5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kedwibahasaan Kedwibahasaan atau sering disebut sebagai bilingualisme merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua variasi berbahasa atau lebih dengan hampir sama baiknya. Kridalaksana (2010:36) menyatakan bahwa “bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat”. Sedangkan Chaer dan Leonie (1995:112) mengungkapakan “Bilingualisme berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum, kedwibahasaan atau bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulan dengan orang lain secara bergantian”. Dan juga menurut pendapat Henry (1988:2) mengatakan bahwa “Kedwibahasaan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa, seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa sebagainya; pemakaian dua bahasa”. Campur kode merupakan fenomena bahasa yang sering terjadi dalam masyarakat yang dwibahasawan. Masyarakat dwibahasawan secara sengaja atau tidak sengaja cendrung menggunakan dua bahasa atau lebih dalam satu percakapan. Kecendrungan itu diantaranya untuk mempertegas, meminta, membahas, membujuk, merayu, atau mengklasifikasikan percakapan. Gejala semacam ini merupakan gejala yang sangat umum dalam masyarakat dwibahasawan. Hal ini memperoleh implikasi dari kedwibahasaan penguasaan bahasa.
6
Peristiwa campur kode sering digunakan oleh bilingual-bilingual, terutama sebagai rasa soladaritas. Hal ini juga sering terjadi pada peristiwa komunikasi pada penutur yang sedang belajar berbahasa. Demikian juga pada pelajar tingkat atas seperti SMA yang sedang berlajar. Pandangan Fishman (dalam Purba, 2011:6) mengemukakan bahwa “Kedwibahasaan adalah keadaan yang menggambarkan karakteristik penggunaan lebih dari satu bahasa”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, menjelaskan bahwa bilingualisme merupakan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua secara bergantian dalam situasi yang sama, serta mampu menggunakan kedua bahasa tersebut hampir sama baiknya, baik penggunaan kedua bahasa tersebut dalam situasi lisan maupun tulisan, yang merupakan ciri khas penggunaan bahasa dan bukan fenomena bahasa. Kedwibahasaan merupakan ciri pesan seorang yang terlahir dalam penggunaan dua bahasa atau lebih dalam kehidupan sehari-hari.
2.2 Kontak Bahasa Kontak bahasa dapat menimbulkan gejala-gejala kebahasaan salah satunya yaitu campur kode. Kontak bahasa diartikan oleh para ahli dengan pengertian yang hampir sama. Misalnya Kridalaksana (1983:93) mengatakan bahwa “Saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasanya saling bertemu”. Kontak bahasa juga berarti saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain yaitu antara masyrakat yang datang dengan masyarakat yang menerima kedatangan masyarakat lain, juga sebagai kontak bahasa bahasa dalam bilingual dan multilingual.
7
Menurut Purba (2011:70) kontak bahasa dalam masyarakat bilingual atau multilingual menyangkut di dalamnya perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa. Selanjutnya Chaer (1994:65) mengatakan bahwa “dalam masyarakat yang terbuka, artinya para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut dengan kontak bahasa”. Menurut Kridalaksana (1984:108) mengatakan bahwa “kontak bahasa adalah saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasawannya sering bertemu; tercakup didalamnya bilingualisme, peminjaman, perubahan bahasa, kreolisasi, dan pijinisasi.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontak bahasa adalah adanya saling mempengaruhi antar bahasa disaat menggunakan bahasa lain. Kontak bahasa juga berarti saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain yaitu antara masyarakat yang datang dengan masyarakat yang menerima kedatangan masyarakat lain.
2.3 Pengertian Campur Kode Campur kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual di mana kontak bahasa terjadi. Pengertian campur kode menurut Nababan (1986:32) suatu keadaan berbahasa lain ialah bila mana orang yang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaannya yang dituruti. Menurut Kridalaksana (2010:40)
8
mengemukakan pengertian campur kode sebagai berikut ini. “Penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa,
idiom, sapaan, dan
sebagainya”. Menurut Purba (2011:96) campur kode didefinisikan sebagai “penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas”. Chaer dan Leonie (1995:151) menambahkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotonimiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode. Dalam hal ini menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 1995:152) selanjutnya apabila di dalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frasafrasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campurn (hybrid clauses, hybrid phrases) dan masing-masing klausa dan frasa tidak lagi mendukung fungsi sendirisendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Referensi dari KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan”. Sedangkan Fasold (dalam Chaer dan Leonie, 1995:152) “kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode”. Campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam suatu peristiwa tutur baik itu berupa kata, frasa, klausa ataupun kalimat sebagai sebuah kode. Dalam
9
campur kode orang yang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa tanpa sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia, memasukan unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain seseorang yang berbicara dengan kode bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, maka kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi keotonomian sebagai sebuah kode. Selain pendapat di atas, Kridalaksana (1982:32) campur kode sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Sedangkan menurut Chaer dan Leonie (1995:158) mengatakan bahwa “campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang mungkin memang diperlukan sehingga tidak dianggap suatu penyimpangan. Berbicara dan bertutur dengan menggunakan dua bahasa atau lebih disebut campur kode dalam suatu tindak bahasa tanpa sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia, memasukan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain seseorang yang berbicara dengan kode bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, maka kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi keotonomian sebagai
10
sebuah kode. Sedangkan Nababan (1989:32) menyatakan bahwa “Suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu”. Dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa yang lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Akan tetapi jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frasa-frasa yang digunakan terdiri dari kalausa dan frasa campuran dan masing-masing frasa itu tidak mendukung fungsi sendirisendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
2.4 Faktor-Faktor Timbulnya Campur Kode Pada masyarakat bilingual atau multilingual, sering dijumpai adanya campur kode. Peristiwa tersebut terjadi akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Baik alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif. Purba (2011:96) berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode adalah : a. Kedwibahasaan dalam masyarakat. Kedwibahasaan dalam masyarakat selain menyebabkan terjadinya alih kode, interferensi, dan intergrasi juga menimbulkan campur kode dan berbagai pengaruh lainnya yang berasal dari bahasa Ibu (B1) dan bahasa kedua (B2). b. Keingingan untuk memperlihatkan identitas atau kedudukan.
11
Campur kode dapat terjadi bila seseorang penutur ingin memperlihatkan identitas dan edudukannya karena penutur ingin melihat keterpelajarannya dan kemahirannya dalam berbahasa khususnya B2. c. Kebiasaan penutur. Campur kode juga dapat terjadi karena kebiasaan penutur menggunakan bahasa (B1) dan (B2) sehingga terjadi pencampuran bahasa. d. Ketidaktepatan ungkapan. Campur
kode
terjadi
apabila
seorang
penutur
tidak
tepat
dalam
mengungkapkan suatu bahasa sehingga berbagai bentuk campuran kode akan muncul dalam bahasa yang digunakan baik itu frasa, klausa maupun kalimat.
2.5 Bentuk-Bentuk Campur Kode Bentuk-bentuk campur kode diantaranya yaitu sebagai berikut : 2.6.1
Campur Kode Tataran kata Kata merupakan morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan
dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 2008:110). Tataran campur kode tersebut adalah: Contoh : Siswa : Bude, aku makan lontong sama jajan jaiopong tiga berapa de ? PK
: 10.000 Ribu.
a. Nomina Nomina atau sering juga disebut kata benda adalah kata yang mengacu kepada suatu benda. Seperti contoh: budak (Bocah).
12
Contoh bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Jawa (BJ) seperti: Siswa : konco mu mau kemana. Siswa : mungkin arep ke kantin makan. b. Verba Kata kerja atau kata verba adalah kata yang menyatakan perbuatan atau tindakan, dan keadaan yang bukan merupakan sifat. Contoh: pergi (Lungo). Balik (muleh), makan (mangan) dan seterusnya. Contoh campur kode bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Jawa (BJ) seperti: Siswa 1: Perwakilan kelas Lungo ke ruang guru sekarang. Siswa 2: Iya, bentar lagi. c. Adjektiva Adjektiva atau kata sifat adalah kata yang menerangkan sifat, keadaan, watak, binatang atau suatu benda. Contoh : Kecil (Cilik). Contoh campur kode bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Jawa (BJ) seperti: Siswa 1 : Yo, tulisan mu, Cilik tidak keliatan dari belakang. Siswa 2 : iya opo, ya wes saya besarkan lagi tulisannya. d. Adverbia Abverbia atau kata keterangan adalah kata yang menerangakan predikat suatu kalimat atau kata–kata yang digunakan untuk memberi penjelasan pada kalimat atau bagian–bagian kalimat lain, yang sifatnya menerangkan keadaan atau sifat lain ( Chaer, 1998:162). Contoh : Nanti (Engko). e. Numeralia
13
Numeralia adalah kata atau frasa yang menunjukan bilangan atau kuantitas. Kata–kata yang menyatakan jumlah, nomor, urutan, dan himpunan. Contoh : Satu (siji), dua (loro), tiga (telu), dan seterusnya. Contoh campur kode bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Jawa (BJ) seperti: Siswa1 : aku mangan gorengan papat yan? Siswa2 : owh, iyalah nanti aku seng bayar. f. Reduplikasi Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologi atau gramatikal ( Kridalaksana, 1984:167). Contoh campur kode bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Jawa (BJ) seperti: a) Kamu kok tidak doyan-doyan makan cabe. b) Kamu ini dari tadi mbolak-mbalik. c) Kamu kenapa ndelok-ndelok.
2.6.2 Campuran Kode Tataran Frasa Menurut Chaer (1994 :225) menyatakan “ frasa adalah sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dalam kalimat”. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif, misal gunung tinggi disebut frasa karena merupakan konstrunsik nonpredikat (KBBI, 2008:203). Definisi tersebut dapat dikatakan bahwa frasa adalah gabungan dua kata nonpredikat yang berarti gabungan antara dua kata unsur yang berbentuk frasa itu tidak berstruktur subjek-predikat atau predikat objek. Berbeda dengan kata yang yang
14
tidak bisa diselipi apa-apa, maka hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah frase cukup longgar, sehingga ada kemungkinan diselipi unsur lain. Contoh: Siswa 1 : ojok banyak bicara kalau lagi mangan! Siswa 2 : iya-iya. Frasa dalam campur kode juga dapat terjadi dalam selipan ucapan kalimat. Bentuk campur kode pada tataran frasa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori : Contoh: Larang sekali (mahal sekali). Murah we (murah saja). Contoh dalam bentuk tuturan yang berkaitan dengan campur code bahasa Jawa dengan berbahasa Indonesia pada tataran frasa adalah sebagai berikut. S
: “Tahu goreng ini berapa bude?”
PK : “Seribu” S
: “Wah, larang tenan, lima ratus saja”
PK : “Tambah tiga ratus ya?” S
: “Hm, iyalah bude”.
Dari percakapan antara penjual dan pembeli tersebut, terdapat campur code bahasa Jawa yang termasuk kategori frasa yakni pada kata larang tenan yang dalam bahasa Indonesia berarti mahal sekali.
15
2.6.3 Campur Kode Tataran Klausa Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurangkurangnya terdiri dari dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008:124). Contoh: Bapak tuku klambi (Bapak membeli baju) waktu adik bangun tidur. “Bapak tuku klambi” merupakan klausa dari kalimat majemuk di atas. Contoh dalam bentuk tuturan yang berkaitan dengan campur kode bahasa jawa dengan bahasa Indonesia pada tataran klausa adalah sebagai berikut: S1
: “Bude, nasi gemuk sepiringnya piro ?
PK
: “Nasi gemuk naik, sepuluh ribu satu piringnya”
S1
: “Mintak loro bude, soalnya saya ngeleh tenan” Dalam percakapan tersebut terdapat campur kode bahasa jawa yang
termasuk kategori klausa yakni ngeleh tenan yang dalam bahasa Indonesia berarti saya lapar sekali.
2.6. Bahasa Jawa Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan pada suatu daerah kecil, negara bagian federa;, provinsi, atau daerah yang lebih luas. Menurut Kridalaksana (2008:25) “Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan penduduk asli suatu daerah, biasanya dalam wilayah yang multilingual; dipertentangkan dengan bahasa persatuan, bahasa nasional, atau bahasa franca, dan bahasa daerah seperti Bahasa Jawa.
16
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerahlain seperti Banten ( terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramaya, dan Cirebon). Masyarakat pengguna bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kasatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasietnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Jambi (27,6%), Sumatera Utara (32,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh (15,87%), yang dikenal sebagai Ancuk Jawoe (sumber: www.wikipedia.com). Bahasa Jawa menurut Mukidi, dkk (1986:9) mengatakan bahwa “Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi anakanak Jawa, yaitu bahasa pertama sebelum mereka mempelajari bahasa nasional yang merupakan bahasa kedua”. Bahasa Jawa di SMAN 1 Tanjung Jabung Timur pemakaian bahasanya cendrung menggunakan bahasa Jawa dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya campur kode interaksi antarsiswa maupun siswa dengan pedagang kantin di SMAN 1 Tanjung Jabung Timur. Dengan demikian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia mempunyai kesamaan, ialah bahasa Jawa. Oleh karena itu tidaklah banyak perbedaan antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Perbedaan yang tampak pada pertukaran dan perbedaan bunyi yang tampak pada keragaman dialaek pada bahasa Jawa. Dialek yang dikenal di daerah Tanjung Jabung Timur dapat dikategorikan kedalam beberapa macam, yaitu : dialek Suku Jawa, dialek Suku Sunda, dialek Suku
17
Bugis, dialek minang kabau, dan dialek Melayu Jambi. Di daerah Tanjung Jabung Timur, menggunakan bahasa Jawa yang lazim disebut bahasa Jawa dengan dialeknya yang disebut dialek Jawa. Seperti; A : Piye Kabare? (Apa kabar?) B : Apik. lha kowe piye? (Baik. Lha kamu bagaimana?) A : Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanco. ( Aku juga baik. Wah, sudah lama tidak ketemu nih. Kangen rasanya sama teman). B : Saiki kowe wis nyambut gawe apa durung? (Sekarang kamu sudah kerja apa belum?) A : Aku durung nyambut gawe isih nganggur. Hla kowe piye? (Aku belum kerja masih nganggur. Lha kamu bagaimana?) B : Alhamdulillah, aku wis oleh gawean. Ya wis ayo mangan bareng ning warung mi ayam kae. Tak traktir tenang wae. (Alhamdulillah, aku sudah dapat kerja. Ya udah makan bareng di warung mi ayam itu yuk. Aku traktir tenang saja). A : Ayo. (Ayo) Campur kode terjadi di saat penutur dapat menggunakan dengan baik kedua bahasa yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Penulis menganalisis campur kode dalam interaksi antarsiswa dengan judul: “Campur Kode Bahasa Jawa (BJ) dengan Bahasa Indonesia (BI) Dalam Interaksi Siswa di Kantin Sekolah SMAN 1 Tanjung Jabung Timur.