BAB II DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Pencarian citra merupakan permasalahan yang menarik untuk dicari alternatif penyelesaiannya. Berikut ini adalah penelitian yang sebelumnya dilakukan seputar pencarian dan pencocokan citra. a. Pencarian citra dengan teknik multiresolusi dengan memanfaatkan ciri tepi suatu citra oleh Hirata dan Kato(1992). Teknik ini dikenal dengan QVE (Query by Visual Example) b. Pencarian citra dengan memanfaatkan warna, tekstur dan bentuk citra yang dikenal dengan metode QBIC (Query By Image Content) oleh Ramakrishna dkk dalam Suta Wijaya (2001). Metode ini telah dimanfaatkan oleh IBM untuk membangun perangkat lunak pencarian citra yang bersifat komersial. Dalam perangkat lunak tersebut user dapat membuat query berdasarkan pada berbagai variasi perbedaan atribut visual seperti komposisi warna dan ciri bentuk. c. Pencarian Citra yang didasarkan pada rupa oleh S. Ravela dkk dalam Suta Wijaya (2001). Citra query dibangun berdasarkan berdasarkan bagianbagian tertentu dari suatu citra. Citra yang diambil dari basis data kemudian diurut berdasarkan tingkat kemiripan dengan citra query. Dengan teknik ini digunakan tapis (filter) yang diperoleh dari turunan Gausian. Tapis ini berguna dalam menghitung tingkat kemiripan antara citra query dengan citra pustaka. Metode ini masih tetap efektif walaupun telah terjadi perubahan skala yag cukup besar terhadap ukuran citra query. d. Jacob dkk. (1995) dalam Dharma Putra (2000), membangun sebuah metode pencarian citra dengan menggunakan metode dekomposisi wavelet. Ciri-ciri
5
suatu citra yang disebut dengan signature dipilih berdasar koefisienkoefisien wavelet yang memiliki magnitude terbesar hasil proses transformasi wavelet. Sedangkan tingkat kemiripan citra query dengan citra pustaka dihitung dengan sebuah metrika citra multiresolusi. Metrika ini memberikan sebuah nilai yang menyatakan tingkat kemiripan antara citra query dengan citra pustaka. Citra pustaka yang memberikan nilai paling kecil berarti citra tersebut paling mirip dengan citra query. e. Dharma Putra (2000) juga membangun suatu metode pencarian citra dengan menggunakan metode dekomposisi wavelet. Metode ini mirip dengan metode yang diperkenalkan oleh Jacob dkk. (1995) perbedaannya terletak pada sistem ruang warna dan jenis query yang digunakan, yaitu sistem ruang warna RGB, YIQ, dan HSV dengan 5 jenis query dipakai oleh Jacob dkk. dan sistem ruang warna CIELUV, RGB, dan YIQ dengan 37 jenis query digunakan oleh Dharma Putra. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sistem ruang warna YIQ sangat baik untuk pengenalan citra. f. Kanata (2001) melakukan penelitian tentang deteksi jenis gempa volkanik pada gunung Merapi berbasis transformasi Fourier diskret dan jaringan syaraf tiruan, yang memberikan hasil 92,6 % ketepatan pendeteksian. g. Suta Wijaya (2002) melakukan penelitian tentang pengenalan citra wajah menggunakan wavelet, dengan metrika Lq sebagai elemen pengenalnya memberikan hasil tingkat kesuksesan pengenalan 90% dan wavelet terbaik untuk wajah adalah Daubechies 8 dengan tingkat kedalam dekomposisi dua. h. Suta Wijaya (2003) melakukan penelitian tentang Pengenalan Citra Sidik Jari Berbasis Alihragam Wavelet dan Neural Network, yang memberikan hasil pengenalan yang baik rata-rata 90% kesuksesan pengenalan. Pada penelitian ini terbentuk analisa untuk menemukan metrika model JST yang dapat menggantikan algoritma JST karena algoritma JST membutukan
6
sistem pelatihan yang membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan ketelatenan dalam melatih. i. Pengenalan citra wajah menggunakan Metode Alihragam Gelombang Singkat dan Metrika Lq oleh Suta Wijaya dan Budi Suksmadana (2004). Alihragam gelombang singkat dilakukan dengan mengkonvolusi sinyal dengan data tapis atau dengan proses perata-rataan dan pengurangan secara berulang, yang sering disebut metode filter bank.Gelombang singkat Coflet 6, Daubechies 8 dan Symlet 8 merupakan jenis alihragam gelombang singkat yang baik digunakan untuk pengenalan citra wajah. Waktu pengenal yang diperlukan sangat pendek dan waktu pengenalalan bersifat linear terhadap ukuran basis data, sehingga metode ini dapat digunakan untuk pengenalan citra wajah dengan ukuran basis data yang besar. Hasil lain yang menarik dari penelitian ini adalah tingkat kesuksesan pencarian citra query yang bersumber dari sketsa pensil warna sangatlah baik. j. Pencarian citra berbasis DCT dan metrika Lq oleh Sugeng Nugroho (2004). Citra pustaka ataupun citra query bersumber dari scaner berupa sidik jari Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa pencarian citra sidik jari menggunakan alihragam DCT sangat baik hasilnya jika di query menggunakan citra blur dan citra query asli. Tingkat kesuksesan pencarian citra sangat dipengaruhi oleh batasan treshold score yang digunakan. Semakin besar treshold score yang digunakan maka tingkat kesuksesan yang dihasilkan akan semakin tinggi. k. Pencarian citra sidik jari menggunakan metode DCT dan metrika model jaringan syaraf tiruan oleh Luh Agustina Esti Palupi (2004). Sama seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugeng Nugroho namun metode pencocokan yang digunakan menggunakan metrika model jaringan syaraf
7
tiruan. Metrika model jaringan syaraf tiruan digunakan pada penelitian ini karena dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi dari metode yang lainnya. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pengenalan Pola Pengenalan pola (patern recognition) sesungguhnya telah lama ada, dan pengenalan pola mengalami perkembangan terus menerus dimulai dari pengenalan pola tradisional kemudian menjadi pengenalan pola modern. Pada mulanya pengenalan pola berbasis pada kemampuan alat indera manusia, dimana manusia mampu mengingat suatu informasi pola secara menyeluruh hanya berdasarkan sebagian informasi pola yang tersimpan di dalam ingatannya. Inti dari pengenalan pola adalah proses pengenalan suatu objek dengan menggunakan berbagai mode dimana dalam proses pengenalannya memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Tingkat akurasi yang tinggi memiliki pengertian bahwa suatu objek yang secara manual (oleh manusia) tidak dapat dikenali tetapi bila menggunakan salah satu metode pengenalan yang diaplikasikan pada komputer masih dapat dikenali. 2.2.2 Fast Discrete Cosine Transform (DCT) Sebenarnya algoritma Fast DCT bereferensi pada algoritma Fast Fourier Transform Cooley and Tukey yang digunakan pada implementasi Discrete Fourier Transform. DCT dari deret {x(m), (m=0,…..,N-1)} dapat diimplementasikan dengan FFT. Jika kita tentukan sebuah Deret {y(m), (m=0,…..,N-1)}, dimana
8
Untuk selanjutnya hasil DCT dari x(n) dapat ditulis sebagai berikut
dari penjabaran di atas diketahui bagian pertama merupakan periodik genap dan bagian kedua adalah periodik ganjil. Secara singkat proses Fast Forward DCT adalah urutan berikut: 1. Membuat deret Y(m) dari deret x(m) …………(1)
2. Diperoleh nilai DFT Y(n) dari y(n) menggunakan kompleksitas FFT Nlog2N ……………(2) 3. Didapatkan nilai DCT X(n) dari Y(n) ………….(3) Keterangan: X(n) = Keluaran proses Fast DCT y(m) = Masukan proses Fast DCT n = Index ke n N=Panjang Data
9
Secara skema proses FDCT 2D akan tampak seperti Gambar 2.1 berikut:
FDCT 1D (Baris)
[C]
FDCT 1D (Kolom)
Hasil FDCT 2D
FDCT 2D
Gambar 2.1 Skema FDCT 2D
2.2.3 Metrika Pencarian Citra Tingkat kemiripan antara citra query dengan citra pustaka dihitung dengan menggunakan metrika pencarian citra (image querying metrics). Jenis metrika yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiripan adalah metrika multiresolusi. Metrika multiresolusi sering disebut juga metrika Lq. Metrika ini diperkenalkan oleh Jacob dkk(1995). Bentuk metrik Lq sebagai berikut
Q, T = w0 , 0 Q[0,0] − T [0,0] + ∑ wi , j Q[i, j ] − T [i, j ]
…………..(4)
i, j
dengan Q[0,0] dan T[0,0] berturut turut menyatakan koefisien fungsi penskalaan untuk citra query dan citra pustaka yang berhubungan dengan keseluruhan intensitas rata-rata untuk setiap sistem koordinat warna sedangkan Q[i,j] dan T[i,j] berturut-turut menyatakan koefisien hasil dari alihragam Fast DCT yang telah dipotong (truncated) dan dikuantisasi (quantized) dari citra Q dan T untuk setiap posisi i,j. Faktor wi,j merupakan faktor bobot rata-rata untuk setiap titik citra pada posisi i,j dalam sistem koordinat warna. Untuk mempercepat proses perhitungan, maka persamaan diatas dimodifikasi menjadi Q, T
q
= w0 , 0 Q[0,0] − T [0,0] +
∑
i , j:Q [i , j ]= 0
wi , j Q[i, j ] = T [i, j ] …………..(5)
10
Persamaan
(Q[i, j ] = T [i, j ]) akan
mengembalikan
nilai
kondisi
(Q[i, j ] = T [i, j ]) dipenuhi, dan nilai 0 untuk kondisi yang lainnya.
2.2.4 Tabel Citra Pustaka
Citra Pustaka merupakan kumpulan file citra yang tersusun secara rapi, agar dapat diimplementasikan dalam program, kumpulan citra tersebut haruslah dibuat dalam bentuk tabel citra. Salah satu perangkat lunak yang dapat digunakan adalah Paradox yang sudah terintegrasi dengan Database Desktop yang merupakan add-ins Borland Delphi 7. Dalam penggunaannya, Paradox hanya mengijinkan 1 tabel dalam 1 file database, lain halnya seperti program Ms-Access yang memungkinkan untuk membuat banyak tabel dalam 1 file database. Pada pembuatan strukturnya Database Desktop menyediakan kolom Field Name, Type, Size dan Key. Nama Field adalalah nama pengenal suatu kolom dalam tabel. Aturan untuk pemberian nama field adalah sebagai berikut: 1. Maksimum panjangnya 25 karakter 2. Tidak boleh diawali spasi, tetapi boleh mengandung spasi. 3. Harus unik, yaitu tidak boleh ada yang sama dalam satu table. 4. Jangan menggunakan tanda koma (,), tanda pipe (|) dan tanda seru(!). 5. Hindarkan penggunaan kata perintah SQL seperti SELECT, WHERE, COUNT. Type berguna untuk menentukan tipe data yang dapat di tampung dalam field. Tipe field yang sering dipakai adalah: a. A(Alpha), untuk menampung kumpulan karakter huruf, angka dan karakter ASCII yang dapat tercetak. Lebar field tipe ini adalah antara 1 sampai 255 byte.
11
b. N(Number), untuk menampung data angka yang dapat dihitung. Jangkauan yang dapat disimpan adalah dari -10307 to 10308 dengan 15 digit angka signifikan. c. S(Money), sama dengan number tapi defaultnya data ditampilkan dengan desimal dan pemisah ribuan. Karakter pemisah desimal dan pemisah ribuan tergantung dari Regional setting dari sistem operasi MS-Windows. Tipe field ini sangat cocok untuk angka yang menunjukkan nilai uang. d. S(Short), untuk menampung bilangan bulat antara – 32.767 sampai 32.767. e. I(Long Integer), untuk menampung bilangan bulat dengan nilai antara -2147483648 sampai 2147483648. f. D(Date), untuk menampung data tanggal sampai dengan 31 Desember 9999. g. T (Time), untuk menampung data waktu dalam 24 jam sampai hitungan milidetik. h. M (Memo), untuk menampung data memo. Data memo biasanya dipakai untuk menyimpan sata seperti tipe Alpha, tetapi isinya dapat sangat besar dan dapat terdiri dari beberapa baris.
2.2.5 Kuantisasi dan Pemotongan
Dari istilahnya, kuantisasi merupakan pembulatan nilai tersampling ke dalam level tertentu yang ditentukan oleh sistem. Pada proses pemotongan, dilakukan pengambilan beberapa nilai besar untuk dilakukan proses berikutnya. Jika dalam satu citra dilakukan pemotongan 16, maka dari 16.384 nilai hasil trasformasi akan di ambil 16 nilai besar. Gambar berikut ini adalah ilustrasi pemotongan:
12
7342 1200
7342 1200 512 520 517 250 131
91
42
25
13
5
7
4
2
1
Dilakukan pemotongan 4
520
517
Gambar 2.2 Ilustrasi Pemotongan
2.2.6 Ruang Warna
Cahaya tampak sering disebut dengan cahaya saja, merupakan sebagian kecil spektrum gelombang elektromagnetik yang memiliki rentang panjang gelombang antara 400 nm sampai dengan 700 nm. Pada spektrum cahaya tampak terdapat beberapa bagian cahaya dengan warna berbeda seperti merah, ungu dan lain sebagainya, dengan demikian warna merupakan fungsi panjang gelombang cahaya. Dapat juga didefinisikan bahwa warna suatu objek merupakan fungsi panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh obyek yang bersangkutan ke mata manusia. Panjang gelombang pada kisaran cahaya tampak memiliki luminans dan saturasi (jumlah cahaya putih yang ditambahkan) dijaga tetap, sehingga seseorang yang memiliki penglihatan warna normal akan dapat membedakan kira-kira 128 warna. 2.2.6.1 Dasar Warna
Suatu warna tertentu dapat dihasilkan dari pencampuran warna primer. Gambar 2.3 berikut menunjukkan sistem aditif yang memiliki tiga komponen warna primer, yaitu merah, hijau, dan biru. Dari gambar tampak bahwa pencampuran warna merah, hijau dan biru pada takaran yang tepat akan menghasilkan warna putih. Dua warna disebut komplementer jika kedua warna tersebut dicampur pada takaran yang tepat akan menghasilkan warna putih, sebagai contoh warna magenta dicampur dengan warna hijau pada takaran yang tepat akan menghasilkan warna putih. Oleh karena itu warna magenta merupakan komplemen untuk warna hijau. Informasi dari suatu objek dapat diwakili oleh warna yang dipantulkan oleh objek yang bersangkutan ke mata.
13
Magenta
Hijau
Kuning
Cyan Putih Biru
Magenta
(a)
Merah
Biru Hitam
Merah
Cyan
Hijau
Kuning
(b)
Gambar 2.3 Percampuran warna aditif dan warna subtraktif
Tingkat pantulan warna suatu objek ke mata dinyatakan dengan luminans, kontras dan kecerahan. Luminans menyatakan banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh permukaan obyek yang dinyatakan dalam satuan lilin per meter persegi, semakin besar luminans suatu obyek, maka rincian obyek yang dapat dilihat oleh mata semakin banyak. Kontras menyatakan hubungan antara cahaya yang dipantulkan oleh suatu obyek dengan cahaya dari latar belakang obyek tersebut. Kontras juga didefinisikan sebagai selisih antara luminans obyek dengan latar belakangnya dibagi dengan luminans latar belakangnya. Nilai kontras positif akan diperoleh jika cahaya yang dipancarkan oleh suatu obyek lebih besar dibanding yang dipancarkan latar belakangnya. Nilai kontras negatif dapat menyebabkan obyek yang sesungguhnya "terserap" oleh latar belakang, sehingga obyek menjadi tidak tampak. Kecerahan adalah tanggapan subjektif pada cahaya. Tidak ada arti khusus dari tingkat kecerahan seperti luminans dan kontras, tetapi luminans yang tinggi berimplikasi pada kecerahan yang tinggi pula.
2.2.6.2 Sistem Ruang Warna
Citra disusun oleh sejumlah piksel yang membentuk matriks. Dengan demikian piksel merupakan komponen terkecil citra yang mengandung informasi (Arymurthy, 1992). Setiap piksel citra berwarna mengandung tiga komponen warna dasar yaitu komponen warna merah ( red ), komponen
14
warna hijau ( green ), dan komponen warna biru ( blue ) yang sering disebut dengan komponen RGB. Atas dasar tersebut citra berwarna disusun oleh tiga buah matriks komponen warna, yaitu matriks komponen warna R, matriks komponen warna G, dan matriks komponen warna B untuk sistem ruang warna RGB. Ada beberapa sistem ruang warna yang diciptakan untuk keperluan tertentu atau diciptakan khusus untuk platform perangkat-keras tertentu, seperti yang didefinisikan oleh Burdick (1997) berikut: 1. Sistem ruang warna RGB diciptakan untuk menampilkan citra pada layar CRT yang memiliki tiga buah pospor warna yang akan menghasilkan tiga buah warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. 2. Sistem ruang warna CMY (Cyan, Magenta, Yellow) diciptakan untuk keperluan mencetak citra berwarna (color printing). 3. Sistem ruang warna luminans-crominans yaitu YIQ dan LUV diciptakan untuk keperluan penyiaran televisi. 4. Sistem ruang warna HIS (hue, intensity, and saturation) merupakan sistem ruang warna yang banyak digunakan untuk pengolahan citra seni (artists). a. Sistem ruang warna RGB Sistem ruang warna RGB merupakan sistem ruang warna dasar. diperkenalkan oleh National Television System Committee (NTSC) yang banyak digunakan untuk menampilkan citra berwarna pada monitor CRT (Jain, 1989). Sistem ini diilustrasikan menggunakan sistem koordinat tigadimensi seperti gambar 2.4 berikut.
15
Blue ( 0,0,255 )
Cyan ( 0,255,255 )
Gray Line
Magenta ( 255,0,255 )
White ( 255,255,255 )
Black ( 0,0,0 )
Mid Gray ( 128,128,128 )
Red ( 255,0,0 )
Green ( 0,255,0 )
Yellow ( 255,255,0 )
Gambar 2.4 Sistem ruang warna RGB NTSC (Burdick, 1997)
Pada gambar di atas tampak bahwa setiap warna akan diwakili oleh tiga buah nilai dalam koordinat tersebut yang menyatakan komponen warna RGB, sebagai misal warna merah akan diwakili oleh titik (255,0,0). Rentang nilai untuk setiap sumbu berkisar dari 0 sampai 255. Pada gambar tersebut tampak juga bahwa warna cyan, magenta dan kuning merupakan komplemen warna merah, hijau, dan biru. b. Sistem ruang warna YIQ Sistem ruang warna YIQ juga diperkenalkan oleh Mahona/ Television System Committee (NTSC) merupakan sistem ruang warna standar untuk system penyiaran televisi berwarna di USA dan Jepang (Jain, 1989). Sistem ini memiliki sifat-sifat khusus yaitu: 1) sistem penyiaran televisi berwarna menggunakan YIQ kompatibel dengan televisi monokrom dan 2) pentransmisian sinyal televisi berwarna memerlukan lebar-bidang yang sama dengan sinyal monokrom yaitu kurang lebih sebesar 6 MHz.
16
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan sistem ruang warna YIQ dalam penyiaran adalah adanya mekanisme kompresi dalam proses alihragamnya, sehingga dalam pentransmisiannya memerlukan lebarbidang yang terbatas, yaitu 4,2 MHz untuk komponen Y, 1,5 MHz untuk komponen I, dan 0,55 MHz untuk komponen Q. Alihragam dari sistem RGB ke YIQ dapat dilakukan secara linear (Jain, 1989), menggunakan persamaan berikut. 0,114 ⎤ ⎡ R ⎤ ⎡Y ⎤ ⎡0,299 0,587 ⎢ I ⎥ = ⎢0,596 − 0,274 − 0,322⎥.⎢G ⎥ ……………………….(6) ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎢⎣Q ⎥⎦ ⎢⎣0,211 − 0,523 0,312 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦ Y mengandung komponen luminans yang dominan, sedangkan I dan Q merupakan komponen yang mengandung informasi warna dan sedikit luminans, sehingga alihragam YIQ memberikan keuntungan-keuntungan pada human visual system, yaitu adanya penumpukan informasi pada komponen Y-nya. Secara teoritis mata manusia lebih sensitif pada perubahan luminans daripada perubahan hue dan saturasi. Dalam sistem penyiaran
sinyal
Y
merepresentasikan
tingkat
kecerahan/keabuan
(brightness, luminance), merupakan sinyal yang hanya dibutuhkan oleh televisi hitam-putih. Koefisien alihragam diperoleh atas dasar tanggapan relatif tingkat kecerahan mata manusia terhadap warna hijau dan biru, sedangkan I dan Q merupakan suatu penyekalaan dan perotasian dari R-Y dan B-Y dengan sudut 33 derajat. Hal ini dilakukan atas dasar sensitifitas mata manusia terhadap warna. c. Sistem ruang warna CIE Sistem ruang warna RGBCIE yang sering disebut dengan CIERGB diperkenalkan oleh Commission Internationale de l 'Eclairage (CIE) atas dasar spectral primary system yang merupakan sumber utama monokrom.
17
Sistem ruang warna ini menggunakan panjang gelombang RCIE (red 700 nm), GCIE (green 546,1 nm) dan BCIE (blue 435,7 nm), dengan demikian sistem ruang warna RGBCIE berbeda dengan sistem ruang warna RGB dalam hal kecerahannya, yaitu RGBCIE warna RGB-nya lebih cerah daripada sistem RGB. Menurut Jain (1989) sistem ruang warna RGBCIE dapat diperoleh dengan konversi sistem ruang warna RGB dengan menggunakan persamaan berikut. − 0,146 0,151⎤ ⎡ R ⎤ ⎡ RCIE ⎤ ⎡1,167 ⎢G ⎥ = ⎢0,114 0,753 0,159⎥⎥.⎢⎢G ⎥⎥ ……………………….(7) ⎢ CIE ⎥ ⎢ ⎢⎣ BCIE ⎥⎦ ⎢⎣− 0,001 0,059 1,128 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦ Kelemahan sistem ruang warna RGBCIE adalah tidak dapat menghasilkan semua warna. Sistem ruang warna XYZ juga diperkenalkan oleh Commission Internationale de l'Ecloirage (CIE) dengan tujuan untuk mengatasi kelemahan sistem ruang warna RGBCIE. Sistem ruang warna XYZ dapat diperoleh dari system ruang warna RGB atau RGBCIE melalui alihragam yang menggunakan persamaan berikut. ⎡ X ⎤ ⎡0,607 0,174 0,201⎤ ⎡ R ⎤ ⎢Y ⎥ = ⎢0,299 0,587 0,114 ⎥.⎢G ⎥ …………………………(8) ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎢⎣ Z ⎥⎦ ⎢⎣0,000 0,066 1,117 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦ ⎡ X ⎤ ⎡0,490 0,310 0,200⎤ ⎡ RCIE ⎤ ⎢Y ⎥ = ⎢0,117 0,813 0,011 ⎥.⎢G ⎥ ………………………(9) ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ CIE ⎥ ⎢⎣ Z ⎥⎦ ⎢⎣0,000 0,010 0,990 ⎥⎦ ⎢⎣ BCIE ⎥⎦
Untuk mendapatkan sistem ruang warna LUV dilakukan dengan cara mengalihragamkan sistem ruang warna XYZ di atas ke sistem CIELUV dengan menggunakan rumus: W * = 25(100Y )
1
3
− 17
U * = 13W * (u − u 0 )
; 0.01≤Y≤1
………………(10)
V * = 13W * (v − v 0 )
18
dimana u dan v dihitung dengan rumus: 4X 4x = X + 15Y + 3Z − 2 x + 12 y + 3 6y 6Y v= = X + 15Y + 3Z − 2 x + 12 y + 3
u=
…………………..(11)
dengan uo dan vo merupakan referens untuk warna putih sedangkan W* menyatakan tingkat kekontrasan.
19