BAB II FENOMENA MUNKIRUS SUNNAH
A. Sunnah sebagai Sumber Otoritas Islam 1. Pengertian Hadits dan Sunnah Hadits dan sunnah merupakan sumber ajaran kedua bagi umat Islam setelah al-Quran. Dengan demikian, kaitannya dengan meneliti agama Islam, penelitian terhadap hadits adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Sebab, hal terpenting dalam meneliti sebuah agama adalah meneliti sumber ajarannya. Secara literer hadits bermakna berita. Selanjutnya kata ini dipahami sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. baik itu berupa sabda, perbuatan maupun ketetapannya. Menurut al-Qattan, Hadits menurut bahasa berarti baru, juga bermakna sesuatu yang dinukilkan atau dibicarakan, juga bermakna sesuatu yang sedikit dan yang banyak.1 Pengertian yang sama juga diberikan Ibnu Manzur bahwa Hadits bermakna sama dengan jadid (yang baru), yang merupakan lawan qadim (yang lama) atau dikatakan, kalam (pembicaraan).2 Selain itu, Subhki ash-Shalih juga memaknai Hadits dengan khabar (berita).3 Kata Hadits telah diulang-ulang di dalam Al-Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad (al-Hadits) dan 5 kali dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab hadits di banyak tempat. Pengertian Hadits ditinjau dari istilah muhaditsin (ahli Hadits), mempunyai definisi yang berbeda-beda. Al-Qattan, misalnya memberikan definisi Hadits dengan apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.4 Secara lebih luas Fazlur Rahman memberikan definisi Hadits secara harfiyah adalah ceritera, penuturan atau laporan, atau sebuah narasi singkat yang 1
Syaikh Manna` al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 22. 2 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut : Dar Shadir, t.th.), hlm. 11. 3 Subkhi ash-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, (Bairut : Dar al-Ilmi, 1978), hlm. 3. 4 Syaikh Manna` al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 22
20
21
mempunyai tujuan untuk memberikan informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh Nabi, dan juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat senior dan lebih-lebih para sahabat khulafai al-Rasyidin.5 Dari makna Hadits yang disampaikan Rahman ini dapat diambil pemahaman bahwa dua narasi informasi yang didapat dan Nabi dan para sahabat, adalah mempunyai kata sinonim yaitu hadits atau berita. Berdasarkan pengertian di atas Hadits merupakan refleksi verbal dari Sunnah yang hidup, yang mengandung semangat dan ideal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, berupa teladan Nabi yang bersifat umum, sekalipun teladan tersebut telah banyak penafsiran-penafsiran di berbagai daerah yang berupa ijtihad atau ijmak. Dengan memperluas pemaknaan hadits yang memasukkan segala perilaku para sahabat dan tabi'in berarti sunnah para sahabat yang tidak jarang bertentangan dengan sunnah Nabi saw, juga diamalkan. Kerancuan pemaknaan hadits ini akan membawa sebuah pertentangan mengenai apa yang disebut sunnah. Pengertian as-Sunnah secara etimologis berarti perjalanan, baik perjalanan baik maupun perjalanan buruk.6 Menurut Luis Ma'luf, sunnah juga bermakna sawwara (gambaran).7 Selanjutnya Ibnu Manzur mendefinisikan sunnah sebagai at-tariqah (jalan) atau as-sirah (sikap), yakni jalan manusia yang lurus, atau sikap manusia yang baik.8 Rahman menyatakan, sunnah seperti kata sannu at-tariq yaitu "jalan lurus yang berada di depan atau yang tidak menyimpang".9 5
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Al Ma`arif, 1995), hlm. 68. Muhammad `Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2013), hlm. 1 7 Luis Ma`luf, Munjid Abjadi, (Bairut : Dar al-Syarqi, 1967), hlm. 565. 8 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut : Dar Shadir, t.th.), hlm. 389. 9 Lebih lanjut Rahman, menyatakan bahwa pengertian sunnah adalah sebagai sebuah jalan lurus yang tidak menyimpang baik ke kiri maupun ke kanan, dan juga memberikan arti sebagai sebuah penengah di antara hal-hal yang bersifat ekstrim. Dalam kaitan ini, Rahman menceritakan bahwa di dalam suratnya kepada Usman al-Batti, ketika ia menerangkan pendapatnya mengenai seorang Muslim yang berdosa, atau ketika menentang keekstriman orangorang khariji, Abu Hanifah menyatakan bahwa pendapatnya itu adalah sama dengan pendapat ahli as-sunnah atau "orang-orang penengah yang berada di jalan tengah". Lebih lengkap tentang pembahasan ini dapat merujuk pada tulisan Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karaci : Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 3. 6
22
As-Sunnah menurut para fuqaha adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi Muhammad saw. namun tidak bersifat wajib. Sunnah merupakan salah satu dari hukum-hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Namun para fuqaha juga menggunakah istilah sunnah ini untuk kebalikan dari bid`ah.10 As-Sunnah juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan oleh dalil syar`i, meskipun hal itu merupakan perbuatan para sahabat dan ijtihad mereka, seperti : Pengumpulan mushhaf, mengarahkan manusia pada bacaan dengan satu qira`at dari qira`at yang tujuh, membukukan administrasi kekhalifahan, dan yang semacam dengan itu. As-Sunnah menurut ulama ushul fiqih adalah apa yang bersumber dari nabi Muhammad saw. selain al-Quran, baik perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau. Pengertian tersebut sinonim dengan pengertian As-Sunnah menurut ulama Hadits yaitu apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.11 Perbedaan dalam mendefinisikan as-Sunnah menurut istilah di atas disebabkan atau bersumber dari perbedaan mereka pada tinjauan utama dari masing-masing disiplin ilmu. Berdasarkan perbedaan definisi tentang as-Sunnah di atas, selanjutnya ada dua arti sunnah yang saling berhubungan erat, namun harus dibedakan; Pertama, sunnah bermakna perilaku Nabi, dan karenanya sunnah memperoleh sifat normatif. Namun yang perlu diingat adalah bahwa Nabi sangat berkepentingan untuk mengubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah. Karenanya sangat tidak rasional apabila berpendapat bahwa al-Quran diajarkan tanpa menyinggung aktivitas-aktivitas Nabi Muhammad saw., karena aktivitasaktivitas ini merupakan latar belakang yang sangat penting mencakup bidang 10
Bid`ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya atau belum pernah dikerjakan pada masa Nabi Muhammad saw. atau segala sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara` melalui al-Quran dan Sunnah. Secara garis besar, para ulama membagi bid`ah menjadi dua : bid`ah hasanah dan bid`ah madzmumah. Lihat Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid`ah dan Tradisi dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya : Khalista, 2010), hlm. 2-3. 11 Syaikh Manna` al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2012), hlm. 29
23
politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain lain. Kedua, sepanjang tradis (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non-verbal, maka kata sunnah juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku setiap generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi. Untuk yang terakhir ini kandungan sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktik aktual kaum Muslimin. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari simpulan atau interpretasi terhadap sunnah Nabi oleh para sahabat dan generasi berikutnya.12 Pembahasan di atas dapat dipahami bahwa kata sunnah mempunyai tiga pengertian; Pertama ialah sunnah ideal yaitu sunnah (tradisi praktikal) dan hadits (tradisi verbal) yang ada secara bersama dan memiliki substansi yang sama. Keduanya disandarkan kepada Nabi dengan memperoleh normatifitasnya. Kedua, ialah living tradition (tradisi yang hidup), yakni berawal dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiarn sehingga menjadi praktik aktual kaum Muslim. Oleh karenanya, bahwa sunnah masyarakat Muslim awal terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar merupakan produk masyarakat Muslim sendiri. Ketiga, adalah simpulan-simpulan yang ditarik dan keduanya. Artinya dari sebuah hadits atau laporan sunnah berupa pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran.13 Melihat kajian definitif tentang Hadits dan sunnah di atas dapat dilihat adanya perbedaan pengertian Hadits dan sunnah meskipun keduanya berkaitan erat. Hal tersebut berdasarkan beragamnya pandangan ulama muhaditsin mengenai makna hadits dan sunnah sebagaimana telah dijelaskan di muka, yang terjadi adalah kerancuan makna antara hadits dan sunnah. Ketika Nabi Muhammad saw. menyampaikan sabdanya yang berbunyi: Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi. (HR. Malik) 12
Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 17. 13 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karaci : Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 19.
24
Pernyatan ini, menurut Abdul Fatah Idris dapat dipahami bahwa secara jelas Nabi Muhammad saw. mengungkap kata sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran sebagai pegangan umat Islam dalam mengamalkan agama, bukanlah pengungkapan dengan kata hadits. Pernyataan ini secara jelas menunjukkan bahwa hadits dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda.14 Rahman membedakan bahwa hadits berarti cerita, penuturan atau laporan, atau sebuah narasi singkat tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujuai atau tidak disetujui oleh Nabi, dan juga informasi yang sama mengenai para sahabat. Sedangkan sunnah berarti perilaku Nabi, dan karenanya sunnah memperoleh sifat normatif, dan model perilaku yang terus berlanjut secara diamdiam dan non-verbal. Pengertian ini secara tegas ada perbedaan keduannya, yakni hadits sebagai tradisi verbal sedangkan sunnah sebagai tradisi praktikal.15 H.A.R Gibb mencatat perbedaan lain antara hadits dan sunnah. Hadits merupakan sesuatu yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah adalah sesuatu yang bersifat praktis. Sunnah bermakna adat istiadat yang ditinggalkan dengan lisan, dan menunjuk kitab tertulis untuk membedakan keduanya, atau dapat dibedakan hadits sebagai alat pengantar sunnah, dan seluruh kumpulan sunnah yang dicatat dalam bentuk hadits umumnya dinamakan al-Hadits.16 Perbedaan antara hadits dengan sunnah, sebagaimana dicatat dalam literatur pokok, yang pertama adalah disiplin yang bersifat teoritis, sedangkan yang kedua adalah kumpulan aturan praktis. Satu-satunva kesamaan karateristik antara keduanya adalah bahwa kedua pengetahuan itu berakar pada tradisi. Perbedaan antara hadits dengan sunnah tersebut dapat dipahami lebih tepat apa yang dinyatakan oleh Azami, sunnah bermakna teladan kehidupan, sehingga sunnah Nabi bermakna teladan kehidupan Nabi. Sedangkan hadits mempunyai arti segala sesuatu yang dinisbahkan kepada kehidupan Nabi.17 Oleh
14
Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 24. 15 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung : Al Ma`arif, 1995), hlm. 68-69 16 H.A.R Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abu Salamah, (Jakarta : Bhrataa Karya Aksara, 1993), hlm. 55-56 17 M. Musthafa A`zami, Studies in Health Methodology and Literature, (Indiana : MSA, 1977), hlm. 4.
25
karena itu kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian, walaupun ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Sebuah hadits mungkin tidak mencakup sunnah, atau sebuah hadits bisa jadi merangkum lebih dan sebuah sunnah tiga, lima dan seterusnya. Hanya saja untuk menghindarkan kebingungan, Azami menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian sejauh memungkinkan, sebagaimana yang dipakai oleh ilmuan awal periode Islam atau sekarang. Apa yang diungkapkan Azami tersebut menunjukkan bahwa hadits dan sunnah merupakan dua hal yang berbeda. Pengertian keduannya tidaklah identik. 2. Keontetikan Hadits/Sunnah dalam Lintas Sejarah Sebagaimana al-Quran, informasi sunnah dalam term Hadits adalah hal berharga, menjadi acuan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sebagai ‘abid-Nya. karena itu, semangat untuk menyimak dan menyampaikan hadits atau sunnah sudah terlihat sejak zaman Nabi Muhammad saw. Dengan sendirinya, aktivitas tahammul (menerima) dan ada’ (menyampaikan) ini menjadikan hadits terdiri dari dua aspek; sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat hadits. Sedang matan adalah isi pesan (teks) yang berkaitan dengan sabda, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi. Dalam perkembangannya istilah hadits pada masyarakat muslim disamakan dengan sunnah (walaupun memiki makna berbeda sebagaimana telah dibahas sebelumnya) dengan alasan kedua istilah tersebut sama-sama menempati sumber hukum kedua setelah al-Quran dan bersumber dari Nabi Muhammad saw. Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad saw merupakan sumber otoritas kedua setelah al-Quran dalam Islam. Seorang Muslim tidak meyakini semua hadits adalah shahih. Namun juga tidak benar bila seorang muslim menganggap semua hadits itu palsu, sebagaimana anggapan para orientalis. Pembahasan tersebut menunjukkan memang ada hadits yang shahih, hasan, dha'if, dan maudhu' (palsu). Kajian terhadap sunnah Nabi Muhammad saw. dalam khasanah peradaban dunia merupakan lapangan pengkajian dan penelitian ilmiah yang tak akan pernah habis-habisnya untuk diselami yang tetap dilakukan oleh para
26
pemikir muslim (insider) maupun oleh para orientalis (outsider). Diakui atau tidak, sunnah selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim maupun para orientalis baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.18 Dalam kajian Hadits, masyarakat muslim telah paham bahwa setiap hadits memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadits). Kedua bagian hadits ini sama pentingnya bagi para ahli hadits. Matn merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad saw. yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn tersebut. Menurut Muhammad al-Tahhan, pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadits kemudian mencari dan menempatkan hadits-hadits dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa teks hadits (matan hadits) yang berbeda, juga hadits-hadits dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Sebagai haditshadits yang berdiri sendiri-sendiri, studi al-Hadits yang berkembang dalam disiplin ilmu hadits memuat tentang dua hal : studi tentang isnad19 dan studi tentang Matn.20 Meneliti isnad pada sebuah hadits diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda, sedangkan untuk 18
Di antara orientalis yang banyak mengkaji hadits dan cenderung meragukan bahkan menentang keontetisitas hadits, mereka itu adalah: A. Sprenger, Goldziher, J. Schact. Lihat G.G. A Juynboll, The Auntheticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1965), hlm. 1. 19 Studi tentang isnad hadits berarti mempelajari rangkaian para perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum dan sebab-sebab kuat dan lemahnya perawi secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqathi’ nya perawi dalam rangkaian sanad, dengan cara mengetahui lahir dan wafatnya perawi, pentadlisan sebagian perawi, terutama jika meriwayatkan syarat perawinya adalah harus muttasil dan bebas dari pemalsuan serta adanya jaminan bertemunya orang yang meriwayatkan dengan guru yang meriwayatkan hadits) dan mengetahui pendapat para ulama jarh dan ta’dil bahwa seseorang pernah atau sama sekali tidak mendengar riwayat dari orang lain; mendalami semua sanad hadits guna menjelaskan illat hadits yang samar dan mengetahui sahabat, tabiin guna membedakan berhubungan dengan ilmu jarh wa ta’dil, serta mengetahui para perawi yang membutuhkan banyak ilmu seperti muttafiq, muftariq, mutasyabih, kunyah, laqab serta lainnya. Lihat Muhammad al-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1995), hlm. 97-98. 20 Pembahasan tentang isnad dan matan ini lebih lengkap dapat dilihat pada buku Fazlur Rahman, dkk, Wacana Studi Hadits Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 77.
27
memahami signifikansi yang tepat dari matn, juga untuk menguji keasliannya diperlukan pengetahuan berbagai makna ungkapan yang digunakan dan juga diperlukan kajian terhadap hubungannya lafadz matn di hadits-hadits yang lain. Proses penelitian Hadits/sunnah, hal yang sering dan selalu dilakukan oleh peneliti hadits adalah melakukan pendekatan dalam pengkajiannya. Pendekatan terhadap penelitian hadits saat ini mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan ketat. Di antaranya adalah kajian penelitian yang tidak hanya menggunakan jalur sanad (karena dianggap sudah final dengan kodifikasi/tadwin hadits oleh ulama-ulama ahli hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majjah dan sebagainya. Namun dalam kajian kontemporer saat ini, perkembangan penelitian hadits, sudah memulai melalui pendekatan yang lebih terfokus pada jalur matn, direformulasi sesuai dengan konteks kekinian.21 Pada dasarnya penelitian matn dan isnad yang ada pada hadits merupakan bagian kegiatan untuk membuktikan keontentisitasan hadits,22 sehingga kita bisa mengetahui nilai (baca: derajat atau klasifikasi) sebuah hadits yang kita teliti, apakah hadits tersebut shahih, hasan atau dhaif. Menengoh sejarah keontetikan hadits/sunnah dapat dilihat tingginya ghirah para sahabat demi memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan alQuran dan hadits sebagai dua sumber ajaran Islam. Dalam hal ini nabi Muhammad saw. mengambil kebijakan berbeda. Terhadap al-Quran beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya menulis di samping 21
Pendekatan pada jalur matan (baca: teks hadits Nabi saw.) juga banyak dikembangkan intelektual muslim seperti Muhammad al-Ghazali, Hasan Hanafi, Fazlurrahman, Mustafa al-Azami yang merupakan salah satu bentuk ijtihad dalam upaya mendudukkan kembali semangat kenabian (pemahaman kembali teks hadits Nabi saw.) dengan mengambil ruh Islam dan mengontekskannya pada masa sekarang. Baca Fazlur Rahman, dkk. Wacana Studi Hadits Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 55-75. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 4. 22 Menurut Mustafa Azami yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, bahwa otentisitas sebuah hadits sesungguhnya dapat dibuktikan juga secara ilmiah melalui metodolgi kritis hadits antara lain dengan (1) membandingkan hadits-hadits dari berbagai murid dari seorang Syeikh (guru); (2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan (3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis; (4) memperbandingkan hadits-hadits dengan ayat Al-Quran; (5) pendekatan rasional atau dengan akal sehat yang dikontekskan masa kekinian yang tidak menafikan asbabul wurud hadits. Lihat Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadits Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 74.
28
menghafalnya. Sedang terhadap hadits perintah resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi seperti halnya alQuran tidak diperkenankan Nabi Muhammad saw. Meskipun demikian, penulisan secara individual asalkan telah memenuhi persyaratan tidak dilarang. Untuk kepentingan pengamalan, sahabat yang mampu menulis dibolehkan menulis hadits pada masa Nabi yang di kemudian hari menjadi bahan berharga bagi penyempurnaan kodifikasi hadits secara massal.23 Jika upaya menghimpun al-Quran dalam satu mushaf telah ada sejak kekhalifahan Abu Bakar, maka usaha kodifikasi hadits baru ada pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz. Dengan jarak yang begitu jauh (+ 90 tahun) maka amatlah wajar jika usaha kodifikasi ini mengalami kesulitan. Bahkan, pada saat itu, demi melegitimasi kepentingan-kepentingan tertentu (politik dan semacamnya) banyak hadits palsu yang sudah menyebar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, atas kenyataan ini, ulama hadits dalam upayanya menghimpun hadits selain harus melakukan perlawatan ke berbagai daerah, juga harus meneliti dan menyeleksi semua hadits yang mereka himpunkan. Tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu dikatakan sebagai hadits Nabi itu dapat benar-benar dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari Nabi ataukah tidak. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa itu penelitian hadits difokuskan untuk mengecek keabsahan data sebagai hadits dari Nabi saw. Dengan menetapkan berbagai kaedah, para muhadditsun mulai mengklasifikasikan hadits dilihat dari segi kualitasnya. Upaya tersebut telah memperlihatkan hasilnya sampai saat ini dengan hadirnya kitab-kitab hadits dengan berbagai corak penyusunannya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, kodifikasi hadits tersebut selalu dijadikan pertanyaan oleh para peminat sejarah. Bagaimana studi yang disebarkan melalui tradisi lisan ke lisan dengan hafalan, yang tidak ditulis –secara resmi dan massal- pada masa Nabi Muhammad saw. itu menjadi karya 23
Muhammad Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi, (Semarang : RaSail, 2005), hlm. 28.
29
terkodifikasi beberapa ratus tahun kemudian, dapatkah hal itu dipercaya? Pertanyaan ini tentunya tak mudah dijawab.24 Menghadapi tantangan tersebut, para ulama hadits tampil memberi jawaban. Dengan melakukan penelitian-penelitian manuskrip seperti yang dilakukan oleh Syekh ‘Ajjaj Al-Khatib terhadap manuskrip yang terdapat di sejumlah perpustakaan di Negara Siria dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Kemudian tokoh hadits lainnya yakni Musthafa Al-Siba’i yang meneliti naskahnaskah kitab dan manuskrip dalam rentang masa panjang; dari era Nabi Muhammad saw. hingga Imam Nasai yang disajikan dalam disertasi doktoralnya. Selanjutnya datang kemudian ahli hadits yang lain, yakni Syekh Al-‘Azami yang meneliti sejumlah manuskrip dalam banyak sumber, termasuk sumber primer yang digunakan oleh para peneliti hadits orientalis. Hasil penelitiannya menguak fakta keabsahan hadits. Penelitian yang dilakukan terhadap hadits tentunya tidak berhenti sampai di situ. Sebagai bagian dari ilmu sosial, penelitian tentang keotentikan hadits tentunya selalu terbuka dari masa ke masa. Penelitian yang dilakukan terhadap keontetikan hadits tidak melewatkan kenyataan bahwa tantangan yang dihadapi ahli hadits hadir pada setiap zaman, dari zaman Nabi Muhammad saw., kodifikasi hadits, hingga era post modern sekarang. Wujud tantangan tersebut menurut Erfan Soebahar, terbagi atas dua golongan : pertama, golongan yang setia dan taat serta mampu menyaring secara jernih cahaya kebenaran, sehingga tetap berpegang teguh pada apa-apa yang datang dari Nabi Muhammad saw.; kedua, golongan yang taat terhadap ajaran hadits tetapi kemudian terpengaruh tulisan-tulisan bermisi yang menempatkan hadits di posisi yang tidak menguntungkan, sehingga mereka menerima hadits secara kognitif tetapi tidak secara afektif dan psikomotorik, berdampak pada sikap apatis dan skeptis dengan hadits, bahkan memusuhi hadits. Fenomena demikian menjadikan mereka termasuk golongan ingkar sunnah dan golongan ekstrim lainnya yang dilarang oleh ajaran Islam.25 24
Muhammad Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi, (Semarang : RaSail, 2010), hlm. 31 25 Muhammad Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi, (Semarang : RaSail, 2010), hlm. 5-6.
30
3. Kedudukan Sunnah atas Al-Quran Al-Quran merupakan sebuah kitab yang menjadi petunjuk bagi manusia. Beragam sebutan yang agung melekat pada kitab ini, seperti sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan berbagai julukan lain yang senada dengan itu. Al-Quran merupakan rujukan yang paling otoritatif disebabkan dokumen di dalamnya merupakan wahyu yang paling lengkap dan final dari Allah SWT. kepada manusia, sehingga kitab ini merupakan satu-satunya sumber hukum (syariah) bagi umat manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum yang dikemas dalam alQuran tidak banyak jumlahnya, yaitu sekitar dua ratus ayat, dan kira-kira enam ribu ayat yang ada di dalam al-Quran.26 Demikian juga ayat-ayat al-Quran yang mengandung sifat-sifat hukum (al-ahkam), jarang sekali terdapat pengelompokan pada satu judul hukum dalam satu ayat, atau jarang pula ayat-ayat hukum yang sehubungan dengan satu masalah terdapat pada satu atau dua tempat saja. Dan turunnya ayat-ayat hukum tidak banyak terjadi pada persoalan-persoalan hukum yang baru. Hanya karena bagi umat Muslimin yang awal membawa persoalan hukum untuk diselesaikan karena adanya perselisihan di antara mereka, maka mereka pun tampil dihadapan Nabi untuk memberikan penyelesaian dengan hukum yang baru. Nabi dalam hal ini mempunyai otoritas membuat kebijakan hukum ketika ada persoalan yang timbul dalam masyarakat, tetunya dengan memperoleh bimbingan dari wahyu Tuhan (al-Quran). Otoritas Nabi atas al-Quran bukan saja membuat kebijakan hukum karena adanya masalah hukum yang baru, tetapi ada juga masalah-masalah hukum yang memerlukan perubahan karena tidak cocok lagi dengan rasa keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat yang baru. Perubahan hukum yang terjadi seperti ini sifatnya tidak mutlak, bisa terjadi perubahan sebagian atau seluruhnya Jadi sifatnya rekontruksi hukum, dalam rangka menuju kepada perbaikan dan kesempurnaan. Otoritas Nabi di dalam rekontruksi hukum ini banyak dicontohkan di dalam sunnah Nabi. Seperti, hukum waris di zaman jahiliyah bagi seorang 26
225-229.
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo : Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1975), hlm.
31
wanita tidak mendapatkan waris, karena dianggap rendah dan tidak bermartabat, hukum pernikahan yang membatasi bagi seorang laki-laki hanya empat wanita saja (pembatasan poligami), dan legislasi tentang kemerdekaan perbudakan. Maka dengan kedatangan Islam sebagai agama baru dapat membawa perubahan dan sangat menghorrnati, mengedepankan jiwa kasih sayang kepada kaum wanita dan meningkatkan harkat dan martabatnya. Tentang otoritas sunnah sebagai syariat Islam ini perlu dijelaskan bahwa ada suatu perbedaan di antara otoritas sunnah dengan al-Quran di masa hidup Nabi Muhammad saw., pertama bahwa di dalam al-Quran lafal dan maknanya merupakan wahyu dari Tuhan.27 Sedangkan sunnah disampaikan oleh Rasul dengan lafal-lafalnya. Karena itu sunnah atau hadits kebanyakan berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat al-Quran terhadap hukum-hukum yang bersifat global untuk diperinci, diperjelas, dan secara teknis memang hukum-hukum itu memerlukan bimbingan dan petunjuk dari Nabi, seperti cara salat, zakat, dan haji. Demikian pula masih adanya pernyataan-pernyataan lafal hukum yang masih bersifat ambigu (musytarak) sehingga diperlukan penjelasan dari sunnah. Berdasarkan konsep di atas, sunnah Nabi, bagi umat Islam adalah salah satu sumber dari dua sumber utama yang ada. Posisinya terhadap al-Quran sangat urgen. Ia menjelaskan apa yang masih mujmal (global), membatasi yang mutlak, dan mengkhususkan yang masih umum. Bahkan memperluas pembahasan hal-hal yang masih ringkas. Banyak ayat menjelaskan urgensitas ini. Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya agar menjelaskan bahwa mematuhi-Nya berarti mutlak harus mengikutinya (QS.4:59). Keimanan seorang muslim tidak diangap sah jika tidak menjadikan Rasulullah saw sebagai pemutus atas berbagai masalah yang dihadapi, kemudian menerima keputusan itu tanpa rasa berat dan terpaksa (QS.4:65). Lebih lanjut al-Quran menjelaskan, siapa yang mematuhi Rasulullah saw berarti telah mentaati Allah SWT (QS.4:80). Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa apapun yang diperintahkan oleh Rasul-Nya, hendaknya dipegang erat-erat dan apa pun yang dilarang olehya sebaiknya ditinggalkan (QS.59:7). 27
233.
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo : Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1975), hlm.
32
Terkait dengan hal ini sebagian ulama menyatakan bahwa sunnah qauliyah (verbal) dalam agama ditempatkan pada tingkatan yang ketiga setelah sunnah fi'liyah (perbuatan), dan al-Quran adalah pada tingkatan pertama. Karena al-Quran kehadirannya dengan jalan yang mutawatir (qat'iyyah al-wurfid), dan secara menyeluruh atau terperinci sumbemya bersifat mutawatir pula (qat'iyyatu ad-daldlah). Berbeda dengan sunnah kehadirannya dengan jalan yang diragukan (zanniy), karena itu sunnah bersifat tidak pasti dalam rinciannya, namun secara menyeluruh bersifat qat'iy Maksudnya secara keseluruhan kehadiran Nabi merupakan kepastian yang harus ditaati. Alasan yang menunjukkan bahwa otoritas al-Quran sebagai sumber pertama dan sunnah sebagai otoritas sumber yang kedua, Abu Rayyah beralasan pada pandangan Al-Syatibiy (w, 790 H.); Pertama, al-Quran kedudukannya merupakan dalil yang qat'iy, sedangkan sunnah kedudukannya merupakan dalil yang bersifat ianniy. Oleh karenanya dalil yang qat'iy harus didahulukan dari pada dalil yang dzanniy28. Kedua, sunnah adalah kedudukannya sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Quran, sedangkan al-Quran sebagai sebuah objek atau yang dijelaskan (mubayyan). Karena itu kitan suci al-Quran kedudukannya ditempatkan pada tempat yang pertama. Sedangkan sunnah Nabi Muhammad saw. kedudukannya sebagai sebuah subjek atau yang menjelaskan (bayan), maka didudukkan pada posisi yang kedua. Alasan logikanya apabila al-Quran sebagai mubayyan itu tidak ada, maka hadits sebagai bayan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada bayan, maka mubayyan tidak hilang; Ketiga, secara tektual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan kedudukan sunnah setelah al-Quran. Seperti hadits yang sangat popular mengenai pengangkatan Mu'az bin Jabal menjadi hakim di Yaman, Nabi berkata: Bagaimana engkau akan memutuskan jika engkau dipaparkan sebuah peradilan? Ia menjawab, aku akan memutuskan dengan Kitab Allah (al28
Istitah qat'iy dan zanniy dalam ilmu ushul fiqh dibedakan atas dua bagian, yakni menyangkut as-subut (kebenaran sumber) dan ad-dalalah (kandungan makna). Al-Quran disepakati bersifat qat'iy as-subut, berarti redaksi ayat-ayat al-Quran yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaun Muslimin diseluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa sedikitpun perbedaan dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. dari Allah melalui malaikat Jibril. Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait : Dar al-Kuwaitiyah, 1968), hlm. 34-35.
33
Quran), lalu beliau bersabda, jika tidak kamu dapati dalam Kitab Allah? Lalu ia menjawab maka dengan sunnah Rasulullah saw, kemudian beliau bersabda lagi jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah? Maka ia menjawab, aku akan berijtihad dengan pandanganku. (HR. Abu Daud) Allah memberi tugas kepada Nabi, sebagaimana dinyatakan dalam alQuran untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia.21 Sekalipun demikian, misi kerasulan Nabi Muhammad saw. bukanlah seperti petugas pos yang hanya mementingkan sampainya surat (barang) ke alamat yang dituju yang pengirim tanpa mengetahui apa isinya. Akan tetapi Rasul juga dibebani kewajiban untuk menjelaskan
maksud
al-Quran
yang
disampaikan
kepadanya
sekaligus
mempraktikkan apa yang terkandung di dalamnya. Dari sini tampak betapa pentingnya sunnah tehadap al-Quran yang mempunyai otoritas strategis bagi pembumian al-Quran, yang oleh Azami, dikategorikan dalam empat otorotas; Pertama, sunnah sebagai pensyarah al-Quran. Sebagaimana ayat al-Quran mewajibkan kaum Muslimin untuk menjalankan shalat yang secara mendetail al-Quran tidak dijelaskan bagaimana cara dan bentuk mengerjakannya, maka tugas Nabi adalah mendemontrasikan praktik shalat beserta ucapanucapannya; Kedua, pembuat hukum (legislator). Allah SWT. secara implisit memberikan justifikasi yuridis terhadap Nabi saw. dalam bertindak sebagai penentu hukum masyarakat. Nabi mengidentifikasikan masalah tertentu yang menantinya dikomentari oleh al-Quran, sebagai praktik komunitas yang disepakati. Seperti praktik azan yang kemudian diakui keberadaannya oleh al-Quran sebagai praktik yang ada; Ketiga teladan untuk masyarakat Muslim. Jika Nabi saw dipandang oleh masyarakat Muslim sebagai teladan, maka mereka harus mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi dalam segala hal, terutama dalam masalah yang diwajibkan oleh Allah; Keempat wajib ditaati oleh masyarakat. Secara eksplisit menyuruh orang Muslim, untuk mentaati Nabi-Nya secara total. Banyak ayat-ayat al-Quran memerujuk secara jelas agar orang-orang Muslim harus mentaati keduanya (Allah dan Rasul-Nya), tanpa boleh memilah-milah. Demikianlah secara jelas alQuran menetapkan kedudukan Nabi dan menguatkan fakta bahwa seluruh kehidupan Nabi, ketetapan, keputusan dan perintahnya adalah mengikat dan harus diteladani dalam setiap kondisi kehidupan orang Islam, baik secara individual atau kolektif sebagai masyarakat Muslim, dan ini semua merupakan otoritas yang diberikan oleh al-Quran.29 29
Muhammad Musthafa al-Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature, (Indiana : Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), hlm. 5-6.
34
B. Fenomena Munkirus Sunnah 1. Pengertian Fenomena Munkirus Sunnah Pemahaman mayoritas umat Islam terhadap sunnah Nabi merupakan petunjuk bagi manusia di dalam menjalankan syariat agama, dan demikian pula kedudukan sunnah merupakan wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad saw., yang wajib diikutinya dan dilarang menentangnya. Namun ada sekelompok kecil umat Islam yang mempunyai pemahaman bahwa wahyu Allah (al-Quran) yang diturunkan kepada manusia sudah cukup menjelaskan seluruh aspek kehidupan, karena itu sunnah Nabi tidak diperlukan sebagai dasar syariat agama Islam. Pemahaman seseorang yang hanya berpegang pada wahyu Allah semata sebagai dasar dalam syariat agama, sering dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar as-sunnah (penentangan sunnah) atau dalam istilah yang kurang populer disebut munkiru as-sunnah (orang yang menentang sunnah).30 Selain berbagai ajaran dan pemahaman yang membuat para iknar sunnah hanya mau beriman kepada al-Quran, dan menerima al-Quran saja sebagai satusatunya kitab sumber syariat, mereka juga mempunyai alasan kenapa menolak Sunnah Rasullah saw, meskipun pengakuan mereka sebetulnya yang mereka tolak adalah hadits-hadits yang di nisbatkan kepada Nabi, sebab hadits-hadits tersebutmenurut mereka-merupakan perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi. Dengan kata lain ; hadits-hadits itu adalah buatan manusia.31 Menurut Ibnu Manzur, kata inkar as-sunnah merupakan dua susunan kata yang diambil dari kata Arab, yaitu kata ingkar dan kata sunnah. Kemudian kata ingkar diartkan al-juhad atau al-kufru (penentangan).32 Oleh karena itu ingkar as-sunnah dimaksudkan adalah, penentangan seseorang terhadap sunnah sebagai sumber ajaran atau hukum selain sumber hukum al-Quran. Sedangkan arti 30
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 14 31 Setidaknya ada sembilan alasan kenapa mereka menolak hadits-hadits Nabi, yaitu : 1) yang dijamin Allah hanya al-Quran, bukan Sunnah; 2) Nabi sendiri melarang penulisan Hadits; 3) Hadits baru dibukukan pada abad kedua hijriyah; 4) Banyak pertentangan antara hadits satu dengan hadits yang lain; 5) Hadits adalah buatan manusia; 6) Hadits bertentangan dengan alQuran; 7) Hadits merupakan saduran dari umat lain; 8) Hadits membuat umat terpecah-belah; 9) Hadits membuat umat Islam mundur dan terbelakang. 32 Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut : Dar Shadir, t.th.), Juz V, hlm. 232.
35
munkir as-sunnah jika merujuk pada pengertian etimologi saja, akan memberikan pengertian umum yakni orang-orang atau golongan tertentu yang ingkar atau mengadakan pengingkaran (penentangan) terhadap as-sunnah secara keseluruhan. Seperti bentuk pengingkaran terhadap as-sunnah, antara lain terjadi pada pemalsuan, fitnah, tidak mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah yang seharusnya ditaati, mempropagandakan as-sunnah bukan sebagai sumber dari Nabi saw. dan lain-lain. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istilah ingkar assunnah, tidak terbatas pada pengertian yang sempit, sebagaimana yang diistilahkan oleh para Muhaditsin dahulu. Namun sudah mengalami pergeseran dari masa ke masa. Ingkar sunnah bisa bergeser pada sebuah gerakan yang sistematis dan terorganisir, yang tujuannya bukan hanya tidak mempercayai hadits sebagai sumber ajaran Islam, tetapi pada figur Muhammad sebagai asal-muasal timbul adanya hadits. Selain istilah ingkar as-sunnah, ternyata ada istilah lain yaitu ingkar alhadits, oleh sebab itu istilah tersebut perlu ditegaskan apakah ada persamaan dan perbedaan antara istilah inkar as-sunnah dengan inkar al-hadits. Untuk sampai pada pemahaman kedua istilah tersebut, terlebih dulu berangkat dari pengertian konsep sunnah dan hadits sebagaimana telah dijelaskan di muka, sehingga setidak-tidaknya akan memberi pemahaman terhadap istilah inkar as-sunnah atau inkar al-hadits. Sebagian besar ulama, terutama ahli hadits menyamakan saja kedua istilah tersebut. Namun beberapa ulama modern memiliki penjelasan tersendiri tentang kedua istilah tersebut. Menurut Rahman, sebagaimana dikutip Abdul Fattah Idris, ada tiga penjelasan tentang kedua istilah sunnah dan hadits yang nantinya dapat digeneralisasikan pada istilah ingkar as-Sunnah dan ingkar alHadits. Pertama, sunnah merupakan "tradisi praktikal" dan hadits "tradisi verbal" yang ada secara bersama dan memiliki subtansi yang sama dan keduanya disandarkan kepada Nabi dengan memperoleh normatifitasnya.33 Jika demikian 33
Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 46.
36
istilah ingkar as-sunnah dan inkar al-hadits tidak ada perbedaan karena keduanya mempunyai subtansi yang sama yakni pengingkaran terhadap produk Nabi baik secara praktikal maupun secara verbal. Kedua, sunnah merupakan living tradition (tradisi yang hidup), yakni berawal dari sunnah ideal yang telah mengalami penafsiarn sehingga menjadi praktik aktual kaum Muslim. Jika demikian penggunaan istilah ingkar sunnah sudah tepat karena pengingkaran terhadap praktik aktual tradisi yang hidup, dari sunnah yang dipraktikkan Nabi dengan segala penafsirannya sampai pada generasi berikutnya (sahabat, tabi`in, dan tabi`in-tabiin). Pengungkapan inkar al-hadits tampaknya tidak pas, karena hadits merupakan sebuah riwayat atau pembicaraan dari praktik aktual Nabi yang dikembangkan oleh generasi berikutnya, yang bisa jadi hadits itu tidak bersumber dari Nabi. Demikian juga yang sering dipelajari dalam ilmu hadits terdapat pengklasifikasian hadits bukan pengklasifikasian sunnah, seperti ada hadits mutawatir, ahad dan da'if.
2. Fenomena Munkirus Sunnah dalam Lintas Sejarah a. Ingkar Sunnah Era Klasik Ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping al-Quran. Tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa ketika zaman Nabi masih hidup, ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Namun demikian ada sementara orang yang kurang memahami otoritas sunnah sebagai hujah dalam ajaran Islam. Bahkan pada masa sahabat ada sebuah riwayat al-Hasan menuturkan, ketika Imran bin Husain w. 52 H. mengajarkan hadits, ada seorang yang minta tidak usah mengajarkan hadits, tetapi cukup al-Quran saja. Kemudian jawab Imran, kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca al-Quran. Maukah kamu mengajarkan salat dan syarat-syaratnva kepadaku? atau zakat dan syarat-syaratnya. Kamu sering absen. Padahal Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat begini-begitu. Terima kasih, saya baru sadar, jawab orang tersebut, lalu kelak dikemudian hari orang tadi menjadi seorang yang ahli fikih.
37
Riwayat di atas yang menyebutkan seorang tidak mewakili pada golongan, tetapi bersifat perorangan saja yaitu pada diri pribadi Imran bin Husain. Tetapi tidak menutup kemungkinan jumlah mereka yang mempunyai pemahaman seperti Imran bin Husain akan semakin bertambah, dan akan meluas ke berbagai daerah bukan saja di daerah Irak sebagai tempat tinggal Imran bin Husain. Apa yang diprediksikan dalam riwayat ini akan menjadi sebuah kenyataan.34 As-siba'i misalnya, dalam bukunya As-Sunnah wa Makanatuha fi atTasyri' menjelaskan bahwa orang yang pertama-tama menyanggah serangan terhadap usaha terhadap pengingkaran hadits ialah as-Syafi'i.35 Dalam kitab al-Um dijelaskan tentang persoalan ini, yang menceritakan perdebatan antara as-Syafi'i dengan orang-orang yang mengingkari sunnah. Dalam dialog antara mereka, asSyafi'i menyimpulkan bahwa mereka terbagi menjadi tiga golongan, yakni: (1) golongan yang menolak seluruh sunnah, (2) golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Quran; dan (3) golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad.36 Di samping itu ada pula golongan yang mengingkari sunnah yang tidak mutawatir saja, 37 Senada pula dengan pandangan sementara orang-orang orientalis Barat misalnya Schacht, dinyatakan Fazlur Rahman bahwa pengingkar hadits moderat adalah kelompokkelompok yang menolak validitas khabar al-khasah (Hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat), dan Schacht juga menyebut golongan tersebut sebagai mazhab fikih klasik. Adapun golongan ingkar sunnah, golongan ini cukup banyak mengemukakan argumentasi, baik oleh golongan yang hidup di zaman Imam asSyafi`i maupun sesudahnya. Dan berbagai argumentasi yang banyak jumlahnya itu, ada yang bersifat argumentasi normatif (al-Quran dan Hadits) dan ada pula argumen yang bersifat penalaran (logical statement). 34
Muhammad Musthafa al-Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature, (Indiana : Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), hlm. 41 35 Mustafa As-Siba`i, As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasri`, (al-Dar al-Qaumiyah li alTaba`ah wa al-Nasyr, t.th), hlm. 128. 36 Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi`i, Al-Um, (Bairut : Dar Al-Fikri, 1983), hlm. 283. 37 Muhammad Muhammad Abu Zahuw, al-Hadits wa al-Muhadtisun, (Mesir : Dar alFikr, t.th), hlm. 25.
38
1) Pertama: Argumen normatif (naqil) Argumen normatif sering dipahami sebagai dalil untuk menguatkan dalam sebuah pendapat atau disebut dalil naqli yakni, argumen yang diambil dari ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi. Hal ini sangat ironis bahwa bagi orang-orang yang berpaham ingkar sunnah temyata juga mengemukkan argumentasi dari sunnah sebagai argumen membela pahamnya. Cukup banyak argumen yang diajukannya, baik dari al-Quran maupun hadits. a) Argumen dari Al-Quran antara lain ialah: (1) Al-Quran Surat al-Nahl: 89 berbunyi : “Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (2) Al-Quran Surat al-An'am, 38 berbunyi: “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun dalam Al- Kitab. . Kedua ayat tersebut di atas merupakan argumentasi yang dikemukakan para pengingkar sunnah. Mereka memahami dua ayat tersebut bahwa al-Quran telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya ketentuan lain seperti misalnya sunnah. b) Argumen dari Hadits Nabi Pengingkar sunnah mengemukakan argumen sebuah hadits, antara lain yang disampaikan Abu Zahuw (U,: 21) berbunyi: “Apa yang datang kepadamu dari saya, maka kofirmasikanlah dengan al-Quran; Jika sesuai dengan al-Quran, maka hal itu berarti saya telah mengatakan; Dan pica ternyata menyalahi al-Quran, maka hal itu bukanlah saya yang mengatakannya. Dan sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan al-Quran dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya”. Menurut para pengingkar sunnah, bahwa berdasarkan riwayat hadits tersebut seharusnya yang menjadi pegangan dasar dalam agama, bukanlah berpegang pada hadits Nabi, melainkan berpegang pada al-Quran saja, karena hadits atau sunnah tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran Islam. Argumentasi normatif selain dan ayat-ayat al-Quran di atas, para
39
pengingkar sunnah mengemukakan ayat-ayat lain, sebagai berikut: (1) Dalam Surat Fathir, 31: “Dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (al-Quran) Itulah yang benar”. (2) Dalam Surat Yunus, 36: “Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”. Pandangan para pengingkar sunnah, dua ayat al-Quran di atas menjelaskan secara tegas bahwa a1-Quran merupakan sumber hukum yang bersifat qat'iy (pasti), sedangkan sunnah pada umumnya merupakan sumber hukum yang bersifat zanniy (sangkaan) dan hanya sedikit saja yang berstatus qat'iy. Kalau agama didasarkan kepada sesuatu yang qath'i, maka berarti agama berdiri di atas dasar yang tidak pasti. Hal itu tidak boleh terjadi. Karenanva hadits atau sunnah bukanlah sumber ajaran Islam. Sumber ajaran Islam haruslah yang berstatus qat'iy (pasti) saja, yakni al-Quran.38 Abu Zahuw, menjelaskan bahwa pengingkar sunnah dalam menolak hadits atau sunnah sebagai sumber hukum, terbelah menjadi dua kelompok; Pertama orang-orang yang menolak sunnah secara keseluruhannya baik sunnah yang berstatus sunnah nutawatir yakni, sunnah yang berstatus qat'iy, maupun sunnah ahad yakni, hadits Karena sunnah ahad mempunyai perawi yang tercela yakni tidak bisa terpelihara yang berstatus zanniy, dan; Kedua orang-orang yang menolak hadits ahad saja. dari segi kebohongan, kesalahan dan unsur kelupaan.39
b. Ingkar Sunnah Era Modem Tokoh-tokoh Ingkar Sunnah pada zaman modern yang terkenal adalah Taufiq Sidqi, Gulam Ahmad Parvez, Rasyad Khalifah, dan Kassim Ahmad. Taufiq Sidqi berasalal dari Mesir. Menurut Taufiq Sidqi bahwa sumber ajara 38
Muhammad Musthafa al-Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature, Terjemahan Ahmad Mustafa Ya`qub, (Indiana : Islamic Teaching Center Indianapolis, 1994), hlm. 52 39 Muhammad Muhammad Abu Zahuw, al-Hadits wa al-Muhadtisun, (Mesir : Dar alFikr, t.th), hlm. 21
40
Islam hanyalah satu, yaitu Al-Quran. Gulam Ahmad Parvez adalah orang yang berasal dan India dan lahir di sana pada tahun 1920. Gulam Ahmad Parvez merupakan pengagum dan pengikut setia ajaran Taufiq Sidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah bahwa tata cara salat hanya tergantung kepada para pemimpin umat. Pemimpin umat yang berhak menentukannya dengan cara musyawarah dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Menurut Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kritik Hadits sebagaimana disitir Abdul Fattah Idris bahwa Sayyid Rasyid Rida tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan Rasyid Rida berpendapat haditshadits yang sampai pada saat ini dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat salat, puasa dan lain-lain harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum. Tetapi hadits-hadits yang periwayatannya tidak mutawatir, hal itu disebut aturan agama secara khusus yang tidak wajib menerimanya.40 Namun ketika usia telah mencapai senja akhirnya Rasyid Rida telah menarik pandangannya bahkan dikenal sebagai seseorang yang gigih membela hadits. As-Syiba'i dalam bukunya as-Sunnah wa Makinatuha fi at-Tasyri' alIslami menuturkan; Pada awalnya Rasyid Rida terpengaruh dengan pemikiran gurunya, Syeih Muhammad Abduh. Pandangannya sama dengan gurunya yang mempunyai perbendaharaan masalah hadits tidak banyak mengetahuinya. Tetapi setelah sepeninggal gurunya, di mana Rasyid Rida menerima tongkat estafet pembaruan (mujaddid), maka dengan kegigihannya banyak memperdalam ilmu fikih, ilmu hadits dan lainnya, sehingga menjadi tempat bertanya umat Islam. Karena dengan semakin mendalamnya ilmu pengetahuan tentang hadits, akhirnya dia menjadi seorang pengibar panji-panji sunnah di negerinya (Mesir). Karena bertubi-tuibinya kritikan dari as-Syiba'i terhadap pandangan Abu Rayyah, maka dia berobsesi: "Seandainya Rasyid Rida masih hidup ketika kitab Abu Ryyah (Adwa Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah) itu diterbitkan pastilah dia menjadi orang yang pertama kali menghancurkan pemikiran-pemikiran Abu Rayyah.41 40
Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 47. 41 Mustafa As-Siba`i, As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasri`, (al-Dar al-Qaumiyah li alTaba`ah wa al-Nasyr, t.th), hlm. 37
41
Sedang Rasyad Khalifah (w. 1920 M.) adalah seorang yang berasal dari Mesir dan menetap di Amerika Serikat. Rasyad Khalifah berpendapat bahwa hadits-hadits hanyalah perilaku Iblis yang dibisikkan kepada Nabi Muhammad saw. Adapun Kassim Ahmad, berasal dari Malaysia dan dengan tegas mengatakan pengagum utama Rasyad Khalifah. Dalam bukunya "Hadits Sebagai Suatu Penilaian" terdapat berbagai hujatan terhadap hadits-hadits Nabi. Dengan buku tersebut, Kassim Khalifah berusaha mengajak Ummat Islam untuk meninggalkan hadits-hadits dan mencukupkan diri dengan al-Quran. Bahkan Kassim Khalifah menuduh bahwa haditslah menjadi sebab utama kemunduran Islam. Pada ronde berikutnya Ahmad Amin (w.1954 M.), dalam bukunya Fajru al-Islam mengkritik tentang para perawi (sanad) dan kandungan (matan) hadits. Seperti kritik sanad terutama kedudukan keadilan para sahabat setelah terjadinya fitnah karena pergolakan politik. Sementara bagi para pembela sunnah berpandangan bahwa terhadap para sahabat tidak boleh tersentuh kritikan kecacadannya (tajrih), karena para sahabat adalah orang-orang yang adil. Menurut Ahmad Amin, bahwa kritik terhadap para sahabat telah terjadi di antara para pengrikit hadits, baik sebelum dan sesudah Nabi wafat. Mengapa kritikan tidak boleh ditujukan kepada para sahabat, pada hal jarh wa at-ta'dil sudah dibicarakan sejak masa sahabat itu sendiri. Sekalipun Ahmad Amin sendiri mengakui hadits mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama setelah alQuran, bagi siapapun yang yang mengkritisi hadits yang bertentangan dengan pandangan para "muhaditsin", dan meragukan "hadits" baginya dicap sebagai orang yang termasuk ingkar sunnah.42 Senada dengan pandangan Ahmad Amin, adalah Abu Rayah (w.1968 M.), sekalipun tidak dikatakan sebagai seorang pengingkar sunnah secara terangterangan, namun membuat kritis terhadap sebagian hadits. Misalnya Abu Rayah menyatakan hadits-hadits maknawi bukan bersumber dari Nabi dan merupakan penyebab terjadinya perpecahan umat Islam sampai sekarang.43 42
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo : Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1975), hlm. 208. Lihat juga halaman 219. 43 Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 48
42
3. Bentuk/Ragam Fenomena Munkirus Sunnah a. Fenomena Munkirus Sunnah di Barat Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam, para sarjana Barat tersebut dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh manakah hadits-hadits atau riwayat-riwayat tentang Nabi Muhammad saw. dan generasi Islam pertama dapat dipercaya secara historis. Pada fase awal kesarjanaan Barat, para sarjana Barat menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadits dan riwayat-riwayat tentang Nabi Muhammad saw. dan generasi awal Islam. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas, skeptisisme tentang otentisitas sumber otoritas Islam tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang issu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptif. Menurut Abdul Fattah Idris, kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook, dan Nnormal Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya-karya sarjana Barat.44 Akan tetapi,tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau ‘mazhab’skeptis. Sarjana seperti Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, simpulan dan metodologi para kelompok skeptis. Orangorang ini dapat digolongkan sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terakhir. Singkatnya, diskursus hadits di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria), Joseph Scacht (Austria), G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Di mata Orientalis, kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibnu al-Salah (pendekar ulumul hadits Muslim) atau Ibnu Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G.H.A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Sakir, al-Albani, dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) meskipun telah wafat, tetapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhab skeptis di Barat. Di masa Goldziher 44
Abdul Fatah Idris, Hadits-Hadits Prediktif dan Teknis, Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. kata pengantar
43
dan Schacht, mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis atau inkar terhadap literatur Islam, termasuk hadits (munkirus Sunnah). Diskursus masa awal Islam (abad pertama/kedua hijriyah) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama/kedua hijriyah) hanyalah persepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari srkedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri. Beberapa dekade terakhir madhab skeptis yang telah mapan di Barat tidak lagi satu-satunya trend yang mendominasi diskursus studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang dikomando oleh orientalis sekaliber Motzki, Fuec, dan Scheoler, turut meramaikan diskursus masa awal Islam. Lewat metodologi yang dikembangkannya, kelompok ini melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama kedua hijriyah. Sarjana Muslim Fuat Sezgin, sarjana berkebangsaan Turki dan Muhammad Azmi telah terlibat diskursus hadits di Barat, namun tradisi pengaruhnya terasa sangat marginal di Barat. Dalam studi yang cukup serius, Sezgin dan Azmi berkesimpulan bahwa proses transmisi hadits Nabi Muhammad saw. dimulai sejak masa sahabat sampai masa pengumpulan hadits pada pertengahan abad ketiga hijriyah. Dengan kata lain, literatur hadits yang diwarisi dari pertengahan abad ketiga adalah hasil dari periwayatan tertulis dari masa sahabat, sehingga kualitas historisnya terjamin tanpa keraguan. Simpulan Sezgin dan Azmi dikukung oleh Abbott. Sumber atau litertaur pada abad ketiga untuk merekontruksi peristiwa abad pertama. Dan metode yang digunakan adalah metode penyandaran atau isnad. Oleh para Orientalis, argumen-argumen yang diajukan dianggap circular. Terlepas dari simpulan sarjana Barat terhadap kualitas hadits yang sering kurang simpatik di mata orang Islam, mempelajari metodologi sarjana Barat tersebut sangat efektif dari perspektif akademis.
Karena tidak hanya
mengapresiasi literatur Islam, tapi juga menunjukkan kelemahannya yang dapat
44
membuka mata umat Islam. Sejauh pengamatan yang dilakukan Muh. Dailamy,45 metodologi ini kurang diakses, untuk tidak mengatakan, sama sekali jarang tersentuh oleh para penstudi di tanah air. Dunia Islampun gagal mengikuti metodologi ini. Sarjana Islam mungkin trauma oleh ide-ide Goldziher dan Joseph Schacht, sehingga sarjana Islam apriori terhadap metodologi yang dikembangkan di Barat. Padahal, diskursus hadits di Barat berkembang sangat dinamis. b. Fenomena Munkirus Sunnah dalam Organisasi 1) Jaringan Inkarus Sunnah Ircham Sutanto Beberapa literatur ditemukan, kelompok-kelompok dalam Islam baik secara terang-terangan maupun sembunyi dikategorikan sebagai kelompok Inkar al-Sunnah. Misalnya golongan khawarij yang menolak hadits yang di riwayatkan oleh aktor intelektual dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa arbitrase. Demikian juga dengan kelompok mu’tazilah hanya mengingkari sunnah yang tidak memenuhi derajat mutawatir saja. Sebagian syi’ah juga telah mengingkari sebagian sunnah yang tidak di riwayatkan melalui golongan ahl al-bait, demikian juga Muhammad Abduh, Taufiq Sidqi, dan Risyid Rida yang disinyalir juga penganut paham inkar al-Sunnah. Sementara di anak benua India muncul kelompok yang mengklaim diri sendiri sebagai ahl al-Quran yang dikomandoi oleh Ghulam Ahmad Ponvez, yang mengingkari hadits secara keseluruhan. Sementara itu untuk Indonesia juga telah terlihat paham ini yang muncul di Jakarta dan sempat memasuki wilayah Sumatera Barat dengan nama paham Islam Quran, yang dipimpin oleh Abdul Rahman, Ircham Sutarto, dan Husni Nasution. Paham ini telah di organisir sedemikian rupa dengan taktik dan strategi yang telah diinventarisasi dan diformulasikan secara rapi. Di antara upaya tersebut adalah : a) Memanfaatkan media cetak, melalui buku-buku bacaan yang memuat pokok-pokok doktrin dan ajaran mereka, seperti buku Tauhid dan logika alQuran tentang manusia dan masyarakat. 45
Muh.Dailamy, adalah Guru Besar Ilmu Hadits pada STAIN Purwokerto, sekarang menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Kendal. Beliau menekankan pentingnya mempelajari hadits dan bagi yang sudah memiliki keahlian diharuskan mengkaji penelitian tentang hadits baik perkembangan penelitian hadits di Barat atau di Indonesia atau Timur Tengah.
45
b) Melalui media elektronik dalam bentuk rekaman kaset-kaset. c) Melalui ceramah-ceramah dan pengajian yang dilaksanakan di masjid-masjid dan mushalla atau pengajian dalam bentuk arisan secara bergantian dari rumah ke rumah. d) Melalui tenaga pengajar, seperti da’i dan khatib, sebagai orator yang diharapkan mampu menghipnotis para audiensnya.46 Mendukung eksistensi kelompok ini para pembesarnya telah meletakkan sendi-sendi dan dasar doktrinnya, di antaranya : a) Taat kepada Allah berarti taat kepada Rasulullah, al-Quran adalah satu-satunya dasar ajaran Islam. Setiap orang yang memahami sumber lain selain al-Quran akan menimbulkan kekafiran dan kemusyrikan bagi orang tersebut. b) Tugas Rasulullah hanya menyampaikan al-Quran (wahyu) kepada manusia dan tidak punya otoritas untuk menerangkannya. Dan Nabi Muhammad saw. kapasitasnya sebagai nabi hanya tatkala menerima wahyu itu saja, di luar itu sebagai manusia biasa. c) Kitab-kitab hadits karya ulama abad II H tidak bisa dijadikan dasar, karena bersumber dari kebohongan yang kemudian dijustifikasikan dengan cara dibaku berasal dari nabi.47 Di antara argumentasi yang diajukan kelompok ini sebagai berikut : a) Wajib mentaati Allah dan kerasulan Nabi. Sementara kerasulan Nabi itu hanya ketika Nabi menerima wahyu saja, sementara di luar atau setelah itu tidak ada lagi kewajiban mentaatinya karena kepastiannya bukan lagi sebagai Rasul. b) Hadits yang dibaku datang dari Nabi adalah bohong, karena antara satu hadits dengan hadits yang lainnya banyak yang saling bertentangan, bahkan ada hadits yang bertentangan dengan al-Quran. c) Semua yang datang dari selain al-Quran adalah hawa termasuk hadits. Untuk itu tidak bisa dipakai sebagai hujjah. d) Jika al-Quran masih memerlukan penjelasan itu berarti sama dengan al-Quran membohongi statemennya sendiri, yang telah diturunkan secara rinci.
46
Abdul Aziz, dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 167-179 47 Abdul Aziz, dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 167-179
46
e) Rasul tidak punya otoritas sedikitpun dalam urusan agama, berdasarkan surat Ali Imran ayat 128 yang artinya; “tidak ada wewenang (hak) bagi kami tentang urusan (perintah) sedikitpun”.48 Paham ini dengan berbagai doktrinnya telah menimbulkan keresahan dalam komunitas masyarakat muslim di Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia demi keamanan, ketenangan dan kemaslahatan komunitas masyarakat muslim Indonesia merasa perlu mengambil kebijakan untuk menghapus gerakan ini. Berdasarkan keputusan jaksa agung RI nomor. 169/J.A/1983 yang ditandatangani oleh Ismail Saleh, (sebagai Kejagung), telah mengeluarkan keputusan untuk melarang penyebaran paham ini, termasuk pengedaran buku-buku, brosurbrosur dan lembaran-lembaran yang memuat doktrin dan ajaran tersebut.
2) Jamiah Ahmadiyah Indonesia Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 M atau 1306 H di India. Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa Mirsa Ghulam Ahmad (MGA) adalah seorang Nabi sedang Ahmadiyah Lahore berpendapat MGA sebagai Mujaddid (pembaharu).49 Pecahnya Ahmadiyah dalam kelompok ini berawal dari keyakinan Bashiruddin Ahmad (BMA), khalifah kedua Ahmadiyah, terutama berkaitan dengan: (1) Bahwa pendiri Ahmadiyah adalah betul-betul Nabi, (2) bahwa MGA adalah Ahmad yang diramalkan dalam al-Quran surat As-Shaf ayat 6, dan (3) bahwa semua orang Islam yang tidak bai`at kepada MGA adalah kafir dan berada di luar agama Islam. Pernyataan BMA tersebut menyebabkan aliran Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan. Golongan pertama dipimpin oleh BMA yang berpusat di Qadian (sekarang Rabwah) yang lebih dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Sedangkan golongan kedua dipimpin oleh Maulana Ahmad Ali (MAA), yang lebih dikenal dengan Ahmadiyah Lahore. 48
Abdul Aziz, dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 167-179 49 Machasin, Jemaat dan Gerakan Ahmadiyah dalam Abu Hamid, dkk, Mengenai Ajaran Beberapa Aliran Islam di Indonesia, (Surakarta : UMS, 1995), hlm. 55
47
Gerakan Ahmadiyah masuk di negara Indonesia pada tahun 1925 dan terbentuk menjadi dua organisasi. Pertama, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai pengikut Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Yogyakarta. GAI tidak pernah bermasalah dengan umat Islam pada umumnya, dan tidak terindikasi sebagai gerakan atau aliran yang munkirus Sunnah. Kedua, adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Organisasi ini merupakan pengikut Ahmadiyah Qadian yang berpusat di Jakarta dengan Amir (pimpinan) Abdul Basit. JAI merupakan cabang Ahamadiyah yang berpusat di London, Inggris. JAI terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor : JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri Nomor : 75/D.1/VI/2003 tanggal 5 Juni 2003.50 JAI sering terlibat konflik agama dengan masyarakat terutama dengan golongan Nahdhiyin, disebabkan banyak ajaranya yang menyimpang dari syariat Islam. JAI dikategorikan sebagai golongan yang munkirus Sunnah. Persoalan JAI sebagai aliran sesat dan munkirus Sunnah sebenarnya adalah persoalan lama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa Buya Hamka tahun 1980 sudah mengeluarkan fatwa bahwa JAI adalah aliran sesat dan menyesatkan. Demikian juga tahun 2005 MUI kembali menegaskan bahwa JAI adalah aliran yang keluar/bukan bagian dari Islam. Berdasarkan rapat evaluasi yang dilakukan pada tanggal 16 April 2008 oleh Tim Pemantau Ahmadiyah yang dibentuk pemerintah terhadap pergerakan dan aktivitas JAI yang diketuai Kepala Badan Litbang, menyatakan bahwa JAI terbukti masih mengakui adanya nabi lain selain Nabi Muhammad, tidak mengakui nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, mengesampingkan kedudukan al-Quran dan Sunnah Nabi, tadzkirah sebagai kitab suci di atas al-Quran dan hadits, serta masih menganggap kafir orang Islam di luar Ahmadiyah yang tidak sepaham dengannya baik perkataan dan perbuatan. Apabila disimak dari ajaran JAI di atas, sangat jelas bahwa JAI merupakan aliran yang munkirus Sunnah. Simpulan tersebut bersumber dari ajarannya yang menyimpang yakni pengakuan nabi selain nabi Muhammad saw 50
M. Mukhsin Jamil, Agama-agama Baru di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 67.
48
dan adanya legimitasi kedudukan tadzkirah sebagai kitab yang lebih unggul dari al-Quran dan hadits. Beberapa kegiatan dakwah dan pengamalan agama JAI lebih cenderung meningalkan hadits sebagai sumber hukum Islam dan lebih memilih tadzkirah sebagai pedoman dan landasan peribadatan mereka. Meskipun demikian, pemerintah dalam upaya menangani Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bersifat mengadakan pembinaan agar sesuai dengan syariat Islam.Langkah nyata pemerintah adalah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang tidak membubarkan Ahamadiyah dan tidak melarang eksistensi Ahmadiyah, melainkan melarang anggota atau pengurus Ahamadiyah
agar
menghentikan
penyebaran
ajaran
yang
menyimpang
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Menurut Menteri Agama RI, H. Maftuh Basuni, pemerintah meluruskan apa-apa yang bengkok, khususnya tentang keyakinan akan adanya Nabi lain setelah Nabi Muhammad saw. dan menempatkan kedudukan kitab atau ajaran lain di atas al-Quran dan hadits sebagai sumber utama syariat Islam.51
2) Syiah Quraish Shihab, membagi Syiah menjadi empat golongan besar yaitu Zaidiyah, Ismailiyah, Isna `Asyarirah, Ghulat (ekstremis). Munculnya berbagai golongan Syiah disebabkan karena perbedaan prinsip keyakinan dan perbedaan dalam pergantian Imam, yaitu sesudah al-Husein, Imam ketiga, sesudah Ali Zaenal Abidin, imam keempat dan sesudah Ja`far Sadiq, Imam keenam.52 Menurut Jalaluddin Rakhmat (tokoh Syiah Indonesia yang bermukim di Bandung) sebagaimana dilansir dari Viva News, perkembangan Syiah di Indonesia dimulai dari masuknya Syiah sejak masa awal masuknya Islam di Indonesia melalui orang-orang Persia yang tinggal di Gujarat. Saat itu pemeluk Syiah masih sembunyi-sembunyi (takiyah), namun setelah revolusi Islam di Iran meletus penyebaran Syiah di Indonesia berjalan normal. 51
M. Atho Mudzhar, Kebebasan Beragama dan Beribadah di Indonesia, dalam Jurnal Harmoni, Volume VII, Nomor 25, Januari-Maret 2008, hlm. 27. 52 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Tangerang : Lentera Hati, 2007), hlm. 66
49
Masuknya Syiah di Indonesia memperoleh tanggapan negatif dari umat Islam Indonesia. Hal ini disebabkan adanya dominasi kuat kelompok di luar Syiah di Indonesia yang bersumber dari Arab Saudi melalui lembaga-lembaga bentukan pemerintah sebagai upaya menangkal perkembangan Syiah. Upaya tersebut berupa menyebarkan buku-buku yang berisi informasi tentang Syiah yang bernada negatif atau menunjukkan sikap penolakan terhadap Syiah. Terlepas dari sumber di atas, paham Syiah sesuai dengan Qonun Asasinya memang sangat mencintai ahlul bait, yaitu keluarga Nabi Muhammad saw, seperti Fatimah, Sayidina Ali bin Abi Tholib, cucu nabi Hasan dan Husein dan seterusnya.53 Akibat kecintaan yang ekstrim tersebut yang didukung dengan sikap apatis terhadap golongan lain dari umat Islam (kelompok umayah dalam sejarahnya), membuat paham Syiah tidak mempercayai sumber-sumber Hadits yang diriwayatkan oleh selain ahlul bait. Akibatnya, mereka lebih memilih fatwa dari imam-imam mereka dari pada merujuk hadits yang diriwayatkan bukan dari ahlul bait. Fenomena munkirus Sunnah tersebut di Indonesia, membuat gerah MUI, sehingga pada tahun 1984, melalui surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 yang ditandatangani Prof. K.H. Ibrahim Hosen, merekomendasikan faham Syiah sebagai berikut : “Faham Syiah sebagai salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlu Sunnah Wal Jama`ah) yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Perbedaan tersebut yaitu : a) Syiah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait; b) Syiah memandang Imam itu ma`sum (orang suci); c) Syiah tidak mengakui Ijma tanpa adanya Imam; d) Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan atau pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama; dan e) Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibnu Khattab, dan Usman bin Affan”.54 Meskipun peneliti sependapat bahwa tidak semua Syiah adalah munkirus Sunnah, namun berbagai konflik yang sering muncul di beberapa daerah di 53
Murtadha Muthahhari, Kupas Tuntas Fitrah, (Yogyakarta : P.T. Pustaka Nun, 2009),
hlm. iii. 54
Azyumardi Azra, Syiah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Muh. Hasim, Syiah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia, Jurnal Harmoni, Vol. 11 No. 3, Oktober-Desember 2012, hlm. 30..
50
Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat melihat dengan mata kepalanya sendiri terhadap perilaku, paham, dan peribadatan yang dilakukan pemeluk Syiah berbeda tajam dengan paham sunni, salah satunya adalah munkirus Sunnah yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait. Nampaknya perseturuan abadi dalam lintas sejarah umat Islam antara Syi`i dan Sunni perlu dihentikan, dan dicari solusi alternatifnya. IAIN Walisongo Semarang sangat ditunggu peran aktifnya dengan memasukkan pemikiranpemikiran tokoh Syiah seperti Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba`i, Ali Syari`ati, Ayatullah Khumaeni, Sayid Murtadha Muthahhari, Laleh Bahtiar, Mulla Sadra, dan pemikir-pemikir Syiah terkemuka lainnya termasuk Jalaluddin Rakhmat dalam diskusi kelas agar tercipta pemahaman yang utuh dan benar tentang paham Syiah yang menyejukkan perasaan umat Islam lainnya (Sunni). Bukan paham Syiah yang munkirus Sunnah.
c. Fenomena Munkirus Sunnah dalam Kanvas Peradaban Dunia Pengaruh era post modern yang memunculkan konsep negara modern di belahan bumi Eropa yang secara berkelindan memunculkan konsep hukum modern yang pada akhirnya juga merambah negara-negara Muslim. Negaranegara Barat turut ambil bagian dalam proses perubahan hukum tersebut, baik melalui pemberian inspirasi tekanan atau bahkan memaksa negara-negara Muslim untuk mengubah hukumnya. Sementara itu, sejumlah gerakan sekuler, sebagaimana diungkapkan Madjid, tidak hanya mendorong saja tetapi juga memfasilitasi pembelokan hukum dan logikanya dari pendapat ahli hukum Islam yang bersumber dari dalil-dalil al-Quran atau hadits (sunnah).55 Realitas demikian menunjukkan indikasi munkirul Quran dan juga terhadap hadits. Ditambah lagi, kesarjanaan hukum Islam (menjadi) hanya terbatas, sering pula terpojokkan, pada masalah-masalah ritual, ibadah, dan spiritualitas. Kedudukan al-Quran dan sunnah (hadits) sebagai sumber hukum Islam telah kehilangan otoritasnya dalam bidang hukum lain. 55
hlm. 27.
Nurcholish Madjid, Islam Dialog Antar Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2009),
51
Munculnya
gerakan-gerakan
liberal
dalam
menafsirkan
dan
mengimplementasikan Sunnah Nabi sebagi syariat Islam seperti pimpinan Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla, dan sebagainya dalam Islam mempertanyakan relevansi dan penerapan Sunnah dalam kerangka Syariah dari berbagai perspektif. Gerakan ini sering menuntut adanya pembedaan yang tegas antara Arabisme (tempat dan budaya munculnya Sunnah) dan Islam. Bagi kelompok imi, Arab tidak selamanya sama dengan Islam. Demikian pula sebaliknya Islam tidak sama dengan Arab. Bagi kelompok ini, menerapkan Islam sama persis dengan cara-cara yang ditempuh Nabi Muhammad saw. (Sunnah) adalah tidak realistis dan utopis. Harus dikritisi kapan dan bagaimana Nabi Muhammad saw. bertindak sebagai orang Arab atau Islam. Pemikir-pemikir
gerakan
Islam
liberal
ini
merupakan
jaringan
internasional dan pemikiran mereka telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di antara tokoh Islam liberal tersebut adalah Muhammad Taufiq Shidqi (Al-Islam Huwa Al-Qur`an Wahdah), Ismail Adham (Mesir, 1911 M, Doktor lulusan Universitas Moskow), Mahmud Abu Rayyah (tahun 1942 M), Rasyad Khalifah (Doktor teknik pertanian lulusan California University, tahun 1957 M w. 1989), pernyataannya yang kontroversial adalah bahwa sunnah Nabi berasal dari setan, ayat-ayat al-Quran yang tidak bisa tunduk pada teori ilmiah adalah ayat setan, para ulama kaum muslimin adalah paganis, Imam Al-Bukhari kafir, mempercayai hadits sama saja dengan mempercayai iblis, dia menerima wahyu dari Allah sejak umur empat puluh tahun, Sunnah adalah penyebab runtuhnya Daulah Islamiyah, dan sebagainya. Barangkali tokoh ingkar sunnah yang masih ada di masa sekarang, yaitu Ahmad Subhi Manshur (al-Azhar) yang menulis buku berjudul “Al-Qur`an wa Kafa Mashdaran li At-Tasyri’ Al-Islamiy,” (Cukup al-Quran Sebagai Sumber Syariat Islam) yang isinya bisa dikatakan sebagai gambaran komplit paham dan pemikiran ingkar sunnah sejati. Selain yang telah kami sebutkan, di Mesir juga masih terdapat sejumlah tokoh ingkar sunnah yang lain. Misalnya; Thaha Husain, Faraj Faudah, Sayyid Muhammad Al-Kailani, Ali Abdurraziq, Muhammad AdDamanhuri, Said Al-Asymawi, Muhammad Ahmad Khalafallah, Jamal Al-Banna,
52
Qasim Amin, Ahmad Amin, Nashr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, dan lain-lain. Meskipun mungkin orang-orang tidak mengenalnya secara mutlak sebagai ingkar sunnah. Akan tetapi, dari buku-buku dan sejumlah pendapatnya, sejatinya mereka adalah orang-orang ingkar sunnah. Di Libia tidak sesemarak di Mesir. Di Libia gerakan ingkar sunnah erat kaitannya dengan peran Presiden Moammar Gadafi. Gadafi mempunyai slogan resmi
kenegaraan
“Al-Qur`an
Syari’atul
Mujtama’”
(Al-Quran
Syariat
Masyarakat). Bahkan, dia mempunyai sebuah kitab yang dia beri nama “Al-Kitab Al-Akhdhar” (Kitab Hijau) yang dianggap sebagai kitab pengganti al-Quran dan Sunnah Nabi. Tokoh ingkar Sunnah di Libia yang terdepan, yaitu Musthafa Kamal Al-Mahdawi, mantan hakim agung di Mahkamah Libia (penulis buku berjudul “Al-Bayan bi Al-Qur`an”, yang dianggap orang-orang ingkar sunnah di Mesir dan Libia sebagai kitab pengganti sunnahnya kaum muslimin). Muhammad Syahrur juga dapat dikategorikan sebagai ingkar sunnah. Di antara pendapatnya: 1) Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah ummiy, tetapi bisa membaca dan menulis. 2) Yang dimaksud dengan “attartil” dalam firman Allah “Wa rattilil Qur`ana tartiila” adalah mengumpulkan ayatayat Al-Qur`an yang mencakup satu tema tertentu yang tersebar dalam berbagai surat dan ayat Al-Qur`an. 3) Laki-laki yang mau poligami, hendaklah isteri keduanya seorang janda yang sudah mempunyai anak. Dan, laki-laki tersebut harus menanggung beban anak si janda. 4) Bagian laki-laki dan perempuan sama dalam masalah warisan. 5) Kepala, perut, punggung, dua kaki, dan dua tangan tidak termasuk aurat perempuan, karena itu adalah perhiasan yang boleh diperlihatkan. 6) Yang termasuk aurat perempuan yaitu; belahan payudara, bagian bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan dua selangkangan. 7) Anak perempuan dewasa yang telanjang di depan bapaknya bukan haram hukumnya, melainkan sekadar tidak etis. 8) Menutup wajah bagi perempuan adalah keluar dari hukum Allah. Perkembangan jaringan ingkar sunnah internasional cukup luar biasa, dan telah menggunakan penerbitan buku dan internet sebagai upaya menyebarkan misinya. Karena itu akses untuk membuka karya-karyanya cukup mudah, lebih-
53
lebih karyakarya kelompok ini bisa diakses dengan gratis. Tidak menutup kemungkinan wacana yang dikembangkan Kyai Hambali sebagai tokoh sentral penelitian ini terkait dengan karya-karya mereka, meskipun ia tidak menyebutkan secara langsung. Tokoh-tokoh ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain: Abdul Rahman, Moch Irham, Sutarto, dan Lukman Saad. Karena beberapa peristiwa yang dianggap meresahkan masyarakat, pernah keluar surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/j, A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran ingkar sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.56 Liberalisme dapat di intrepretasikan beranekaragam, baik yang bernada positif maupun yang bernada negatif. Walaupun demikian apapun tafsirannya tidak dapat dipungkiri bahwa istilah tersebut merupakan fenomena yang penting dan menarik untuk di kaji. Istilah liberalisme merupakan kreasi barat sehingga oleh sebagian kalangan di anggap tidak otentik atau sekalipun benar tidak dapat di terima, hal ini tidak terlepas dari kesalahan barat dalam memahami Islam yang pada awalnya menganggap Islam sebagai agama yang paling primitif. Istilah liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam, karena diposisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang sangat membuat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya analisis terhadap Islam liberal umumnya di hubungkan dengan liberalisme Barat, akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislamannya keagamaan dengan liberalisme Barat dapat dihindari. Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik signifikasinya dalam mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan konserfatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur kita akui bahwa meski sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti 56
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol. 2, hlm. 226
54
dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender serta istimbat hukum Islam yang melibatkan penafsiran terhadap al-Quran dan sunnah. Karena paradigma berfikir umat Islam terutama pada kalangan pemikirnya (cendekiawan muslim) belum memadai, akibatnya hasil dari pemikiran tersebut dalam merespon persoalan publik terkesan dangkal, tidak utuh dan parsial. Karena itu Islam Liberal sering dituduh sebagai golongan yang munkirus sunah. Kasus perseturuan Adiani dengan Nurcholish yang akhirnya menuduh Madjid sebagai golongan munkirus sunah. Demikian juga kasus Ulil Abshar Abdalla yang mengemuka sebagai munkirus sunah. Mengkaji eksistensi jaringan Islam liberal, sesungguhnya tak lepas dari konteks idiologi, politik, sosologis dan historis yang melingkupinya. Menurut Greg Barton, Islam liberal (dalam konteks keIndonesiaan) merupakan sintesis dari Islam tradisional dan pemikiran Barat modern, dengan penekanan modernisme atas rasionalitas dan ijtihad yang konprehensif, kontekstual dan terus menerus di antara gagasan-gagasan yang di lakukan oleh Islam liberal adalah: 1) Menentang bentuk pemerintahan teokrasi yang menjadi cita-cita sosial politik kaum rasionalis. 2) Memahami dan membangun demokrasi. 3) Menggagas kesetaraan jender dan kebebasan 4) Beragama dan perlindungan atas hak-hak non muslim. 5) Kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat secara lesan maupun tulisan. 6) Pentingnya progresifitas bagi kaum muslimin. Dengan banyaknya bermunculan para cendekiawan muslim dinegara kita (Indonesia) merupakan sebuah fenomena baru yang dapat dikatakan kemunculan mereka sebagai gelombang pembaruan pemikir Islam di negara Indonesia ini. Dengan tipologi pemikirannya yang begitu beragam menjadi petunjuk penting bahwa mereka secara sinergis menggarap tema-tema yang juga menjadi persoalan umat Islam di Indonesia seperti pembangunan, modernisasi, sekularisasi, pembaharuan Islam, demokrasi, pluralisme, itu hanyalah sebagian dari sekian banyaknya bidang garapan para intelektual muslim tersebut, yang tentunya mempunyai pengaruh terhadap liberalisasi, perubahan dan pemikiran umat Islam.
55
Perkembangan dominasi Islam liberal ditanah air agaknya telah memetakkan, bahwa Islam liberal ini tidak lebih sebagai bentuk persaingan intelektual dari komunitas tertentu yang segera akan menghadapi titik jenuh. Nyatanya Islam liberal terus berkembang kearah yang lebih progresif, oleh sekelompok intelektual muslim muda Islam terus menerus diberi sentuhan yang lebih kontekstual dengan permasalahan dan perkembangan jaman di tanah air. Dalam visi kelompok liberar ini adalah Islam liberal yang ramah, terbuka dan aprematif terhadap seluruh proses demokratisasi di Indonesia. Karena keramahan pada visi ini, Islam liberal telah memperoleh dukungan penuh antara lain dari sejumlah media masa, seperti yang dilakukan oleh Jawa Post sehingga di semangati oleh gagasan Islam liberal, yang begitu progresif dan pada akhirnya telah menyebar luas. Menurut Islam liberal, untuk menghadapi persoalan-persoalan global itu umat Islam tidak harus mengambil pemikiran dari luar (pikiran Barat). Umat Islam juga tidak perlu terlampau jauh bersikap seperti kaum restorasi yang terlalu curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar Islam, karena hanya akan menjadikan cemas dan akhirnya umat Islam semakin mundur dan mengalami keterputusan dengan situasi global. Bagi Islam liberal dalam menghadapi persoalan global, dasar berpijak umat Islam sudah jelas, yaitu syari’ah yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah. Tiga modal yang ditawarkan Islam liberal dalam memahami syari’ah, yaitu: 1) Syari’ah liberal, menurut model ini, sebenarnya syari’ah sejak awal telah memiliki sifat liberal. Wajah liberal dari syari’ah ini selain melalui pada al-Quran juga telah terdeteksi sempurna dalam sejarah Islam. Oleh karena itu Islam sebenarnya telah menyediakan argumen autentik dalam merespon persoalan-persoalan global, misalnya pengalaman Rasulullah dalam merumuskan Piagam Madinah. 2) Syari’ah yang diam (silent sharia), yaitu umat Islam memiliki kebebasan merespon persoalan global karena syari’ah terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik, seperti bentuk negara yang meskipun tidak memberikan argumen secara rinci, dengan demikian umat Islam memiliki keluasan dalam menghadapi dan mengadopsi bentuk-bentuk kehidupan publik secara idealnya.
56
3) Syari’ah yang ditafsirkan, model ini berpandangan, dibalik keilahian syari’ah, manusia sesungguhnya mempunyai peluang memberikan penafsiran secara beragam. Sehingga Islam tetap memiliki keterkaitan secara kontekstual dengan perkembangan zamannya.57 Jika diamati secara seksama dalam kehidupan politik di tanah air, objektifikasi doktrin agama bukan sepenuhnya diarahkan bagi pengembangan kehidupan yang lebih demokratis, yang menonjol justeru kecenderungan mempolitisasi agama guna memperkuat kepentingan kelompok seperti carutmarutnya suasana partai politik menjelang pemilu 2014 ini, sehingga artikulasi politik umat Islam lebih menggunakan unsur-unsur primordialistik. Memahami model syariah yang ditawarkan di atas, Islam liberal memberikan banyak pilihan kepada umat Islam dalam memahami agamanya, karena Islam sendiri, merupakan agama yang multi intrepretatif. Dari segi otentisitas tidak perlu dicurigai karena Islam liberal justeru tetap menjaga validitas syari’ah sebagai pijakan Islam, dan tidak dapat dihindari bahwa Islam liberal kadang-kadang bersinggungan dengan dunia luar (Barat). Hal ini karena peradaban dapat berkembang hanya karena adanya persinggungan dengan dunia lain.
57
Muhamad Nur, Jaringan Islam Liberal di Indonesia, (Kendal : Jurnal Didaktika Islamika, 2014), Edisi 3, hlm. 98.