 Hakikat tentang Tradisi Ritual Tradisi ritual merupakan kebiasaan atau kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat yang sangat erat kaitanya dengan keagamaan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:595) ritual adalah hal ihwal ritus atau tatacara dalam upacara keagamaan. Upacara ritual cereminy adalah sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kajian antropologi agama, Victor Yuner (1993: 36) memberikan definisi ritual sebagai perilaku yang bersifat formal yang dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar menjadi rutinitas yang bersifat teknis, melainkan menujukan pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis. Ritual dijumpai pada upacara atau tatacara agama, dan ada pada semua agama, misalnya dalam bentuk tatacara ibadah baptisan, perjamuan, penyucian, korban, doa, tarian, nyanyian, ziarah, dan sebagainya, baik ibadah pribadi maupun bersama orang lain. Urantia Book memuat satu bab khusus mengenai Ritual dan hubungannya dengan Imam (Priest) dalam Paper 90 bab 5, halaman 992. Beberapa hal khusus
mengenai ritual yang disebutkan dalam UB antara lain adalah sebagai berikut. Secara defenisi disebutkan bahwa, ritual adalah teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Urantia Book menjelaskan bahwa ritual pertamanya sering bersifat sosial, kemudian menjadi ekonomis, lalu berkembang menjadi tatacara suci agama. Salah satu ritual yang paling kuno adalah ziarah (ziarah kubur, naik haji, dan lain-lain). Kemudian upacara penyucian, pembersihan, lalu upacara inisiasi (masuk, misalnya masuk manjadi anggota, hamil 7 bulan, masuk akil balik, dan lain-lain). Bentuk lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan, dan sebagainya. Ritual itu intinya terletak pada pelaksanaannya dengan tepat. Sehingga lama kelamaan orang cenderung memfokuskan pada Teknik Ritual. Teknik pelaksanaan ritual itu umumnya rumit dan panjang. Sehingga kemudian diperlukan orang-orang khusus untuk itu. Itulah mulainya golongan imam. Imam pertamanya berkembang dari dukun (shaman), kemudian menjadi oracles, diviners, penyanyi, penari, pembuat-cuaca (menangkal hujan, mendatangkan hujan), penjaga relik (benda suci dan kuburan), penjaga tempat ibadah dan kuil, peramal, lalu kemudian berkembang menjadi pemimpin ibadah agama. Dalam posisi pemimpin ibadah yang rutin (dan seringkali rumit) inilah, lalu diperlukan tempat dan jabatan khusus, muncullah kasta Imam (golongan Lewi, pandhita, pendeta, imam, brahmana, ulama). Kemudian ada spesialisasi, ada
yang menjadi penyanyi, ada yang sebagai pendoa, atau ada yang melaksanakan korban. Belakangan muncul spesialisasi pengkhotbah. Ketika agama telah semakin resmi melembaga sebagai institusi, para imam ini malah berani mengaku "memegang kunci sorga". Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan, juga merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, diyakini akan mendatangkan keberkahan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa ritual adalah tata cara atau metode yang dilakukan oleh setiap manusia secara sungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah agama atau pelaksanaan upacara-upacara tradisional yang disakralkan oleh suku-suku tertentu. Ritual bisa saja dilakukan oleh sekelompok orang atau secara individu saja, tergantung dari ritual apa yang dilakukan. 2.5 Defenisi Umum tentang Katoba Kata Katoba beradal dari kata tobat. Menurut Sabora (1982:20), kata tobat ini sendiri dapat dipastikan berasal dari bahasa Arab, yakni taubah yang berarti menyesal. Secara harfiah taubah dapat berarti menyesali semua perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Dalam
bahasa Indonesia, kata taubah diserap menjadi kata taubat. Orang yang sudah bertaubat artinya akan kembali ke ajaran Islam dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Kata tobat dalam masyarakat Muna dapat berarti suci, artinya mengembalikan sesuatu ke keadaan suci atau menjadikan sesuatu menjadi suci. Kata “katoba” sendiri dapat berarti penyucian. Seorang anak yang ‘di-katoba’ berarti mengembalikan anak itu ke keadaan suci, untuk menjadi Islam sejati. Pada zaman dahulu, anak yang belum ‘dikatoba’ belum diperkenankan untuk menyentuh kitab Alqur’an, masuk ke dalam mesjid ataupun mendirikan sholat sebab anak tersebut belum suci. Namun saat ini seorang anak walaupun belum ‘dikatoba’ sudah dapat belajar membaca Al Qur’an, belajar sholat, berpuasa dan lain-lain. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa “dikatoba” berarti diislamkan. Katoba dapat berarti pengislaman. Ibranur (2013: 31) mengatakan bahwa Katoba adalah proses pendidikan keluarga bagi anak di Muna, yang isinya sangat bernuansa Islami. Ritual ini sudah ada sejak Islam masuk di Muna, yang ajarannya mencangkup: (1) dasar-dasar kepercayaan, (2) hak kepemilikan (hakunasi), dan (3) tata cara bersuci (fefunano wuto). Ajaran ini merupakan metode ringan bagi anak untuk menjadikan diri sebagai anggota masyarakat yang baik. Secara syar’i, yang dipahami oleh masyarakat Muna, bahwa sebelum masuk ke acara katoba, seorang anak yang berumur antara 6 – 12 tahun harus dikhitan (disunat) dahulu baik laki-laki maupun perempuan. Apabila anak sudah dikhitan, maka anak tersebut sudah bisa diislamkan (dikatoba). Proses khitanan ini
dapat dilakukan pada waktu yang sama artinya setelah anak dikhitan, selanjutnya langsung ‘dikatoba’ atau dapat juga dikhitan saja dahulu sedangkan acara ‘katoba’ dapat dilakukan lain waktu. Muharto (2012: 74) menjelaskan bahwa Katoba adalah pendidikan Islam yang diberikan kepada anak-anak yang akan baligh. Pendidikan ini bertujuan agar saat baligh, anak tersebut sudah memiliki dasar dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk mendapatkan keamanan dan kerukunan serta rasa persatuan hidup dalam masyarakat luas, hendaknya dasar masyarakat rumah tangga perlu menjadi pedoman, dalam arti semua orangtua laki-laki dengan tidak memandang suku, bangsa dan golongan harus dihormati sebagai bapak. Demikian halnya dengan ibu atau kakak, juga harus dihormati layaknya ibu atau kakak kandung sendiri. Demikianlah inti yang terkandung ajaran Katoba. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Katoba adalah ritual bagi orang Muna yang beragama Islam, yang diberikan kepada anak yang berumur 6-12 tahun, yang di dalamnya berisi tentang ajaran-ajaran dasar keIslam-an yang wajib dilakukan oleh manusia. Katoba itu sendiri menjadi pertanda bagi seorang anak untuk menjalankan syariat agama (Islam). Artinya, bagi anak yang belum di-Katoba, ia belum bisa dianggap memeluk agama Islam secara menyeluruh.