8
BAB II DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Proses pengelasan tentu akan mengakibatkan timbulnya tegangan sisa. Tegangan sisa timbul karena distribusi panas yang tidak merata saat pengelasan, dengan nilai tertinggi di daerah lasan dan daerah terpengaruh panas (HAZ). Salah satu parameter yang cukup menentukan adalah geometri pengelasan. Penelitian terkait geometri pengelasan telah dilakukan Widyanto (2014) yang meneliti pengaruh variasi arus dan sudut kampuh pengelasan SMAW terhadap timbulnya tegangan sisa pengelasan pada sambungan baja karbon rendah dengan Las SMAW. Elektroda yang dipakai adalah E6013 berdiameter 2.6 mm, dangan pemakaian arus 80A, 90A, dan 100A, pada posisi pengelasan down hand. Jenis kampuh yang digunakan jenis kampuh V, dengan variasi sudut 40°, 45°, 60°. Sementara itu, dari hasil pengukuran tegangan sisa disimpulkan bahwa semakin besar arus yang digunakan semakin besar pula tegangan sisa yang ditimbulkan. Kemudian semakin besar sudut kampuh yang dipakai tegangan sisa yang timbul juga semakin besar. Dimana nilai tegangan sisa terkecil terjadi pada sudut kampuh 40° dengan arus 80 A yang bernilai 27.06 MPa. Tegangan sisa terbesar terjadi pada sudut kampug 60° dengan arus 100A, sebesar 344.80 MPa. Lebih lanjut, Sujatmika, dkk (2011) meneliti pengaruh groove dan gap terhadap hasil pengelasan SMAW. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh groove dan gap terhadap struktur mikro dan tegangan sisa setelah proses pengelasan. Material yang dipakai adalah baja karbon rendah AISI 1020, setelah pengelasan dilakukan uji kekerasan (hardness), uji metalografi, dan uji X-Ray Diffraction (XRD) untuk pengukuran tegangan sisa. Variasi spesimen untuk groove dibuat kemiringan sudut 60°, 75°, dan tanpa groove. Besar gap dibuat 2 mm dan 4 mm. Penelitian menunjukkan bahwa gap 2 mm hasilnya paling efektif dengan nilai tegangan sisa yang kecil. Perlu diketahui besar gap menentukan lebar daerah HAZ, dan weld metal, dan berpengaruh terhadap tegangan sisa. Sampel dengan gap 2 mm dihasilkan tegangan sisa terkecil terjadi pada sampel tanpa
8
9
groove sebesar 6.099473 GPa. Sementara tegangan sisa terbesar ada pada sampel dengan sudut kemiringan 75° sebesar 8.581149 GPa. Jenis tegangan sisa sendiri tergantung pembebanan yang diterapkan, bisa positif dan negatif, dimana tegangan sisa positif dianggap lebih merugikan. Karena berdampak terhadap kekuatan, fatigue, korosi, dan ketahanan aus. Price, dkk (2006) melakukan pengukuran tegangan sisa akibat proses pengelasan pada material pelat baja karbon rendah berdimensi 200 × 100 × 12 mm, pengelasan dilakukan di tengah pelat setebal 1,5 mm. Elektroda yang dipakai berdiameter 1.6 mm dengan arus listrik 260-280 A, sedangkan untuk tegangan sebesar 28-30 V, dan kecepatan pengelasan 360 mm/min. Pengukuran tegangan sisa dilakukan menggunakan hamburan neutron dengan panjang gelombang 1,40 Ǻ. Hasil pengukuran menunjukkan di daerah lasan serta HAZ mengalami tegangan sisa tarik dan pada logam induk hingga bagian tepi spesimen mengalami tegangan sisa tekan. Tegangan sisa maksimum ada di dekat garis tengah pengelasan dengan nilai 350 - 360 MPa pada sampel 1, dan 470 - 490 MPa untuk sampel 2. Tegangan sisa dapat mempengaruhi batas kekuatan lelah, hal tersebut dibuktikan dengan pengujian yang dilakukan Kohler, dkk (2012). Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui nilai tegangan sisa akibat proses pelapisan menggunakan induksi laser. Perlu diketahui pelapisan ini dimaksudkan agar material yang dilapisi tahan terhadap korosi. Hasil pengujian utamanya menunjukkan bahwa ada korelasi antara uji kekuatan lelah dengan lokasi crack initiation terhadap bidang tegangan sisa tarik tertinggi. Dimana tegangan sisa terbesar ada pada bagian tengah atau HAZ.
2.2 Dasar Teori 2.2.1 Tegangan Sisa Menurut Fitzpatrick dan Lodini (2003), evaluasi tegangan sisa penting dalam peningkatan performa material, mengontrol deformasi dari komponen dan memahami proses industri. Tegangan sisa muncul dari bermacam sumber, diantaranya proses mekanik (permesinan, shot peening), perlakuan panas (heat treatment, laser treatment), thermomekanik (forging, welding), atau termokimia (carburizing, nitriding).
9
10
Lebih lanjut Fitzpatrick dan Lodini (2003) menjelaskan definisi umum dari tegangan sisa ialah tegangan penyeimbang yang ada dalam material dan berlawanan dengan tegangan lain tanpa adanya tegangan dan gaya dari luar, dan material tersebut berada dalam kondisi temperatur konstan. Memahami prinsip tegangan sisa, sangat erat kaitannya dengan konsep tegangan dan regangan. Dimana tegangan pada suatu titik dapat dihitung setelah regangan diukur. Tegangan menurut Mott (2009) adalah tahanan dalam yang disediakan oleh suatu satuan luas (pascal) bahan terhadap beban luar, dimana tegangan normal (σ) dapat berupa tarik (positif) dan tekan (negatif). Shigley dan Mitchell (1986) mengungkapkan dalam suatu perancangan tegangan diasumsikan terbagi rata. Hasilnya sering disebut tegangan tarik murni, tegangan tekan murni, dan tegangan geser murni. Tegangan (σ) harganya dapat dihitung dari persamaan 2.1. σ=F/A
(2.1)
dimana, σ = tegangan rata-rata (Pa, MPa) F = pembebanan atau gaya luar (N, Kgf) A = luas penampang (m2, mm2). Secara teknis regangan atau deformasi adalah satuan tegangan yang digambarkan terhadap pertambahan panjang. Regangan sederhana didapat dari perubahan panjang (ẟ) dibagi panjang awal (l) (Singer dan Pytel, 1995). Menurut Shigley dan Mitchell (1986), regangan ialah pertambahan panjang, atau pemuaian, misalnya sebuah batang lurus diberi beban tarik maka batang itu akan bertambah panjang. Regangan sering digunakan untuk menyatakan satuan regangan. Sementara itu, regangan total untuk mengartikan perpanjangan total, dan perubahan bentuk suatu benda. ε = ẟ/l
(2.2)
dimana, ε = regangan ẟ = perubahan panjang (m) l = panjang awal (m).
10
11
Pada tegangan biaksial harga σ1 dan σ2 memiliki nilai, kemudian σ3 dianggap nol. Formula tegangan utama dihitung berdasarkan persamaan 2.3, atau disebut poisson ratio yang menunjukkan regangan (lateral dan aksial) saling berbanding lurus, menurut batas-batas hukum hooke (Shigley dan Mitchell, 1986). ʋ = - regangan lateral/ regangan aksial
(2.3)
dimana, ʋ = poisson ratio Bila setiap tegangan utama tersebut bekerja sendiri-sendiri dan kemudian hasilnya digabungkan dengan melakukan super posisi akan tersaji pada persamaan 2.4. Lalu, tegangan triaksial terjadi apabila tiga tegangan utama tersebut sama dengan nol, regangan utamanya diekspresikan pada persamaan 2.5. ε1 = (σ1/E) - (ʋσ2/E) ε2 = (σ2/E) - (ʋσ2/E) ε3 = - (ʋσ1/E) - (ʋσ2/E)
(2.4)
ε1 + ʋε2 = (σ1/E) - (ʋσ2/E) + (ʋσ2/E) - (ʋ2σ1/E)
(2.5)
Sehingga dalam menghitung σ1 dan σ2, dipakai persamaan 2.6, σ1 = [E(ε1 + ʋε2)] / 1-ʋ2 σ2 = [E(ε2 + ʋε1)] / 1-ʋ2
(2.6)
Sementara itu, untuk regangan triaksialnya menjadi, ε1 = (σ1/E) - (ʋσ2/E) - (ʋσ3/E) ε2 = (σ2/E) - (ʋσ1/E) - (ʋσ3/E) ε3 = (σ3/E) - (ʋσ1/E) - (ʋσ2/E)
(2.7)
Kemudian tegangan utamanya menjadi, σ1 = [Eε1(1 - ʋ) + ʋE(ε2 + ε3)] / [1 - ʋ - 2ʋ2] σ2 = [Eε2(1 - ʋ) + ʋE(ε1 + ε3)] / [1 - ʋ - 2ʋ2] σ3 = [Eε3(1 - ʋ) + ʋE(ε1 + ε2)] / [1 - ʋ - 2ʋ2] dimana, E = modulus elastisitas (Pa) ʋ = passion ratio ε = regangan σ = tegangan (Pa)
11
(2.8)
12
2.2.2 Hamburan Neutron Metode hamburan neutron merupakan pengukuran tegangan sisa yang didapat dari pengukuran jarak antar regangan. Menurut Muslih (2013) jarak antar atom merupakan pengukur regangan internal suatu benda atau material. Dimana, perubahan jarak antar atom mengindikasikan terjadi regangan pada suatu material. Sehingga bila menggunakan persamaan hukum hooke menjadi, tegangan (σ) sama dengan stiffness tensor (c) dikali regangan (ε) yang terjadi. Stiffness tensor (c) dalam mode 1 dimensi adalah modulus elastisitas bahan. Metode hamburan neutron dipakai untuk mengukur tegangan makrostres tipe I, dan fase atau rata - rata butiran mikrostres tipe II. Biasanya digunakan untuk mengukur regangan dengan ketepatan 100 × 10-6 dalam satuan mm, dimana volume sampel lebih besar dari 1 mm3. Hamburan neutron diaplikasikan untuk material kristaline dengan ukuran butiran kurang dari 100 mikron. Dimana, pemahaman geometri sampel dan lokasi adalah kunci dari pengukuran dibutuhkan sebelum melakukan pengukuran. Tiga komponen dari regangan dibutuhkan untuk menentukan tegangan di tiga sumbu pada tiap posisi, dan error yang terjadi pada tiap pengukuran regangan yang terkumpul saat berubah menjadi tegangan. Beberapa kasus tegangan utama bisa diambil dari tegangan arah simetrinya, tapi bila tidak diketahui maka dapat diambil dari 6 arah pengukuran regangan yang dibutuhkan pada tiap posisi. Volume pengukuran yang kecil meningkatkan waktu pengukuran. Bila mungkin, memperkirakan gradien tegangan dan memperbesar dimensi pengukuran dalam arah perubahan butir yang terjadi pada regangan. Sementara itu, Webster (2000) mengungkapkan tegangan sisa didapatkan dari pengukuran kisi-kisi tegangan. Secara umum, karena tegangan adalah tensor, pengukuran dilakukan pada 6 orientasi arah untuk benar-benar menentukan kondisi tegangan pada suatu titik. Namun, ketika arah utama diketahui cukup hanya menggunakan 3 orientasi arah. Dasar pengukuran hamburan neutron ditampilkan dengan dua instrumen sumber panjang gelombang yang konstan dan instrumen Time of Flight (TOF). Pengukuran difraksi neutron menggunakan jarak kisi-kisi sebagai pengukuran regangan, yang didapatkan dari hukum bragg: d = λ / 2 sin θ
(2.9)
12
13
dimana, d = jarak kisi θ = sudut difraksi pada hkl tertentu sebagai area refleksi λ = panjang gelombang radiasi. Kemudian, regangan diukur pada arah hamburan vektor Q yang terbagi menjadi dua yaitu sudut datang dan sudut hamburan. Untuk melengkapi persamaan hukum bragg di atas, perubahan yang terjadi pada jarak kisi-kisi Δd = d-d0, dimana d0 adalah jarak kisi-kisi yang tidak mengalami regangan, akan berakibat pada perubahan λ dan θ, (Webster, 2000). ε = (d1 - d0) / d0 = -cot (θ0) (θ1-θ0)
(2.10)
dimana, ε = regangan d1 = jarak kisi sampel terukur d0 = jarak kisi sampel bebas tegangan θ1 = sudut hamburan θ0 = sudut hamburan dari sampel tanpa tegangan. Menurut Webster (2000), Untuk orientasi aksial lebih mudah memilih bentuk menyerupai kubus. Untuk regangan radial dan hoop lebih tepat memilih bentuk volume balok, guna mengambil keuntungan dari kelemahan variasi regangan pada arah aksial. Sebelum melakukan pengukuran harus memperhatikan posisi dan meluruskan sampel pengujian dengan difraktometer. Resolusi spasial pengukuran neutron bergantung pada dimensi lubang/ celah/ slit yang membatasi berkas neutron dan juga mengatur sudut datang dan sudut hamburan berkas neutron. Slit tersebut mengurangi berkas neutron menjadi luasan yang memiliki penampang. Resolusi spasial optimal pada 2θ ada di sudut 90o. Kemudian, untuk prinsip pengukuran dan arah pengukuran difraksi neutron diilusterasikan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2. Pengukuran dengan panjang gelombang radiasi monokromatik tunggal didapat dengan mengarahkan berkas yang berisi berbagai macam panjang gelombang neutron ke monokromator kristal. Berkas yang dipantulkan dari monokromator inilah yang akan digunakan, dengan panjang gelombang (λ) ditentukan melalui persamaan 2.9.
13
14
Gambar 2.1. Prinsip difraksi neutron pada pengukuran regangan. (Webster, 2000)
Gambar 2.2. Ring plug dengan geometri aktual dari berkas neutron. (Webster, 2000) Webster (2000) menjelaskan monokromator yang biasa digunakan Cu-220, PG-002, Ge-311, Si-331 and Be-110. Karena adanya hambatan dalam memilih monokromator sudut difraksi, sudut 2θ akan bevariasi untuk tiap laboratorium berkisar antara 2θ ≈ 42° dan 2θ ≈ 97°. Refleksi (hkl) akan disesuaikan dengan bidang (111), (002), (022), atau (311) yang disesuaikan dengan material uji. Prosedur pengukuran aktual untuk eksperimen gelombang konstan dilakukan dengan sinar neutron dari panjang gelombang (λ) tetap yang diarahkan pada spesimen sehingga menghasilkan berkas difraksi. Sebuah detektor neutron sudut sensitif digunakan untuk mengamati berkas di sudut 2θ. Sebuah contoh profil yang sudah direkam ditunjukan pada Gambar 2.3.
14
15
Gambar 2.3. Profil puncak intensitas neutron untuk refleksi (111) (Webster, 2000) Pola hamburan yang diamati dilengkapi dengan profil Gaussian/ Lorentzian yang simetris. Perubahan posisi puncak Δθ dari nilai regangan nol digunakan dengan persamaan 2.9, untuk menghitung regangan dari persaman 2.11. ε = Δθ cot θ0
(2.11)
dimana, ε = regangan θ = sudut hamburan θ0 = sudut hamburan dari sampel tanpa tegangan. Regangan yang diperoleh selanjutnya diubah menjadi tegangan dengan memakai persamaan hokum hooke, seperti diekspresikan pada persamaan 2.12. σθ = [E / (1+ʋ) . (1-2ʋ)] × [(1-ʋ εθ + v (εr + εz)] σr = [E / (1+ʋ) . (1-2ʋ)] × [(1-ʋ) εr + v (εθ + εz)] σz = [E / (1+ʋ) . (1-2ʋ)] × [(1-ʋ) εz + v (εθ + εr)] dimana, σ = tegangan E = modulus elastisitas ε = regangan ʋ = poisson ratio θ, r, z = arah vektor tegangan.
15
(2.12)
16
2.2.3 Proses Pengelasan Pengelasan menurut Wiryosumarto dan Okumura (2000) didefinisikan sebagai sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Selain untuk pembuatan dan perakitan, las biasa dipakai untuk proses perbaikan konstruksi dan struktur mesin. Pengelasan juga harus didasari berbagai macam masalah dan pengetahuan yang perlu dipahami, meski prosesnya terlihat sederhana. Lebih lanjut Wiryosumarto dan Okumura (2000) menyebutkan pengelasan pada baja karbon harus diperhatikan kelompok serta kandungan karbon dalam baja. AISI 1020 yang masuk pada kelompok karbon rendah pada daerah terpengaruh panas/ Heat Affected Zone (HAZ) sangat mudah menjadi keras, sehingga peka terhadap retak lasan. Mengatasi retak las, dapat dengan pemanasan awal serta memilih elektroda dengan kandungan hidrogen rendah. Daerah lasan terdiri dari tiga bagian, (1) logam lasan yaitu bagian dari logam yang pada saat pengelasan mencair kemudian membeku. (2) daerah HAZ, merupakan daerah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las, dimana saat pengelasan mengalami siklus pemanasan dan pendinginan yang cepat. (3) logam induk adalah daerah yang tidak terpengaruh karena pada logam induk ini panas dan temperatur pengelasan tidak menyebabkan perubahan struktur dan sifat. 2.2.3.1 Pengelasan SMAW Pengelasan Shielded Metal Arc Welding (SMAW) adalah pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik sebagai sumber panas untuk mencairkan elektroda las. Pengelasan ini menggunakan elektroda yang terbungkus dengan fluks. Panas busur nyala listrik akan mencairkan logam induk dan ujung elektroda, kemudian terjadi proses pembekuan. Penyambungan dan pencairan logam sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya arus. Saat proses pengelasan fluks akan membungkus cairan logam sebagai mekanisme pelindung logam cair terhadap oksidasi. Selain metode pengelasan yang baik, faktor suksesnya penyambungan adalah suatu material memiliki kemampuan derajat kesukaran yang rendah terhadap sambungan las serta memungkinkan konstruksi dibuat dengan jalan
16
17
pengelasan sesuai tujuan, dimana hal tersebut menurut Surdia dan Saito (1999) dinamakan mampu las. Pada pengelasan SMAW bahan fluks dan jenis listrik merupakan hal yang penting. Fluks memegang peranan untuk memantapkan nyala busur dan pemindahan butir-butir cairan logam stabil. Sehingga, bahan penyusun fluks memiliki kemampuan deoksidasi, pembentuk terak, penghasil gas, penambah unsur paduan, dan penstabilan busur. Misalnya untuk elektroda E6013 jenis fluks berbahan kalium titania tinggi. Elektroda ini dipakai pada semua posisi pengelasan, baik datar (down hand) vertical, over head, dan horizontal. Kawat logam yang dipakai pada inti elektroda dibuat dari baja lunak. Pengelasan SMAW dapat dilakukan dengan tangan, atau pun secara otomatis dengan memasangkan elektroda pada pemegang yang terikat pada peluncur. Mesin las sendiri mampu menghasilkan busur yang timbul dari listik arus bolak balik (AC) dan listrik arus searah (DC). Kemudian, Wiryosumarto dan Okumura (2000) mengungkapkan dalam logam las dapat terjadi cacat las seperti, pemisahan, lubang halus, serta pembekuan, dimana cacat las tersebut dipengaruhi oleh kecepatan pembekuan. 2.2.3.2 Sambungan Las Tabel 2.1. Pembuatan alur pengelasan Jenis Alur
Tebal
Posisi pengelasan
≥ 30
F, H, dan O
≥ 30
F, H, dan O
G D1 R D α1 α2 G D1 R D α1 α2
Dimensi 0 ≥ 2√T T-(D1+D2) ≥ 2√T 60° 60° 0 ≥ 2√T T-(D1+D2) ≥ 2√T 60° 60°
Sambungan las pada konstruksi secara umum terbagi menjadi sambungan tumpul, sambungan T, sambungan sudut, serta sambungan tumpang. Dimana, sambungan las tumpul merupakan sambungan las yang paling efisien. Jenis alur
17
18
yang dapat dipakai seperti V-tunggal, tirus tunggal, U-tunggal, V-ganda, tirus ganda, dan U-ganda. Penetrasinya terdiri dari penetrasi penuh dan sebagian. Sehingga membuat alur las dilakukan melalui beberapa pertimbangan seperti, tebal bahan, bentuk sambungan, penetrasi dan jenis alur. Tabel 2.1 menunjukkan prosedur dalam pembuatan alur Double V Groove dan Double Bevel Groove. 2.2.3.3 Parameter Pengelasan 1. Tegangan busur las Nilai
tegangan
tergantung
panjang
busur
serta
jenis
elektroda.
Wiryosumarto dan Okumura (2000) memetakan panjang busur ideal kira-kira seukuran dengan diameter elektroda. Tegangan yang diperlukan untuk elektroda berdiameter 3 sampai 6 mm, kira-kira 20 sampai 30 volt. Busur listrik yang terlalu panjang dapat mengganggu kesetabilan busur. Bagi welder berpengalaman mereka dapat menerka kesetabilan busur hanya dari suaranya, namun pada konteks tersebut sangat sulit mempertahankan panjang busur untuk tetap konstan. 2. Arus pengelasan Wiryosumarto dan Okumura (2000) menjelaskan dalam menentukan arus pengelasan diperoleh dari jenis bahan, ukuran, geometri sambungan, posisi pengelasan, jenis dan diameter elektroda. Pada baja sedang, daerah HAZ akan cepat mengeras, maka harus diusahakan pendinginan yang pelan, arus yang besar, lalu bila perlu dilakukan perlakukan panas. 3. Kecepatan pengelasan Pertimbangan dalam menentukan kecepatan pengelasan tergantung jenis dan diameter elektroda, bahan, geometri sambungan, dan ketelitian sambungan. Kecepatan pengelasan tidak berhubungan dengan tegangan las, namun berbanding lurus dengan arus las. Karena pengelasan yang cepat memerlukan arus las yang tinggi. 2.2.3.4 Tegangan Sisa Pengelasan Tegangan sisa diduga dapat menjadi salah satu faktor patah getas, deformasi atau perubahan bentuk, serta konsentrasi tegangan pada pengelasan, hal-hal yang perlu dihindari seperti, (1) memilih bahan dengan ketangguhan tinggi. (2) menghindari sambungan yang terlalu dekat. (3) menghindari perencanaan sambungan las dengan banyak penahan. (4) menentukan tahapan pengelasan yang
18
19
tepat, kemudian (5) dilakukan perlakukan panas lanjutan untuk menurunkan nilai tegangan sisa. 2.2.3.5 Struktur Metalografi Baja mempunyai beberapa fasa yaitu austenit, ferit, perlit, bainit, martensit. Misal, pada temperatur 722°C baja memiliki fasa berbentuk ferit dan pearlit, lalu diatas 722°C fasanya berupa campuran austenit dan ferit. Pada temperatur 843°C fasanya berupa austenit. Variasi laju pendingan dari austenit ini dapat mengatur fasa dari baja. Pendinginan cepat akan didapat baja martensit, pendinginan lambat baja berbentuk ferrite dan perlite, untuk pendinginan menengah berbentuk bainite (Jokosisworo, 2006). Pengamatan struktur mikro penting untuk mempelajari sifat-sifat bahan setelah proses pengelasan. Menurut Setiawan dan Wardana (2006), struktur mikro yang terbentuk ditentukan oleh proses pendinginan. Beberapa faktor yang mempengaruhi struktur mikro, seperti komposisi akhir logam las, jenis kawat las, serta kondisi udara saat pengelasan. Wiryosumarto dan Okumura (2000) menyampaikan proses pendinginan umumnya berlangsung secara cepat sehingga untuk menganalisa struktur mikro hasil pengelasan tidak dapat digunakan diagram fasa. Karena itu untuk analisa struktur mikro hasil pengelasan dapat menggunakan diagram Continuous Cooling Transformation (CCT), atau yang ditunjukan Gambar 2.4. Dimana, struktur mikro yang dihasilkan berubah sesuai kecepatan pendinginan, dari ferrite dan peralite menjadi ferrite-pearlite-bainite-martensite, ferrite-bainite-martensite, bainitemartensite, kemudian martensite untuk kecepatan pendinginan cepat. Aisyah (2010) pada penelitiannya menyebutkan pengelasan pada baja karbon merubah struktur mikro dan sifat mekanik. Pada daerah lasan terbentuk struktur ferrite widmanstatten, ferrite acicular, dan ferrite batas butir, sehingga daerah las menjadi keras, namun getas dibanding logam induk. Pendinginan yang cepat pada daerah las mengakibatkan tersimpan energi tegangan sisa tertinggi. Lalu, daerah HAZ memiliki struktur mikro bainite yang merupakan agregat dari ferrite dan cementite. Perlu diketahui, menurut Rochim (1993) struktur metalografi berkaitan dengan kemampuan suatu komponen mencegah kerusakan. Gaya yang bereaksi
19
20
akan membuat bagian-bagian komponen terjadi tegangan. Tegangan itu akan terakumulasi bersama tegangan sisa, yang bila harganya melebihi kekuatan material akan menimbulkan retak mikro. Apabila beban berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama retak mikro akan membesar dan terjadi kerusakan akibat kelelahan (fatique).
Gambar 2.4. Diagram Continuous Cooling Transformation (CCT) baja karbon (Callister, 2001). 2.2.4 Material Teknik 2.2.4.1 Sifat-Sifat Mekanik Material teknik menurut Vlack dan Djaprie (1992), berkorelasi erat dengan parameter-parameter sifat mekanik bahan, dimana deformasi terjadi apabila bahan (material) mengalami gaya. Parameter sifat mekanik bahan adalah sebagai berikut: 1. Regangan (strain) adalah besar deformasi persatuan panjang. Regangan awal juga berbanding lurus dengan nilai tegangan, serta memiliki sifat mampu balik (reversible), bila tegangan ditiadakan regangan hilang, fenomena ini disebut regangan elastis. Sementara itu, regangan plastis terjadi bila regangan tetap ada pada material saat tegangan ditiadakan. 2. Tegangan (stress) adalah gaya persatuan luas. Dimana, selama deformasi suatu material menyerap energi terhadap gaya yang bekerja sepanjang jarak deformasi.
20
21
3. Kekuatan (strength) adalah ukuran besar gaya yang diperlukan hingga bahan rusak atau patah. Lalu, ketahanan suatu bahan terhadap deformasi palstis disebut kekuatan luluh. 4. Keuletan (ductility) nilai regangan plastis sebelum terjadi patah atau kegagalan. Deformasi plastis umumnya terletak pada daerah susut, dimana persentase perpanjangan tergantung pada panjang ukur. 5. ketangguhan (toughness) adalah jumlah energi yang mampu diserap suatu bahan hingga terjadi patahan. 2.2.4.2 Struktur Kristal Menurut Callister (2001), Kristal merupakan susunan atom-atom secara teratur dalam pola tiga dimensi. Struktur kristal berhubungan serta berpengaruh terhadap sifat-sifat suatu bahan. Deskripsi struktur kristal didekati dengan bentuk bola padat dengan ukuran dan diameter tertentu sebagai unit sel. Struktur kristal pada konteks pengukuran tegangan sisa dengan metode hamburan neutron dipakai untuk menentukan arah bidang kristal. Unit sel pada struktur kristal secara umum diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Face Centered Cubic (FCC)
Gambar 2.5. (a) Struktur kristal face centered cubic, (b) FCC dalam unit sel, (c) susunan FCC dalam banyak atom. (Callister, 2001)
21
22
Struktur kristal tipe FCC banyak ditemukan pada material logam, dengan atom terletak di setiap sudut-sudut dan pusat di semua sisi-sisi kubus. Mateial logam dengan struktur kristal FCC seperti, tembaga, alumunium, perak, serta emas. Gambar struktur kristal FCC tersaji pada Gambar 2.5. 2. Body Centered Cubic (BCC) BCC adalah unit sel dengan atom yang terletak pada sudut sudut kubus dan atom tunggal di pusat kubus. Jadi BCC terdiri dari dua atom ditiap sel, satu atom di delapan sudut, dan satu yang lainnya pada pusat atom tunggal. Material yang memiliki struktur kristal BCC seperti kromium, besi, dan tungsten. Gambar 2.6 merupakan citra dari unit sel BCC.
Gambar 2.6. (a) Struktur kristal body centered cubic, (b) BCC dalam unit sel, (c) susunan BCC dalam banyak atom. (Callister, 2001) 3. Hexagonal Close Packed (HCP)
Gambar 2.7. (a) HCP dalam unit sel, (b) susunan HCP dalam banyak atom (Callister, 2001). Unit sel struktur kristal tidak semuanya berbentuk kubus. Gambar 2.7 menunjukkan struktur kristal berbentuk Hexagonal Close Packed (HCP). Sisi bagian atas dan bawah terdiri dari enam atom membentuk segi enam yang 22
23
mengelilingi atom tunggal ditengah. Lalu ada tambahan tiga atom diantara bagian atas dan bawah, jadi total ada 17 atom tunggal. Material dengan struktur kristal HCP meliputi, kadmium, magnesium, titanium, dan seng. 2.2.4.3 Arah dan Bidang Kristalografi Menurut Callister (2001), arah kristalografi didefinisikan sebagai garis antara dua titik atau unit vektor berdasarkan aksisnya. Arah suatu kristal ditulis dengan tanda kurung [ ], misal arah [100], [110], atau [111]. Berikut ini langkah-langkah menentukan tiga bidang kristalografi: 1. Sebuah vektor diposisikan hingga melewati sistem koordinat 2. Panjang vektor dari tiga sumbu masing-masing telah ditentukan menurut dimensi unit satuan a, b, dan c. 3. Ketiga vektor dikali atau dibagi dengan faktor umum sehingga didapat nilai integer terkecil. 4. Ketiga indeks disajikan dalam persegi kurung [uvw], dengan u, v, dan w adalah bilangan bulat sesuai proyeksi sepanjang x, y, dan z. Arah kristalografi pada unit sel disajikan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Arah unit sel [100], [110], dan [111]. (Callister, 2001) Sementara itu bidang kristalografi adalah objek dua dimensi, garis normal dari bidang irisan digunakan untuk mendeskripsikan bidang ini. unit sel dipakai sebagai dasar, pada sistem koordinat tiga sumbu. Kecuali sistem kristal heksagonal, bidang kristalografi dijelaskan dengan tiga indeks miller (hkl), ditulis dalam tanda kurung, (Callister, 2001).
23
24
Prosedur yang dipakai dalam menentukan nomor indeks h, k, dan l, adalah sebagai berikut: 1. Bidang dibuat pada unit sel, bidang baru dibuat dari sudut unit sel yang lain. 2. Bidang kristalografi berpotongan atau parallel dari tiap-tiap tiga sumbu, panjang potongan untuk setiap sumbu ditentukan dalam parameter kisi a, b, dan c. 3. Sebuah bidang sejajar dengan sumbu memiliki indeks nol. 4. Tiga angka indeks dibuat menjadi ukuran terkecil dengan bilangan bulat, perkalian dan pembagian dengan faktor umum. 5. Indeks disajikan tanpa koma dalam kurung, seperti pada Gambar 2.9, (hkl).
Gambar 2.9. Representasi bidang krisalografi, a. (001), b. (110), dan c. (111). (Callister, 2001) 2.2.5 Frekuensi Natural (Getaran) Getaran terdiri dari getaran bebas dan paksa. Getaran bebas terjadi apabila sistem berosilasi akibat gaya dalam sistem dan tidak terdapat gaya dari luar. Sistem ini akan mengalami getaran dengan satu frekuensi natural atau lebih, akibat distribusi massa dan kekakuannya. Getaran paksa terjadi akibat gaya luar,
24
25
dimana sistem dibuat bergetar sesuai frekuensi rangsangan. Apabila frekuensi rangsangan sama dengan frekuensi natural sistem maka terjadi resonansi dan osilasi yang berlebih (Mustafa, 2011). Meningkatnya frekuensi natural sistem dapat menyebabkan getaran berlebih, yang mampu mengakibatkan kerusakan suatu elemen mesin. Solusi mengurangi getaran dapat dengan cara membuat redaman hingga level tertentu. Model matematika Yongyi dan Lichuan (1996) terkait hubungan tegangan sisa dengan frekuensi natural menyebutkan bahwa makin tinggi tegangan sisa akibat pengelasan maka frekuensi natural komponen akan meningkat. Jason, dkk (2014) juga menyebutkan tegangan sisa akibat pengelasan dapat berpengaruh terhadap nilai frekuensi natural sistem. Besarnya modulus kekakuan ditentukan oleh nilai pertambahan panjang Δl, dimana semakin kecil Δl berakibat semakin kaku sebuah sistem. Sementara itu, rumus umum yang dipakai untuk menentukan frekuensi pribadi seperti diekspresikan persamaan 2.16. Pada konteks pengelasan logam perubahan struktur mikro dan timbulnya tegangan sisa telah meningkatkan nilai modulus kekakuan pada massa benda yang sama. Perubahan parameter kisi sebagai pembanding dalam menentukan tegangan sisa dapat identik dengan pertambahan panjang Δl untuk mencari regangan (ε). F = k . Δx
(2.13)
Δl = l1 - l0
(2.14)
k = F / Δl
(2.15)
ωn = √(k/m)
(2.16)
dimana, F = gaya yang bekerja (N) Δx = perpindahan (m) l = panjang (m) ωn = frekuensi natural k = modulus kekakuan (N/m) m = massa/ berat (kg)
25