BAB I TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Tinjauan bahan aktif dan koformer
1.1.1
Glimepirird (GMP) GMP merupakan antidiabetes oral dari golongan sulfonilurea generasi III.
Senyawa ini mempunyai nama kimia 1 H – Pyrrole – 1 – carboxamide, 3 – ethyl – 2, 5 – dihydro – 4 – methyl – N – [ 2-[4-[[[[(4-methylcyclohexyl)amino]-carbonyl] amino]sulfonyl]phenyl]ethyl]-2-oxo-,
trans-.
1-[[p-[2-(3-Ethyl-4methyl-2-oxo-3-
pyrroline-1-carboxamido)ethyl]phenyl]sulfonyl]-3-(trans-4-methylcyclohexyl)urea [93479-97-1].
Gambar 1.1 Struktur kimia glimepirid
GMP merupakan serbuk kristal putih atau putih kekuningan, tak berbau, bersifat asam lemah (pKa 6,2), praktis tidak larut dalam air (0,00384 mg/mL), sedikit larut dalam diklorometana, larut dalam dimetilformamida, sukar larut dalam metil alkohol, etanol, etil asetat, dan aseton, memiliki bobot molekul 490,62 g/mol,
4 repository.unisba.ac.id
5
melebur pada suhu 207oC dan rumus molekul C24H34N4O5S (Sweetman, 2009:441; USP, 2007:1247). Glimepirid berdasarkan Biopharmeceutical Classification System (BCS) termasuk kedalam kelas dua yang memiliki kelarutan rendah dan permebialitas tinggi (Katdare Ashok, Chaubal V Mahesh., 2006:181-184). Struktur kimia GMP memiliki 3 donor dan 8 akseptor ikatan hidrogen yang membuka peluang untuk terbentuknya senyawa molekular baru (kokristal) bila berinteraksi dengan senyawa pembentuk kokristal (koformer). 1.1.2
Asam Malonat (AM)
Gambar I.2 Struktur kimia asam malonat
Asam malonat berbentuk putih atau hampir putih, bubuk kristal atau butiran memiliki sedikit bau dan rasa asam kuat memiliki titik lebur 132-139°C, rumus molekul C3H4O4, bobot molekul 104,06 g/mol, memiliki pKa 2,89 dan 5,69 dan larut dalam air, aseton, benzen, dan metanol, dan juga memiliki 2 donor, 4 akseptor ikatan hidrogen (Wouters johan et al, 2012:358). 1.2
Campuran eutetik Campuran eutetik adalah campuran dua atau lebih senyawa yang melebur
secara serentak pada temperatur yang sama dan terendah disebut juga titik eutetik atau temperatur eutetik. Campuran eutetik dapat secara jelas dimengerti dengan diagram fasa campuran, seperti dibawah ini :
repository.unisba.ac.id
6
Gambar 1.3
Diagram fasa campuran eutetik sederhana (Nurono, 2012)
Pada gambar 1.3 menunjukkan diagram fasa sistem biner antara komponen A dan komponen B pada tekanan yang konstan TA dan TB merupakan temperatur lebur komponen murni A dan B, jika komponen A dan B dicampur pada komposisi yang bervariasi, dan dilebur hingga semua komponen melebur sempurna, temperatur lebur didapatkan akan menurun jika dibandingkan dengan komponen murni. Temperatur lebur diplot terhadap komposisi campuran komponen akan diperoleh lintasan TA-TETB yang disebut kurva likuidus, di atas kurva likuidus komponen A maupun B berada dalam fase cair dan dua komponen senyawa larut satu sama lain, titik lebur paling rendah pada kurva likuidus didefinisikan sebagai temperatur atau titik eutetik (Nurono, 2012:90-93). Pada titik campuran eutetik (E) komponen A dan B melebur serentak pada temperatur sama dan fasa cair berada dalam kesetimbangan dengan fasa padat A dan B. Garis horizontal yang melewati titik eutetik disebut garis padatan (non eutetikal), dibawah garis ini komponen A dan B secara sempurna berada dalam fasa padat dan tidak larut satu sama lain, komposisi non eutetik A dan B dimulai dari
repository.unisba.ac.id
7
titik eutetik sampai temperatur peleburan maksimal tercapai pada kurva likuidus (Nurono, 2012:90-93). Campuran eutetik bukan senyawa murni atau senyawa baru melainkan campuran kedua komponen senyawa asal, hal ini dapat dilihat pada pola difraksi sinar-X campuran eutetik dimana puncak masing-masing senyawa muncul pada difraktogram, yang berbeda hanya dalam intensitas puncaknya (Nurono, 2012:103-104). 1.3
Kokristalisasi Kokristalisasi menurut Trask et al (2005) material padat yang terdiri dari dua
atau lebih molekul padat yang membentuk satu kisi kristal yang berbeda dan dihubungkan oleh ikatan antar molekul seperti ikatan hidrogen dan Van der Waals. Ko-kristal mengandung Bahan Aktif Farmasi (BAF) dan ko-former, keduanya dalam muatan netral dan berinteraksi melalui ikatan hidrogen atau ikatan non-kovalen lainnya. Syarat ko-kristal adalah komponen murninya harus berada dalam keadaan padat pada temperatur ruang, bisa mengandung dua atau lebih komponen berbeda (Jayasankar, et al., 2006). Agen kokristalisasi atau disebut juga koformer, untuk kokristalisasi dalam upaya peningkatan laju kelarutan harus memenuhi syarat yaitu mudah larut dalam air, tidak toksik, inert secara farmakologi, dan mampu berikatan secara non kovalen contohnya ikatan hidrogen dengan obat, sehingga mampu meningkatkan kelarutan obat dalam air, kompatibel secara kimia dengan obat dan tidak membentuk ikatan yang kompleks dengan obat. Koformer dapat berupa zat tambahan pada makanan, pengawet, eksipien farmasi dan zat aktif lain (Yadav, Shete, Dabke, kulkarni, dan
repository.unisba.ac.id
8
sakhare.2009). beberapa contoh koformer yang sering digunakan dalam pembentukan kokristal yaitu sakarin, turunan asam karboksilat (asam fumarat, asam suksinat, asam tartrat, asam malat) dan amida (nikotinamida).
I.4 Gambar interaksi kokristalisasi (Patole dan Deshpande, 2014)
Pembentukan kokristal dapat memperbaiki beberapa sifat yang dimiliki oleh suatu zat seperti kelarutan, disolusi, bioavabilitas, dan stabilitas fisik (Mirza, miroshnyk, heinamaki, dan yliruusi, 2008). Ikatan hidrogen yang merupakan interaksi non kovalen adalah suatu kunci dalam pembentukan kokristal (Trask et al, 2005). Berikut ikatan hidrogen yang sering dijumpai dalam kokristalisasi :
repository.unisba.ac.id
9
I
II
III
IV
Gambar I.5 Ikatan hidrogen dalam kokristalisasi
Dilihat dalam gambar I.5 I terlihat adanya suatu ikatan hidrogen karena interaksi non kovalen gugus donor dengan gugus akseptor proton yang berasal dari asam karboksilat membentuk formasi homosinton, begitu pula pada gambar I.5 II terjadi suatu ikatan hidrogen antara gugus amida yang membentuk formasi homosinton, pada gambar I.5 III menggambarkan terjadinya suatu ikatan hidrogen antara asam karboksilat dengan piridin yang membentuk suatu formasi heterosinton, dan pada gambar I.5 IV ikatan hidrogen terjadi antara asam karboksilat dengan amida yang membentuk formasi heterosinton (Vishweshwar, weyna, shattock, dan zawarotko, 2009). 1.4
Skrining Pembuatan Kokristalisasi Beberapa teknik pembentukan kokristal yang umum digunakan adalah sebagai
berikut :
repository.unisba.ac.id
10
1.4.1
Teknik Penggerusan
a. Teknik neat atau dry grinding (NG) Teknik ini dilakukan dengan mencampurkan bahan aktif farmasi dan koformer digerus secara manual menggunakan mortar dan alu, proses penggilingan dilakukan selama 30 menit (Qiao et al, 2011). b. Teknik solvent drop grinding (SDG) Teknik ini dilakukan dengan mencampurkan bahan aktif farmasi dan koformer digerus secara manual menggunakan mortar dan stamper dan ditambahkan sejumlah kecil pelarut dalam proses pencampurannya (Qiao et al, 2011). 1.4.2
Teknik Pelarutan
a. Teknik pelarutan (Solvent Evaporation) Dalam metode pembuatan kokristal ini, dua komponen yang equivalen terdiri dari zat aktif obat dan koformer ditambahkan sejumlah tertentu pelarut yang sesuai, diaduk dengan
suhu tertentu selama 30 menit hingga melarut sempurna. Dan
diuapkan pada suhu kamar hingga pelarut habis dan diperoleh kristal yang sudah mongering. Kristal kemudian dilewatkan pada mesh ukuran tertentu untuk penyeragaman ukuran (Qiao et al, 2011). b. Teknik reaksi kristalisasi Reaksi kristalisasi ini dilakukan dengan menambahkan sejumlah komponen zat kedalam larutan zat lain yang sudah jenuh atau mendekati jenuh sehingga larutan akan menjadi lewat jenuh dan terjadi proses kristalisasi. Metode ini efektif untuk larutan dengan konsentrasi komponen yang tidak equivalen dan ketika satu
repository.unisba.ac.id
11
komponen larutan menjadi lewat jenuh dengan penambahan komponen lainnya (Qiao et al, 2011). c. Teknik pendinginan Metode ini melibatkan suhu dalam proses kokristalisasi, metode ini cocok untuk membuat kokristal dalam skala besar. Dimana sejumlah besar komponen yang merupakan zat aktif dan koformer dilarutkan dalam pelarut yang kemudian dipanaskan untuk memastikan kedua komponen tersebut benar-benar larut, lalu larutan didinginkan untuk memperoleh keadaan lewat jenuh, sehingga kokristal akan mengendap saat larutan mencapai keadaan lewat jenuh (Qiao et al, 2011). I.4.3
Teknik Peleburan (Hot Melted) Metode ini dilakukan dengan meleburkan bahan aktif farmasi dan koformer
dalam cawan penguap lalu dileburkan hingga melebur total. Dinginkan pada suhu kamar, biarkan memadat dan simpan dalam desikator. Kristal kemudian dilewatkan pada mesh ukuran tertentu untuk penyeragaman ukuran (Patole dan Deshpande, 2014). 1.5
Karakterisasi Kokristalisasi Karakterisasi kokristalisasi adalah bagian yang penting untuk karakterisasi
sifat dasar fisikokimia dan suatu karakterisasi dapat dilakukan dengan analisis termal dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry), analisis X-ray diffraction (XRD), dan analisis gugus fungsi dengan spektroskopi inframerah (FT-IR) (Qiao et al, 2011).
repository.unisba.ac.id
12
1.5.1
Differential Scanning Calorimetry (DSC) DSC adalah metode analisis yang melibatkan pengukuran aliran panas (heat
flow), yaitu aliran energi termal yang diterima oleh sampel (endotermik) atau dilepaskan oleh sampel (eksotermik) sebagai fungsi dari waktu atau temperatur sistem. DSC merupakan instrument dengan desain double furnace, memiliki dua furnace dan dua pinggan identik masing-masing untuk sampel dan pembanding, kedua pinggan dipanaskan dengan laju pemanasan tertentu, untuk menjaga laju pemanasan atau temperatur kedua sistem sama, pada saat terjadi proses endotermik seperti pelelehan dan dehidratasi, dibutuhkan aliran energi termal yang lebih tinggi pada sampel dibandingkan dengan pembanding, sedangkan pada proses eksotermik seperti kristalisasi, dimana dibutuhkan aliran energi termal yang lebih rendah. Perbedaan antara aliran energi termal pada sampel dengan pembanding inilah yang dibuat plot sebagai fungsi temperatur atau waktu menjadi termogram DSC. Secara umum, metode termal menyangkut pemanasan sampel pada kondisi yang terkendali dan mengamati perubahan fisika dan kimia yang terjadi. Perubahan fisika seperti perubahan kristal dan pembentukan eutektik dalam wujud beku dan juga sifat amorf dapat dideteksi dengan DSC jika peralatan dioperasikan dibawah suhu kamar (Nurono, 2012). 1.5.2 Powder X-Ray Diffraction (PXRD) Spektroskopi difraksi sinar-X menjadi sangat penting dalam ilmu farmasi karena merupakan metode yang paling mudah dan cepat untuk memperoleh informasi tentang struktur kristal, karena mayoritas senyawa obat dijumpai dalam bentuk kristal
repository.unisba.ac.id
13
maka pola senyawa ini seringkali digunakan sebagai sidik jari yang segera diperoleh untuk menentukan jenis strukturnya (Nurono, 2012). Prinsip dasar teknik difraksi sinar-X adalah berkas sinar-X monokromatis yang terdifraksi dalam berbagai arah bila jatuh pada hablur yang berotasi atau serbuk hablur yang berorientasi acak. Hablur bertindak sebagai kisi-kisi difraksi tiga dimensi terhadap radiasi, fenomena ini ditunjukan oleh Hukum Braggs yang menyatakan bahwa kristal dibangun oleh bidang-bidang, kira-kira terdiri dari atom yang yang berdekatan dan disusun oleh bidang sejajar yang berjarak konstan satu terhadap yang lainnya, jika sinar-X bertemu dengan bidang kisi dalam kristal, maka difraksi akan muncul sebagai refleksi. Untuk mengukur suatu pola serbuk, sampel yang dihaluskan diorientasikan secara acak sedemikian rupa sehingga seluruh bidang dari serbuk kristal terekspos (Nurono, 2012). Karena pola difraksi sinar-X tiap bentuk kristal dari senyawa bersifat unik, teknik ini biasanya digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi fase padat. Difraksi sinar-X merupakan teknik pilihan untuk mengidentifikasi bentuk polimorfis yang berbeda pada suatu senyawa (Nurono, 2012). 1.5.3 Fourier Transform-Infra Red (FT-IR) Dalam infra red dua molekul senyawa yang berbeda struktur kimianya akan berbeda pada spektrumnya, dikarenakan jenis ikatan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan frekuensi vibrasinya. Walaupun jenis ikatannya sama tetapi berada dalam dua senyawa yang berbeda maka frekuensi vibrasinyapun akan berbeda
repository.unisba.ac.id
14
karena kedua ikatan yang sama berada dalam lingkungan yang berbeda (Harmita, 2006). Analisis fungsi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer Fourier Transform-Infra Red (FT-IR). Pemilihan FT-IR didasarkan atas kemampuan analisisnya yang sangat cepat dan mempunyai kepekaan yang tinggi sehingga dapat memantau seluruh daerah spektrum infra merah dari setiap puncak yang terelusi dengan kecepatan tinggi (Harmita, 2006). Daerah inframerah dibagi menjadi 3 sub daerah yaitu : 1. Sub daerah IR dekat (λ 780nm -2,5 µm atau v 14290-4000 cm-1) 2. Sub daerah IR sedang (λ 2,5 µm-15µm atau 4000-666 cm-1) 3. Sub daerah IR jauh (λ 15 µm-50 µm atau v 666-200 cm-1) Dari ketiga daerah tersebut, hanya sub daerah IR sedang yang lazim digunakan untuk eludasi struktur senyawa organik. FT-IR sering digunakan untuk karakterisasi interaksi obat-koformer di dalam kokristal. Interaksi dari radiasi elektromagnetik dengan resonasi vibrasi atau rotasi dalam struktur molekul merupakan mekanisme kerja alat. Data FT-IR dapat menghasilkan spektrum dari kokristal, adanya perubahan bentuk spektrum serapan dapat dilihat, dengan membandingkan spektrum serapan masing-masing obat dan koformer dengan kokristal yang dihasilkan. Hal yang dapat menyebabkan perubahan spektrum serapan adalah munculnya ikatan hidrogen pada kokristal, terutama untuk mengetahui konformasi dari kokristal yang dihasilkan dimana ikatan hidrogen pada gugus karbonil akan memperpanjang ikatan C=O, akibatnya kekuatan ikatan C=O
repository.unisba.ac.id
15
berkurang sehingga pita vibrasinya muncul pada frekuensi yang lebih rendah (Harmita, 2006). 1.6
Kimia Komputasi Sejak dahulu sudah dilakukan upaya untuk pendekatan rasional dalam
menemukan penemuan obat dan dilakukan pengembangan, namun kemajuan besar telah dicapai yaitu dengan menggunakan teori hasil kimia ditanamkan ke dalam program komputer untuk menghitung sifat-sifat molekul dan perubahannya bisa disebut dengan kimia komputasi. Kimia komputasi pun menjadi salah satu bidang dengan perkembangan tercepat dalam teknik kimia maupun dalam dunia farmasi. Para ilmuan mencoba memanfaatkan teknik-teknik pada kimia komputasi untuk pemodelan kimia yang meliputi : (1) Mendesain awal proses reaksi sintesis yang diinginkan, (2) Mempelajari dan menjelajahi mekanisme reaksi yang mungkin terjadi dari desain yang telah dibuat, (3)Melakukan simulasi reaksi dalam komputer, (4) Menentukan sifat-sifat dari molekul pereaksi maupun produk yang dihasilkan (Grant dan Richards, 1998). Metode kimia komputasi ini belum dapat menggantikan percobaan di laboratorium secara keseluruhan, tetapi merupakan bagian yang penting dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan ilmiah, karena diketahui memiliki hubungan antara ilmu teoritis, ilmu eksperimental, dimana ilmu teoritis diaplikasikan pada ilmu komputasi lalu dilakukan eksperimen, ilmu pengetahuan dianggap valid apabila titik temu dari ketiga ilmu tersebut saling berkolerasi antara yang satu dengan yang lain. Walaupun model komputasi tidak sempurna tetapi hampir 90% sangat baik
repository.unisba.ac.id
16
dalam memprediksi dari kenyataan dan dapat mengetahui permasalahan kimia secara lebih lengkap (Young, 2001). 1.7
Kelarutan dan Disolusi Kelarutan merupakan suatu sifat fisika-kimia yang penting dari suatu zat,
terutama kelarutan dalam air. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar memberikan efek terapi, supaya suatu obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Pertama-tama obat harus berada dalam bentuk terlarut, senyawa yang relatif tidak terlarut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna. Jika kelarutan obat kurang dari yang diinginkan, maka dilakukan upaya untuk memperbaiki sifat kelarutannya (Ansel, 1989:153). Kelarutan menurut Martin (1990), dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler yang homogen. Disolusi adalah proses suatu zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Pada saat obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan awalnya akan membentuk suatu lapisan jenuh obat yang membungkus permukaan partikel padat, larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi, molekul-molekul obat keluar dan melewati membran biologis untuk dapat diabsorbsi. Proses disolusi bergantung pada kemampuan partikel untuk dapat melalui membran, akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan lama
repository.unisba.ac.id
17
respon serta kontrol bioavabilitas obat tersebut dari bentuk sediaannya (Ansel, 1989:118-120). Menentukan kecepatan disolusi intrinsik obat pada rentang pH cairan fisiologis sangatlah penting karena dapat digunakan untuk melakukan prediksi absorbsi dan sifat fisikokimia obat (Agoes, 2006:9). Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara kuantitatif oleh Noyes dan Whitney pada tahun 1987, persamaan tersebut adalah :
Keterangan : M = Massa zat terlarut yang terlarut selama waktu (t). = Kecepatan disolusi massa (massa/waktu). D = Koefesien difusi zat terlarut dalam larutan. S = Luas permukaan padatan. h = Tebal lapisan difusi. Cs = Kelarutan padatan (dalam larutan jenuh pada permukaan padatan dan pada temperatur percobaan). C = Konsentrasi zat terlarut dalam larutan bulk pada waktu (t). = Kecepatan disolusi. V = Volume larutan. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa kecepatan disolusi sangat ditentukan oleh kelarutan zat aktif dalam medium. Semakin besar kelarutannya dalam medium, maka semakin banyak jumlah zat aktif yang dapat terlarut didalamnya (Martin, 1990:427).
repository.unisba.ac.id