BAB II ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT ACEH
A. Prosedur Pengangkatan Anak di Aceh Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia dan alamiah. Akan tetapi kadang kala naluri itu terbentur pada kehendak dari Yang Maha Kuasa. Kehendak mempunyai keturunan anak tidak terwujud, walaupun usaha terus menerus dilakukan. Kalau memang sudah takdir, 57 usahanya tetap saja tidak kesampaian. Hal yang demikian dapat dipahami dan diyakini oleh masyarakat di Aceh. Walaupun kadang-kadang juga ada di antaranya yang terus berusaha dengan berbagai cara berobat dan berdo'a. Di samping itu ada yang memilih dengan cara berpoligami, kenyataan lain juga didapati umumnya orang yang mampu dan kaya yang tidak mcmpunyai keturunan, mencari anak saudara/famili untuk dipelihara dan disekolahkan. Perbuatan hukum seperti ini sering berakhir dengan kekecewaan. Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan pengangkatan anak diantarannya: 58 a. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak.
57
Dalam masyarakat aceh ada suatu terminology pemahaman keagamaan untuk menghindari frustasi yaitu keyakinan terhadap takdir. “langkah, rezeki, pertemuan (jodoh), maut”. Pemahaman ini telah menghantarkan umat islam diaceh tidak kecewa, walaupun niatnya tidak terpenuhi. 58 Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, 1995, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk melanjutkan garis keturunan, terutama sekali bangsa yang menganut sistem pengabdian kepada leluhur (vooronder verering). a. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya. b. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat intern maupun ekstern. c. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak. d. Untuk memberikan kepuasan bathiniah bagi keluarga yang sangat membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya. Hal dan keadaan inilah yang mendorong banyak jalan untuk menemukan rumusan hukum pangangkatan anak. Perdebatan dan perbedaan pendapat terus berlangsung sementara orang yang mampu memberi perlindungan anak melalui pengangkatan anak tidak terselesaikan. Mengenai jumlah anak angkat di Aceh tidak dapat diangkakan, karena ada keengganan, baik orang tua angkat, maupun anak angkat untuk memberitahukan bahwa dirinya itu seorang anak angkat. Di samping itu juga ada rasa tersinggung bila dikatakan bahwa anaknya sudah diangkat oleh orang lain. Kalau tidak melalui formalitas tertentu, nampaknya tidak ada yang keberatan. Keberatan ini sebetulnya berada pada tataran psikologis saja. Pengangkatan anak pada masyarakat di Aceh Barat, umumnya dilakukan oleh suami isteri yang memiliki kelebihan harta, sedangkan mereka belum dikaruniai anak, walaupun ada sebahagian dari masyarakat melakukan pengangkatan terhadap anak
Universitas Sumatera Utara
keluarga dekat. 59 Oleh sebab itu dapat dipahami bukan karena untuk membela kepentingan anak. Pengangkatan anak dilakukan karena untuk kepentingan orang tua angkat. Karena orang tua angkat tidak punya anak, atau karena kesepian. Banyak masyarakat miskin di Aceh, enggan melepaskan anaknya untuk diangkat oleh orang lain. Bahkan anak terlantar sekalipun tidak mau dilepaskan oleh familinya. Pada hal anak terlantar tersebut membutuhkan orang tua angkat. Anakanak seperti inilah yang dipekerjakan oleh sanak saudaranya. Perlindungan terhadap anak-anak seperti ini sulit dilakukan karena ditangani oleh ahli kerabatnya. 60 Mereka beranggapan bahwa urusan seperti itu adalah urusan keluarga. Orang lain tidak mungkin mencampurinya. Dalam praktek, pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Aceh Barat ini, dilakukan dengan persetujuan keluarga dari masingmasing pihak. Namun, alangkah lebih baik jika pengangkatan anak dalam Islam, dilakukan dengan melalui sebuah penetapan dari Pengadilan Negeri atau Mahkamah Syar’iyah, Hal ini seiring dengan apa yang disebut dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam masyarakat Aceh dikenal struktur kepemimpinan adat yang berbeda dari kepemimpinan administratif formal. Kepemimpinan adat ini membidangi masalah-masalah adat keseharian dalam masyarakat temasuk masalah anak. Beberapa
59
Wawancara dengan masyarakat yang melakukan Pengangkatan Anak, tanggal 10 November 2009 di Meulaboh 60 Wawancara dengan Ibu Dra Marsani, Panitera Penganti, Mahkamah Syar’iyah tanggal 8 November 2009 di Meulaboh
Universitas Sumatera Utara
diantaranya memiliki hak untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat dan keputusannya harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Kepemimpinan adat lebih banyak ditentukan oleh masyarakat sendiri dan tidak memiliki hubungan signifikan dengan pemerintahan kecuali dalam hal -hal tertentu. 61 Adapun Struktur kepemimpinan adat ini diantaranya : a.Imum Mukim. Imum mukim merupakan pimpinan adat di atas keuchik yang membawahi beberapa gampông. Dalam Qanun No.4 Tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampông yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imum Mukim. Peran mukim dalam dalam permasalahan anak sangat signifikan. Ia memiliki wewenang untuk menunjuk seseorang atau sebuah keluarga sebagai pengasuh anak yang tidak memiliki keluarga atau kerabat dekat. Imum mukim dalam hal ini bisa jadi mengambil sang anak untuk tinggal dan hidup bersamanya, namun ia bisa pula menunjukkan orang lain sehingga si anak dapat hidup bersama mereka. Wilayah yang lebih luas dari gampông yang berada di bawah pimpinanya memungkin seorang imum mukim melakukan kebijakan lintas
61
Pemerintahan adat menyelesaikan masalah -masalah adat yang terjadi dalam masyarakat dan mengatur aturan-aturan budaya yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat. baca juga, Muhammad Umar, Peradaban Aceh (Tamaddun); Kilasan Sejarah dan Adat Aceh, Banda Aceh: Yayasan Busafat, 2006
Universitas Sumatera Utara
gampông. Imum mukim pada awalnya dulu juga merupakan ulee kawôm (kepala atau yang dituakan dalam kaumnya) . b. Geuchik Keuchik atau Geuchik merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah gampông. Gampông adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu , dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Geuchik adalah ketua “badan eksekutif gampong” dalam penyelenggaraan pemerintahan gampông (Qanun, No.5 Tahun 2003). Dalam konteks perlindungan anak, geuchik memiliki peran yang penting. Ia memastikan masyarakatnya mendapatkan standar kehidupan yang layak sehingga mampu menghidupi keluarganya. Ia juga menentukan kemana seorang anak yang terlantar harus pulang dan siapa yang menghidupinya. Kalau tidak ada yang bias dan sanggup memelihara si anak, maka geuchik pula yang mengantarkan si anak ke dayah atau kepada teungku dengan jaminan biaya hidup dari masyarakat setempat. c. Tuha Peut Tuha Peut (4 orang yang dituakan) adalah beberapa tokoh adat yang menjadi penasehat sekaligus pengontrol kepemimpinan gampong yang dilaksanakan oleh geuchik. Ada beberapa unsur dalam tuha peut yakni: · Ulama gampoeng · Tokoh pemuda
Universitas Sumatera Utara
· Pemuka adat · Cerdik pandai Tugas pokok dari tuha peut dalam bidang pemeliharaan anak, memberikan penjelasan dan saran -saran yang berguna dalam urusan anak. Tuha peut juga menegur orang tua yang tidak memenuhi kebutuhan dasar anaknya, seperti pendidikan (khususnya beut/mengaji), dan orang tua yang menelantarkan anak anaknya. d. Imum Meunasah Imum meunasah adalah seorang yang dipilih oleh masyarakat desa untuk melaksanakan fungsi memimpin kegiatan agama, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama untuk anak -anak/remaja dan masyarakat, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran masjid/mushalla/meunasah dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan agama. Dalam konteks perlindungan anak, imum meunasah juga memiliki peran besar. Seorang anak yang tidak mengaji akan ditegur oleh imum meunasah dan diilaporkan kepada orang tuanya, demikian juga anak yang melakukan berbagai kesalahan sosial. Ia juga memiliki andil dalam menentukan siapa yang akan mendidik seorang anak yang tidak memiliki keluarga lagi. Bahkan jika tidak ada orang yang mau menghidupi si anak, maka imum meunasahlah yang akan menanggung si anak, jika ia mampu. Namun jika tidak, maka akan diberikan kepada oran lain yang mungkin dapat menghidupinya dan memeliharanya sampai ia mandiri. 62
62
Wawancara dengan Bapak Abdul Ghani, Ulama, di Kelurahan Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, tanggal 11 November 2009
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Aceh, anak yang telah dijadikan anak angkat umumnya berpindah tempat tinggalnya ke rumah orang tua angkatnya. Biasanya perpindahan tersebut dilakukan melalui prosesi upacara adat yang didahului dengan kenduri (hajatan), di mana dalam prosesi tersebut petua adat atau teungku meunasah (imam) dan geuchik (kepada desa), memberikan nasehat-nasehat baik kepada anak angkat maupun kepada orang tua angkatnya. 63 Prosesi tersebut bukan memutuskan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Upacara itu semata-mata dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT, agar anak angkat dan orang tua angkat dapat menjadi keluarga yang baik, dan terjalin hubungan harmonis antara mereka seolah-olah antara anak dengan orang tua kandungnya. Di samping itu, upacara adat juga dimaksudkan untuk memberitakan kepada masyarakat bahwa telah terjadi pengangkatan anak pada suatu desa (gampong). Secara umum telah disadari, bahwa yang terpenting dalam soal pengangkatan anak ini adalah demi kebahagiaan si anak, sehingga sebaiknya pedomannya adalah mencarikan orang tua angkat bagi seorang anak. Dan tekanannya bukan pada mencarikan anak angkat bagi pasangan suami isteri. Kalau mencari anak angkat ada kesan untuk memuaskan orang tua angkat. Akan tetapi kalau mencari orang tua angkat, dapat berarti untuk membela kepentingan anak angkat. Bukan sebaliknya. Seperti yang sekarang terjadi dalam masyarakat di Aceh, khusunya di Aceh Barat
63
Wawancara dengan Bapak Said Umar , Tokoh Adat, di Kelurahan Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, tanggal 12 November 2009
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa banyak anak-anak yang memerlukan uluran tangan orang tua, agar anak-anak dapat tertampung kebutuhannya. Kebutuhan perlindungan hukum, kasih sayang dan kontak person. Panti asuhan tidak dapat mewujudkan kebutuhan anak, dalam arti kontak perseorangan. Anak-anak yang ada di panti asuhan tidak dapat melakukan kontak person dengan orang orang yang mereka inginkan. Anak panti tidak mendapat perhatian sebagaimana dimaksud, karena pengurus panti hanya menggeneralisasi perhatiannya kepada semua anak yang ada di panti asuhan. Pengurus panti tidak dapat membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain. Diperkirakan juga anak-anak yatim atau anak terlantar yang berkeliaran, Anak-anak yatim yang berada di rumah-rumah familinya juga lebih banyak. Pada hal familinya itu tidak mampu membiayai kehidupannya. Kalau biaya kehidupannya saja kurang, apalagi biaya untuk pendidikan dan kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa kebutuhan penanggulangan anak terlantar, anak yatim. anak orang miskin memang sangat mendesak. Penampungan di panti asuhan harus dianggap sebagai proses penampungan sementara. Tujuan akhir dari seorang anak adalah adanya wali perorangan, bukan badan hukum. Wali badan hukum seperti yang telah dijelaskan terdapat hal-hal yang tidak menjamin perlindungan anak angkat. Masalah pengangkatan anak ini, merupakan problema masyarakat, bahkan Ketika musibah tsunami di Aceh juga berkembang berita tentang isu pemurtadan, karena banyak Negara-negara non muslim atas nama LSM-nya mengadopsi anakanak muslim di Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu cara untuk melindungi anak dari permasalahan tersebut, Anak diasuh oleh petua adat desa, baik imum mukim, geuchik atau teungku. kalaupun anak tersebut masih ada saudara, tapi sudah dalam keadaan la’eh (sudah sangat tua). Dalam kondisi begini maka tidak mungkin mereka akan mengasuh anak, sebab mereka sendiri membutuhkan “asuhan”. 64 Ada budaya dalam masyarakat Aceh untuk menyerahkan si anak kepada teungku, baik teungku di kampung atau teungku pimpinan dayah. Si anak akan hidup di dayah dan tinggal bersama teungku. Anak akan hidup bersamanya sambil belajar ilmu agama hingga ia dewasa dan berkeluarga. Pengangkatan anak bagi yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang beragama Islam, dan pengangkatan anak diperlukan adanya persetujuan dari orang tua asal, wali atau orang/badan yang menguasai anak yang akan diangkat dengan calon orang tua angkatnya. Menurut Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam, anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Prosedur pengangkatan anak menurut KHI dilaksanakan di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’yiah. Di antara tujuan pengangkatan anak melalui lembaga Pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum, dokumen hukum. Dokumen hukum telah terjadinya pengangkatan secara
64
Wawancara dengan Bapak Said Umar, Tokoh Adat, di di Kelurahan Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, tanggal 12 November 2009
Universitas Sumatera Utara
legal sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut akan berdampak jauh ke depan sampai beberapa generasi keturunan yang menyangkut aspek hukum kewarisan, tanggung jawab hukum, dan lain-lain. Sedangkan, penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting, karena dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari suatu pasangan suami isteri sebagai orang tua angkatnya, maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga itu, karena anak angkat itu telah terputus hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, dan lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandung, maka kewajiban orang tua angkat harus mencatatkan anak angkatnya itu ke Kantor Dinas Administrasi Kependudukan, yang dahulu bernama Kantor Catatan Sipil untuk memperoleh akta pengangkatan anak yang memuat peristiwa atau kejadian hukum yang timbul antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. 65 Dasar pengajuan pencatatan anak angkat ke Kantor Dinas Administrasi
Kependudukan
adalah
Penetapan
Pengadilan
Negeri
tentang
Pengangkatan Anak. Dengan lahirnya surat “Akta Pengangkatan Anak” dari Kantor Dinas Kependudukan tersebut, maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua kandungnya (orang tua asal) secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan
65
Pasal ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran.
Universitas Sumatera Utara
sendirinya karena aspek administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua orang tua kandung. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolute untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak yang berbentuk “Penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang Pengangkatan Anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk “Penetapan”. Anak angkat berdasarkan hukum Islam oleh Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat dalam hukum Islam juga tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas. Oleh karena itu, tidak diandaikan seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka akta kelahiran anak angkat tersebut dapat digugurkan atau hapus dengan sendirinya dengan ditetapkannya Penetapan Pengangkatan Anak oleh Pengadilan Agama. Konsekuensi logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan berdasarkan hukum Islam oleh orang tua angkatnya di Kantor Dinas Administrasi Kependudukan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun proses Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iah Meulaboh, dari keterangan responden adalah dilaksanakan sebagai berikut: 66 A. Pengangkatan anak terhadap seorang orang tua yang tidak kawin (single parent). 1) adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syarat-syarat dan surat surat bukti, antara lain: a) Berita Acara penyerahan anak. b) Foto copy Surat Nikah orang tua kandung si anak c) Foto copy Kartu Tanda Penduduk orang tua kandung si anak. d) Foto copy Kutipan Akte Kelahiran e) Foto copy Kartu Keluarga orang tua kandung si anak f). Surat Pernyataan Daftar Gaji atas nama pemohon. 67 1) Proses Pemeriksaan di persidangan pada hari yang telah ditetapkan, yaitu: a) Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti foto copy surat-surat bukti yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya. b) Pemeriksaan Terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaan orang tua yang mengangkat anak dan anak yang diangkat. c) Pemeriksaan terhadap pemohon 66
Wawancara dengan Bapak Drs. Zainy Usman SH, Wakil ketua Mahkamah Syar’iyah tanggal 8 November 2009 di Meulaboh. 67 Dalam hal yang melakukan pengangkatan anak adalah Notaris yang tentunya tidak punya daftar gaji, Jabatan Notaris telah jelas diatur dalam UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah sebagai pejabat umum, dan di dalam Pasal 36 telah diatur tentang Honorarium bagi Notaris.
Universitas Sumatera Utara
d) Penetapan hakim pengesahan pengangkatan anak. 68 B. Pengangkatan anak terhadap Orang Tua Yang Telah Berkeluarga. 1) Adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syaratsyarat dan surat surat bukti, antara lain: a. Foto copy Kutipan Akta Nikah Pemohon b. Foto copy Kartu Keluarga Pemohon c. Foto copy Kartu Tanda Penduduk Pemohon d. Foto copy Kartu Tanda Penduduk orang tua kandung e. Foto copy Kartu Tanda Penduduk saksi f. Foto copy Surat Keterangan Kelahiran calon anak angkat g. Foto copy Surat Keterangan Penyerahan anak dari orang tua kandung 2) Proses Pemeriksaan dipersidangan pada hari yang telah ditetapkan, yaitu ; a. Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti fotocopy suratsurat yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya. b. Pemeriksaan terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaaan orang tua yang mengangkat anak dan orang tua dari anak yang diangkat. c. Pemeriksaan terhadap pemohon d. Penetapan hakim pengesahan pengangkatan anak.
68
Atas dasar penetapan hakim tersebut, maka kewajiban orang tua anak untuk mencatatkan ke kantor Catatan Sipil untuk dikeluarkan Akta Pengangkatan Anak.
Universitas Sumatera Utara
C. Pengangkatan anak yang tidak diketahui asal usul orang tua kandung dari calon anak angkat. 1) Adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syaratsyarat dan surat surat bukti, antara lain ; a) Foto copy Surat Keterangan kelahiran anak yang dikeluarkan oleh Rumah Bersalin atau Surat Keterangan Kelahiran anak yang dikeluarkan oleh Yayasan Panti Asuhan tempat asal si anak. b) Foto copy Kartu Keluarga / Akta Perkawinan pemohon. c) Foto copy Kartu Tanda Penduduk pemohon d) Foto copy Surat Keterangan Penyerahan anak yang dikeluarkan oleh Rumah Bersalin/Yayasan Panti Asuhan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Kelurahan/ Camat tempat tinggal orang tua yang mengangkat anak 2) Proses Pemeriksaan dipersidangan pada hari yang telah ditetapkan, yaitu ; a) Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti foto copy surat-surat yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya. b) Pemeriksaan terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaaan orang tua yang mengangkat anak dan anak yang diangkat. c) Pemeriksaan terhadap Pemohon d) Penetapan Hakim mengesahan pengangkatan anak.
Universitas Sumatera Utara
B. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Hukum Nasional Indonesia Pengangkatan anak merupakan realitas hukum masyarakat. Pengangkatan anak tidak hanya dipraktekan dalam kehidupan masyarakat muslim, tetapi juga dikenal dalam kehidupan masyarakat non muslim 69 . Dalam praktek masyarakat non muslim, pengangkatan anak tidak banyak menimbulkan persoalan, karena ketentuan perundang-undangan bagi mereka cukup jelas. Dalam hukum perdata, pengangkatan anak dilakukan bukan hanya memberikan perlindungan kepada anak angkat, dan menjaga kepentingan anak angkat, tetapi juga untuk menjadi sarana pengalihan harta dari orang tua angkat kepada anak angkat. Institusi pengangkatan anak adalah salah satu penyebab terjadinya perpindahan harta dari orang tua angkat yang meninggal dunia kepada anak angkat yang masih hidup. Tegasnya, pengangkatan anak dapat menjadi alasan saling mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkat. Ketentuan tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983. Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan ;
69
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Hal. 35
Universitas Sumatera Utara
1. Orang tua angkat wajib memberi tahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. 2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Dari bunyi pasal di atas bahwa pengangkatan anak yang dilakukan secara adat maupun dengan Penetapan Pengadilan tidak diperbolehkan memisahkan hubungan darah antara si anak angkat dengan orang tua kandungnya yang bertujuan antara lain untuk mencegah kemungkinan terjadinya perkawinan sedarah. Menurut hemat peneliti bahwa semua ajaran agama dan juga hukum adat melarang perkawinan sedarah. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak angkat maka orang tua angkat harus mempunyai data yang jelas mengenai asal usul keluarga anak angkat dan pada saat yang tepat wajib memberitahukannya kepada anak angkatnya. 70 Sehubungan dengan itu Hazairin mengemukakan : Masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat, yaitu hukum yang mencerminkan masyarakat dari seluruh hukum maka hukum perkawinan dan hukum kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Bentuk kekeluargaan yang berpokok pada sistem (garis) keturunan. Pada pokoknya ada 3 (tiga) sistem keturunan yaitu : 1. Patrilinial 2. Matrilinial. 3. Parental (Bilateral). 70
Berdasarkan pasal 79 Undang-undang No. 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak bahwa pengangkatan anak yang bertentangan dengan pasal 39 ayat (1), (2) dan (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda npaling banyak Rp. 100.000.000,-
Universitas Sumatera Utara
Untuk daerah-daerah yang sistem clan atau kekerabatannya masih kokoh, alasan pengangkatan anak di luar clan pada umumnya, karena kekhawatiran akan habis mati kerabatnya. Keluarga yang tidak mempunyai anak dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya, bersama-sama kerabatnya memungut dan mengangkat seorang anak sebagai perbuatan kerabat, dimana anak itu menduduki seluruhnya kedudukan anak kandung dari ibu-bapa yang memungutnya dan terlepas dari golongan anak sanak saudaranya. Pengangkatan ini harus dilaksanakan dengan upacara-upacara tertentu dan dengan bantuan penghulu-penghulu setempat serta disaksikan oleh khalayak ramai dan diketahui serta dipahami oleh anggota keluarga dari yang mengangkat anak, agar menjadi jelas dan statusnya menjadi terang bagi anggota kerabat. Cara seperti ini dijumpai di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Di Bali praktek pengangkatan anak hampir selalu dalam lingkungan clan besar dan pada kaum keluarga yang karib dan kerabat, walaupun di masa akhir-akhir ini juga diperbolehkan mengangkat anak yang berasal di luar clannya dengan pertimbangan kekhawatiran akan meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan akan kehilangan keturunannya sendiri, atau mati punah. Di Minahasa kecenderungan untuk mengangkat anak guna dijadikan penerus garis keturunan sendiri, di samping ada maksud-maksud lain, seperti untuk memperoleh tenaga kerja di rumah dan lain-lain. Dalam hal terakhir ini juga ada keluarga yang mempunyai anak, jadi mengangkat anak lebih didasari oleh maksud menambah tenaga kerja di rumah. Dan seperti inilah yang dimaksud pengangkatan anak untuk kepentingan orang tua angkat, bukan kepentingan anak.
Universitas Sumatera Utara
Di daerah Malang dan Kabupaten Garut ada juga alasan orang mengangkat anak sebagai `pancingan', yakni berharap supaya mendapat anak kandung sendiri. Di samping itu ada juga karena rasa kasihan terhadap anak kecil yang telah menjadi yatim piatu atau disebabkan orang tua mereka tidak mampu memberi nafkah. Pokoknya ada berbagai faktor kebutuhan orang untuk melakukan pengangkatan anak. Di daerah-daerah lainnya seperti di Kecamatan Cikajang Garut, motivasi pengangkatan anak adalah karena orang tua yang bersangkutan hanya mempunyai anak laki-laki saja, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya. Sedangkan pada suku Semendo di Sumatera Selatan atau oleh suku Dayak Landak dan Dayak Tayan di Kalimantan Barat, biasanya hanya mengangkat anak perempuan, tanpa terikat oleh clan, agar supaya mempunyai anak perempuan yang tetap dapat mengawasi kekayaan, dan anak perempuan mendapat kedudukan di atas dari anak laki-laki. Pada suku-suku bangsa terakhir ini, apabila anak perempuan yang tertua kawin, maka suaminya harus tetap tinggal di rumahnya, karena ia sebagai pemelihara pusaka keluarga. R. Supomo mengemukakan pendapat sebagai berikut: "Ada juga orang mengangkat anak perempuan, supaya bisa dikawinkan dengan seorang anak laki- laki menurut cara perkawinan antara anak bersaudara (Cross causin huwelijk), yaitu di kepulauan Kei yang di sana sangat disukai hal semacam ini". Di daerah Kecamatan Sambas dan Ngabang Kalimantan Barat, ada lagi motivasi pengangkatan anak untuk menambah jumlah keluarga dalam rumah tangga bagi yang sudah mempunyai anak, serta ada juga karena keinginan mempunyai anak laki-laki, sebab tidak mempunyai anak laki-laki dan sebaliknya merupakan
Universitas Sumatera Utara
kekurangan. Pengangkatan anak semacam ini disebut dengan istilah `kepengin'. Sedangkan pengangkatan anak yatim piatu disebut dengan istilah `anak umang'. Motif seperti ini juga ada dalam masyarakat adat Aceh. Oleh karena itu warisan dari berbagai daerah di atas adalah merupakan cerminan perbuatan hukum yang sama dalam masyarakat, begitu juga di Nanggroe Aceh Darussalam. Lain lagi dengan daerah Kabupaten Batang hari Palembang, khususnya Marga Mestong. Di sini pengangkatan anak, di samping tidak mempunyai anak juga karena faktor kepercayaan, yakni harapan isterinya akan hamil, dan sebagai sarana mempererat hubungan kekeluargaan. Dianggap sebagai pancingan. Cara seperti itu juga dianggap sebagai salah satu cara bentuk do'a. Artinya keluarga itu senang sekali pada anak-anak. Berilah untuk mereka anak. Dan semua orang yang melihatnya akan berkata seperti itu. Adakalanya pengangkatan anak karena permintaan dari orang tuanya sendiri, karena anak-anaknya terdahulu selalu meninggal dunia. Motivasi ini terdapat di beberapa daerah, seperti di Kecamatan Tobelo dan Golela Ambon, dimana orang yang mengangkat anak dari suatu keluarga yang anak-anaknya selalu meninggal dunia setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan niat untuk menyelamatkan anak. Dalam masyarakat Aceh disebut dengan mencari "keserasian".(meurasi). Di beberapa daerah di Kabupaten Gersik (Jawa Timur), ada juga motivasi pengangkatan anak untuk menolong orang tua si anak yang biasanya adalah saudaranya sendiri yang tidak mampu. Di kabupaten Paniai Jayapura motivasi pengangkatan anak antara lain juga untuk membantu orang tua yang mengangkat
Universitas Sumatera Utara
anak tersebut dalam pekerjaan sehari-hari. Pengangkatan ini berkaitan dengan penambahan tenaga kerja. Penambahan tenaga kerja ini kaitannya juga dengan harapan tenaga kerja yang terpercaya. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, juga tidak jarang ditemui kejadiankejadian adopsi semu, seperti dikemukan oleh Ny. Herlian Sumampouw, 71 "Adopsi yang dilakukan sehubungan dengan tindakan magis, agar terhindar dari bahaya, misalnya seorang anak yang sakit terus menerus disebabkan hari kelahiran anak tersebut sama dengan hari pasar (pon, kliwon, wage, dan seterusnya) dari salah satu dari kedua orang tuanya, untuk menghindarkan hal tersebut anak itu kemudian diberikan kepada orang tua lain (biasanya saudara dari ibu/ bapaknya)". Dari gambaran di atas, berarti terdapat berbagai variasi dalam motif pengangkatan anak di Indonesia. Kalau dilihat dari sudut anak yang diangkat, maka Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya "pengantar dan Azas-azas Hukum Adat" dapat diringkaskan sebagai berikut: a. Mengangkat anak bukan warga keluarga Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula, Alasan adopsi adalah umumnya takut tidak ada keturunan. Pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi dengan upacara adat serta dengan bantuan Kepala Adat. Adopsi seperti ini terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
71
Zaini Muderis, Adopsi Suatu tinjauan dari tiga sistem Hukum, ( Jakarta : Sinar grafika, 2002), Hal. 11
Universitas Sumatera Utara
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga Takut tidak mempunyai anak terkadang juga merupakan alasan dari pelaksanaan adopsi, seperti di daerah Bali yang disebut `Nyentanayang'. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya yang disebut 'purusan', tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari kalangan luar clan. Bahkan dibeberapa desa dapat pula diambil anak dari kalangan keluarga isteri (pradana). c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan Perbuatan ini banyak terdapat di Pulau Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sebab-sebab mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah: 1. Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut merupakan jalan untuk mendapat keturunan 2. Karena belum dikarunia anak, sehingga dengan mengangkat keponakan ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak. 3. Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya. Selain dari cara dan motivasi pengangkatan anak di atas, masih ada juga yang bertujuan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih baik kepada anak yang diangkat tersebut. Perbuatan-perbuatan yang demikian ini menurut Surojo Wignjodipuro, adalah misalnya: a. Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki istrinya.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan hukum ini sangat menguntungkan anak yang bersangkutan, sebab anak tersebut dengan keangkatannya itu menjadi memperoleh hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya (Lampung, Bali); b. Mengangkat anak tiri (anak istrinya) menjadi anak sendiri, karena tak mempunyai anak sendiri. Di daerah Rejang perbuatan ini disebut `mulang jurai', sedang pada suku Mayansiung Dayak, disebut `ngukup anak'. Mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri, demikian ini di daerah Rejang tidak diperkenankan, apabila bapak dari anak itu masih hidup. Di daerah Minangkabau terdapat adopsi yang semacam ini, yaitu mengangkat anak dari seorang isteri, bukan dari suku Minang dalam suku ibunya, hingga anak tersebut masuk dalam sukunya sendiri. Di samping itu di daerah Minangkabau terdapat pula mengangkat anak dengan tujuan untuk mencegah punahnya sesuatu kerabat, yaitu dengan jalan mengadopsi anak perempuan. Di Indonesia belum mempunyai lembaga yang dapat mengawasi tingkat perhatian orang tua angkat kepada anak angkatnya. Pengawasan ini lebih penting dibandingkan dengan pengawasan perlakuan kekerasan terhadap anak kandungnya. Perlindungan terhadap anak pada umumnya telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, tetapi belum ada perlindungan terhadap anak angkat secara khusus. Dalam perkembangan sekarang ini, menurut pengamatan para ahli, seperti yang ditulis oleh Kustiniyati Mochtar, bahwa:
Universitas Sumatera Utara
"Adopsi antara negara mulai dilakukan setelah perang dunia kedua. Ketika itu mulai tampak keinginan orang dari negara maju untuk mengangkat anak dari negara miskin, yang mereka sebut dari dunia ketiga. Alasannya tak lain adalah rasa sosial dan kemanusiaan, keinginan memberi bantuan kepada yang lebih miskin dan adanya fakta, bahwa banyak orang di negara maju tak dapat mempunyai anak sendiri. Sejak itu jumlahnya terus meningkat, sehingga mencapai jumlah sebagaimana sekarang ini". Dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa masalah pengangkatan anak ini merupakan problem masyarakat, yang dapat berakibat pada hubungan antar negara yang sudah tentu berimbas pula kepada soal-soal politik. Salah satu indikasi terhadap banyaknya kasus-kasus yang timbul yang mempunyai hubungan dengan perlindungan anak adalah kegiatan eksport bayi, jelas terlihat dalam berita-berita di berbagai Koran atau majalah pada beberapa tahun terakhir ini. Kalau keadaan ini tidak ditanggulangi melalui keabsahan dan adanya peraturan perundang-undangan pengangkatan anak, maka kasus-kasus seperti yang telah disebutkan diatas akan berlipat ganda, walaupun usaha untuk menanggulanginya telah dilakukan dengan berbagai cara. Sejumlah, buku dan artikel pun telah beredar, bahkan telah dikeluarkan sejumlah peraturan tentang anti traficking. 72 Peristiwa-peristiwa seperti ini merupakan ilustrasi betapa ramainya kegiatan negative itu sehubungan dengan masalah adopsi ini, sehingga kadang-kadang disebut orang sebagai `dagang anak'. 73 Hal ini penting diketahui umum dan bukan berarti mengecilkan usaha positif yang selama ini dilakukan pemerintah di bidang sosial,
72
Faqihuddin Abdul Kadir dkk, fiqh anti trafficking ; Jawaban Atas berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perpektif Hukum Islam, ( Cirebon : Fahmina-Institute, 2006), Hal. 94 73 Ibid
Universitas Sumatera Utara
seperti dalam pengurusan anak terlantar, perawatan anak di panti-panti asuhan, pengembalian anak ke tengah keluarganya sendiri; baik dalam keluarga angkat di negeri sendiri atau pun dalam penyerahan mereka untuk adopsi. Adanya lembaga adopsi/pengangkatan anak dapat menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Kalau masyarakat muslim tidak mau anak orang muslim diangkat oleh non muslim, tentu saja orang Islam harus mengangkat sendiri. Kalau tidak mau menggunakan istilah pengangkatan anak, boleh saja menggunakan istilah pengasuhan anak. Sebagai salah satu kebutuhan masyarakat yang positif dapat dilihat dari motifmotif yang mendasari adanya lembaga adopsi atau pengangkatan anak ini di Indonesia. Inti dari motif pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia dapat diringkaskan sebagai berikut: 1. Karena tidak mempunyai anak 2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya 3. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu) 4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan atau sebaliknya 5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung
Universitas Sumatera Utara
6. Untuk menambah tenaga kerja dalam keluarga 7. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak 8. Karena unsur kepercayaan 9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung 10. Adanya hubungan keluarga, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut, supaya anaknya dijadikan anak angkat 11. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak 12. Ada juga karena merasa belas kasihan atas nasib si anak yang seperti tidak terurus 13. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan 14. Anak dahulu sering berpenyakitan atau selalu meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur. 15. Berdasarkan kasus-kasus seperti di Aceh, perlu ditambah satu point lagi yaitu dorongan agama yang bertujuan untuk menyelamatkan agama si anak. Demikian antara lain beberapa motivasi pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan di Indonesia, sehingga jelas adanya lembaga adopsi ini adalah suatu kebutuhan masyarakat di Aceh dan juga di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Berangkat dari beberapa kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa lembaga adopsi ini merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sekaligus memerlukan suatu ketertiban
dan
ketuntasan
dalam
mekanisme
pelaksanaannya.
Mekanisme
pelaksanaan ini harus dimulai dari peraturan perundang-undangan, serta bentukbentuk formulir-formulir yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan pangamanan lembaga pengangkatan anak. Berkaitan dengan permasalahan diatas, bahwa dengan meningkatnya peperangan saat ini, juga mengakibatkan banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya, demikian juga karena kelahiran anak di luar perkawinan, sehingga menimbulkan masalah untuk melindungi anak anak yang tidak berdosa tersebut. Salah satu cara untuk menyelamatkan masa depan anak-anak tersebut adalah dengan cara adopsi. Hal ini tentu saja relevan sekali dengan Declaration of the Right of child yang diterima dalam sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 November 1959 yang menyatakan tentang hak-hak Universal dari anak. Anak-anak merupakan generasi penerus yang sangat diharapkan untuk meneruskan pembangunan suatu bangsa, dan ada benarnya bila dikatakan bahwa anak adalah `bunga bangsa' (children are the flowers of man kind). Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna, sehat lahir dan batin, dibutuhkan lingkungan hidup yang sehat dan memberikan kesempatan yang sama untuk hidup layak. Kalau orang tua kandung tidak mampu lagi memberi perlindungan sebagaimana layaknya, maka sepantasnyalah diberikan oleh orang tua pengganti.
Universitas Sumatera Utara
Mengabaikan dan tidak memantapkan perlindungan anak/ remaja adalah sesuatu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, kurang perhatian dan tidak diselenggarakannya perlindungan anak/ remaja, akan membawa akibat yang sangat merugikan diri sendiri di kemudian hari. Dalam arti luas dan pada hakikatnya ini juga bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 34 UUD 1945 jelas menentukan dan membebankan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai kegiatan, dalam rangka memberi perhatian kepada anak terlantar dan fakir miskin. Pengangkatan anak harus mengutamakan kepentingan anak dari pada kepentingan orang tua angkat. Namun Hal ini tidak boleh mempunyai akibat pemanjaan anak yang akan merugikan anak yang bersangkutan pada suatu ketika kelak. Pemanjaan di luar kepatutan akan merugikan anak itu sendiri. Pengangkatan yang bukan berdasarkan kepentingan anak dilarang. Itulah sebabnya pengangkatan anak tidak boleh secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi harus terbuka. Pengangkatan anak secara terbuka melalui pengadilan, akan mendapatkan pantauan dari masyarakat atau lebih khusus lagi ada lembaga tertentu yang bertugas untuk itu. Seperti halnya Baitul Maal dalam masyarakat muslim. Pengangkatan anak bertujuan agar anak tersebut mendapatkan kasih sayang dan pengertian dari orang tua angkat dan sekelilingnya, serta menikmati hak-haknya tanpa mempersoalkan ras, warna, kulit, seks, kebangsaan atau sosial. Di sinilah perlunya berperan misi ketertiban dalam arus lalu lintas berbagai kepentingan yang bersimpang siur, sehingga setiap kebutuhan masyarakat dapat
Universitas Sumatera Utara
terpenuhi dengan tepat. Kepentingan perlindungan anak angkat merupakan kepentingan yang tidak boleh ditawar-tawar, dan merupakan kebutuhan mutlak. Dalam hal pengangkatan ini, dimana di satu pihak , kepentingan orang tua yang mengangkat dengan sejumlah motif yang ada di belakangnya dapat terpenuhi dengan baik, sedang di pihak lain, untuk kepentingan anak yang diangkat, harus lebih terjamin kepastian masa depannya. Di samping itu pula kehormatan orang tua kandungnya sendiri dengan tujuan-tujuan tertentu dari penyerahan anaknya itu harus dipenuhi, demi tercapainya pergaulan hidup manusia secara damai. Dilihat dari sudut lain, adopsi adalah sebagai kebutuhan masyarakat, oleh karena itu sekaligus ia adalah sebagai bagian dari kebudayaan. Sedang hukum juga kalau ditilik dari sudut pengetahuan adalah sebagai bagian dari kebudayaan. Jadi disinilah titik tautnya, bahwa adopsi adalah sebagai suatu lembaga hukum yang hidup dan berkembang dan diperlukan keberadaannya oleh masyarakat. Lembaga-lembaga dalam masyarakat, termasuk lembaga hukum tidak lepas dari pengaruh praktik, Budaya dan keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena peran politik dan budaya perlu dikawal agar sesuai dengan keyakinan masyarakat. 74 Sebagai satu lembaga hukum, maka dalam Stelsel Hukum Barat yang bersumber dari BW tidak ada yang mengatur masalah adopsi ini secara khusus, kecuali hanya terdapat dalam staatsblad 1917 nomor 129 dan ketentuan ini pun hanya khusus berlaku bagi orang-orang yang termasuk golongan Tionghoa. Sedang dalam
74
Gabriel A. Almond dan Sidney verba, Budaya Politik; Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1984
Universitas Sumatera Utara
KUHPerdata yang terdapat hanya ketentuan pasal 39 KUHPerdata yang mengatakan tentang anak luar kawin yang diakui dan Pasal 40 yang mengatur tentang anak luar kawin yang tidak diakui. Dalam Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 bahwa yang boleh mengadopsi adalah seorang laki beristeri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan lakilaki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya. Ketentuan ini hendak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan terhadap anak laki-laki, pengangkatan anak terhadap anak perempuan tidak sah. Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang juga tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Di sini tidak diatur secara konkrit mengenai batasan usia dan orang yang belum berkawin untuk mengangkat anak. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Staatsblad 1917 No. 129 yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya pula 15 tahun lebih muda dari pada si isteri atau si janda yang mengangkatnya.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, tata cara pengangkatan anak itu diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 10 Staatsblad 1917 Nomor 129, di mana pada Pasal 8 disebutkan: (1) Persetujuan dari orang atau orang-orang yang melakukan adopsi. (2) a. apabila, yang diadopsi itu seorang anak yang sah, persetujuan dari orang tuanya, atau kalau salah seorang dari antaranya telah meninggal lebih dahulu persetujuan dari orang yang hidup lebih lama, kecuali dalam hal ibu telah beralih ke perkawinan baru; dalam hal ini, seperti halnya kalau kedua orang tuanya telah meninggal; untuk adopsi seorang yang di bawah umur disyaratkan persetujuan dari walinya dan dari Balai Harta Peninggalan. b. apabila yang diadopsi itu seorang anak luar kawin, persetujuan dari kedua orang tuanya, kalau ia diakui keduanya, atau kalau salah seorang di antaranya telah meninggal lebih dahulu,maka persetujuan dari orang yang hidup lebih lama, atau kalau ia diakui oleh seorang dari mereka persetujuan dari yang mengakui; jika sama sekali tidak ada yang mengakui atau kedua orang tua yang mengakui telah meninggal dunia, maka untuk adopsi seorang yang dibawah umur disyaratkan persetujuan dari walinya dan dari Balai Harta Peninggalan. (3) Persetujuan dari orang yang akan diadopsi, jika ia telah mencapai umur lima belas tahun. (4) Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda seperti dimaksud dalam pasal 5 ayat 3, persetujuan dari saudara-saudara laki-lakinya yang telah dewasa dan dari ayah suaminya yang telah meninggal, dan apabila mereka ini tidak ada atau tidak
Universitas Sumatera Utara
tinggal di Indonesia, persetujuan dari dua anggota keluarga laki-laki yang telah dewasa yang tinggal di Indonesia dari pihak ayah dari suami yang telah meninggal sampai dengan derajat keempat. Kemudian dalam Pasal 10 Staatsblad 1917 No.129, dinyatakan: (1) Adopsi hanya dapat dilakukan dengan akta Notaris (2) Pihak-pihak harus menghadap sendiri di depan Notaris atau melalui seorang wakil khusus yang dikuasakan dengan akta Notaris. (3) Orang-orang yang dimaksud dengan nomor 4 pasal 8, kecuali siapapun dari mereka yang sebagai ayah atau wali menyerahkan anak untuk adopsi dapat secara bersama-sama atau masing-masing memberi persetujuannya, tentang hal mana harus dinyatakan dalam akta pengangkatan. (4) Setiap yang berkepentingan dapat menuntut agar tentang adopsi dicatat pada tepi akta kelahiran dari orang yang diadopsi. (5) Namun tidak adanya suatu catatan tentang adopsi pada tepi suatu akta kelahiran, tidak dapat digunakan sebagai senjata terhadap anak yang diangkat, untuk akhirnya menyangkal pengangkatannya. Pasal 10 ayat 1 Staatsblad 1917 No.129 tersebut menegaskan adopsi hanya dapat dilakukan dengan akta Notaris. Penyimpangan dari pasal 10 ayat 1 ini, adalah batal karena hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat 2, yaitu: adopsi terhadap anak-anak perempuan dan adopsi dengan cara lain dari pada akta Notaris adalah batal karena hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pasal di atas tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia asli, karena itu harus dihapuskan atau dinyatakan tidak berlaku lagi, sebagaimana yang dikemukakan Retnowulan Sutantio, pada prinsipnya dapat disetujui bahwa pengaturan tentang pengangkatan anak, hendaknya didasarkan kepada hukum adat.75 Selanjutnya Komar Andasasmita, memberi jalan tengah sebagai berikut: katakata “dengan akta Notaris”, lebih baik diusulkan diganti “dengan akta authentik”. Jadi tidak harus selalu dengan akta Notaris. 76 Akta authentik adalah bukti yang sempurna di depan Hakim, kemudian untuk pengamanan lebih lanjut, minta Penetapan kepada Pengadilan Negeri setempat. Kalau hal ini dibandingkan dengan adopsi Internasional, maka tidak disyaratkan adanya akta Notaris, tetapi cukup melalui Penetapan Pengadilan Negeri saja. Namun, sekarang ini pemerintah tidak lagi memperhatikan Staatsblad tersebut di atas dalam menyelesaikan sengketa anak adopsi. Fokus perhatian pengadilan Indonesia adalah adopsi demi kepentingan kesejahteraan anak. Pertimbangan ini bermula dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 yang kemudian menjadi Yurisprudensi tetap. Sejalan dengan Yurisprudensi tersebut, dalam salah satu pasal UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dikatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan kesejahteraan anak yang diadopsi/diangkat. Berkaitan dengan aturan-aturan tersebut, para Notaris 75
Ny. Retnowulan Sutantio, dalam Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 17. 76 Ibid., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia kiranya tidak perlu lagi memperhatikan ketentuan dalam Staatsblad tersebut di atas dalam menentukan ahli waris terhadap seseorang yang telah meninggal dunia. Andaikata masih ada notaris yang berani menggunakannya, kiranya tidak perlu kaget kalau akta pemisahan dan pembagian harta peninggalan yang telah dibuat, dibatalkan oleh pengadilan jika ternyata ada sengketa. 77 Pembiaran praktek pengangkatan tanpa pengaturan yang serius oleh negara, juga berdampak pada tidak terjaminnya hak-hak warga negara dalam kehidupan social. Kurang responnya negara mengatur persoalan anak angkat dapat diketahui dari tidak integralnya pengaturan masalah pengangkatan anak dalam satu perundangundangan. Selama ini pengaturan masalah pengangkatan anak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan perundang undangan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Surat Edaran Menteri Sosial. Hal ini telah menyebabkan perlindungan anak angkat tidak ada kekuatannya. Perlindungan hanya ditujukan kepada anak terlantar, anak orang miskin dan anak yatim. Maka tidak heran, berkembangnya kasus perdagangan anak, mempekerjakan anak dan menyia-nyiakan anak adalah berasal dari ketidak tegasan peraturan yang berhubungan dengan perlindungan anak. Peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada penyaluran anak angkat dimaksud adalah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
77
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
anak. Pengangkatan anak diatur dalam tiga buah pasal, sembilan ayat. Kesemuanya itu pengaturannya sangat sederhana, berkisar informatif saja, kurang mengandung perintah dan larangan. Pasai 39 ayat (1): Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ayat (2): Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya, ayat (3): Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, ayat (4): Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, ayat (5): Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pasal 40 ayat (1): Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya, ayat (2): Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Pasal 41 ayat (1): Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, ayat (2): Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan pengangkatan anak, mengatur Syarat-Syarat Pengangkatan Anak. Pasal 12 ayat (1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi : a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
Universitas Sumatera Utara
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. Ayat (2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Pasal 13 mengatur bahwa Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima tahun); c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
Universitas Sumatera Utara
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial. Pasal 14 mengatur bahwa Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat: a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c. melalui lembaga pengasuhan anak. Sedangkan Tata Cara Pengangkatan anak Antar Warga Negara Indonesia disebutkan dalam Pasal 19: Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.Serta Pasal 20 ayat (1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan, ayat (2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait dan Pasal 21 ayat (1) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun, ayat (2) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.
Universitas Sumatera Utara
Adapun prosedur pengangkatan anak adalah: 78 1) Permohonan izin diajukan kepada Kanwil Departemen Sosial setempat dengan ketentuan sebagai berikut: a) Diajukan secara tertulis di atas kertas bermeterai cukup b) Ditandatangani sendiri atau kuasanya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku c) Memenuhi persyaratan sebagai dimaksud dalam SK Menteri Sosial RI No.13/HUK/1993 sebagai berikut: (1) Calon orang tua angkat a. Berstatus kawin minimal berumur 30 tahun dan maksimal 45 tahun. b. Selisih umur antara calon orang tua angkat dengan anak angkat minimal 20 tahun c. Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sudah kawin sekurang-kurangnya 5 tahun terhitung mulai saat bagaimana dicantumkan dalam surat kawin dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut: 1) Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter Ahli Kebidanan/dokter Ahli yang ditunjuk Pemerintah) 2) Belum mempunyai anak, atau 3) Mempunyai anak kandung seorang, atau 78
Departemen Sosial RI, Program Pengangkatan Anak (Department of Social Affairs Child Adoption Program), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak Departemen Sosial, Jakarta, hal. 23-26.
Universitas Sumatera Utara
4) Mempunyai anak angkat seorang, dan tidak mempunyai anak kandung, point (2), (3) dan (4) dibuktikan keterangan tertulis dari Lurah/Kepala Desa setempat dan dilegalisir oleh Camat atau dokumen-dokumen lainnya yang dianggap sah. 5) Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan serendah-rendahnya Lurah/Kepala Desa setempat. 6) Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan Kepolisian RI. 7) Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan Dokter Pemerintah. 8) Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak sematamata untuk kepentingan kesejahateraan anak. Dalam kesempatan tersebut disebutkan kesanggupan yang bersangkutan untuk: (a) memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak secara wajar. (b) Tidak menelantarkan anak (c) Tidak memperlakukan secara semena-mena. (2) Calon Anak Angkat a. Berumur di bawah 5 tahun b. Akte kenal lahir/akte kelahiran c. Berada dalam asuhan Organisasi Sosial d. Calon orang tua angkat diharuskan juga melengkapi surat-surat.:
Universitas Sumatera Utara
1) Penyerahan dari orang tua yang sah/walinya yang sah kepada calon orang tua angkat. 2) Penyerahan dari Organisasi sosial kepada calon orang tua angkat. 3) Surat penyerahan dari Suku Dinas/Kandepsos kepada Organsiasi Sosial 4) Surat Keterangan Kepolisian dalam hal adanya keraguan terhadap latar belakang/data-data mengenai anak tersebut. 2) Permohonan tersebut harus dilampirkan surat-surat sebagai berikut: a) Surat permohonan izin pengangkatan anak dari yang bersangkutan di atas kertas bermeterai (asli) b) Surat kelakuan baik dari POLRI (Suami-Istri) c) Surat pernyataan dari calon orang tua angkat mengenai motif pengangkatan anak di atas kertas bermeterai Rp. 6.000,00. d) Fotocopy surat nikah dan surat lahir calon orang tua angkat. e) Surat keterangan dokter kandungan tentang keadaan calon Ibu angkat yang menyatakan: (1) Tidak mungkin punya anak; (2) Tidak mungkin mempunyai anak lagi. f) Surat keterangan sehat dari dokter Pemerintah (Suami-Istri) g) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja h) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri i) Fotocopy surat akte kelahiran/akte kenal lahir calon anak angkat. j) Fotocopy surat penyerahan anak dari orang tua kandung kepada Dinas Sosial.
Universitas Sumatera Utara
k) Fotocopy surat penyerahan anak dari Dinas Sosial ke Organisasi Sosial. l) Fotocopy surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial tentang izin pengasuhan calon anak angkat (selama 6 bulan) m) Laporan sosial tentang calon orang tua angkat maupun anak angkat yang dibuat oleh petugas sosial dari Kantor Wilayah Departemen Sosial setempat. n) Foto-foto keluarga calon orang tua angkat dan anak angkat. 3) Tembusan surat permohonan disampaikan kepada Menteri Sosial dan Orsos dimana calon anak angkat tersebut berada beserta fotocopy lampirannya. 4) Kanwil Departemen Sosial setempat dalam mengadakan penelitian atas permohonan tersebut dibantu oleh Tim yang keanggotaannya terdiri dari: a) Pemerintah Daerah/Biro/Dinas Sosial b) Kepolisian c) Kanwil Departemen Kehakiman RI d) Kanwil Departemen Kesehatan RI e) Kanwil Departemen Agama RI. 5) Kepala Kanwil Departemen Sosial setempat berdasarkan hasil penelitian dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan sejak diterimanya permohonan tersebut memberikan jawaban tertulis. 6) Pemberian surat keputusan izin/penolakan pengangkatan anak dikeluarkan oleh Kepala Kanwil Departemen Sosial. Pencatatan anak angkat diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006). Pasal 47 ayat (1):
Universitas Sumatera Utara
Pencatatan pengangkatan anak di laksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat
tinggal pemohon, ayat (2): Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk, ayat (3): Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Registrasi Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran. Pasal 48 ayat (1): Pengangkatan anak warga negara asing yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat, ayat (2) : Hasil pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia, ayat (3): Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan Pengangkatan Anak bagi warga negara asing, warga negara yang bersangkutan melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia setempat untuk mendapatkan surat keterangan pengangkatan anak, ayat (4): Pengangkatan anak warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia, dan ayat (5): Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi Pelaksana mengukuhkan Surat Keterangan Pengangkatan Anak. Pengaturan tentang pengangkatan anak yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan belum mengatur hal yang substansial seperti
Universitas Sumatera Utara
hubungan hukum dan hak yang terjadi antara orang tua angkat dengan anak angkat. Pengaturan yang ada selama ini hanyalah seputar pengertian pengangkatan anak, cara pengangkatan anak, pendaftaran dan pencatatan pengangkatan anak, kewajiban anak angkat dan orang tua angkat, dan bentuk-bentuk perhatian masyarakat terhadap anak angkat. Sedangkan jaminan dan perlindungan hukum terhadap anak angkat belum mendapat pengaturan yang jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Di samping itu juga lembaga pengawas, yang bertugas memantau kegiatan dan perhatian terhadap pengangkatan anak juga harus difungsikan. Akibat dari tidak ada jaminan dan perlindungan hukum terhadap anak angkat, maka dapat dipastikan anak angkat akan hidup terlunta-lunta setelah orang tua angkatnya meninggal dunia. Anak angkat tidak lagi memperoleh jaminan pendidikan, kesehatan, perhatian dan kasih sayang sebagaimana yang ia peroleh ketika orang tua angkatnya masih hidup. Di sinilah peran negara untuk mengatur kelangsungan hidup, kelangsungan pendidikan, kesehatan dan kasih sayang yang akan diperoleh anak angkat pasca meninggal dunia orang tua angkat. Negara melalui peraturan perundangundangan dapat menegaskan siapa atau lembaga mana yang akan bertanggung jawab menjaga, memberikan perlindungan dan menjaga kelangsungan hidup anak angkat. Konstitusi mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kepada setiap warga negara termasuk anak angkat, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Tidak integralnya pengaturan masalah anak angkat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mengindikasikan bahwa negara kurang berani menjamah hal
Universitas Sumatera Utara
esensial dalam masalah pengangkatan anak. Kekurang beranian negara mengatur halhal esensial seperti tanggung jawab kelangsungan hidup anak angkat pasca meninggal orang tua angkat dan pengalihan sebagian harta dari orang tua angkat kepada anak angkat paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, negara terlalu berhati-hati untuk mengatur penentuan hak kepada anak angkat dari harta orang tua angkatnya. Bila hal ini dilakukan, maka akan berhadapan dengan doktrin Islam dan praktek masyarakat muslim, yang mana anak angkat tidak berhak terhadap harta warisan dari orang tua angkatanya. Negara lebih banyak mempertimbangkan kestabilan sosial dalam masyarakat, terutama mengenai pengangkatan anak, ketimbang mengatur pengalihan hak/harta dari orang tua angkat kepada anak angkat. Bila hal ini dilakukan secara serta merta akan mengakibatkan kegoncangan-kegoncangan sosial, terutama dari kalangan masyarakat muslim, karena dianggap bertentangan dengan doktrin ajaran Islam. Kedua, selama ini eksplorasi seputar praktek pengangkatan anak di dalam masyarakat Indonesia belum maksimal dilakukan, walaupun sudah dinyatakan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Akibatnya, negara hanya memberikan jalan keluar bila terjadi kasus tertentu seputar anak angkat. Melakukan perubahan terhadap prilaku masyarakat yang sudah dinyatakan sebagai hukum yang hidup (living law), juga berakibat pada keresahan dan kegoncangan sosial pada praktek pengangkatan anak dalam kehidupan sosial. Alasan-alasan di atas dapat dipahami, mengingat negara berfungsi sebagai penjaga dan penyeimbang kehidupan sosial-masyarakat. Aturan hukum yang dibuat
Universitas Sumatera Utara
oleh negara, tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kegoncangan sosial, 79 tetapi ditujukan untuk merealisasikan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, jaminan dan perlindungan menyeluruh kepada setiap warga negara Indonesia. Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan (we farestate). 80
79
Budiono Kusumo hamidjojo, ketertiban yang adil : Problematik Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo, 1999), Hal. 113 80 Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa kini ) Jakarta : Kencana, 2003), Hal. 9 dan Adji Samekto “Membangun Kesadaran Baru Melalui Studi Hukum Kritis” dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2006), Hal. 70
Universitas Sumatera Utara