BAB I 1. 1. Latar Belakang
Pertengahan 1900-an di Inggris merupakan masa paling menentukan dalam sejarah sastra dunia, ketika muncul sekelompok pengarang yang menempatkan kembali fantasi dan spiritualitas dalam
karya-karya
yang
dihasilkannya.Bermula
dari
puisi
Tolkien
yang
berjudul
Mythopoeia,dan diikuti pendirian Inklings, kelompok non formal oleh Tolkien dan kawan-kawan Profesornya di Oxford, berkembanglah tradisi sastra yang bergenre fantasi (Mythopoeia).Pada tahun 1936, Tolkien menulis novel Hobbit dan dari novel itu, tradisi sastra yang bergenre fantasi mythopoeicsemakin berkembang. Tradisi baru ini menerobos tradisi sastra yang mapan ketika itu, yakni sastra modern bercorak realis yang dominasi oleh karya-karya Lawrence, Hemingway dan Joycei.
Deskkripsi
dan
istilah
mythopoeia
dikembangakan
oleh
J.R.R.
Tolkien
tahun1930an.Penulis dalam genre ini menggambungkan tema-tema mitologi tradisional dan arketip-arketip ke dalam fiksi.Mythopoeia juga merupakan menciptakan hal-hal berupa mitos.Usaha
mengelaborasi
“kemasalaluan”
menjelma
dalam
bentuk
sastra
fantasi
mythopoeic.Banyak karya sastra yang bermuatan tema-tema mistik, namun hanya beberapa yang mendekati misi mythopoeia.Menurut Cooper, sebagai kebalikan dari dunia-dunia fantasi atau fiksi-fiksi umum yang berdasarkan sejarah, georgrafi, dan hukum alam, myithopoeia bertujuan untuk meniru dunia mitologi yang sesungguhnya. Mythopoeia
secara khusus dibuat untuk
menciptakan mitologi bagi pembaca modern, dan atau untuk menambah kekuatan dan kedalaman sastra terhadap dunia-dunia fiksi, fantasi atau karya-karya dan film science fiksi.Mythopoeia
1
dapat menciptakan sebuah dunia yang benar-benar independen seperti halnya dunia Middleearth-nya Tolkien(Cooper, 2011: 1-7).
Sastra fantasi awalnya berkembang dalan tradisi dan ideologi Inklings, namun dalam perkembangan selanjutnya, sastra fantasi terpecah menjadi dua; pertama fantasi yang setia secara bentuk dan ideologi dalam tradisi Inklings, yakni berkomitmen kepada koreksi terhadap modernism yang dianggap tersekulerkan, dan cenderung pada kemajuan material disebut dengan Fantasi Mythopoeic, yang kedua bentuk fantasi yang berbeda secara ideologis dengan Inklings, oleh Jack Zipes dinamai Fantasi Radikal(Frenkel, 1993: 1-18). Joseph Campbell, seorang peneliti mitologi dunia mengatakan bahwa sastra fantasi adalah sebuah bentuk usaha dari para penulis untuk mengembalikan mitos dan sastra lisan kepada zaman modern. Terlebih lagi sastra fantasi mythopoeic, kelompok Inklings dan mythopoeic society memiliki misi yang lebih dari itu, misi mythopoeic adalah mengeksplorasi spirit dari mite dan cerita-cerita ajaib dari masa lampau guna mengatasi kompleksitas persoalan modernitas.Usaha ini diperlukan karen menurut Campbell, manusia di abad ke-21 haus untuk kembali kepada kultur masa lampau (Frenkel, 1993 : 14-16). Komitmen Inkling untuk mengkaji kembali nilai-nilai masa lampau tersebut sejalan dengan filsafat organisisme yang dikembangkan oleh filsuf Inggris, Alfred North Whitehead pada tahun 1920-an. Filsafat Whiteheadean kemudian dikembangkan kembali oleh kelompok Grifin pada tahun 1989. Menurut Griffin: “Mitos kemajuan” modern merendahkan masa lalu, yang tradisional, dengan mengatakan modernitas sebagai “pencerahan” dan masa lalu sebagai “zaman kegelapan”, dan mempertentangkan “sains modern” dengan “takhayul” primitif Abad Pertengahan. Mitos kemajuan ini diungkapkan oleh Auguste Comte yang memperiodisasi sejarah manusia ke
2
dalam zaman teologi, metafisika, dan sains; periodisasi yang sekarang masih dipakai secara luas dalam lingkungan akademis(Griffin, 2005 : 18).
Bagi Berger, dimensi orientasi modern lainnya adalah futurisme, yakni suatu kecenderungan untuk menggali hampir semua makna masa kini dalam hubungannya dengan masa depan, melupakan masa lalu, memotong semua ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang baru. Modernitas yang bersifat antitradisionalisme radikal ini menurut Berger merupakan dimensi individualisme modernitas yang lain, yang menganggap bahwa masa lalu tidak merupakan bagian dari masa kini (Berger dalam Griffin, 2005 : 19). Selanjutnya Griffin (2005) menambahkan bahwa spiritualitas modern berawal dari suatu spiritualitas yang bersifat dualistis dan supernaturalistis, dan berakhir dengan pseudospiritualitas (spiritualitas semu) dan antispiritualitas; postmodernitas kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur dari spiritualitas pra-modern.Akan tetapi, spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern. Masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, namun secara bersamaan pula masyarakat postmodern akan melawan unsur-unsur modernitas, antara lain; individualisme dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi. Masyarakat postmodern pun akan mentransendensikan kedua sistem ekonomi modern. Dengan demikian masyarakat postmodern berbeda dengan masyarakat pramodern dan masyarakat modern sekaligus (Griffin, 2005 : 16-17).
3
Modernitas menekankan individualisme sebagai pusatnya.Secara filosofis, individualisme adalah penolakan bahwa diri pribadi manusia secara internal berhubungan dengan hal-hal lain, dengan lembaga, alam, dengan masa lalunya, dan dengan Pencipta. Mengenai individualism tersebut, Descartes mengatakan bahwa, jiwa manusia untuk menjadi dirinya tidak memerlukan apa pun selain dirinya sendiri (Griffin, 2005 : 17). Modernisme dimulai sejak masa pencerahan (Turner, 2003: 27).Modernisme dianggap sebagai era kemenangan rasio yang diklaim oleh banyak pihak dan para ilmuwan sebagai sebuah proyek peradaban yang gagal membuktikan janji-janjinya.Janji-janji modernitas tersebut adalah mambawa manusia pada kesejahteraan lahir batin. Modernitas dianggap telah kelelahan dan menyisakan keteralienasian manusia dengan Tuhan, sesama dan alam semesta (Gidden, 1990: 530 ;Maksum, 2008: 311). Joe Holland dalam tulisannya Visi Posmodern Tentang Spiritualitas Dan Mayarakat, mengatakan bahwa: Impian modern mengalami jalan buntu,. Dalam usaha untuk membebaskan dirinya, kemajuan ilmiah modern menyongson bahaya karena tercerabut dari akarnya ; dari bumi, dari komunitas manusia dan segala tradisinya, dan juga dari misteri religious. Energinya bergeser dari penciptaan menuju kehancuran, Mitos kemajuan menjadi boomerang (dalam Griffin, 2005 : 67).
Modernisme yang dianggap gagal ini mengundang perdebatan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.Perintis perdebatan kontemporer dalam sosiologi posmodernisme, yaitu perkembangan ide Daniel Bell tentang masyarakat pasca-industri dan kontradiksi budaya yang tak bisa dihindari dalam kapitalisme (Turner, 2003: 5).
4
Simmel menganggap bahwa uang berperan besar dalam eksploitasi dan alienasi, selain uang memberi kesempatan baru bagi manusia, uang juga membuka celah bagi individualitas (dalam Turner, 2003: 5). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Frederick Schiller, sebagaimana dikutip Swingewood bahwa komersialisasi dan industrialisasi telah menciptakan masyarakat yang terpisah dari elemen organiknya yakni masyarakat sekitarnya (Singewood, 1972:29). Swingewood selanjutnya mengatakan bahwa uang tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengontrol manusia, tetapi sekaligus menggeser keberadaan manusia, menjadikannya teralienasi dari dirinya sendiri dan masyarakat.Kesemuanya ini menunjukkan keteralienasian kemampuan manusia, sistem reifikasi membuat menusia telah kehilangan hubungan spontanitasnya
terhadap
manusia
lainnya
(Swingewood,1972:44).Sedangkan
Goldmann
menganggap bahwa struktur sosial yang reifikasional cenderung menghilangkan “ke-kita-an” dan menonjolkan “ke-aku-an”. Struktur reifikasi mengubah persoalan komunal menjadi persoalan individu yang saling berbeda satu sama lain dan saling terpisah (Goldmann,1977: 16). Menurut Schiller, sebagaimana dikutip Singewood (1972) seni dapat menyatukan antara manusia dan lingkungannya yang utuh. Sebagaimana Schiller, Hegel juga berbicara tentang keterpecahan manusia dari lingkungan alamnya dan dengan manusia lain. Mengikuti pendapat Bonald bahwa karya sastra adalah merupakan ekspresi dari masyarakat yang melahirkannya. Jika epik adalah merupakan ekspresi dari “zaman heroik”, tentang spirit nasionalisme, maka dunia modern dengan spesialisasi dan individualismenya telah mengoyak keutuhan akan relasi manusia dengan alam dan dengan dunia epik. Hegel menegaskan bahwa dunia modern, dengan sistem birokrasinya, perangkat militernya dan juga pembagian kerja telah menganti dunia epik, tradisi epik telah diganti dengan “epik kelas menengah” yang kini dikenal dengan novel. Novel bagi
5
Hegel adalah gambaran dari keterpecahan dunia dan dunia yang kehilangan keutuhannya (Singewood, 1972: 30). Kritk dan penolakan terhadap modernisme terwadahi melalui sebuah kelompok nirlaba yang didirikan oleh para simpatisan Inklings yang diberi nama Mythopoeic society.Kelompok ini mendedikasikan diri untuk mengkaji karya-karya Inklings dan melakukan sosialisasi ideologi Inklings melalui sejumlah kegiatan seperti penerbitan jurnal dan pemberian penghargaan kepada karya-karya penulis Mythopoeic. Mythopoeic Society memiliki jurnal yang bernama Mythlore, dalam jurnal inilah karya-karya fantasi mythopoeic dibahas dan dimaknai.
Melalui jurnal
Mythloredikenal beberapa nama yang dinyatakan sebagai penulis yang bercirikan sastra fantasi mythopoeicseperti C. S. Lewis dan Neil Gaiman. Mythopoeic Society juga secara rutin mengadakan konferensi tahunan yang diberi namaMythcon, dalam konferensiitu para penulis fantasi Mythopoeic diberi penghargaan. Neil Gaiman merupakan salah satu penulis yang dianggap memiliki wawasan dan misi mythopoeic dalam karya-karyanya. Stardust, salah satu karya Neil Gaiman dianugrahi penghargaan Mytopoeic Fantasy for Adult Literature oleh Mythopoeic Society,(Cooper, 2001: 14-15).
Neil Gaiman kemudian dikenal sebagai salah seorang penulis novel yang menampilkan mistik dan magis dalam karya-karyanya.Dia dikategorikan satu genre dengan J.R.R. Tolkien yang
terkenal
dengan
perlawanannya
terhadap
modernisme.(Frenkel:
1993:
14-
17).Supranaturalisme yang merupakan “wilayah terlarang” di era modernisme ditandai dengan lahirnya novel-novel realis mendapat tandingan darikarya penulis Inklings yang hadir melawan paradigma modernis ini.Kehadiran latar peri dan peristiwa-peristiwa magis dan supranatural adalah merupakan ciri sastra fantasi mythopoeic. Mistisisme hadir dalam semua prosa karya Neil Gaiman, termasuk Stardustii yang menjadi objek material penelitian ini. 6
Kedekatan Neil Gaiman dengan mistisisme tidak muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan proses panjang yang dilaluinya.
Neil Gaiman lahir dari keluarga Yahudi pada tanggal
10 November 1960 di Porchester, Hampshire, Inggris.Ibunya berprofesi sebagai apoteker, sedangkan ayahnya direktur sebuah perusahaan. Melalui ayahnya, Gaiman mendapat dorongan yang menumbuhkan kebiasaan membaca. Sejak kecil Gaiman telah menelusuri perpustakaanperpustakaan kota, menikmati bacaan anak dan bacaan untuk orang dewasa sekaligus. Kegemarannya membaca itulah yang mengantarkannya menjadi penulis.Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1977 Gaiman memulai karir sebagai penulis.Artikelny dimuat di sejumlah Koran dan majalah di Inggris, termasuk diantaranya adalah the Sunday Times, the Observer, dan Time Out iii.
Pada masa persiapan inisiasi (sebuah upacara transisi anak laki-laki Yahudi menuju kedewasaan), Gaiman mulai membaca tulisan tentang agama dan mistik Yahudiiv. Menurut De Vos, penguasaan Gaiman pada referensi Yahudi terlihat pada novel grafiknya Sandman dan Stardust, yang menggunakan tokoh mitologi Yahudi dan juga mendeskripsikan sejumlah ritual agama Yahudi (De Vos , 2001: 10-15). Stardust seperti telah dikemukakan di atas, dipandang sebagai novel yang mengikuti genre karya Tolkien sebagai pelopor fantasi mythopoeic. Genre mythopoeic memilikiciri, perlawanan terhadap modernism. Diduga, perlawanan novel Stardust terhadap modernisme dapat ditemukan dengan sistem double coding. Charles Jenks dalam buku Postmodernism Defined menjelaskan bahwa double coding adalah sebuah perpaduan nilai dari modernisme dengan tradisionalisme (Jenks, 2002: 17). Karya-karya posmodernisme berisi double coding atau politik kode ganda.Nicol mengatakan, dalam arsitektur, double coding adalah kombinasi teknik modern dan teknik yang lain (biasanya adalah teknik tradisional). Dengan demikian dapat dipahami bahwa 7
kombinasi tersebut adalah kombinasi nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru (modern) (Nicol, 2002: 17). Dengan melihat penjelasan yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa postmodern adalah sebuah sintesa nilai dari peradaban modern dan tradisional (Nicol, 2002: 116) yang diduga terdapat di dalam novel Stardust.Sebagai novel posmoderen, stardust jugamerupakan perwujudan dari pandangan dunia posmodern.Posmodernisme menurut Jencks adalah adalah suatu reaksi terhadap modernisme, yakni kembali kepada nilai-nilai tradisional. Eco mengatakan bahwa novel posmodern seharusnya mampu menampilkan realisme dan irealisme sekaligus (dalam Nicol, 2002; 100-112).Double coding realisme-irealisme Stardust dapat dilihat: pertama, melalui tokoh-tokohnya. Tokoh dalam Stardust terdiri dari manusia dan peri. Kedua, latar tempat dalam stardust terdiri dari dunia nyata dan dunia peri. Ketiga, membenturkan pandangan dunia modern dan pramodern. Strategi double coding dalam estetika karya dan pandangan dunia merupakan apa yang disebut Goldmann sebagai usaha destrukturisasi, Stardust adalah usaha mendestrukturisasi dunia modern dan mengorganisasikan struktur sosial posmodern.Posmodernisme
mendenaturalisasi sejumlah aspek dominan pola
hidup kita untuk menunjukkan entitas yang kita terima begitu saja tanpa berpikir, sebagai sesuatu yang “alamiah” (di antaranya adalah kapitalisme, sistem patriarkal, humanisme liberal) sebenarnya bersifat “kultural”; kita ciptakan dan bukan terberi (Hutcheon, 2002: 2). Stardust dilihat sebagai fiksi posmodern berbentuk dongeng yang menghadirkan realitas dunia lain. Latar tempat merupakan dunia yang sulit dirujuk pada lokus yang konkrit, tokohtokoh dari dunia peri, serta terdapatnya reproduksi terhadap mitos-mitos kuno.Benturan-benturan nilai modernitas dan tradisionalitas serta benturan nilai-nilai masa lalu dan masa kini adalah suatu gejala akan pencarian terhadap apa yang dikatakan Goldmann sebagai struktur imajiner, di mana pengarang sebagai wakil kelompoknya merespon struktur sosio-kultural disekitarnya 8
dengan menciptakan semesta tokoh-tokoh (Goldmann, 1977: 315-316).Kegerahan terhadap kekeringan spiritual yang disebabkan oleh modernisme dan kerinduan akan keagungan peradaban masa lampau sebagai fenomena posmodern berkemungkinan kemudian melahirkan struktur imajiner yang diekspresikan dalam novel ini. Fenomena yang dimunculkan dalam novel Stardust karya Neil Gaiman menjadi fenomena yang perlu dikaji lebih mendalam guna mendapatkan pemahaman tentang bagaimana spiritualitas dan pandangan dunia kelompok masyarakat yang diwakilinya terekspresikan dalam karya.
1.2 Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan kehadiran kelompok Mythopoeic Society dan kaitannya dengan Neil Gaiman sebagai salah seorang member dalam kelompok itu dan bagaimana ideologi kelompok diekspresikan dalam novel Stardust,yang menjadi objek material dalam penelitian ini. Sebagai karya sastra yang lahir dari sebuah masa, Stardustmencerminkan semangat zamannya, mengandung nilai-nilai yang diyakini dan merupakan reaksi terhadap situasi sosial pada masanya. Reaksi yang diduga bersifat posmodernis ini memiliki koherensi dengan struktur di luarnya yang merupakan pandangan dunia subjek transindividual. Rumusan masalah di atas melahirkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana posisi pengarang dan mythopoeic society sebagai subjek transindividual mendefinisikan spiritual posmodern tersebut sebagai reaksi terhadap modernism, serta kondisi sosio kultural seperti apakah yang menjadi jiwa zaman dalam novel Stardust?
9
2. Strategi posmodern apakah yang digunakan dalam membangun estetika novel Stardust dan bagaimana korespondensi antar elemen, yakni struktur internal (estetika), dan struktur eksternal yang dimediasi oleh pandangan dunia dipresentasikan dalam novel Stardust.
1.3 Tujuan Penelitian Secara teoretis, penelitian ini bertujuan antara lain: 1. Mendeskripsikan posisi pengarang dan mythopoeic society, serta mendeskripsikan kondisi sosio kultural sebagai elemen dalam bangunan Stardust. 2. Menemukan unsur internal pembangun Stardust dan mengungkap sisi keposmoderenannya, serta menemukan koherensi struktur yang membangun novel Stardust ini. Secara praktis, sebagai novel yang diasumsikan memiliki pandangan dunia yang posmodernis, yakni pencarian akan nilai-nilai yang hilang dalam era modernisme, diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa peradaban modern dan tradisional bukanlah hirarkis melainkan saling melengkapi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan tentang pemikiran posmoderen sebagai evaluasi terhadap modernisme yang dianggap kering nilai-nilai spiritual dan perlunya rekonsiliasi hubungan tiga dimensional, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam sekitarnya. 1.4 Tinjauan Pustaka Artikel berjudul “Fairy and Faerie: Uses of the Victorian in Neil Gaiman's and Charles Vess's Stardust” (2008), yang ditulis Meredith Collins yang mendeskripsikan Stardust adalah
10
sebuah novel yang mengandung unsur-unsur dongeng, yakni mengisahkan tentang nasib tokoh utama yang penuh dengan petualangan supranatural dan banyak berisi jampi-jampi dan mantera. Selanjutnya tulisan ini juga menyatakan bahwa Neil Gaiman menggunakan tokoh-tokoh sejarah sebagai tokoh dalam novelnya ini, antara lain, Ratu Victoria, Mr. Charles Dickens , Mr. Drapper dan Mr. Morse. Ratu Victoria digambarkan penuh semangat dan belum menjadi pemurung seperti ketika ia telah menjadi janda, menurutnya penggambaran ini bukan tanpa maksud, melainkan untuk menghidupkan suasana teks sebagai suasana yang riang dan menghilangkan kesan kemurungan. Masih tentang peran tokoh-tokoh sejarah dalam kehadirannya di dalam teks, dinyatakan dalam tulisan ini bahwa, Charles Dickens mewakili budaya populer, sedangkan Mr. Morse dan Mr, Drapper mewakili sains dan teknologi.Kehadiran karakter tokoh sejarah tersebut mewujud dalam tokoh utama Tristan sebagai sosok yang penuh ingin tahu, optimistis dan eksploratif. Stardust juga digambarkan sebagai penekanan pada hubungan kedua tokoh utama Tristan dan
Lady
Yefiene (Putri
Bintang)
sebagai
laki-laki dan
perempuan yang
saling
melengkapi.Dengan demikian, Stardust menekankan pada relasi dari gender komplementer. Dari tulisan di atas, terlihat bahwa Stardust disimpulkan sebagai novel posmoderen yang mengandung tegangan antara tokoh sejarah dan tokoh fiksi.Kehadiran tokoh sejarah untuk memperkuat karakter tokoh fiksi.Namun tulisan di atas tidak mengeksplorasi kehadiran tokoh Victoria sebagai ikon penemu budaya daerah jajahan yang menyebabkan terjadinya kontak barat dan timur sehingga fiksi posmodern sebagai metafiksi historiografis tidak dibahas dalam tulisan di atas. Demikian pula kehadiran Mr. Dickens yang di dalam novel digambarkan sangat rindu
11
akan cerita-cerita peri dan hal-hal yang berbau mistis tidak ditonjolkan sehingga sisi posmodern dari novel ini tidak diungkap, seperti hal yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini nanti. Tulisan lainnya yang berbicara tentang novel Stardust karya Neil Gaimanberupa disertasi berjudul “The Fantastic Worlds as a Representation of The Collective Human Unconscious in the Books by Neil Gaiman” (2008)yang ditulis oleh Jitka Marková.Penelitian Marková ini membahas hubungan arus utama sosial dan dunia-dunia fantastik menurut analisis pandangan psikologi. Dalam penelitian itu, juga dijelaskan bahwa perjalanan tokoh utama yang berperan sebagai bagian utama dalam novel tersebut memiliki fungsi yang sama dengan proses individuasi yang dijabarkan oleh C.G. Jung. Marková menggambarkan bahwa ide dunia fantastik yang merepresentasikan unconscious dianalisis melalui hubungan tokoh-tokoh utama kepada duniadunia dan perkembangan sifat-sifat mereka terhadap sesuatu yang di luar pengalaman mereka. Dalam hal ini Stardust merepresentasikan sifat lain dari fenomena dunia fantastik. Di sini digambarkan bukan sebagai suatu petualangan hero tetapi lebih kepada hal yang positif yaitu harmonisasi dengan tokoh utama dan tidak menggambarkan suatu threat pada tokoh. Kenyataan ini terreflesikan pada keserupaan pada fairytale dimana seluruh masalah tersebut diselesaikan dengan cara mengguanakan magis atau bantuan dari beberapa hal yang sifatnya supranatural. Pada umumnya, penelitian terhadap novel bergenre fantasi hanya terjebak pada bingkai budaya popular yang menganggap sastra fantasi sebagai eskapisme, menyamakan sastra fantasi dengan bentuk pelarian lain seperti minuman berakohol, obat-obatan psikotropika yang mampu membuat pembaca “melarikan diri ” dari dunia nyata, dan itupun bersifat temporal. Dari tinjauan pustaka terlihat bahwa penelitian Markova sedikit lebih maju, Markova memanfaatkan teori psikologi Jungian, namun demikian, tidak menyentuh sisi religiositas yang dapat diungkap lewat teori Jung.Penelitian tulisan Markovapun hanya terjebak dalam persoalan psikologi sastra. 12
Komitmen Mitopoeic Society sebagai kelas sosial terhadap reproduksi mite, terhadap kearifan masa lampau, kebangkitan spritualitas dan reaksinya terhadap modernisme tidak mendapat tempat dalam penelitian-penelitian tentang genre ini, oleh karena itu metode strukturalisme genetik diharapkan dapat mengungkap pandangan dunia kelompok sosial ini, sehingga ideologi yang diusungnya dapat terungkap, demikian pula peta peradaban dan pergerakannya dapat dibaca melalui cerminannya dalam karya sastra. Dengan demikian penelitian ini adalah orisinil.
1.5
Landasan Teori Novel Stardust karya Neil Gaiman ini, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
mencirikan novel posmodern yang mengandung tegangan nilai-nilai masa lampau dengan nilainilai modernitas. Tokoh peri, latar tempat yang tak dapat dirujuk pada dunia nyata, serta simbolsimbol yang dipinjam dari masa lampau (tradisional) diasumsikan sebagai perlawanan terhadap tata dunia kini (modernisme). Demikian pula hero dalam hal ini tokoh utama berusaha membangun penyatuan kembali dunia yang telah terfragmentasi oleh nilai-nilai modernitas mencirikan perlawanan yang sama. Koherensi antar unsur dalam novel Stardust yang mengindikasikan sebuah proses pencarian hero akan nilai-nilai otentik akan dapat dijembatani oleh teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann, oleh karena itu penelitian ini menggunakan teori Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Novel Stardustmenunjukkan pencirian sebagai karya posmodernisme, dengan tokoh dan latar tempatnya yang merupakan perpaduan antara dunia yang dapat dirujuk pada suatu ruang yang riil, dan dunia peri yang tak dapat dirujuk pada dunia nyata. Dengan alasan yang demikian, penelitian ini juga menggunakan cara pandang posmodernisme Whiteheadian yang lebih berkecenderungan pada pandangan tentang
13
organisisme, adanya jaringan kehidupan yang menyeluruh dan dengan begitu penting artinya mencari kembali relasi organis dalam dunia yang telah terfragmentasi oleh sikap hidup modernis. Ada beberapa alasan untuk menggabungkan kedua teori ini. Pertama, strukturalisme genetik mensyaratkan homologi antara bentuk novel dan isi. Novel Stardust adalah novel posmodern, oleh karena itu penggunaan strukturalisme saja tidak memadai untuk mengungkap sisi kepostmoderenannya v. Di lain pihak, teori posmodernisme sendiri kurang memadai untuk mengetahu posisi Stardust dalam peta sejarah sastra, sementara Stardustmerupakan sejarah panjang dan komprehensif mengenai pemikiran dan perjuangan subjek transindividual yang terdiri dari para filsuf dan kelompok pengarang dalam pergulatan mereka mengoreksi nilai-nilai modernisme yang dianggap bersifat destruktif. Oleh karena itu metode keseluruhan-bagian dan konsep Goldmann mengenai subjek transindividual diperlukan untuk memahami entitas struktur novelStardust. Strukturalisme genetik dan postmodernisme sendiri tidak memiliki pertentangan dipandang dari beberapa alasan, Pertama, posmodernisme memiliki beberapa pengertian, mulai dari pengertian Lyotard yang mengajukan pemutusan secara radikal dengan modernisme, sampai Gidden dan Habermas yang membela modernitas sebagai proyek yang belum selesai (Maksum, 2008: 306). Novel Stardust meskipun menampilkan perlawanan terhadap modernisme, namun tidak menolak nilai-nilai modernismedengan ekstrim. Nilai-nilai itu dikodekan secara ganda (double coding) dengan nilai-nilai tradisional, sehingga nilai-nilai itu bisa saling melengkapi. Kedua, Strukturalisme genetik bergerak dinamis. Pada awalnya Goldmann menempatkan posisi pengarang sebagai subyek transindividual pada komunitas sosial yang lebih besar yakni kelas sosial, namun pada fase Malraux, kelas sosial ini tidak dapat dipertahankan oleh
14
Goldmann, selanjutnya pengarang diposisikan pada komunitas yang lebih kecil, yakni kelompok pengarang, filsuf dan intelektual. (Goldmann, 1981: 42) Ketiga, terdapat beberapa kesamaan antara strukturalisme genetik dan posmodernisme. Strukturalisme genetik percaya bahwa fakta sosial budaya adalah bersifat historis (made) yakni dibuat oleh manusia, bukan terberi (given). Oleh karena itu struktur tersebut bisa didestrukturasi.Demikian pula halnya posmodernisme, bahwa fakta sosial budaya harus dapat dibedakan antara yang alamiah (terberi) dan yang bersifat konstruktif, sehingga entitas kebudayaan
yang
kita
terima
tanpa
berpikir
tersebut
harus
didenaturalisasi
dan
didekonstruksi.(Goldmann, 1981: 42; Hutheon, 2002: 2). Proses destrukturasi inilah yang mewujud dalam karya sastra sebagai sebuah kesadaran yang mungkin (possible consciousness) menurut Goldmann. Akan halnya karya besar yang dipersyaratkan strukturalisme genetik, karya posmodern memiliki kategori kebesaran yang berbeda dengan novel realis yang mengungkapkan fakta sosial secara apa adanya. Kebesaran karya posmoderen terletak pada mite-mite dan simbolsimbol yang digunakan (Audifax, 2006: 161 - 193). Hutcheon dalam bukunya The politic of Postmodernism menyatakan tidak berminat untuk meneliti karya-karya “kecil”, oleh karena itu ia memilih antara lain karya-karya Shalman Rushdi. Disamping itu, posmodernisme konstruksionis Whiteheadian bukan merupakan negasi dari apa yang datang sebelumnya (pra-modern dan modern ), maka semestinya tidak ada pertentangan antara posmodernisme dan modernisme, (Jencks dalam Nicol, 2002: 114). Komitmen posmodernisme Whiteheadian semata hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan modernisme tetapi tidak seluruh nilainya.
15
Dalam bukunya “Towards the sosiologi of the Novel”, Goldmann membahas tentang karya-karya nouveau roman yang dipelopori oleh Robbe Grillet. Jenis novel tersebut menurut Goldmann bercirikan kehancuran karakter, diantaranya adalah karya-karya Camus, kafka, Sartre dan lain-lain (Goldmann 1977 : 132-149). Karya-karya Robbe Grillet dikategorikan oleh McHale sebagai modernis batas (limit modernist)(McHale, 1987 : 13-14). Penerapan teori Goldmann pada karya-karya nouveau roman ini menunjukkan tidak adanya pertentangan antara posmodernisme dan strukturalisme genetik.Faruk (2002: 29) dalam tulisannya Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942, menggunakan teori strukturalisme genetik dan metode dekonstruksi, menurut Faruk, tidak ada pertentangan antara metode dekonstruksi dan strukturalisme genetik. Selain itu, posmodernisme juga mengalami perkembangan pemikiran, para pengikut Whitehead seperti David Ray Griffin, mengembangkan filsafat Whitehead yang oleh Charles Jenks disebut dengan posmodernisme konstruktif, dan bukan merupakan pemutusan yang radikal dengan modernisme seperti yang dikonsepsikan oleh teori posmodern yang lain (Griffin, 2009: xxiii ). Postmodernisme ini mengembangkan filsafat organisisme Whitehead yang terkenal dengan konsep keseluruhan-bagian-bagian keseluruhan.
1.5.1
Strukturalisme genetik Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa sastra fantasi mythopoeic
lahir ditengah-tengah berjayanya sastra realis modern, strukturalisme genetik digunakan untuk melihat asal-usul kelahirnya dan hubungan antar struktur, yakni struktur internal (literariness dan struktur eksternal).Strukturalisme genetik Goldmann adalah teori yang menghubungkan sejarah dan kelahiran karya seni.Struktur karya harus dipandang sebagai produk dari subjek yang terlibat 16
di dalam sejarah, bukan oleh subjek yang tidak memegang peranan dalam sejarah, (Goldmann, 1981: 11). Dalam karya Lukacs dan Goldmann serta sejumlah ahli sosiologi yang menulis relasi antara karya seni dan masyarakat, analisis telah dikembangkan dengan konsep mediasi estetik, sebuah konsep yang melampaui apa yang dikenal dengan “teori refleksi”, yakni teori yang menganggap bahwa karya seni adalah sekedar cerminan struktur masyarakat. Dalam mediasi estetik Lukacs dan Goldmann, hubungan antara karya seni dan produksi kultural lebih kompleks. Bagi mereka karya seni ditentukan oleh faktor ekonomi dan faktor-faktor material lainnya, juga oleh keberadaan dan komposisi kelompok sosial serta sifat dan hubungan antara ideologi dan kesadaran mereka (wolff, 1981; 60). Strukturalisme genetik merupakan reaksi atas dua kutub tradisi kritik sastra, yakni sosiologi sastra yang dipelopori oleh Taine di satu sisi, dan di sisi lain reaksi terhadap tradisi formalisme Rusia yang semata-mata menaruh perhatian pada aspek internal karya sastra tanpa memperhatikan unsur kesejarahan dan genesisnya. Strukturalisme genetik menganggap bahwa unsur internal karya sastra tidak dapat dilepaskan dari unsur eksternalnya.Unsur eksternal dimaksud adalah aspek kesejarahan berupa unsur sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan di mana karya itu dilahirkan (Swingewood, 1972: 59-62). Cara di mana ideologi kelompok sosial tersebut diekspresikan di dalam karya seni dipengaruhi atau dimediasi oleh dua level estetis, yakni pertama adalah kondisi dari produksi karya seni, dalam hal ini adalah kondisi materiil dan ideologis. dan yang kedua adalah keberadaan konvensi estetis (wolff, 1981; 61). Dalam tradisi Marxis, cara untuk memahami ilmu kemanusiaan adalah dengan memeriksa superstruktur dan infrastruktur. Struturalisme genetik menganggap kreasi kultural dan subjek transindividual sebagai struktur yang signifikan dan menganalisisnya pada level mental kategori dan pada level praxis kesejarahan. Dengan demikian studi sosiologi sastra adalah 17
menempatkan antara struktur dan super struktur secara dialektik, memeriksa homologi antara struktur signifikan karya sastra dengan mental kategori yang membentuk kesadaran kolektif dari subjek transindividual. Bagi Goldmann, tingkah laku manusia dipandang sebagai struktur yang koheren, yang merupakan respon terhadap lingukungan sosial dan
lingungan alamnya.
(Goldmann, 1981: 14-15 Akomodasi (destrukturasi) adalah sikap individu atau kelompok masyarakat terhadap lingkungan, sedangkan asimilasi (strukturasi) merupakan cara individu atau kelompok untuk mengatur lingkungan tersebut. Konsep ini diadopsi dari deskripsi antropologi tentang lingkaran subjek-objek yang mencari keseimbangan dan koherensi terhadap lingkungannya untuk melakukan rekstukturisasi secara terus menerus (Goldmann, 1981: 15). Dalam pandangan Goldmann, pengkajian terhadap karya sastra ditekankan pada kesadaran manusia secara umum, dan pada karya filsafat dan sastra secara khusus (Goldmann 1977:7).Bagi Goldmann unsur-unsur karya sastra hanya berfungsi ketika dihubungkan dengan totalitas sosial.Goldmann berargumen bahwa karya sastra yang besar mempunyai koherensi yang menyeluruh, dan struktur yang membuat teks menjadi berarti apabila dia ditempatkan pada keseluruhan atau totalitas karya, (Swingewood, 1972: 59-62).Beberapa konsep dasar yang dikemukakan oleh Goldmann yang berkaitan untuk membentuk strukturalisme genetik tersebut antara lain; fakta kemanusiaan, subjek transidividual, pandangan dunia, pemahaman penjelasan dan homologi. Hal paling mendasar dalam teori strukturalisme genetik menurut Goldmann adalah konsep fakta kemanusiaan. Manusia mengubah dunia atau lingkungan sekitarnya untuk mencapai keseimbangan antara dirinya sendiri sebagai subyek dengan dunia di sekitarnya
18
(Goldmann, 1881: 40).Karya sastra adalah hasil aktivitas manusia yang berasal dari individu yang disebut Goldmann sebagai subyek trans-individual. Menurut Goldmann, semua tingkah laku manusia adalah sesuatu yang berarti, baik itu tingkah laku dalam hal menghadapi situasi tertentu ataupun persoalan interaksi dengan subyek lain. Selanjutnya Goldmann mengatakan bahwa, dalam human science, terdapat dua kategori yang disebutnya sebagai struktur dan fungsi.Fungsi selalu berada pada tataran yang tidak disadari, sedangkan struktur tidak, (Goldmann, 1981: 40). Strukturalisme genetik menganggap karya sastra sebagai elemen konstitutif dari kesadaran sosial dan tidak secara langsung berhubungan dengan kesadaran nyata subjek transindividual, melainkan pada possible consciousness (Goldmann, 1981: 18). Hal ini membedakan Goldmann dengan para strukturalis, yang lain. Pandangan Goldmann lebih dekat kepada semiologi kontemporer (Goldmann, 1981: 7-29). Dalam pandangan dialektika estetis, setiap karya seni, baik seni sastra, seni patung, seni lukis, seni musik, semuanya adalah bentuk ekspresi pandangan dunia, pandangan dunia dapat dilihat dari koherensi antara bentuk dan isi karya seni tersebut (Goldmann, 1977: 269-270). Eagleton mengatakan bahwa novel adalah tentang dunia yang ditinggalkan Tuhan (Eagleton, 2002 ; 33), demikian pula Goldmann dalam Toward the sosioligy Of The Novel mengatakan bahwa, Rene Girard, mengikuti konsep Lukacs dan Heideger, menyatakan bahwa novel adalah persoalan degradasi, tentang pencarian nilai-nilai otentik, di dunia yag sudah terdegradasi (Goldmann, 1977 ; 1-4). Meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda, misalnya bagi Girard, novel karya Tolstoy adalah penemuan akan nilai transenden, namun bagi Lukacs,
19
Tolstoy belum menemukan nilai transenden namun masih ada harapan dan kemungkinan untuk pencarian itu (Goldmann, 1977 ; 4-5). Berangkat dari pandangan Lukacs, Goldmann menyatakan bahwa novel adalah genre sastra dimana masalah etik pengarang menjadi estetika dalam karyanya (Goldmann, 1977 ; 5-6). Novel pada dasarnya mengandung persoalan biografi dan sejarah sosial yang mencerminkan keagungan maupun kekerdilan tingkat sosial pada masa tertentu, yang dengannya orang dapat membaca sejarah sosial dan tidak perlu menjadi sosiolog untuk itu, novel adalah relasi antara bentuk karya dan struktur sosial yang melahirkannya. Novel bagi Goldmann adalah transposisi dari literary plane tentang kehidupan sehari-hari dari masyarakat yang individualistik yang dilahirkan oleh produksi pasar (Goldmann, 1977 ; 7).
1.5.1.1. Subjek transindividual dan pandangan dunia. Bagi Goldmann, struktur tidak bersifat statis, manusia yang terlibat secara aktif dalam “class line”, lah yang menciptakan struktur itu dan mentransformasikannya. Totalitas tidak bersifat statis, melainkan selalu berada pada proses strukturisasi dan destrukturisasi yang terus menerus (Goldmann, 1981: 20). Subyek fakta kemanusiaan ini berbeda dengan konsep subyek pada teori nonstrukturalisme genetik.subyek pada teori non-strukturalisme genetik adalah subyek individual, sedangkan subyek pada strukturalisme genetik adalah subyek trans-individual (Goldmann, 1881: 41). Ketika anggota-anggota suatu
kelompok
termotivasi oleh situasi yang sama dan
memiliki kesamaan orientasi, mereka dalam hal ini mengelaborasikan struktur mental tertentu sebagai suatu kelompok dan berperan dalam situasi kesejarahan, maksudnya bahwa struktur
20
mental yang dielaborasikan oleh kelompok itu mempunyai peranan yang signifikan dalam sejarah. Struktur mental ini dimiliki oleh sebagian kelompok dalam masyarakat yakni, para filsuf, seniman dan pengarang.Kelompok sosial ini memilki sikap kritis terhadap struktur sosial di sekitarnya. Jika struktur itu tidak lagi dapat berfungsi dengan baik, mereka (kelompok sosial ini) mengelaborasikan struktur sosial yang baru (Goldmann, 1981 : 42). Jadi, subyek menurut Goldmann adalah subyek trans-individual, yakni subyek yang terdiri dari individu-individu tertentu (Goldmann, 1981: 97).Karya sastra yang dianggap besar adalah karya yang dianggap sebagai fakta sosial dari subyek trans-individual sebab karya semacam ini merupakan hasil aktivitas yang obyeknya adalah alam semesta dan kelompok manusia, (Goldmann, 1981: 97).Dalam konteks ini, karya sastra lahir dari subyek transindividu.Dengan demikian karya sastra adalah hasil interaksi pengarang dengan kelompok sosial tertentu diantaranya adalah para filsuf yang direspon oleh pengarang.Dalam konteks ini pengarang merespon modernisme yang dianggap menimbulkan degradasi nilai-nilai kehidupan. Goldmann memandang karya sastra sebagai ekspresi kelompok sosial yang kohesif.Mengikuti pandangan Marx dan Mannheim, Goldmann percaya bahwa gagasan yang terdapat dalam karya tertentu dilahirkan dari kondisi sosial tetentu, dan gagasan tersebut bersifat kolektif, bukan bersifat individual.Dalam kondisi kesejarahan tertentu, gagasan tersebut mewujud secara eksplisit dalam pandangan dunia. Hal ini muncul ketika kelompok itu berada dalam usaha untuk mendefinisikan identitas kelompoknya, dan dalam usaha untuk mempertentangkannya dengan kelompok yang lain. Karya sastra yang besar dengan demikian adalah ekspresi dari pandangan dunia semacam itu dan merupakan produk dari kesadaran kolektif (wolff, 1981; 57-58).
21
Pandangan dunia menurut Goldmann merupakan koherensi dan kesatuan tentang hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta (Goldmann, 1981:11). Bagi Goldmann, karya sastra, filsafat, atau hal yang lebih besar yakni agama (teologi), merupakan bahasa yang esensial, di mana manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya, bahasa ini dimaksudkan untuk untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai inilah yang disebut dengan pandangan dunia (Goldmann, 1977: 314). Karya sastra berhubungan dengan kelompok sosial yang terberi, atau suatu agregasi, suatu kelompok sosial yang cenderung untuk menciptakan struktur yang koheren.Kelompok sosial ini memiliki pemikiran, perasaan, sensibilitas perasaan yang berorientasi global organization antar sesama manusia, manusia dengan alam, dan lain-lain.Karya sastra menampilkan kreasi pengarang dan orisinalitasnya dalam hubungannya dengan momen tertentu. Pengarang terjebak dalam keinginan untuk mendeformasi dan juga mengorganisasikan struktur budaya di mana dia berada (Goldmann, 1981: 24). Tidak semua kelompok sosial berdasarkan kepada kepentingan ekonomi untuk membentuk kelas sosial.Suatu kelompok menjadi kelas sosial, apabila kelompok itu menaruh perhatian
kepada
persoalan-persoalan
revolusioner.Setiap
kelas
sosial
kemudian
mengekspresikan keinginan terhadap perubahan kehidupan manusia, perkembangan dan kejatuhannya, bagaimana manusia di masa datang, dan bagaimana membangun relasi yang menyeluruh, antara manusia dengan manusia lain, serta manusia dan alam semesta (Goldmann, 1977: 16-17). Goldmann memandang hanya sedikit individu yang mampu menangkap aspirasi dan pandangan kelompok sosial di mana mereka berada. Individu yang mampu mencapai dan
22
mengintegrasikan pandangan yang koheren dan mengekspresikan pandangan ini secara imajinatif dan secara konseptual adalah pengarang dan filsuf.Semakin dekat hasil karya mereka dengan pandangan dunia kelas sosial, semakin penting karya itu.Sebab hasil tersebut merupakan kemampuan menangkap kesadaran yang mungkin dari suatu kelompok sosial yang sifat-sifatnya diekspresikan oleh pengarang/pemikir tersebut (Goldmann, 1977: 17). Dengan demikian apa yang dimaksudkan dengan pandangan dunia adalah keseluruhan yang kompleks tentang gagasan, aspirasi dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial (yang mengusahakan kearah pembentukan kelas sosial), yang mempertentangkan mereka dengan kelompok sosial yang lain (Goldmann,1977: 17). Karya seni adalah ekspresi dari pandangan dunia. Kesadaran kolektif hanya eksis pada kesadaran individual yang terbentuk dari kesadaran kolektif yang mencapai ekspresi tertingginya dalam pemikiran pengarang dan pemikir, kesadaran inilah yang disebut dengan pandangan dunia (Goldmann, 1977: 17-18). Metode analisis biografi dan psikologi pengarang telah mencerabut karya sastra dari kesejarahannya serta konteks estetik yang sebenarnya, bagi Goldmann halyang demikian sama dengan menganggap karya sastra dengan gejala kegilaan (Goldmann 1975: 165). Akan tetapi strukturalisme genetik tidak mengesampingkan aspek biografi pengarang. Unsur kepengarangan memberikan informasi yang sangat penting, namun hal itu masih jauh dari cukup sebab biografi hanya menyajikan sebagian kecil basis data (Goldmann, 1977: 9). Dalam sudut pandang materialisme dialektik, pengetahuan tentang fakta empiris masih tetap abstrak dan supervisial jika belum ditempatkan pada keseluruhan.Hanya dengan metode 23
dialektika kita dapat melampaui fenomena yang abstrak, dan tidak lengkap menuju esensi yang kongkrit, dan dengan demikian ditemukan maknanya. Gagasan suatu karya tidak dapat dipahami hanya dengan terpaku pada apa yang ditulis pengarang, apa yang dibacanya dan apa yang mempengaruhinya. Gagasan dan unsur kepenngarangan hanyalah sebagian dari realitas abstrak, dari keseluruhan aspek kehidupan manusia, (Goldmann, 1977: 7). Konsep ini menuju kepada kesimpulan bahwa individu hanyalah bagian dari keseluruhan yang dibentuk oleh kelompok sosial dimana dia berada. Gagasan yang diekspresikan pengarang hanya dapat bermakna dan dipahami bila hal tersebut ditempatkan sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan cara dia bersikap terhadap lingkungannya (mode of behavior) dari kelompok sosial. (Goldmann, 1977:7). Dalam analisisnya, Goldmann mecontohkan pemahaman terhadap tragediRacine menurutnya hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan gagasan dalam Jansenist dan dari studi tentang sosial ekonomi di zaman Louis XIV (Goldmann, 1977: 8). Pandangan dunia bersifat historis dan merupakan hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu (Goldmann, 1981: 112).Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, mentalitas yang lama dianggap perlu mendapatkan perubahan dan untuk mengatasi mentalitas yang lama itu, diperlukan terbangunnya mentalitas yang baru (Goldmann, 1981:112). Namun pandangan dunia ini bukanlah kesadaran yang nyata, melainkan kesadaran yang mungkin yang hanya ada dalam imajinasi pengarangnya, (Goldmann, 1981: 66).
1.5.1.2. (Understanding and Explaining) dan Homologi Pemahaman menekankan pada deskripsi internal tentang relasi yang membangun teks, interpretasi mengenai proses genetik, yakni ketika struktur teks dimasukkan ke dalam struktur
24
yang lebih luas (pola subjek transindividual tentang mental kategori) . dengan cara ini maka teks dan spesifikasi sejarah menjadi berfungsi, sementara itu elemen-elemen dan struktur formal dapat dijelaskan, (Goldmann 1981: 18). Goldmann menganggap bahwa muatan suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan homologi struktural, dengan pola kategori mental suatu subjek kolektif (Goldmann, 1981: 24).Konsep homologi dalam teori Goldmann adalah adanya kesalingtergantungan antara teori dan praksis.Konsep homologi membedakan teori Goldmann dengan kritik sastra mimesis.Setiap aplikasi
dari
kategori
harus
memperhitungkan
level
“possible
consciousness”.
Kesalingtergantungan inilah yang dinamakan Goldmann dengan “struktural”.Dalam hal ini isi karya sastra tidak langsung dihubungkan dengan fakta sosial di luarnya, melainkan dimediasi oleh kesadaran kolektif suatu kelas sosial yang diolah menjadi struktur imajiner dalam karya sastra (Goldmann, 1981: 29). Dalam merumuskan metodenya, Goldmann menetapkan hipotesis bahwa fakta estetik terdiri atas dua level korespondensi: 1. Korespondensi antara pandangan dunia, realitas dan semesta pengalaman penulis. 2. Korespondensi antara semesta pengalaman ini dengan sarana sastra seperti, style, imaji, sintaksis dan lain-lain yang digunakan oleh penulis untuk mengungkapkan semesta pengalaman itu (Goldmann, 1977: 315). Dengan demikian dalam pandangan strukturalisme genetik, semua karya sastra besar harus memiliki struktur yang koheren dan harus mengekspresikan pandangan dunia, pandangan dunia tersebut adalah representasi dari aspirasi anggota kelompok tertentu (Goldmann, 1977: 315).
25
Struktur yang koherendalam karya sastra berada pada level “pemahaman”, sedangkan struktur yang lebih luas di luarnya berada pada level “penjelasan”.Kedua struktur ini berada pada koherensi yang bersifat fungsional (Goldmann, 1981: 32).Bagi Goldmann, karya sastra memiliki kebutuhan akaninner dialektik, oleh karena itu cara kerja Goldmann dimulai dari analisis bentuk estetika, di mana litterairite dan intransitivitasnya dapat ditelusuri, kemudian bergerak ke struktur di luarnya (Goldmann 1981: 32). Jadi apa yang disebut estetik sosiologis adalah ketepatan mengekspresikan relasi antara pandangan dunia dan semesta tokoh-tokoh serta sarana sastra yang lain yang digunakan oleh penulis dalam suatu karya sastra (Goldmann, 1977: 316). Sebagaimana hipotesis Goldmann di atas, Stardust dipandang sebagai hasil ekspresi dari pandangan dunia kelompok tertentu, pandangan dunia tersebut memiliki koherensi dengan sarana sastra yang ada di dalam Stardust. Sebagai novel posmodern, di dalam Stardust tentunya terdapat estetika posmodernisme yang mengandung homologi dengan struktur sosial di luarnya, yakni struktur sosial posmodern.Stardust yang tergabung dalam Mythopoeic Society, mengandung pandangan dunia kelompok itu yakni usaha untuk mendeformasi struktur sosial modern dan mengorganisasikan suatu struktur sosial yang baru yakni struktur sosial postmodern. Dengan menggunakan strukturalisme genetik dalam menganalisis Stardust, mengkaji struktur internalnya, menemukan estetika yang membangunnya dan menghubungkan Stardust dengan subjek transindividual serta kondisi sosial yang melatarinya, akan diketahui posisi Stardust dalam sejarah kesusateraan, dan sebaliknya akan ditemukan kondisi sosial seperti apa yang sedang diorganisasikan oleh Stardust. Goldmann menyatakan bahwa kebesaran karya sastra merupakan syarat pertama dalam Strukturalisme Genetik. Stardust adalah pemenang Mytopoeic Award dan Alex Award.Oleh karenanya, berdasarkan persyaratan yang ditetapkan Goldmann tersebut, novel ini berhak
26
mendapat perhatian.Sebagai pemenang award, novel ini dianggap memenuhi asprasi-aspirasi kelompok tertentu yang merupakan “kesadaran yang mungkin” dari kelompok yang diwakilnya. Di samping itu sebagai karya posmoderen memiliki kategori kebesaran yang berbeda dengan novel realis yang mengungkapkan fakta sosial secara apa adanya. Jika ditempatkan dalam konteks sastra popular, kebesaran novel posmodern terletak pada mite-mite dan simbol-simbol yang digunakan (Audifax, 2006: 161 - 193). Stardust sebagaimana yang telah dikemukakan di muka adalah novel posmoderen, oleh karena itu dibutuhkan teori posmoderen untuk melihat sisi-sisi keposmoderenanannya, sedangkan teori strukturalisme genetik di atas digunakan untuk melihat sebab-sebab kelahiran jenis novel seperti ini.
1.5.2
Postmodern (Double Coding Dan Pandangan Dunia) Awalan “post” pada postmodernisme banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard
mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemoderenan. David Griffin mengartikan sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemoderenan. Anthony Gidden, mengartikannya sebagai wajah arif modernisme yang telah sadar diri. Sementara Habermas menyebutnya sebagai satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai.Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme adalah suatu teori yang menolak teori.Akhiran “isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjuk pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern (Maksum, 2008: 305-306). Toynbee(dalam Maksum: 2008: 306), mengatakan bahwa posmodern adalah masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan
27
pencerahan. Rudolf Panwitz menyebut manusia pascamodern sebagai manusia sehat, kuat, nasionalis dan religius yang muncul dari nihilisme Eropa.Posmedernisme adalah puncak modernisme.
Bambang Sugiharto, dalam kata pengantar terhadap buku terjemahan karya David Griffin yang berjudul Visi-Visi Posmodernisme, mengatakan bahwa kajian posmodernisme di Indonesia hanya dibicarakan pada tataran filosofis atau sosiologis, itupun lebih menekankan pada tendensi destruktifnya, sebab posmodernisme di Indonesia lebih berkiblat ke Perancis yang nihilistik. Sugiharto menambahkan bahwa sebenarnya posmodernisme adalah juga perubahan worldview yang paradigmatik dan melanda hampir seluruh wilayah kehidupan.Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat implikasi-implikasi pentingnya di wilayah spritualitas. Bukan hanya dari sisi filosofis dekonstruktifnya, melainkan juga upaya-upaya barunya yang konstruktif (Griffin, 2005 : 11).
1.5.2.1 Posmodernisme Whiteheadian Sebagai Reaksi Terhadap Modernisme Postmodernisme Whiteheadian dirumuskan pada sebuah konferensi di Santa Barbara pada tahun 1987 yang bertemakan "Toward a Postmodern World" oleh sekelompok intelektual yang terdiri dari David Ray Griffin, Joe Holland, Charlen Spretnak, Richard A. Falk, Frederick Ferre, dan lain-lain. Akan tetapi Whitehead sendiri menemukan filsafat organisisme ini pada sekitar tahun 1920-an dalam karyanya The Concept Of Nature. Whitehead mengawali kariernya sebagai matematikawan dan menjadi tenaga pengajar di Trinity College pada sekitar tahun 19121913. Pada tahun 1923-1947 ia berganti haluan kepada filsafat, dia hijrah ke London dan menjadi tenaga pengajar di Universitas London, serta menjadi profesor filsafat di Harvard. Pada periode ini Whitehead menulis sejumlah buku filsafat yang paling berpengaruh hingga saat ini 28
antara lain ; The Concept Of Nature (1924), Science in Modern Wolrd, (1925), ia menulis buku Religion In Making (1926), dan The Function Of Reason serta Process And Reality pada tahun 1929, (Nugroho, 2009 : xi). Pemikiran Griffin dan kawa-kawan yang dikembangkan dari pemikiran Whitehead ini telah dibukukan dalam dengan judul Spirituality and Society: Postmodern Visions.Posmodernisme yang dikembangkan di Amerika oleh Whitehedian mencoba melangkah dan keluar dari perangkap dekonstruksi Perancis yang nihilistik.Temuan mereka adalah perpaduan antara keyakinan religius tradisional dengan rasionalitas (Griffin, 2005: 11). Perpaduan antara religiositas dan rasionalitas inilah yang disebut Charles Jencks, seorang sejarahwan arsitektur dan pengamat posmodernisme sebagai double coding.Jencks, secara eksplisit menyebut paradigma Whiteheadian sebagai paradigma posmodern. Empat dari beberapa ciri dalam agenda posmodern menurut Jencks yang langsung dapat dikaitkan dengan filsafat Whitehead ialah: “the attempt to go beyond materialist paradigm which characterises modernism;…an obligation to bring back selected traditional values, but in a new key that fully recognices the ruptures caused by modernity;…..the reenchantment of nature, which stems from new developments in science and A.N. Whitehead’s philoshophy of organicism; and the commitment to an ecological and ecumenical worldview that now characterises postmodern theology.” (Nugroho, 2009: ).
Menurut Alois Agus Nugroho ada empat ciri filsafat Whitehead yang memenuhi agenda proyek posmodernisme;pertama, penghargaannya kepada sains, bahkan fisika matematis, yang bisa dikatakan menjadikan filsafat Whitehead sebagai “naturalisme”, kedua, naturalisme yang tidak reduksionistis, artinya tidak memandang alam semesta sebagai pada hakikatnya terdiri dari materi belaka. Ketiga, pengharagaan kembali pada konsep-konsep dan nilai-nilai yang telah digusur oleh modernisme, semisal tentang konsep tentang sebab musabab formal dan sebab
29
musabab final.Keempat, komitmen kepada suatu pandangan-dunia yang bersifat ekumenis, lintas peradaban dan lintas iman, serta bersifat ekologis, lintas spesies (2009: xx-xxi). Sebagaimana telah dipaparkan di muka, landasan posmodernisme ini adalah filsafat organisme, yang menganggap bahwa manusia sejajar dengan individu lain di alam. Jika spiritualitas modern didasarkan atas fisika atomistik yang memandang bahwa komponenkomponen dasar alam hanya berhubungan secara eksternal dengan lingkungannya, para pendukung sains posmodern seperti John Cobb, Catherine Keller dan Frederick Ferre mengacu pada ekologi dan fisika kuantum untuk menggarisbawahi bahwa kita adalah mahluk sosial, yang dibentuk oleh hubungan-hubungan internal, (Griffin, 2005 : 33). Jenks dalam “Postmodern Defined ”menegaskan, pentingnya kembali ke masa lalu. Jenks mengatakan bahwa jawaban postmodernisme terhadap modernisme termasuk di antaranya adalah kesadaran bahwa masa lalu, tidak dapat dihancurkan, sebab menghancurkan masa lalu akan membawa kepada kesepian, kesunyian. Oleh sebab itu, masa lalu harus dikunjungi kembali,akan tetapi mengunjunngi masa lalu haruslah dengan sikap ironi, bukan dengan keluguan (Jencks dalam Nicol, 2002: 111). Posmodern juga bukan merupakan negasi terhadap apa yang telah dinyatakan sebelumnya, melainkan memikirkan kembali apa yang dinyatakan sebelumnya secara ironik. Komitmen posmodernisme adalah mengembalikan spirit masa lalu, namun bukan dengan cara yang “lugu”. Masa lalu dikodekan secara ganda dengan masa depan. Hal inipun terdapat pada pandangan posmodernisme tentang Tuhan, sebagaimana yang dikatakan Griffin berikut: Spiritualitas postmodern juga memiliki hubungan yang baru dengan waktu, yaitu dengan masa lalu dan masa depan. Seperti yang kita lihat, individualisme radikal modernitas, yang pada mulanya melepaskan manusia dari masa lalu demi masa kini dan masa depan, 30
pada akhirnya mengecilkan perhatian mereka pada masa depan juga, dan ujungujunganya adalah keterserapan pada kekinian belaka yang merugikan diri. Tanpa mengambil langkah mundur ke tradisionalisme pramodern yang tidak memiliki orientasi modern awal terhadap kebarauan dan masa depan spiritualitas postmodern mengembalikan perhatian dan penghargaan terhadap masa lalu. Dengan mengakui bahwa diri kita tersusun oleh hubungan-hubungan secara internal, spiritualitas postmodern tidak membatasinya pada hubungan dengan objek-objek kontemporer.Dalam arti tertentu dan hingga batas tertentu, pengalaman masa kini merangkum seluruh masa lalu.Sesungguhnya setiap individu adalah penyingkapan masa lalu dan reaksi masa kininya terhadap masa lalu itu (Griffin, 2005: 34).
Visi ini juga menghasilkan suatu konservatisme baru, karena menanamkan penghargaan baru terhadap cara berada dan cara berelasi yang telah dijalankan pada masa lalu. Sebagai contoh, pengakuan bahwa tubuh kita tersusun dari organisme-organisme yang telah terbentuk selama jutaan bahkan miliaran tahun membuat kita berhati-hati dalam mengandaikan bahwa secara mendadak kita bisa menyesuaikan diri begitu saja dengan unsur-unsur yang khas yang ada dalam udara, air, dan makanan kita tanpa mengalami wabah yang khas juga; konservatisme semacam ini memupuk pelestarian. Gagasan bahwa psike manusia mengejawantahkan tidak hanya pengaruh tubuhnya, melainkan juga sebagaimana konsep Jung tentang arketip adalah pengalaman berulang-ulang dari psike-psike masa lalu membuat kita berhati-hati dalam mengandaikan bahwa kita secara radikal bisa mengambil cara-cara baru kehidupan sebagai manusia tanpa menderita tekanan jiwa yang berat, bahkan mungkin fatal. Oleh sebab itu, ada alasan kuat untuk curiga bahwa upaya modern untuk hidup tanpa keyakinan dan praktek religius, dan tanpa dukungan komunitas yang intim, tidak akan menghasilkan masyarakat yang lestari (Griffin, 2005: 34).
1.5.2.1.a Double coding 31
Idealnya, novel posmodern menghadirkan secara bersamaan pertentangan seperti realisme dan irealisme, formalisme dan kontentisme, sastra murni dan sastra yang bertendens, junk fiction dan coterie fiction. Posmodernisme idealnya dapat melampaui tembok yang memisahkan antara seni dan sesuatu yang dapat dinikmati (Eco dalam Nicol, 2002 : 112) . Double Coding menurut Jenks adalah sebuah perpaduan nilai dari modernisme dengan tradisionalisme (Jenks dalam Nicol, 2002: 17).Karya-karya posmodernisme berisi double coding atau politik kode ganda. Dalam arsitektur, double coding adalah kombinasi teknik modern dan teknik yang lain (biasanya adalah teknik tradisional). Berarti kombinasi tersebut adalah kombinasi nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru (modern) (Nicol, 2002: 17).Jadi posmodern adalah sebuah sintesa nilai dari peradaban modern dan tradisioanal Irving Hole mengatakan bahwa sastra kontemporer posmodern berbeda dengan sastra modern.Menurutnya, sastra posmodern menunjukkan kemerosotan disebabkan lemahnya para pembaru dan kekuatan penerobosnya.Baginya sastra posmodern harus meninggalkan model modern klasik, dan orang bebas menangkap dan mengapresiasikan kualitas-kualitas khas dari sastra baru. Kemudian posmodern menunjukkan prestasinya yang penting yaitu berhasil menjembatani perbedaan antara kebudayaan elit (high culture) dan kebudayaan massa (pop culture) (Maksum, 2008: 307). Sejalan dengan itu, Jencks mengatakan bahwa posmodernisme adalah perpaduan antara elit dan popular, baru dan lama, dan perpaduan itu dilakukan berdasarkan alasan-alasan tertentu, dalam hal ini, alasan tersebut adalah semata-mata karena pertimbangan bahwa peradaban modern tidak dapat ditinggalkan begitu saja, namun demikian, masa lalupun tidak dapat dinafikan sebagai bagian dari sejarah, hal inilah yang membedakan antara posmodernisme dengan revivalisme. Posmodernisme dengan demikian menciptakan bahasa yang hibrid. Dalam hal sastra, penulis posmodern menggunakan teknik narasi dan representasi dengan cara yang lebih 32
canggih, kecanggihan inilah yang dianggap bersifat modern. Inilah yang membedakan antara penulis posmodern dan revivalis, sebab di dalam posmodernisme terdapat ironi, parodi, displacement, kompleksitas, eklektisisme, realisme, atau sejumlah tujuan dan taktik kontemporer. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, posmodernisme adalah kelanjutan dari modernisme dan transendensinya (Jencks dalam Nicol, 2002 : 114 ; Grifin, 2005 : 114-115) Double coding adalah hibriditas, berpadunya nilai-nilai dan pandangan dunia, namun berpadu dalam hal ini tidak bersifat sederhana, namun di dalamnya terkandung pesan moral untuk menghargai masa-lalu dengan keindahannya yang konvensional, masa kini, sejarah, dan lain-lain (Jencks dalam Nicol 2002 ; 111-119). Eco mengatakan bahwa posmodernisme adalah ironi, kita hanya mengulang apa yang telah dikatakan oleh orang lain sebelumnya, jika modernisme meolak masa lalu, maka posmodernisme memikirkan kembali masa lalu secara ironi.Jencks mengatakan bahwa posmodernisme tidak menolak pra-modern dan modern, tetapi juga tidak menirunya apa adannya. Menurut Jencks, penulis-penulis postmodern menggunakan representasi dan teknik narasi tradisional dengan cara yang lebih maju. Karya-karya posmodernisme berisi double coding atau politik kode ganda (Nicol, 2002: 116).. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Griffin berikut : Penghargaan baru terhadap tradisi ini tidak mengarah ke tradisionalisme yang secara prinsip menolak hal-hal baru, melainkan ke suatu tradisionalisme transformatif. Sambil menyadari bahwa kelenturan jiwa manusia itu tidak tak terbatas, spiritualitas posmodern melihat bahwa jiwa manusia jauh lebih luwes daripada jiwa mahluk-mahluk lain. Lebih jauh lagi, pandangan ini mengakui bahwa beberapa perubahan yang diperkenalkan modernitas adalah baik, suatu pengakuan yang disiratkan pula dalam namanya: postmodern (bukannya pra-modern) (Grifin, 2005: 34-35). Spiritualitas postmodern menganggap bahwa beberapa bentuk kebaruan merupakan seruan yang berasal dari realitas ilahi, sehingga konservatisme murni justru akan menjadi penolakan terhadap panggilan ilahi. Tantangan pokok bagi spiritualitas posmodern adalah belajar 33
lebih giat untuk bisa membedakan mana kebaruan yang kreatif dan mana yang destruktif (Griffin, 2005: 34-35). Konsep-konsep posmodern berikut ini sekaligus berperan sebagai sistem filsafat yang melahirkan pandangan dunia.Filsafat posmodernisme Whiteheadian dianggap menjadi super struktur dan (sistem filsafat) yang berkembang di abad ke-21.Pandangan dunia Whiteheadian yang melingkupi pandangan tentang Tuhan, manusia dan semesta adalah sebuah upaya rekonstruksi peradaban disebabkan peradaban modern sebagaimana dipaparkan di muka telah gagal membawa kemaslahatan umat.Rekonstruksi yang dilakukan Whitehead adalah sebuah rekonsiliasi hubungan tiga dimensi yang pernah terjalin harmonis di era tradisional (zaman epik dan mitos), namun terputus di era modern. Hubungan tiga dimensional yang dimaksud adalah hubungan antara Tuhan, manusia dan alam. Hubungan tiga dimensional ini pulalah yang diperjuangkan
oleh
Inklings
dan
pengikut-pengikutnya
termasuk
di
dalamnya
Neil
Gaiman.Stardust, salah satu karya Gaiman yang menjadi objek material penelitian inipun diasumsikan mengandung rekonsiliasi tiga hubungan di atas.Konsep-konsep posmodern dimaksud adalah pandangan tentang Tuhan, pandangan tentang sesama manusia dan pandangan tentang alam. Griffin mengemukakan pentingnya kembali ke masa lalu, namun bukan kembali secara konservatif, posmodrrnisme berbeda dengan neo-konservatif sebab posmodern menganggap penting untuk menyeleksi elemen-elemen positif yang telah dilahirkan oleh kedua peradaban sebelumnya (pra-modern dan modern). (Grifin, 2005: 34-35). Proses menyeleksi inilah yang oleh Charles Jencks dinamakan double coding.
34
1.5.2.1.1 Pandangan tentang Tuhan Spiritualitas modern dibedakan dari cara manusia bereksistensi pada masa sebelumnya dalam hubungannya dengan yang ilahi atau yang suci. Dalam Abad Pertengahan, realitas ilahi bersifat transenden dan imanen, seperti dikatakan Griffin berikut ini: Protestanisme bergerak dari imanensi ilahi ke arah transendensi murni, misalnya dengan mengurangi jumlah sakramen, dengan bergerak ke arah interpretasi Ekaristi yang sepenuhnya bersifat emblematik, dengan menolak ikon, orang-orang kudus, dan mukjizat pasca-biblis, serta dengan menolak curahan rahmat demi pembenaran yang dikaitkan dengannya. Para ahli teolofi modern awal (termasuk yang Katolik seperti Mersenne dan Descartes, serta yang Protestan seperti Boyle dan Newton) membawa kecenderungan ini ke suatu kondisi ekstrem sehingga Tuhan sepenuhnya berada di luar dunia.Gambaran mekanistis tentang alam, yang mendasari dualisme pikiran-dan-alam seperti yang disebutkan di atas, merupakan suatu penolakan terhadap imanensi ilahi di dalam alam. Imanensi alamiah tentang Tuhan dalam pikiran manusia juga ditolak, terutama dalam doktrin “sensasionis” tentang pengalaman, yang berpendirian bahwa tidak sesuatu pun ada dalam pikiran kecuali yang masuk melalui indera fisik. Karena indra tidak bisa menangkap Tuhan, maka secara alamiah Tuhan tidak akan ada dalam pikiran manusia. Tentu saja Tuhan bisa dikenali melalui suatu pewahyuan supernatural, selama manusia menerima teisme supernatural, yang menganggap bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan mutlak dan bisa mengintervensi hukum-hukum alam sekehendak-Nya (Griffin, 2005: 18).
Saat supernaturalisme berubah dari teisme ke deisme, yang berpendirian bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi apa pun setelah penciptaan awal, maka Tuhan hanya bisa dikenal melalui simpulan tentang adanya tata keteraturan semua ciptaan atau melalui ide bawaan yang sudah tertanam. Realitas ilahi hanyalah masalah keyakinan, bukan suatu pengalaman langsung: semua mistisisme atau “entusiasme” ditolak. Sebagian besar kehidupan dijalani seolah-olah Tuhan itu tidak ada. Agama, sampai pada titik bahwa itu ada, semakin dibatasi sebagai urusan pribadi; akibatnya, realitas publik praktis menjadi tanpa Tuhan (Griffin, 2005: 18) Bentuk transisi dari supernaturalisme ke sekularisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan 35
norma-norma moral dan estetika. Transisi ini merupakan langkah akhir “penghilangan daya pesona dunia” seperti yang pernah diungkapkan Weber.Meskipun penghilangan daya pesona ini mencakup beberapa dimensi, yang dimulai dengan penolakan terhadap mitos dan magis, bagi Weber hal ini terutama berarti suatu penolakan bahwa dunia ini memiliki norma-norma moral dan estetika yang bersifat objektif. Zaman modern hanya mengakui adanya pencerapan indrawi, maka pemahaman norma secara nonindrawi dan “intuitif” diabaikan (Griffin, 2005: 20).
1.5.2.1.1.a. Double Coding Dalam Pandangan Tentang Tuhan Konsep Tuhan dalam filsafat Whitehead melampaui konsep Tuhan dalam dunia epik sebagai tuhan yang “mengintervensi kehidupan sekehendaknya”, namun sekaligus juga melampaui transendensi Tuhan dalam tradisi deisme modern, yang menganggap Tuhan sebagai “the watchmaker “, yakni setelah Tuhan menciptakan dunia, lalu Tuhan menganggur dan tidak memedulikan nasib ciptaannya, membiarkan ciptaannya termasuk manusia berjuang sendiri menghadapi nasibnya. Tuhan dalam tradisi Whitehead adalah komposer, sutradara, dan sekaligus pemain dalam drama kosmik, dan Tuhan sebagai pemain, yang menikmati permainan dan gubahannya sendiri, sehingga semesta bergerak harmonis (Whitehead, 2009: iv-xvii). Hubungan manusia dengan keilahian bagi Griffin adalah merupakan jantung spritualitas posmodern.Sebagaimana terhadap dualisme dan materialisme, spiritualitas posmodern juga menolak baik supernaturalisme maupun ateisme.Para pemikir posmodernis konstruktif menerima pandangan pantenteisme naturalistik, yang menganggap bahwa keilahian ada dalam dunia dan dunia ada dalam keilahian.Bentuk dunia yang dihasilkan oleh pandangan ini tidak dihasilkan oleh kreativitas sepihak dari yang Ilahi ataupun dari mahluk ciptaan, melainkan dari 36
kokreativitas mereka bersama. Richard Falk sebagaimana yang dikutip Griffin mengatakan bahwa, pandangan ini menggambarkan penyebaran energi spiritual ke seluruh alam semesta (Griffin, 2005: 35-36) Kode ganda posmodernisme tentang imanensi dan transendensi Tuhan ini, memberi ruang kepada intervensi Tuhan di dunia namun sekaligus juga tidak memberi peluang kepada kepasifan manusia, namun kekuasaan manusia dalam hal ini adalah kekuasaan yang “sadar diri”, tentang posisinya di hadapan Tuhan, manusia dan semesta. Konsep ini dianggap mampu mengatasi nihilisme seakaligus pada modernisme akhir maupun pada posmodernisme awal yang dekonstruktif, tanpa harus kembali ke supernaturalisme modernitas awal yang kerap memupuk kesombongan dan rasa puas diri. Naturalisme dalam visi posmodern ini mengisyaratkan bahwa realitas ilahi tidak dapat secara sepihak ataupun secara kaku menerapkan norma-norma dan keyakinan ke dalam satu tradisi.Demikian juga realitas ilahi tidak bisa secara sepihak diharapkan menyelamatkan planet dari konsekuensi alamiah akibat kebodohan manusia.spritualitas postmodern juga mengkodekan secara ganda antara intuisi dan pencerapan inderawi. Spritualitas posmodern mengembalikan “daya pesona dunia “ dalam sains. Pembahasan tentang nilai-nilai dapat dilakukan secara rasional, hal yang bagi Weber dan kaum positivis lain adalah mustahil. Posmodernisme menganggap bahwa manusia dengan akal rasionya tetap mampu menangkap wahyu ilahi secara intuitif, dan manusia menjadi media untuk menagkap nilai-nilai “kelangitan” dan menerapkannya di dunia (Griffin, 2005: 36).
37
1.5.2.1.2 Pandangan tentang Sesama Manusia Modernitas adalah pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik.Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, dengan “individu” (yang sebagian saja otonom) sebagaiproduknya. Modernitas menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung demi tujuantujuan tertentu (Griffin, 2005 : 18). Gagasan untuk bergerak maju ke suatu dunia posmodern bukannya menghindar karena takut akan bahaya modernitas lalu lari kembali ke bentuk kehidupan pramodern,tetapi mengambil unsur-unsur yang baik dari modernitas dan memperbaiki yang buruk. Hal-hal yang baik antara lain ideal tentang komunitas, kebebasan, dan persamaan. Namun, karena individualismenya yang menolak keterhubungan internal kita dengan masa lalu, dengan bumi pertiwi, dan satu sama lain modernitas lebih banyak merusak komunitas daripada mengembangkannya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, komunitas dilihat sebagai antitesis terhadap kebebasan dan kemajuan. Dunia modern telah melakukan banyak hal baik demi kebebasan maupun demi persamaan, tetapi tidak sebagai kombinasi karena masing-masing dipahami sebagai antitesis satu sama lain. Pemahaman semacam ini menurut Griffin, berakar pada individualisme modernitas. Kepekaan posmodernitas, yang mengakui adanya hubunganhubungan internal, tidak menganggap kebebasan, persamaan, dan persaudaraan sebagai bertentangan satu sama lain sehingga harus diperlakukan dengan prinsip “tukar-menukar”, melainkan sebagai ideal-ideal yang saling mendukung.
Griffin mencontohkan tidak ada
komunitas sejati yang bertahan lama tanpa kebebasan dan persamaan, dan tidak ada kebebasan sejati yang bertahan lama tanpa komunitas dan persamaan. Oleh karena itu, imajinasi sosial
38
posmodern akan mencari jalan untuk memenangkan ketiga tiganya secara bersama-sama (Griffin, 2005 : 43). Dari sudut pandang sosiologis, individualisme yang telah dibahas di atas dalam kaitan dengan masalah filosofis tentang keterkaitan internal terutama berarti penghancuran komunitas dan institusi organik yang kecil dan intim dalam suatu prosessentralisasi.Secara ekonomis sentralisasi adalah industrialisasi (baik itu kapitalis, maupun sosialis); secara sosiologi menurut Griffin, ini adalah urbanisasi; secara politis ini dicerminkan dalam nasionalisme(Griffin, 2005: 24) mengutip Ferdinand Tonnies, mengatakan bahwa pergerakan merupakan transisi dari komunitas (Gemeinschaft) ke masyarakat agregatif (Gesellschaft). Pergerakan ini juga disebut sebagai transisi dari masyarakat yang berdasar pada adat kebiasaan ke masyarakat yang didasarkan pada kontrak, atau dari masyarakat yang didasarkan pada tradisi ke masyarakat yang didasarkan pada perhitungan rasional.Intinya adalah bahwa sebagian besar struktur yang di dalamnya manusia memiliki hubungan intim, face-to-face, dan yang telah menjawab sebagian besar masalah manusia. kini dihancurkan atau dilemahkan sehingga “hubungan-hubungan sosial” antarindividu menjadi semakin terbatas pada kelompok-kelompok impersonal yang besar, pabrik besar, ekonomi nasional, kota besar, dan negara bangsa yang hanya melibatkan sekelumit kecil dari kehidupan seseorang saja (Griffin, 2005 : 25) . Sebagai contoh, dalam pembahasan tentang patriotisme, Berger mengatakan, “yang khas modern adalah bahwa negara-bangsa (yang merupakan penampakan baru dalam panggung sejarah) telah menjadi fokus utama sentimen patriotik modernisasi menghasilkan dikotomisasi baru kehidupan sosial antara struktur-struktur besar dan kehidupan pribadi”.Modernisasi menghancurkan “struktur-struktur pengantara” yang “berada di antara individu dalam lapisan pribadinya dan institusi-institusi besar lapisan
39
masyarakat”.Berger mengungkapkan efek transisi dari komunitas ke masyarakat impersonal terhadap spiritualitas modern.Selanjutnya Griffinmengatakan bahwa:
untuk memberikan pembenaran demi terbebasnya ekonomi dari kendali politik, maka “ekonomi” yang merupakan abstraksi dari seluruh realitas masyarakat harus dilihat sebagai suatu kenyataan khas yang memiliki konsistensi dalam dirinya sendiri. “Hukumhukum” pasar yang mengatur dirinya sendiri, yang bisa diamati oleh para ilmuwan sosial, haruslah ada.Untuk memberikan pembenaran tentang pemisahan dari moralitas tersebut, modernitas memerlukan suatu argumen bahwa hukum-hukum ini bisa berjalan demi kebaikan semua pihak, meskipun dinamika pasar didorong oleh ketamakan, yang secara tradisional dianggap sebagai dosa yang paling besar. Argumen yang diberikan modernitas sudah disebutkan di atas: pasar bekerja dengan cara seolah-olah ada suatu “tangan tersembunyi” yang mengatur prosesnya sedemikian rupa sehingga kejahatan pribadi akan menghasilkan kebaikan umum Melalui “teologi baru” tentang manfaat universal keuntungan ini, meminjam istilah Karl Polanyi, suatu selubung pemaafan moral, meminjam istilah Robert Heilbroner, diberikan atas pasar. Para filsuf ekonomi, mulai dari Adam Smith sampai yang ada sekarang ini, termasuk para pendukung maupun para pengkritik, telah membuat daftar bencana sebagai konsekuensi kapitalisme, misalnya mengurangi keluhuran karakter manusia, menghancurkan komunitas, memupuk imperialisme, dan menghasilkan kesenjangan yang sangat besar antara kaya dan miskin. Namun semua akibat buruk tersebut dibenarkan berdasarkan argumen bahwa kapitalisme mampu menghasilkan kebaikan umum, yakni kemakmuran ekonomis, yang dijadikansebagai kompensasi atas akibat buruk yang ditimbulkan tersebut.Argumen tersebut dikemukakan oleh para pembela kapitalisme yang antisosialis, menyatakan bahwa pemisahan ini adalah niscaya demi suatu sistem pemerintahan demokratis yang memiliki kebebasan politik.Sejarah menunjukkan, dan ditegaskan oleh para kritikus kapitalisme, bahwa tidak ada hubungan niscaya antara kapitalisme dan kebebasan politik yang sejati.tidak sedikit negara-bangsa tiran yang berpartisipasi penuh dalam tata dunia kapitalistik. Dalam perkembangan selanjutnya, bahkan kritikus kapitalisme yang paling keras pun sepakat bahwa pemisahan realitas ekonomi dan realitas politik merupakan syarat niscaya demi kebebasan politik (Griffin, 2005 :26-28).
40
Pernyataan Griffin diatas menujukkan betapa individualism telah menjadi paham yang merasuki sendi-sendi kehidupan sosial politik dan ekonomi dan menyebabkan terputusnya hubungan individu dengan entitas di luarnya.
1.5.2.1.2.a Double Coding Dalam Pandangan tentang Sesama Manusia Sistem ekonomi seharusnya berlandaskan pada filsafat organisme, yakni sistem ekonomi yang memberi ruang untuk pertimbangan-pertimbangan ekologis, memberii penekanan pada nilai-nilai kemanusiaan, menggantikan sistem ekonomi yangmaskulin, kompetitif dan destruktif. Menurut pandangan organisme, ekonomi adalah sebuah sistem hidup yang terdiri atas manusia dan organisasi-organisasi sosial yang berada dalam interaksi secara terus-menerus satu sama lain dan dengan ekosistem-ekosistem di sekeliling yang menjadi penopang kehidupan kita. Seperti halnya organisme individual, ekosistem merupakan sistem yang mengorganisasikan diri dan mengatur dirinya sendiri, di mana binatang, tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme, dan zat-zat tak hidup terkait melalui suatu jaring-jaring saling ketergantungan kompleks yang melibatkan pertukaran materi dan energi di dalam siklus yang terus-menerus.Hubungan sebab-akibat yang linier hampir tidak pernah ada di dalam ekosistem-ekosistem ini, begitu pula model-model linier tidak banyak bermanfaat untuk menggambarkan saling ketergantungan fungsional dari sistemsistem sosial ekonomi beserta teknologi-teknologinya yang terlingkupi.Penerimaan terhadap hakikat semua dinamika sistem yang nonlinier merupakan esensi kesadaran ekologis, kearifan sistemik. Jenis kearifan ini merupakan ciri khas kebudayaan-kebudayaan lisan tradisional, tetapi telah terabaikan di dalam masyarakat yang terlalu rasional dan termekanisasi (Griffin, 2005 : 2729)
41
Posmodern menganggap bahwa prioritas tertentu perlu diberikan kepada unsur-unsur idealisasi dan penghargaan nilai. Pandangan ini berbeda dengan perspektif modern yang menganggap keyakinan dan nilai terutama diturunkan dari kepentingan dan praktek-praktek sosial, khususnya ekonomis, namun di lain pihak konsep modernitas tidak dapat sepenuhnya ditinggalkan. Reaksi terhadap materialisme tidak dapat dengan cara kembali ke idealisme pramodern, yang di dalamnya kekuatan faktor-faktor material diabaikan atau dianggap kurang berarti. Akan tetapi, kepentingan-kepentingan material dan praktek-praktek sosial bisa mendapatkan posisinya dalam perspektif yang mengunggulkan keyakinan dan nilai-nilai(Griffin, 2005: 30). Jika
pandangan modernisme menganggap bahwa hubungan dengan orang lain dan
dengan benda-benda lain dianggap bersifat eksternal, kebetulan, dan turunan; maka para pemikir posmodern menggambarkan hubungan-hubungan ini sebagai yang bersifat internal, esensial, dan konstitutif. Seorang individu tidak serta-merta menjadi wujud yang “sudah terisi” (selfcontained), dan baru kemudian dengan kualitas-kualitas yang dimilikinya saling berinteraksi sedangkan elemen-elemen di luar dirinya hanya bersifat superficial.Hubungannya dengan mahluk-mahluk lain misalnya, dianggap tidak mempengaruhi esensinya.Justru sebaliknya, hubungan seseorang dengan tubuhnya, lingkungan alamnya yang lebih besar, keluarganya, dan kulturnya membentuk atau bersifat konstitutif terhadap identitas individu itu (Griffin, 2005: 32). Aspek lain spiritualitas postmodern adalah organisisme, yang secara serentak mentransendensikan dualisme dan materialisme modern. Tidak seperti kaum modern yang dualistik, kaum posmodern tidak merasa seperti mahluk asing yang hidup dalam alam yang jahat dan tidak peduli, melainkan merasa kerasan di dunia, dan memiliki rasa persaudaraan dengan spesies-spesies lain yang dipandang memiliki pengalaman, nilai, dan tujuan mereka sendiri. 42
Dengan rasa kerasan dan persaudaraan ini, keinginan kaum modern untuk menguasai dan memiliki menurut Griffin digantikan dengan spiritualitas posmodern yang menikmati kegembiraan dalam kebersamaan dan keinginan untuk membiarkan yang lain sebagaimana adanya (Griffin, 2005 : 32).
1.5.2.1.2.b Double Codingdalam Pandangan tentang Laki-Laki dan Perempuan Energi destruktif dari dunia modern kita yang di penuhi krisis ini ditangkap lagi khususnya didalam antisimbol nuklir, karena ancaman nuklir merupakan serangan puncak terhadap semua penjelmaan yang hidup di planet ini. Sebaliknya, energi penyembuh dari penciptaan dan penciptaan ulang terungkap di dalam simbol perempuan sebagai sang pemberi kehidupan dan penyembuh. Pada gilirannya perwujudan misterius di dalam simbol perempuan ini dikembangkan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, sebagai pasangan sejati didalam alam dan sejarah, yang kedua-duanya menyingkap - melalui kreativitas bersama dari citra mereka - kreativitas mutual antara citra laki-laki dan perempuan yang ada pada Tuhan (Holland dalam Griffin, 2005: 84). Sehubungan dengan perwujudan yang ditemukan dalam konsep posmodern tentang relasi laki-laki dan perempuan adalah adanya kreativitas pada kutub laki-laki dan perempuan.Anugrah seksualitas dwikutub didalam alam adalah agar menjadi kreatif, yaitu untuk membentuk kehidupan baru. Akan tetapi, imajinasi posmodern mengembangkan kreativitas biologis kedua jenis kelamin ini ke dalam lingkup sejarah sosial (Griffin, 2005 : 33). Holland mengatakan bahwa energi segar, baik spiritual maupun sosial, ketika laki-laki dan perempuan bekerja sama dengan cara yang baru, di mana (dengan menggunakan pengertian 43
simbolis Jungian, bukanya yang ketat bersifat biologis) laki-laki menemukan kembali bayangan keperempuanya sebagai akar di dalam alamdan para perempuan menemukan bayangan kelelakianya sebagai keberadaan di dalam sejarah. Konsep ini lebih dari skedar bahwa laki-laki dan perempuan hanya saling mempertukarkan kedudukan mereka, di mana laki-laki hanya mengambil reproduksi dan kaum perempuan pada produksi, melainkan di sini menurut Holland, muncul suatu persaudaraan baru antara kedua jenis kelamin ini baik di dalam alam maupun sejarah. Ini juga tambah Holland, tidak berarti bahwa semua laki-laki dan perempuan yang konkret cocok dengan tipe-tipe simbolis tersebut, melainkan maknanya adalah untuk struktur sosial dan landasan simbolisnya(Holland dalam Griffin, 2005: 78).
1.5.2.1.3 Pandangan tentang Alam Modernisme memusatkan perhatian pada gagasan baru tentang alam yang tersusun dari atom-atom yang pada dasarnya bersifat independen, dan berpendapat bahwa psikologi dan spiritualitas individualistik berkembang dari kecenderungan untuk memahami diri melalui analogi dengan maujud-maujud alam. Para pemikir lain membalikkan proses berpikir tersebut, yakni dengan menjelaskan pemahaman yang atomistis tentang alam itu dalam kerangka hasrat kaum modern awal untuk meyakinkan manusia bahwa mereka tidak memiliki hubungan esensial dengan institusi-institusi tradisional (Griffin, 2005: 17) Individualisme adalah ciri lain dari spiritualitas modern dalam kaitannya dengan masyarakat dan lembaga-lembaganya. Dalam spritualitas modern, selain dikenal istilah individualisme, modernisme juga mengusung konsep dualisme, istilah yangmenunjukkan hubungan spiritualitas modern awal dengan dunia alamiah. Jiwa, pikiran, atau pribadi manusia 44
dianggap mutlak berbeda dengan semua ciptaan lain. Pandangan ini lahir dari pandangan mekanistik tentang alam yang digunakan modernitas, hal mana memberi jalan kepada kebebasan manusia. Dalam dimensi anggapannya tentang alam sebagai yang tidak memiliki perasaan apa pun, dualisme memberikan pembenaran ideologis pada dorongan modernitas untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam secara tak terbatas, termasuk semua mahluk hidup lainnya. Dorongan untuk mendominasi, menundukkan, menguasai, dan mengendalikan alam merupakan salah satu ciri pokok spiritualitas modern, (Griffin, 2005: 18).Dengan ditempatkannya individualisme sebagai pusat dalam spiritualitas dan masyarakat modern, tidak mengherankan bahwa tidak ada aspek spiritualitas posmodern yang lebih diunggulkan selain realitas hubungan-hubungan internal. Transisi lain yang terjadi pada modernitas adalah transisi dari dualisme ke materialisme, yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki pikiran atau jiwa yang membedakannya dengan bagian alam yang lain. Interpretasi modern tentang alam itu membenarkan eksploitasi terhadap alam.Berdasarkan pemaknaan alam secara modern ini, pendirian materialistik yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya bersifat natural meniadakan landasan teoretis untuk memperlakukan manusia dengan penghargaan khusus. Manusia tidak lain hanyalah salah satu bagian dari deretan peristiwa deterministik yang tidak bermakna. Tidak ada alasan untuk menganggap mereka sebagai tujuan bagi diri mereka sendiri selain hanya sebagai sarana yang bisa dipakai oleh yang terkuat untuk mencapai tujuannya (Griffin, 2005: 20-21).
45
1.5.2.1.3.a Double Codingdalam Pandangan tentang Alam Aspek lain spiritualitas posmodern adalah organisisme, yang secara serentak mentransendensikan dualisme dan materialisme modern. Pemahaman posmodern akan rasa kesatu-an dengan alam ini sangat berbeda dengan pemahaman modernitas materialistis, yang di dalamnya kesatuan itu sama dengan reduksionisme yang deterministik dan relativistik. Karena kebebasan, sampai pada tingkat tertentu, dianggap ada pada semua individu di alam dalam semua tataran, maka pengakuan bahwa pikiran atau jiwa manusia sepenuhnya alamiah tidak mengimplikasikan karakter ilusif dari kebebasannya. Spiritualitas posmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman-nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah “tuan segala ciptaan” yang bisa memanfaatkan semua mahluk lainnya tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat, seperti yang dikonsipsikan dalam gerakan ekologi dalam (Capra, 2001: 16-22). Oleh sebab itu, pandangan posmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya perhatian pada ekologi digabungkan dengan perhatian khusus pada kesejahteraan manusia (Griffin, 2005: 33) Spritualitas posmodern menganggap bahwa tubuh hanyalah titik awal penjelmaan ragawi dan historis dalam keseluruhan proses bumi, dan bahkan dalam proses seluruh alam semesta, dalam pengalaman biologis dan sosial tubuh dan dengan demikian bergabung dengan seluruh alam dan sejarah. Spiritualitas klasik mencoba mengatasi batas-batas alam melalui kontemplasi tentang sesuatu yang universal/abadi, yang transenden dan tidak me-wujud.Visi religius yang bangkit dari akar dalam ruang dan waktunya ini datang dari ideal Yunani Klasik.Sebaliknya,
46
rasionalisme modern berusaha mengasingkan dirinya dari alam dengan membangun lingkungan yang sepenuhnya artifisial.Alam dilihat sebagai sesuatu yang bersifat lentur, dimana sejarah menjadi rekayasa sosial, yang kini berpuncak pada ancaman kehancuran ekologi sosial, alami, dan spiritual kita.Sebagai tanggapan untuk memperbaiki situasi ini, rasa posmodern tentang energi spiritual yang terejawantahkan menerima dan menikmati kesatuanya dengan seluruh alam dan membuka diri terhadap kekuatan sejarah yang mengakar(Holland dalam Griffin, 2005: 78). Thomas Berry menggambarkan kultur posmodern sebagai spiritualitas zaman ekologis. Ia menjelaskan bagaimana spiritualitas ekologis pengejawantahan bergerak mengikuti pola perkembangan umat manusia yang berlangsung pada tiga tahap sebelumnya : pertama, zaman kesukuan purba dengan bentuk-bentuk pengalaman religious yang berpola perdukunan (alam sebagai tempat bersemayamnya roh); kedua, zaman klasik, yang menghasilkan agama-agama besar dunia (didasarkan atas transendensi alam); dan ketiga, zaman industri modern yang di dalamnya sains dan teknologi menjadi agama publik yang bersifat rasionalis (didasarkan atas kendali eksternal dan akhirnya mengancam alam). Baru sekarang ini, di akhir zaman modern, kita menemukan suatu spiritualitas ekologis pengejawantahan (persatuan kreatif dengan spiritualitas alam) (, (Joe Holland dalam Griffin, 2005: 80).
Pemikiran posmodern bersifat ekologis, dan memberikan landasan filosofis dan teologis, yang menjadi landasan untuk suatu paradigma baru bagi aspek kultural, generasi-generasi masa depan akantumbuh dengan suatu kesadaran ekologis yang didalamnya nilai dari semua objek dihargai dan saling keterkaitan dari semuanya diakui. Kesadaran bahwa kita harus berjalan hatihati di dunia, hanya memakai yang kita butuhkan saja, dan menjaga kesetimbangan ekologis demi sesama dan generasi-generasi masa depan, akan berupa “akal sehat”, etika ini akan menjadi dasar agama manusia-manusia posmodern ini seperti halnya dorongan untuk memiliki dan mendominasi alam yang ada pada manusia-manusia modern. Warga dunia yang memiliki sikap
47
ini akan jauh lebih banyak kesempatan untuk hidup damai antara sesamanya dan dengan dirinya sendiri (Griffin, 2005: 33).
I.6. Metode Penelitian
Obyek
material
dalam
penelitian
ini
adalah,
novel
Stardust
karya
Neil
Gaiman.Stardustmerupakan novel bergenre fantasi yang diterbitkan oleh Avon Books.Pemilihan objek material tersebut didasarkan pada keunggulan sebagaimana kriteria yang ditetapkan Goldmann, dan berdasarkan implikasi data yang memuat hal-hal yang dikatakan Goldmann sebagai totalitas kehidupan, yakni totalitas hubungan antara hero sebagai representasi hubungan subyek dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta. Stardust dikategorikan unggul berdasarkan kriteria-kriteria berikut : 1. Stardust merupakan pemenang mitopoeic award tahun 1999 dan Alex Award tahun 2000, demikian pula gelar Top Ten books written for adult that have appeal to young adult” merupakan bukti kebesaran Stardust 2. Stardust mengandung implikasi data yang dimaksudkan Goldmann sebagai totalitas kehidupan. Dalam pandangan Goldmann, pengkajian terhadap karya sastra ditekankan pada kesadaran manusia secara umum, dan pada karya filsafat dan sastra secara khusus(Goldmann, 1977: 7).Menurut Goldmann (1981: 32) dan (Faruk, 1988: 105-108), Fakta individual hanya dapat memiliki arti jika ditempatkan pada keseluruhannya, dengan cara yang sama, keseluruhan dapat dipahami hanya dengan melakukan penelusuran mendalam terhadap bagian-bagian fakta 48
yang menyusunnya. Yang dimaksud dengan penelusuran mendalam adalah gerakan perpetual toand fro, yakni dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian ke keseluruhan, gerakan di mana antara keseluruhan dan bagian saling memberi arti satu sama lain. Metode ini dirumuskan berdasarkan konsep dialektika Hegel. Dengan metode ini, pengkajian terhadap suatu masalah tidak pernah mencapai titik akhir, sebab setiap individu memiliki keunikan tersendiri, dan hal ini diperhitungkan dalam dialektika (Goldmann 1977: 6). Strukturalisme genetik tidak mengesampingakan aspek biografi pengarang. Unsur kepengarangan memberikan informasi yang sangat penting, namun hal itu masih jauh dari cukup sebab biografi hanya menyajikan sebagian kecil basis data (Goldmann, 1977: 9). Pada dasarnya metode Goldmann menyerap dari pendahulunya Lukacs dan dialektika Hegel sebagai berikut: 1. Analisis harus bergerak dari individu ke fenomena historis. Pandangan dunia melibatkan totalitas dialektika antara biografi, historis dan eskatologi. Dalam pandangan dialektika estetis, setiap karya seni, baik seni sastra, seni patung, seni lukis, seni musik, semuanya adalah bentuk ekspresi pandangan dunia, pandangan dunia dapat dilihat dari koherensi antara bentuk dan isi karya seni tersebut (Goldmann, 1977: 269-270). 2. Analisis harus bergerak dari abstrak ke hal yang kongkrit inilah yang disebut sebagai keseluruhan-bagian dan bagian-keseluruhan, yakni pengetahuan abstrak akan fakta-fakta tertentu dikongkritkan dengan mengaitkannya dengan keseluruhannya, dan pengetahuan abstrak tentang keseluruhan yang relatif dapat dikongkritkan dengan mengkaji struktur internal, tentang fungsi dari bagian- bagian yang berbeda serta relasinya dengan yang lain.
49
3. Goldmann menganggap bahwa pengetahuan tentang alam semesta adalah bagian khusus dari pengetahuan yang pengkajiannya masih abstrak, tidak memilki eksistensi yang riil, hal itu tidak dapat menjadi subjek dari perbuatan dan pengetahuan, pengetahuan tentang hal itu masih bersifat eksternal. Ketika penegetahuan semacam itu diintegrasikan kepada persoalan realitas sosial yang konkrit serta kesejarahan, hal tersebut kemudian menjadi bersifat internal, diri kita sendiri sebagai peneliti adalah bagian dari apa yang kita teliti, dan pengetahuan yang kita miliki tak pelak akan mempengaruhi posisi kita dalam keseluruhan tersebut (Goldmann, 1977: 237). Oleh sebab itu mustahil dalam ilmu sosial dan ilmu sejarah kita berpijak pada objektivitas seperti yang digaungkan oleh para ilmuwan modern (Goldmann, 1977: 237). Jadi permasalahan untuk mencoba menemukan level tertinggi objektifitas teori tentang realitas sosial bukan hanya berdasarkan pengetahuan manusia yang konkrit tentang dirinya dan masyarakat, akan tetapi hal itu sangat ditentukan oleh cara kelompok tertentu bertindak dalam masyarakat untuk membuat doktrin itu menjadi kebenaran. Para pemikir dialektik, menghindari statemen benar-salah dalam membicarakan manusia dan masyarakat. Hal yang menjadikannya benar atau salah adalah bergantung pada hasil dari hubungan antara kegiatan sosial manusia dengan objek-objek tertentu, dan dengan kondisi kesejarahan ,( Goldmann, 1977: 265-237; Goldmann ,1975: 165). Metode strukturalisme genetik selangkah lebih maju daripada materialisme dialektik, sebab metode ini mengintegrasikan gagasan dari individu tertentu ke dalam kelompok sosial, oleh karena itu Goldmann merumuskan langkah analisis sebagai berikut; studi bergerak dari teks yang aktual ke visi konseptual (filsafat), dari visi konseptual ke teks lagi, (Goldmann, 1977: 20 ). Dari pemaparan tentang metode dialektika di atas, peneliti merumuskan metode penelitian sebagai berikut; 50
1. mengkaji pemikiran pengarang dalam hal ini Neil Gaiman, dan komunitas mitopoeic society yang diasumsikan melatari pandangan dunia novel ini peneliti serta. 2. mengkaji latar belakang sosial dan kultural yang turut mengkondisikan terciptanya Stardust. 3. peneliti mengkaji unsur tekstual Stardust berupa strategi double coding serta mengkaji bagaimana double coding tersebut terjalin dengan keseluruhan unsur-unsur di luarnya.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I berupa pengantar yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. membahas posisi pengarang dalam mitopoeic societysebagai subjek transindividual yang medefinisikan spritualitas posmodern, serta membahas sistem sosial yang mengkondisikan lahirnya Stardust. Bab III. membahas stuktur internal (estetika) Stardust serta koherensi antar elemen pembangun Stardust Bab IV. merupakan kesimpulan.
51