BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur merupakan sosok yang kontroversial. Hal ini telah mengundang para ilmuwan sosial untuk mengkaji sosok dan pemikirannya. Ada beberapa penelitian yang membahas tentang pribumisasi Islam ala Gus Dur. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa di antaranya adalah Cukup Islamiarso, Pendidikan Islam Berwawasan Keindonesiaan ( Telaah Kritis Pribumisasi Islam Pemikiran Abdurrahman Wahid), jurusan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2009. Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang 1). Gagasan Pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid 2). Implikasi Pribumisasi Abdurrahman Wahid dalam Pendidikan Islam berwawasan Ke-Indonesiaan memuat:1 a. Hakikat pendidikan Islam b. Paradigma. Pendidikan Islam Berwawasan ke-Indonesiaan c. Karakteristik Pendidikan Islam Berwawasan Ke-Indonesiaan Metodologi Pendidikan Islam: metode kontekstual, metode berdiskusi, metode keteladanan, amar ma’ruf nahi munkar, metode bi al-hikmah dan metode ibrah dan mau’idzah.
1
http://www.google.comsearch?ie=UTF-&sourceid=navcleint&gfns= 1&q+skripsi+ pribumisasi (di akses pada tanggal 11 Pebruari 2013).
11
12
Soehibul Aimin Na’im, Pribumisasi Islam di Indonesia dalam Pemikiran Gus Dur, jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang 1). Islam Post Tradisinalisme dan Neomodernisme 2). Selanjutnya skripsi tersebut membahas tentang konteks sosio-kultur lahirnya Pribumisasi Islam. 3). Pada akhirnya penelitiannya menjelaskan tentang konstruksi Islam Pribumi.2 Kesan
Asari,
Pemikiran
Abdurrahman
Wahid
tentang
PendidikanIslam di Pesantren, jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islma Negeri sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003. Dari hasil penelitian skripsi tersebut menjelaskan tentang 1). Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren menurut Abdurrahman wahid 2). Pendidikan Islam yang ideal bagi pesantren menurut Abdurrahman Wahid.3 Imam Akhsani, Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid (Dalam Perspektif Pendidikan Islam), Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005. Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang pluralism Abdurrahman Wahid, pluralism dalam pandangan Islam, pluralisme dalam perspektif Islam dan reorientasi paradigma pendidikan Islam. Dari hasil telaah pustaka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa belum pernah ada penelitian yang membahas secara spesifik tentang Dakwah Multikultural dalam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid. Oleh sebab itu, 2
http://digilib.uin-suka.ac.id/3920/ (diakses pada tanggal 11 januari 2013).
3
http://digilib.uin-suka.ac.id/3920/ (diakses pada tanggal 15 januari 2013).
13
penulis beranggapan bahwa riset ini memiliki relevansinya dalam konteks pengembangan dakwah Islam di Indonesia. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumya adalah bila penelitian sebelumya melihat pribumisasi Islam dalam perspektif pendidikan maka penelitian ini berusaha melihat pribumisasi Islam dalam perspektif dakwah multikultural yang dimainkan oleh Gus Dur. B. Deskripsi Teoritik 1. Makna Dakwah dan Multikultural a. Pengertian Dakwah Secara bahasa, dakwah berasal dari kata da’a-yad’ ū -da’watan yang berarti mengajak atau menyeru. Istilah dakwah sendiri diungkapkan secara langsung oleh Allah SWT dalam ayat al-Quran. Kata ‘dakwah’ di dalam al-Quran diungkapkan sebanyak 198 kali yang tersebar dalam 55 surah (176 ayat). Oleh karena itu dakwah digunakan secara umum.4 Sementara itu, secara terminologi para ahli berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang dakwah Islam. Hal ini menurut Amin Syukur
karena
term
dakwah
sendiri memang belum
pernah
mendapatkan defenisi secara eksplisit dari nabi Muhammad SAW baik dari perilakunya maupun ucapannya. Oleh karena itu, ketiadaan defenisi atau petunjuk yang baku dari Nabi mengenai dakwah pada gilirannya
4
Hakim Syah, “Retorika Dakwah: Menguak Kembali Khazanah dan Tradisi Komunikasi Lisan Dalam Islam”, Jurnal Kajian Islam, Vol. 4, No. 3, Desember 2012, h. 293.
14
memberikan ruang gerak penafsiran (multi-intrepretanle space) yang bebas bagi para pengikut Nabi dalam memaknai dakwah. 5 Amrullah Achmad seperti dikutif Sulthon berpendapat bahwa pada dasarnya ada dua pola pendefinisian dakwah. Pola pertama, dakwah berarti tabhlig, penyiaran dan penerangan agama. Pola kedua, dakwah diberi pengertian semua usaha dan upaya untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan manusia. Terlepas dari beragamnya pemaknaan atas dakwah itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, dakwah akan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia di dunia. 6 Berikut beberapa ahli mendefinisikan dakwah secara terminologi: 1).
Menurut Masdar Helmy dakwah adalah mengajak dan menggerakan manusia agar mentaati ajaran Islam termasuk melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar, untuk bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.7 2). Syaikh Ali Mahfudz, seorang ulama dari mesir dalam Hidayat AlMursyidin mendefenisikan dakwah adalah memotivasi manusia untuk berbuat kebajikan, mengikuti petunjuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.8 3). Ahmad Ghalwusy mendefinisikan dakwah adalah” menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan
5
Ibid, h. 293.
6
Ibid.
7
Masdsar Helmy, Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Muballigh, Semarang: CV. Toha Putra, tt, h.16. 8
Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta: Amazah, 2008, h. 5.
15
berbagai metode dan media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah (khalayak dakwah)”.9 3). Syekh Muhammad Abu Al-Fathah Al-Bayanuniy dakwah adalah menyampaikan (ajaran) Islam kepada manusia, mengajarkannya kepada mereka dan merealisasikannya dalam kenyataan hidup.10 Sedang menurut Syekh Abdul Kadir Al-Hamadidi dalam kitab :T}uruqud Dakwah”, memberikan definisi dakwah secara singkat namun padat bahwa dakwah adalah setiap ajakan kepada Allah dan merupakan tugas yang paling mulia serta perbuatan yang paling utama.11 Meskipun
terjadi
perbedaan-perbedaan,
tetapi
sebenarnya
pendapat-pendapat mereka memiliki benang merah yang dapat menjadi titik temu dan hakikat dari dakwah itu sendiri, yakni dakwah Islam sebagai aktivitas (proses) mengajak kepada jalan Islam.12 Sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran surat An-Nahl ayat 125:
9
Siti Zainab, Harmonisasi Dakwah dan Komunikasi, Banjarmasin: Antasari Press, 2009, h. 32. 10
Syekh Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayayuniy, Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik menurut Al-Quran dan As-Sunnah, terj dari judul asli Al-Madkhal Ila Ilmi AdDakwah alih bahasa Dedi Junaedi, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010, h. 4. 11
Harles Anwar, “ Metode Dakwah Dalam Al-Quran (Telaah Terhadap Surah An-Nahl ayat 125)”, dalam Al-Hadadharah Jurnal Ilmiah Ilmu Dakwah, Vol. 8, No. 18, Januari-Juni 2009, h. 67. 12
Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2006, h. 27.
16
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah13 dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.14
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan dakwah adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk mengajak orang lain sebanyak mungkin agar bisa berbuat baik demi mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Dengan kata lain dakwah Islam adalah setiap upaya positif baik berupa aktivitas lisan, tulisan, maupun perbuatan guna meningkatkan taraf hidup manusia dan nilainya sesuai dengan tuntunan Tuhan. b. Pengertian Multikulutural Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia multikultural berarti gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan. 15 Multikultural seperti yang termaktub di dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, adalah including people of several different races,
13 Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Lihat Departeman Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: PT Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994, h. 421. 14
An-Nahl [16]: 125.
15
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005,
h. 762.
17
religions, language, or nation tradition. bahwa multikultural itu meliputi kepelbagaian budaya masyarakat, yang mana di dalamnya cara kehidupan pelbagai bangsa, agama, bahasa, dan budaya. 16 Defenisi yang lain mengatakan, multikultural adalah watak-watak atau karakter yang ditonjolkan oleh sekelompok masyarakat yang berbilang. Ada juga yang menekankan ia sebagai satu bentuk masalah sosial (Khususnya bagi mereka yang hidup dalam tekanan atau yang sering ditindas), kuasa politik dan juga berdasarkan faktor ekonomi.17 Secara
umum,
multikultural
berarti
paham
keberagaman
(majemuk) terhadap kultur (adat) yang dimiliki oleh sebuah komunitas. Keberagaman di sini meliputi keberagaman suku, agama, ras dan adat istiadat.18 Istilah mulkulturalisme menjadi perbincangan yang hangat akhirakhir ini. Bagi sebagian orang, konsep ini diharapkan menjadi oase di tengah hubungan antar komponen masyarakat Indonesia 19 yang kurang
16
AS Horby, Oxford Advanced learnes’s Dictionary, Oxford University Press, 2005, h. 764. 17 Marpuah, “Nilai-Nilai Budaya Lokal Berwawasan Multikultural”, Jurnal Penamas, Vol. XXI, No. 1, 2008, h. 114. 18
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, h. 215. 19
Republik Indonesia yang sering disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia ang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (kepulauan antara). Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presidenyang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Lihat, M. Mufti Mubarok, Pak ESBEYE dan Kebohongannya Membongkar
18
harmonis.
Bahkan ada yang menjadikannya obat mujarab dalam
menyembuhkan penyakit yang sedang menggerogoti tubuh bangsa. 20 Gagasan mengenai multikulturalisme awalnya muncul pada negara-negara yang berpenduduk majemuk dari segi etnis, budaya dan agama, seperti misalnya di Amerika Serikat dan Eropa. Sebelum muncul multikulturalisme, di Amerika Serikat pernah dikembangkan teori “melting pot’ (tempat melebur” dan teori “salad bowl (tempat selada). Tetapi kedua-duanya mempunyai kelemahan dan mengalami kegagalan. Dengan teori melting pot di upayakan untuk menyatukan seluruh budaya yang ada dengan meleburkan seluruh budaya asal masing-masing. Dengan teori salad bowl, masing-masing budaya tidak asal dihilangkan, melainkan diakomodir dan memberikan kontribusi bagi budaya bangsa. 21 Indonesia termasuk negara yang mencoba memperbaiki konsepnya dalam menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika sebelumnya, konsep homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip dengan melting potnya Amerika diutamakan, maka Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan gagasan inilah kita dapat memaknai keragaman agama di
Kebohongan Publik SBY dan Demokrat ,Surabaya: Java Pustaka Media Utama, 2011, h.135. 20 Marzani Anwar, “ Multikulturalisme dan Kehidupan Beragama “, Jurnal Penamas, Vol. XXI, No. 1, 2008, h. 135. 21
Ibid, h. 135.
19
Indonesia. konsep ini dapat memperkaya konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional di negara kita.22 Satu hal yang harus diamalkan, bahwa gagasan multikulturalisme menghargai dan menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok minoritas harus di laksanakan. Tapi, sikap ini tetap memperhatikan hubungan antara posisi negara Indonesia sebagai negara religious yang berdasarkan pancasila. Negara Indonesia tidak membenarkan dan menolelir berbagai upaya adanya pemahaman yang anti Tuhan (atheism). Negara Indonesia juga tidak menolelir
berbagai upaya yang ingin
memisahkan agama dari negara (secularism). Mungkin kedua hal ini menjadi ciri khas multikulturalisme di negara asalnya seperti Amerika dan negara Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di Indonesia, harus disesuaikan dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat Indonesia yang religious. Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia adalah multikulturalisme religious.23 c. Dakwah Dalam Perspektif Multikultural Multikulturalisme adalah semacam kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip coexistence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Multikultural merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia. Dari masa yang sangat
22
Ibid. Ibid.
23
20
dini, multikulturalisme sudah ada dan selalu mendampingi sejarah sosial manusia.24 Dakwah kultural adalah dakwah Islam dengan pendekatan kultural, yaitu: pertama, dakwah yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan aspek substansial keagamaan; kedua, menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran dakwah. Jadi, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up dengan melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah.25 Defenisi lain mengatakan bahwa dakwah kultural adalah dakwah yang dilakukan dengan pendekatan kultural. Dakwah kultural adalah dakwah yang memanfaatkan tradisi, adat-istiadat (kebiasaan), seni, kegemaran-kegemaran masyarakat.26 Sementara itu dakwah multikultural sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Zen27 adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural. Dengan dakwah multikultural, diharapkan
24 Taufik bilfaqih, Paradigma Dakwah Multikultural, terarsip di http://. Blogspot.com/2010/07/paradigm-dakwah-multikultural, html. (diakses pada tanggal 11 Maret 2013). 25 Miftahuddin, “strategi dakwah dalam merespon problem umat”, terarsip d http://www.uinsuska. Info (diakses pada tanggal 10 April 2013). 26
Sukriyanto, “ Dakwah Kultural ( Kasus Penyebaran Islam di Jawa)” dalam jurnal dakwah media komunikasi dan dakwah, No. 04 Th.III Januari-Juni 2002, h. 121 27
Ketua DMI Medan Satria Kota Bekasi dan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta (Konsultan Syariah IMZ-Dompet Dhuafa Republika).
21
adanya toleransi dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.28 Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Anik Farida29 bahwa prinsip dakwah multikutural adalah pencerahan, dengan memposisikan komunitas berbeda yang mempunyai keyakinan akan kebenaran tidak perlu
dikafirkan,
“didiskriditkan“
bahkan
di-Islam-kan”
.
yang
dikembangkan adalah tasamuh (sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan), tawassuṭ (saling mengingatkan dan tidak merasa paling benar), ta’awwun (tolong-menolong), dan tawazun (sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan) dalam beragama. Demikian sejatinya, dakwah multikultural merupakan implementasi dari Islam sebagai ajaran rahmatan lil ‘ālamin yang menjunjung nilai-nilai universal; keadilan (al- ‘ādalah), kemerdekaan (al-h}uriyyah), demokrasi (as-syura), persamaan (almusawwamah), serta persaudaraan (al-ukḥuwah) di antara umat manusia. Konsep dakwah multikultural berupaya semaksimal mungkin memberikan solusi bagi masyarakat untuk dapat hidup rukun dan berdampingan tanpa melihat latar belakang pemikiran dan ideologi sehingga dapat mengatasi problem-problem kemanusiaan secara bersama.30
28
Muhammad Zen, Dakwah Multikultural, terarsip di http://muhammadzen. blogspot. com/2009/09. dakwah-multikultural.html (diakses pada tanggal 11 Januari 2013). Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian “Radar Bekasi” Minggu tanggal 13 September 2009. 29
Peneliti Madya di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
30
Anik Farida, Dakwah Multikultural Untuk Merajut Kerukunan Dan Perdamaian, terarsip di http//:blajakarta.kemenag.go.id/penelitian/pola-aktivitaskeagamaan/80-dakwah multikultural diakses pada tanggal 21 Maret 2013.
22
2. Eksistensi Dakwah Islam Eksistensi dakwah Islam sekarang ini, khususnya di Indonesia belum menunjukan kemajuan yang berarti. Karena dakwah masih berjalan di tempat dan masih berputar pada persoalan-persoalan klasik yang ada di masyarakat. Dakwah terkadang hanya sebatas tontonan dan tidak dijadikan tuntunan. Padahal alangkah baiknya dakwah yang telah disampaikan tersebut, menjadi tuntunan dan bisa menjadi ilmu serta nasehat yang selalu diingat.31
a. Dakwah di Era Globalisasi Kehidupan
globalisasi32
telah
dengan
nyata
melanda
kehidupan kita. Suka ataupun tidak suka. Umat Islam harus menghadapinya dengan segala implikasinya. Ciri-ciri kehidupan global antara lain;33 Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik kearah persaingan perdagangan, investasi dan informasi; dari keseimbangan kekuatan kearah keseimbangan kepentingan. Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat
31
http:// fiahrafiah. wordpress. com/2012/01/25/ eksistensi- dakwah- islamdi-Indonesia- pada-era- modern/ (diakses pada tanggal 5 Maret 2013). 32
Globalisasi; Pengglobalan seluruh aspek kehidupan; perwujudan (perombakan/peningkatan/perubahan) secara menyeluruh di segala aspek kehidupan. Lihat Syahrul Ramadhan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Khazanah Media Ilmu, 2010, h. 140. 33
Fahmy Alaydroes, “Startegi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi”, Jurnal Perencanaan Dakwah, Vol. 1, No. I, Juni 2006, h. 10.
23
ketergantungan, hubungan kearah saling ketergantungan, hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar-menawar. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya
memanfaatkan
keunggulan
komparatif
dan
keunggulan kompetitif. Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana
yang besar bagi penelitian dan
pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efesien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efesien. Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan di atas, disamping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan sejumlah efek negatif yang dapat merugikan dan mengancam kehidupan. Dampak negatif tersebut antara lain; Pertama, pemiskinan nilai spiritual. Kedua, kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan ahirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan
24
tindakan. Kelima, gabungan ikatan primordial dengan sistem modern melahirkan nepotisme34, birokratisme, dan otoritarisme.35 Sebagai agama dakwah, Islam harus mampu mempersiapkan generasi dalam mengahadapi era yang penuh tantangan, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya, karena itu Al-Quran dalam menyebut kegiatan dakwah dengan Aḥsanu Qoula. Dengan kata lain bahwa dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam, tidak dapat dibayangkan apabila kegiatan dakwah mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh berbagai faktor terlebih pada era globalisasi, di mana berbagai informasi masuk begitu cepat dan instan yang tidak dapat dibendung lagi. Sebagai umat Islam harus dapat memilah dan menyaring informasi sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.36 Dakwah Islam selama ini dipahami secara miss understanding. Dakwah itu seakan hanya dalam bentuk ceramah di podium atau mimbar di hadapan orang banyak. Padahal sesungguhnya dakwah itu
34
Nepotisme Perilaku yang memeperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Birokratisme birokrasi yang menghambat roda pemerintahan; birokrasi yang tidak fungsional. Lihat Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia…h. 814 dan 216. 35
Fahmy Alaydroes, Strategi Pendidikan… h. 10.
36
Munir, Metode Dakwah, Jakarta : Prenada Media, 2003, h. 4.
25
sangat luas dan konprehensif. Dalam rangka dakwah islamiyah, kita harus mampu berdialog dengan kebudayaan modern dan secara aktif mengisinya dengan substansi dan nuansa-nuansa Islami. Hal ini hanya bisa dilakukan bila kita memahami arus globalisasi secara benar dan tidak tertinggal dengan informasi-informasi aktual dari manca negara. Benarlah apa yang dikatakan futurology37 John Naisbit: “ The new source of power is not money in the hands of a few but information in the hands of many”. (kekuatan baru dewasa ini bukanlah harta karun di tangan segelintir manusia tetapi jaringan informasi di tangan banyak manusia).38 Pada era globalisasi sekarang ini, tentu banyak yang perlu dibenahi bagaimana seharusnya da’i atau lembaga dakwah melakukan aktivitas dakwah, termasuk penggunaan berbagai dimensi untuk kepentingan
dakwah:
komunikasi,
psikologi,
public
relations,
jurnalistik, tradisi kepenulisan, manajemen, seni, media mutakhir (elektronik: seperti film, sinetron, internet), dan lain-lain untuk kepentingan dakwah.39
37
Futurology adalah ilmu tentang masa depan. Lihat Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005,h. 323. 38
Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran …h. xi.
39
Ibid, h. xii.
26
b. Dakwah Islamiyah di Indonesia Perkembanagan dakwah islamiyah di Indonesia setidaknya dapat dilihat dari tiga hal yaitu; adanya relasi antara agama dan budaya, agama dan politik serta agama dan negara. 1. Relasi Agama dan Budaya Sebagian
ahli
kebudayaan
memandang
bahwa
kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamika ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tata negara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker,
dalam bukunya “Filsafat
Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi40, sebagaimana yang diungkapkan 40
Antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia, baik fisik maupun kebudayaannyya (antropos= manusia dan logos=ilmu). istilah antropologi ini pertama-tama ditemukan dalam sebuah buku entah karangan siapa, yang membahas manusia dan membaginya dalam dua aspek: anatomi dan psikologi.kemudian istilah ini juga ditemukan dalam tulisan Hundt (1502) Antrologeion, yang menggambarkan anatomi maanusia, dan dalam buku Capella (1533) L'Antropologia, yg menggambarkan kekhususan-kekhususan pribadi manusia. Semula Buffon (1707-1788) mendefenisikan antropologi sebagai ilmu sejarah manusia. Namun seperti kata P.L. Stein dan B.M. Rowe (1982), mempelajari manusia tidak lepas dari aspek lingkungan alam sekitar mereka.
27
oleh Heddy S. A. Putra bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi, bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa agama
merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain
bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang diwakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, Saat ini, pada hakikatnya antropologi mendasarkan pendekatannya pada prinsip holistik: memahami manusia bagai satu keutuhan (total being). Antropologi mempelajari manusia masa kini dan masa lalu dari pelbagai penjuru dunia dan dari segala aspek: fisik, psikologi, sosial, moral, sistem politik, kesenian, kekerabatan, filsafat dan agama. Lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 1997,h. 173.
28
yang
menganggap
bahwa
agama
merupakan bagian
dari
kebudayaan itu sendiri.41 Pada fase ini sesungguhnya dakwah mengalami kemajuaan yang cukup pesat hal ini terbukti ketika Sunan Kali jaga berhasil menyampaikan dakwah lewat seni wayang yang merupakan salah satu budaya jawa artinya kebudayaan juga berperan penting dalam rangka pengembangan dakwah islamiyah di Indonesia. 2. Relasi Agama dan Politik Kegiatan perpolitikan yang bernuansa dakwah merupakan salah satu fenomena di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya dalam era reformasi. Lahirnya beberapa partai yang mengusung simbol-simbol keagamaan
(Islam)
menjadi
indikasi wajah
perpolitikan di tanah air telah merambah dalam wilayah dakwah. Tentu saja dalam hal ini, dakwah harus dilihat dalam pemahaman yang lebih luas dan tidak terbatas pada dakwah bil lisan dan bil hal sebagi pesan-pesan an sich.42 Lahirnya partai-partai Islam yang menggunakan simbol keagamaan tersebut mengisyaratkan bahwa umat Islam telah berupaya ikut berperan secara langsung dalam wilayah kekuasaan melalui wadah partai. Kecuali itu, melalui perannya secara 41
Ahmad Zain An-najah, Relasi Antara Islam dan Kebudayaan, terarsip di http:// Ahmadzain .wordpress. com.2006/12/08/ relasi- antara-islam-dankebudayaan (diakses pada tanggal 8 Maret 2013). 42
Rini Setiawati, “Kontekstualisasi Dakwah Melalui Jalur Politik”, Jurnal Analisis Studi Keislaman, Vol. 10, No. 2, Desember 2010, h. 75.
29
langsung dalam “perebutan kekuasaan” melalui partai masingmasing, juga elit politik Islam yang memiliki basis atau latar belakang keagamaan yang kuat menjadikan aktifitasnya dalam konstelasi/hubungan perpolitikan di tanah air merupakan langkahlangkah untuk berdakwah, setidaknya dengan melalui jalur politik dan kekuasaan hak-hak umat Islam dapat diperjuangkannya. Fenomena ini, misalnya, cukup dominan di Partai Keadilan Sejahtera.43 Dalam pradigma Sunni pra modern,44 hubungan agama dan poltik dalam Islam mengandung makna simbiotik. Simbiosis ini berarti menunjukan hubungan saling pengertian dan hubungan timbal balik antara agama dan politik, atau masing-masing saling membutuhkan agar tetap eksis. Dalam konteks ini, agama membutuhkan politik karena melalui politik agama dapat berkembang dan bertahan. Sementara itu politik membutuhkan agama, karena agama dapat membantu pengembangan politik dengan berdasarkan nilai-nilai moral.45
43
Ibid, h. 75.
44
Teori ini memfokoskan paradigm politik Sunni yang paradigmanya lebih dekat dengan Islam Indonesia. dijabarkan oleh beberapa pengamat Sunni. Meskipun begitu, pembhasan ini juga menyangkut beberapa poin penting dari paradigm politik Syi’ah, yang sangat diperlukan untuk menyingkap gambaran yang lebih mendalam dari para pemikir politik Islam. Lihat catatan kaki M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, h. 6. 45
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik…h. 6.
30
Dengan adanya partai politik yang berlabelkan Islam tentu akan memberikan keuntungan tersendiri bagi kelangsungan dakwah islamiyah di Indonesia hal ini terbukti ketika lolosnya undang-undang pornografi dan pornoaksi yang di motori oleh partai-partai yang berlabelkan Islam. 3. Relasi Agama dan Negara Kajian yang cukup komprehensip dan refsentatif tentang hubungan agama dan negara dalam Islam antara lain dilakukan oleh Din Syamsuddin menurutnya, dalam sejarah pemikiran politik Islam klasik maupun modern, sedikitnya ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara:46 Pertama, paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah wilayah politik atau negara. Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini misalnya dianut oleh kelompok syiah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di Pakistan. Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama
dan
negara
berhubungan
secara
simbiotik,
yaitu,
berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini 46
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama –Negara di Indonesia”, dalam Abdul Mu’nim (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas 2000, h. 8-9.
31
agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, kerena dengan agama negara dapat melangkah dalam bimbingan etika dan moral. Paradigma ini antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi dan Al-Ghazali. Ketiga, paradigma
sekularistik yang menolak kedua
paradigma di atas, dan sebagai gantinya mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran politik Ali Abdur Raziq47 dari Mesir dan diamalkan secara sungguh-sungguh oleh Mustafa Kemal Atartuk ketika berkuasa di Turki pada dekade 20-an abad ini.
47
Ali Abdul ar-Raziq lahir di “Abu Jaraz” wilayah propinsi al-Mania, kawasan Mesir pada tahun 1888 M. ia terlahir dari keluarga yang banyak memiliki tanah, berpendidikan serta mempunyai pengaruh besar dalam politik. Ayahnya, Abu Hasan Abd ar-Raziq Pasha Sr, adalah hartawan foedal yang aktif dalam politik, juga merupakan kawan Muhammad Abduh (1849-1905). Bahkan pada tahun 1907, Hasan Abd ar_Raziq Sr pernah menjabat sebagai wakil ketua partai rakyat (hizb al-Ummah). Partai rakyat adalah partai yang mempunyai hubungan intim dengan pihak Inggris dan merupakan partai tandingan dari partai kebangsaan. (hizb al-wathatoni). Menurut partai rakyat, kekuatan Mesir masih sangat lemah bila harus berhadapan secara frontal dengan pihak Inggris. Oleh karena itu partai ini lebih memilih jalan cara bernegosiasi dengan pihak Inggris untuk melepaskan diri dari kekuasaan Usmani. setelah Hasan Pasya Sr meninggal, kepemimpinannya dalam partai rakyat terus dilanjutkan oleh pihak keluarganya. Lihat Pahruroji M. Bukhari, Membebaskan Agama Dari Negara Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Ali Abd ar-Raziq, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003,h. 49.
32
C. Kerangka Pikir Pribumisasi Islam merupakan salah satu gagasan pemikiran Gus Dur di era 1980-an. Meski Gus Dur pernah belajar di Mesir, Baghdad, Belanda, Jerman dan Prancis, tetapi wacana pemikiran dan pergerakan yang tengah berkembang di negara tersebut tidak lantas banyak mempengaruhi ide-idenya. Dia malah bangga mengekplorasi gagasan pemikirannnya berdasarkan pendekatan kultural. Gagasan tersebut lebih fenomenal disebut “pribumisasi islam” . Dia menolak diberlakukannya formalisasi syariah serta ideologisasi dan pemakaian
simbol-simbol Arab dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. Pasalnya,
Islam di Indonesia memiliki
keragaman, karakter dan ciri tersendiri yang terwadahi dalam lokalitas kultural di mana ia dianut. Dalam memahami dakwah multikultural Gus Dur yang berkaitan dengan pribumisasi islam maka peneliti merasa perlu untuk membuat kerangka pikir sebagai berikut: Dakwah kultural
Gus Dur
Pribumisasi Islam