12
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Rumah Sakit Definisi umum rumah sakit adalah organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersamasama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar dan Amalia, 2003, Hasan, 1986 ).
1.1.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum, menyebutkan tugas rumah sakit adalah mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Dalam melaksanakan tugasnya rumah sakit memiliki fungsi sebagai berikut (siregar dan Amalia, 2003): 1. Pelayanan Penderita Pelayanan terhadap penderita dapat berupa pelayanan medis, pelayanan farmasi, pelayanan keperawatan. Pelayanan penderita melibatkan pemeriksaan dan diagnosis, pengobatan kesakitan atau luka, pengobatan pencegahan, rehabilitasi, perawatan, dan pemulihan. 2. Pendidikan dan Pelatihan Fungsi ini dapat juga dikategorikan sebagai pelayanan terhadap penderita karena berkontribusi langsung pada perawatan orang sakit dan terluka. Bentuk utama dari pendidikan dan pelatihan, yaitu: a. Pendidikan dan/atau pelatihan profesi kesehatan Profesi kesehatan yang dimaksud mencakup dokter, apoteker, perawat, pekerja sosial pelayanan medik, personel rekaman medik, ahli gizi, teknisi sinar x dan laboratorium, teknologis medik, terapis pernapasan, terapis fisik dan okupasional, administrator rumah
13 sakit. Program yang diterapkan berupa program formal (untuk dokter dan perawat), program in-service training (untuk personel professional seperti residen), program on the job training (untuk personel non profesional ). b. Pendidikan dan/atau pelatihan penderita Bentuk dari
fungsi ini adalah pendidikan umum bagi anak-anak yang terikat pada
hospitalisasi jangka panjang; pendidikan khusus dalam bidang rehabilitasi-psikiatri, sosial, fisik, dan okupasional; pendidikan khusus dalam perawatan kesehatan, misalnya: pendidikan terhadap penderita diabetes dan kelainan jantung untuk merawat penyakitnya, pada penderta kolostomi (pembentukan anus buatan pada dinding perut depan) yang membutuhkan reorientasi dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Dan juga pendidikan obat untuk peningkatan kepatuhan, mencegah penyalahgunaan dan salah penggunaan obat, peningkatan hasil terapi secara optimal dengan penggunaan obat yang sesuai dan tepat. 3. Penelitian Tujuan penelitian, yaitu memajukan pengetahuan medik tentang penyakit, dan peningkatan atau perbaikan pelayanan rumah sakit. Kegiatan penelitian mencakup merencanakan prosedur diagnosis yang baru, melakukan percobaan laboratorium dan klinik, pengembangan dan penyempurnaan prosedur pembedahan yang baru, mengevaluasi obat investigasi, penelitian formulasi obat yang baru, perbaikan prosedur administratif untuk efisiensi yang lebih besar dengan biaya yang lebih rendah bagi penderita, perbaikan prosedur akutansi untuk biaya distribusi pelayanan yang lebih wajar, mendisain pengembangan dan mengevaluasi alat serta fasilitas yang baru untuk meningkatkan pelayanan penderita. 4. Kesehatan Masyarakat Tujuan dari fungsi ini ialah membantu komunitas dalam mengurangi timbulnya kesakitan (illness) dan meningkatkan kesehatan umum penduduk. Hal tersebut terwujud dalam bentuk hubungan kerja yang erat dari rumah sakit yang mempunyai bagian kesehatan masyarakat untuk penyakit menular; partisipasi dalam program deteksi penyakit, seperti tuberkulosis, diabetes, hipertensi, dan kanker; partisipasi dalam program inokulasi masyarakat, seperti terhadap influensa dan poliomelitis; partisipasi bagian pelayanan ambulatori dalam pendidikan praktik kesehatan rutin yang lebih baik, dan masih banyak lagi.
14
5. Pelayanan Rujukan Upaya Kesehatan Maksudnya adalah upaya penyelenggaraan pelayanan kesehataan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah yang timbul, baik secara vertikal tau horizontal kepada pihak yang mempunyai fasilitas lebih lengkap dan kemampuan lebih tinggi. Rujukan upaya kesehatan meliputi rujukan kesehatan dan rujukan medik. Rujukan yang diberikan berdasarkan kemampuan yaitu bidang pelayanan medik, pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, menejemen kesehatan.
1.1.2 Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit Pelayanan yang diberikan rumah sakit terbagi atas pelayanan medik, pelayanan keperawatan, pelayanan kefarmasian dan pelayanan pendukung (Siregar dan Amalia, 2003). 1. Pelayanan Medik/Keperawatan Pelayanan medik dilakukan oleh berbagai staf medik fungsional sesuai dengan jenis dan status penyakit penderita. Staf medik fungsional pada umumnya terdiri atas: dokter umum dan dokter gigi; dokter spesialis dan subspesialis. 2. Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Pelayanan kefarmasian termasuk pelayanan utama di rumah sakit, sebab hampir seluruh pelayanan yang diberikan kepada penderita berhubungan dengan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan. Satu-satunya divisi rumah sakit yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan dan pengendalian seluruh sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan yang
beredar di rumah sakit adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit. 3. Pelayanan Pendukung Pelayanan pendukung di rumah sakit adalah semua pelayanan yang mendukung pelayanan medik untuk penegakkan diagnosis dan perawatan penderita. Pelayanan tersebut antara lain, pelayanan laboratorium, pelayanan ahli gizi dan makanan, rekaman medik, bank darah, sentra sterilisasi, pemeriksaan sinar x, dan layanan sosial.
15 1.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Salah satu bagian rumah sakit yang terlibat langsung dalam penanganan penderita adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Dalam Instalasi ini apoteker melaksanakan perannya sebagai profesional kesehatan. IFRS dapat didefinisikan sebagai suatu unit atau departemen di rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional (Charles dan Amalia 2003). IFRS bertanggung jawab menyediakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan obat, serta berkewajiban menyediakan terapi yang optimal dan menjamin kualitas terapi dengan biaya perawatan yang efektif (Brown, 1992).
1.2.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit Tugas utama IFRS adalah perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan, pengendalian perbekalan kesehatan (Charles dan Amalia 2003).
1.2.2 Fungsi IFRS Fungsi IFRS dikelompokkan menjadi pelayanan farmasi produk, pelayanan farmasi klinik, dan pelayanan pengembangan. Penjelasan mengenai fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan Farmasi Produk Pelayanan farmasi produk meliputi penyiapan dan penyediaan obat-obatan dan larutan intravena dalam unit penggunaan, dengan etiket yang tepat, didistribusikan ke unit perawatan penderita secara berkala. Penyiapan dan penyediaan obat-obatan meliputi pembelian obat atau produksi sendiri, atau melakukan pengemasan ulang. Dalam pengelolaan penggunaan obat IFRS juga melakukan menejemen inventaris melalui sistem komputerisasi (Brown, 1992). 2. Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian terpadu dari perawatan penderita atau memerlukan interaksi dengan profesional kesehatan lain yang terlibat secara langsung dalam
16 pelayanan, bertujuan menjamin terapi yang tepat dengan biaya efektif. Lingkup fungsi pelayanan farmasi klinik diantaranya adalah pengkajian ketepatan regimen resep berdasarkan rute pemberian, jumlah obat, duplikasi, interaksi obat; pelayanan konseling; pemantauan terapi obat (PTO); evaluasi penggunaan obat (EPO); penanganan bahan sitotoksik; pelayanan di unit perawatan kritis; pemeliharaan formularium; penelitian pengendalian infeksi; sentra informasi obat; pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan (ROM); panitia farmasi dan terapi; sistem pemantauan kesalahan obat; buletin terapi obat; nutrisi parenteral (Charles dan Amalia, 2003, Brown, 1992). 3. Pelayanan Pengembangan Pelayanan pengembangan terdiri atas pendidikan dan penelitian. Instalasi farmasi terlibat dalam aktivitas pendidikan pada perawat, staf medik, memperhatikan pelayanan kefarmasian dan terapi obat. Aktivitas penelitian meliputi studi investigasi obat, evaluasi obat baru, dan evaluasi sistem penghantaran obat (Brown, 1992).
1.3. Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan farmasi sebagai bagian dari perawatan penderita yang dilakukan oleh apoteker dengan cara berinteraksi dengan penderita dan atau profesional kesehatan yang secara langsung terlibat dalam perawatan penderita, bertujuan meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat (Charles dan Amalia, 2003, Brown, 1992).
1.3.1 Penggolongan Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik terdiri atas beberapa golongan sesuai karakteristik pelayanan, yaitu (Charles dan Amalia, 2003, Brown, 1992): 1. Golongan Pelayanan Farmasi Klinik yang Merupakan Program Rumah Sakit Menyeluruh Golongan pelayanan ini adalah fungsi, peranan, kegiatan, dan kontribusi apoteker dalam panitia farmasi dan terapi serta dalam sistem formularium; fungsi, tugas, dan peranan apoteker dalam sistem pencegahan dan pemantauan kesalahan pengobatan; fungsi, tugas, dan peranan apoteker dalam sistem pelaporan reaksi obat merugikan; peranan dan kontribusi apoteker dalam evaluasi penggunaan obat; kegiatan dan peranan apoteker dalam penerbitan buletin
17 terapi obat; kegiatan dan peranan apoteker dalam program pendidikan in-service bagi apoteker, perawat, dan staf medik. 2. Golongan Pelayanan Farmasi Klinik yang Didasarkan pada Komunikasi Langsung dengan Penderita (Pelayanan dalam Proses Penggunaan Obat) Pelayanan yang termasuk golongan ini, yaitu: wawancara sejarah obat penderita, konsultasi dengan dokter tentang pemilihan obat dan regimennya, mengkaji kesesuaian/ketepatan resep/order dokter, membuat profil pengobatan penderita (P3), memberikan konsultasi atau informasi pada perawat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan obat yang diterima penderita, memberi konseling atau edukasi kepada penderita tentang obatnya, pemantauan efek obat yang diberikan kepada penderita, konseling pembebasan penderita. 3. Golongan Pelayanan Farmasi Klinik Formal dan Terstruktur Pelayanan farmasi klinik formal dan terstruktur difokuskan kepada kelompok penderita atau golongan obat, bertujuan untuk meningkatkan terapi dengan memberi edukasi pada dokter penulis resep atau penderita. Jenis pelayanannya adalah pelayanan farmasi dalam sentra informasi keracunan, pelayanan penetapan dosis individu secara farmakokinetik klinik, pelayanan dalam investigasi obat, pelayanan dalam tim nutrisi parenteral lengkap, pelayanan dalam peneliti obat secara klinik, pelayanan dalam pengendalian infeksi di rumah sakit, pelayanan obat sitotoksik. 4. Golongan Pelayanan Farmasi Klinik Subspesialistik Pelayanan ini diberikan oleh para praktisi yang terlatih dalam suatu bidang tertentu. Diperlukan pengetahuan mendalam tentang patofisiologi dan farmakoterapi dari status penyakit. Pelayanan subspesialis diberikan dalam pelayanan penderita kritis, unit gawat darurat, pelayanan onkologi-hematologi, pelayanan dalam transplantasi organ, pelayanan dalam bedah anestesi, pelayanan penderita penyakit kronik, pelayanan untuk pediatrik, pelayanan untuk psikiatrik, pelayanan toksikologi klinik.
1.3.2 Kriteria Penetapan Prioritas Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik dapat diterapkan secara bertahap sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Untuk mendukung pelayanan tersebut diperlukan apoteker dalam jumlah, mutu dan
18 kompetensi yang memadai. Dalam menentukan pelayanan farmasi klinik prioritas yang akan dilaksanakan, dapat didasarkan pada kriteria sebagai berikut (Charles dan Amalia, 2003): 1. Pelayanan yang secara langsung mempengaruhi penulisan serta penggunaaan obat yang paling tepat dan rasional. 2. Pelayanan yang secara langsung meningkatkan keamanan dan kepatuhan penderita. 3. Pelayanan yang secara segera dapat dilakukan tanpa penambahan biaya yang besar. 4. Permintaan profesional kesehatan lain. Berdasarkan kriteria penetapan prioritas, maka pelayanan konseling dan pengkajian resep merupakan salah satu pelayanan farmasi klinik prioritas .
1.4 Konseling Konseling obat adalah penyediaan dan penyampaian nasehat tentang hal-hal yang berkaitan dengan obat, yang didalamnya terdapat implikasi diskusi timbal balik dan tukar menukar opini (Siregar dan Kumolosasi, 2004 & (1)). Konseling merupakan salah satu program pelayanan farmasi klinik yang wajib dilaksanakan oleh apoteker di rumah sakit. Pelayanan ini diselenggarakan untuk membantu penderita dalam memahami terapi yang diberikan, sehingga penderita patuh terhadap setiap tahapan terapi.
1.4.1 Tujuan Konseling Tujuan dilakukannya konseling, yaitu (Surya, 2003, Remington 2006, dan (1)): a. Meningkatkan kepatuhan penderita terhadap urutan terapi b. Membantu penderita dalam menangani obat-obat yang digunakan dan mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakit. c. Mengurangi salah pengobatan dan penyalahgunaan. d. Penerimaan yang lebih objektif tentang diri penderita, sehingga penderita tidak merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita. e. Mengoptimalkan hasil terapi obat dan tujuan medis dari terapi obat. f. Membina hubungan dengan penderita dan menimbulkan kepercayaan penderita. 1
http//www. Yanfar. go.id/detil.asp3m=16&=4&i=217, (diakses pada tanggal 24 november 2006)
19 g. Mengembangkan pengelolaan diri penderita dengan melibatkan penderita dalam perencanaan tahapan terapi. h. Menunjukan perhatian dan kepedulian kepada penderita. i. Mencegah dan mengurangi efek samping obat, toksisitas, resistensi antibiotika. j. Mengurangi biaya perawatan disebabkan ketepatan penggunaan obat dan pencegahan reaksi yang tidak diinginkan. k. Memperkenalkan apoteker sebagai profesional kesehatan.
1.4.2 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Dalam melakukan konseling terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah 1. Manajemen Ruang Konseling Manajemen ruang dapat diartikan sebagai upaya penataan dan pengelolaan ruang, agar setiap individu berada dalam suasana yang kondusif bagi perwujudan dirinya secara sehat, sehingga mampu melakukan berbagai tugas secara efektif, efisien, dan produktif. Hal-hal fisik yang perlu diperhatikan adalah tata letak, penerangan, atmosfer, warna, kebersihan, dan kepadatan. Dalam pelaksanaan konseling dibutuhkan ruang khusus, karena dapat meningkatkan penerimaan penderita terhadap informasi konseling, sehingga memungkinkan penderita patuh terhadap regimen obat, dan menimbulkan kepuasan penderita pada pelayanan ini. (Surya, 2003 dan Remington, 2006). 2. Efektifitas Konseling Hal-hal yang mempengaruhi efektifitas konseling diantaranya adalah durasi konseling; tingkat keparahan penyakit penderita; motivasi apoteker dan penderita selama konseling; pengetahuan apoteker terhadap materi yang diberikan pada penderita; kemampuan apoteker dalam menciptakan suasana yang kondusif selama proses konseling, sehingga penderita dapat dengan mudah memahami materi yang diberikan (Surya, 2003, Remington 2006, (1)).
1
http//www. Yanfar. go.id/detil.asp3m=16&=4&i=217, (diakses pada tanggal 24 november 2006)
20 3. Kompetensi Apoteker Kompetensi
tersebut
mencakup
pengetahuan
profesi/keilmuan,
dan
kemampuan
berkomunikasi. Kompetensi apoteker dapat memberikan kepercayaan penderita terhadap informasi yang diberikan, sehingga apoteker dapat memberikan pelayanan konseling secara efektif (Surya, 2003). 4. Keterbatasan yang Dimiliki Penderita Keterbatasan penderita dikelompokkan menjadi keterbatasan fungsional dan emosi. Keterbatasan fungsional menyebabkan penderita sulit menerima atau memahami materi yang disampaikan apoteker. Keterbatasan fungsional terdapat 4 kategori, yaitu: a.
Keterbatasan visual dan pendengaran
b.
Keterbatasan bahasa
c.
Kesulitan memahami pada penderita gangguan jiwa, atau keterbelakangan mental
Keterbatasan emosi terjadi ketika penderita memiliki emosi yang dapat mempengaruhi penderita dalam mendengarkan dan menerima materi konseling yang diberikan apoteker. Dalam hal ini apoteker harus mampu memahami dan mengatasi emosi yang dimiliki oleh penderita (Remington, 2006).
5. Penerima Konseling Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penderita penerima konseling, yaitu: usia, pendidikan, sosial, ekonomi. Pada penderita usia manula kemungkinan ditemukan keterbatasan fungsional, seperti: pendengaran yang dapat menghambat komunikasi verbal, sehinga diperlukan pendamping dalam konseling, atau pemberian informasi tertulis. Tingkat pendidikan-sosial-ekonomi dapat mempengaruhi tingkat pemahaman penderita terhadap materi konseling, sehingga materi konseling perlu disusun dan disampaikan dengan cara yang dapat diterima oleh penerima konseling, dengan memperhatikan keterbatasan penderita (Remington, 2006, dan (1)) .
1
http//www. Yanfar. go.id/detil.asp3m=16&=4&i=217, (diakses pada tanggal 24 november 2006)
21 6. Komunikasi dalam Konseling Keberhasilan konseling dipengaruhi oleh komunikasi yang efektif antara penderita dan apoteker. Komunikasi berjalan efektif apabila materi yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh penderita. Media komunikasi dalam konseling dapat berupa tertulis, verbal, atau elektronik (Remington 2006; Surya, 2003; dan (1)).
1.4.3 Kompetensi Apoteker Pemberi Konseling Apoteker pemberi konseling harus mampu mengkomunikasikan informasi secara efektif baik verbal ataupun tertulis kepada penderita. Berikut ini adalah kompetensi yang harus dimiliki apoteker pemberi konseling (Blissit, 1972): 1. Kemampuan menyampaikan dan kemampuan teknik dalam mengevaluasi pengunaan obat, menyimpulkan, serta memberi keputusan. 2.
Kemampuan mengkomunikasikan informasi farmakoterapetik baik secara verbal ataupun tertulis dengan efektif.
3. Kemampuan untuk memberikan pendidikan pada profesional kesehatan lain mengenai inkompatibilitas, interaksi obat, reaksi obat merugikan, biofarmasetik, tujuan pemberian obat, dosis. 4. Kemampuan menyumbangkan keputusan profesional yang dapat meningkatkan efektivitas pelayanan farmasi klinik edukasi penderita dan profesional kesehatan lain.
1.4.4 Kriteria Pemilihan Penderita Konseling sebaiknya diberikan pada semua penderita. Keterbatasan-keterbatasan waktu dan sumber daya manusia mencegah konseling untuk diberikan kepada semua penderita. Berikut ini adalah kriteria-kriteria penderita yang mungkin (Siregar dan Kumolosasi, 2004, (1)): a. Penderita yang ditunjuk dokter b. Penderita yang memiliki lebih dari tiga masalah gangguan kesehatan. c. Penderita dengan penyakit tertentu, misalnya jantung, diabetes, hipertensi. d. Beresiko tinggi mengalami efek samping.
1
http//www. Yanfar. go.id/detil.asp3m=16&=4&i=217, (diakses pada tanggal 24 november 2006)
22 e. Penderita yang menerima golongan obat tertentu i. Obat dengan indeks terapi sempit, misalnya teofilin, warfarin ii. Obat dengan persyaratan penggunaan khusus, misalnya inhaler. f. Penderita dengan multi (lebih dari lima jenis obat) obat atau regimen obat yang kompleks. g. Penderita yang obatnya diubah dari yang telah ditetapkan h. Penderita yang diidentifikasi sebagai orang yang tidak patuh atau yang menunjukan masalah dalam waktu yang lewat. i. Penderita yang mengalami kesulitan membaca dan kesulitan bahasa. j. Populasi lanjut usia atau pediatrik.
1.4.5 Materi yang Perlu Diinformasikan Selama Konseling Melalui konseling, apoteker dapat memberikan pendidikan serta informasi mengenai obat yang digunakan. Hal–hal yang perlu diinformasikan dalam konseling, yaitu (Siregar dan Kumolosasi, 2004, Hasan, 1986, dan Hicks, 1994): 1. Nama obat (nama dagang, generik sinonim umum, pemerian fisik obat). 2. Kegunaan yang dimaksudkan dan kerja yang diharapkan. 3. Rute, bentuk sediaan, dosis, jadwal pemberian. 4. Petunjuk khusus penyiapan dan pemberian dosis, serta peringatan yang harus dipatuhi selama penggunaan. 5. Efek samping yang umum dan mungkin dijumpai saat penggunaan. 6. Cara mandiri untuk meminimalkan efek samping, dan menentukan keberhasilan terapi. 7. Penyimpanan. 8. Interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan makanan atau kontra indikasi dalam terapi. 9. Informasi lama penggunaan dan sumber suplai obat selanjutnya. 10. Tindakan yang diambil pada saat lupa mengkonsumsi obat. 11. Informasi khusus lain tentang penderita atau obat yang digunakan.
1.4.6 Fase-Fase dalam Konseling Konseling obat pada penderita memiliki fase-fase sebagai berikut (Remington, 2006 dan Siregar dan Kumolosasi, 2004):
23 1. Perencanaan dan Persiapan untuk Konseling Obat Penderita a. Pemilihan penderita b. Persiapan untuk konseling i. Mengkaji informasi penderita berkaitan dengan latar belakang penderita (data base), untuk menetapkan biodata penderita, riwayat penyakit, riwayat pengobatan, alasan menerima obat, alergi, riwayat keluarga, perubahan baru terapi obat, pertimbangan khusus, dukungan sosial dan ekonomi (Siregar dan Kumolosasi, 2004, (1)). ii. Berkonsultasi dengan profesional kesehatan, jika diperlukan. iii. Identifikasi informasi konseling yang diperlukan untuk penderita (memperhatikan keterbatasan penderita dalam transfer informasi). iv. Memutuskan metode penyajian v. Penetapan waktu untuk konseling 2. Pelaksanaan Konseling Obat Penderita a. Lingkungan Usahakan lingkungan dengan keleluasaan pribadi dan minimalkan risiko ganguan. b. Memulai konseling Berikut ini adalah beberapa tahapan untuk memulai konseling: i. Perkenalkan dirimu sendiri kepada penderita. ii. Identifikasi penderita. iii. Lakukan posisi fisik yang sesuai untuk memungkinkan konseling nyaman dan efektif. iv. Terangkan maksud konseling obat. v. Jika konseling tentang multi obat, organisasikan obat dalam urutan yang logis. vi. Meminta kesediaan penderita untuk menerima konseling obat. vii. Perbaharui profil pengobatan penderita. c. Konseling Menggunakan metode komunikasi yang efektif, lakukan konseling penderita (dengan pengasuh jika perlu) berhubungan dengan materi mengenai regimen obat. d. Mengakhiri konseling 1
http//www. Yanfar. go.id/detil.asp3m=16&=4&i=217, (diakses pada tanggal 24 november 2006)
24 Untuk mengakhiri konseling dilakukan secara bertahap, dan tahap yang dialakukan adalah i. Evaluasi pengetahuan pasien tentang materi yang diberikan. ii. Meringkas informasi yang signifikan untuk penderita. iii. Menanyakan penderita, apakah masih ada pertanyaan berkaitan dengan obat mereka. iv. Mendorong penderita agar bertanya kepada apoteker bila memperoleh masalah tentang obat.
1.5 Pengkajian Resep Resep atau order adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, ditujukan kepada apoteker, berisi satu atau lebih sediaan obat serta regimennya untuk diserahkan pada penderita yang namanya tertera pada resep tersebut untuk digunakan pada waktu yang ditetapkan (Siregar dan Amalia, 2004).
Ketepatan resep yang diberikan oleh dokter
mempengaruhi hasil terapi yang optimum, sehingga diperlukan pengkajian resep dan tindak lanjutnya.
1.5.1 Tujuan Pengkajian Resep Pengkajian resep merupakan salah satu tugas apoteker dalam menjamin terapi yang rasional bagi penderita, meliputi pengkajian kelengkapan informasi dalam resep, duplikasi, interaksi obat, kontra indikasi, efek samping (Blissit, 1972). Terapi yang rasional adalah terapi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: obat yang diberikan benar; tepat indikasi; tepat obat, berdasarkan keamanan, kesesuaian dengan penderita; tepat dosis, pemberian, lamanya terapi; tepat penderita, tidak ada kontraindikasi, dan efek samping minimal; tepat dispensing, mencakup pemberian informasi yang tepat pada penderita tentang obat-obat yang diberikan dalam resep; penderita patuh terhadap ketentuan terapi (MSH dan WHO, 1997). Tujuan pengkajian resep adalah memberikan terapi yang rasional pada penderita, mengevaluasi pelayanan pengobatan di rumah sakit, menghindari pasien dari efek samping
25 obat, meningkatkan kinerja pelayanan instalasi farmasi, meningkatkan kredibilitas rumah sakit (Hicks, 1994).
1.5.2 Kelengkapan Resep Untuk menghindari kesalahan dalam pemberian obat kepada penderita, resep yang ditulis oleh dokter harus memenuhi kelengkapan penulisan resep. Informasi yang perlu ada dalam resep, yaitu: informasi penderita berupa nama lengkap penderita, alamat penderita, umur (khususnya untuk penderita anak-anak); tanggal; R/; nama obat; jumlah obat; petunjuk dispensing bagi apoteker; signa, mencakup waktu terbaik untuk mengkonsumsi obat; identitas pemberi resep (Remington, 2006).
1.5.3 Desain Penelitian Pengkajian Resep Pengkajian resep terdiri atas pengkajian kuantitatif dan pengkajian kualitatif. Pengkajian kuantitatif berupa pengumpulan, pengorganisasian, dan pelaporan jumlah penggunaan obat, untuk mengetahui pola dari penggunaan obat yang diresepkan. Kualitas penggunaan obat tidak dapat ditentukan melalui pengkajian kuantitatif. Pengkajian kualitatif dapat mengevaluasi ketepatan penggunaan obat berdasarkan kriteria yang ditentukan untuk tercapainya terapi yang rasional, yaitu: obat yang tepat, pada dosis yang tepat, diberikan pada pasien yang benar, pada waktu yang benar, dan melaui rute pemberian yang tepat (Brown, 1992 dan Hicks, 1994). Berdasarkan waktu, pengkajian resep dapat dilakukan secara konkuren atau retrospektif. Pada cara konkuren, pengkajian resep dilakukan bersamaan dengan saat penderita melakukan terapi, sehingga cara ini berdampak langsung pada penderita. Cara ini memberikan kesempatan untuk melakukan koreksi terhadap penanganan penderita, apabila ditemukan ketidaktepatan. Pada cara retrospektif pengkajian resep dilakukan setelah penderita menerima terapi, dan didasarkan pada dokumen resep yang telah lalu, sehingga pengkajian ini tidak berdampak langsung pada hasil terapi penderita yang dikaji. Cara retrospektif banyak digunakan pada penelitian, karena sederhana, mudah, dan menyediakan sejumlah informasi pada jangka waktu yang luas (Brown, 1992).
26 1.6
Metode Pengambilan Data
Penelitian sosial melibatkan interaksi dengan manusia untuk memperoleh informasi yang dapat membantu tercapainya tujuan penelitian. Dalam penelitian sosial data dapat diambil dengan cara wawancara dan penyebaran angket. Wawancara merupakan proses pengambilan data dengan cara menanyakan langsung pada sumber informasi, sedangkan angket dapat dilihat sebagai suatu bentuk wawancara yang dilakukan oleh responden sendiri kemudian diberikan kembali pada peneliti. Pertanyaan dalam angket harus mudah dipahami. Pertanyaan dapat berupa pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Dalam pertanyaan terbuka tidak disediakan jawaban yang spesifik sehingga responden dapat memberikan jawaban seluasluasnya, sedangkan dalam pertanyaaan tertutup responden dapat memilih jawaban yang sudah tersedia sesuai dengan pendapat masing-masing. Gabungan dari dua pertanyaan tersebut dapat mengahasilkan data yang lebih efektif (Chadwick, Bhar, Albrecht, 1991, dan Soehartono, 2004).