1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Wayang Indonesia telah diproklamirkan sebagai Maha Karya Agung oleh UNESCO pada tanggal 7 Nopember, 2003. Wayang Indonesia yang dimaksud adalah segala jenis wayang baik yang ada di Jawa, Bali, Lombok, Sumatra, dan Kalimantan.1 Salah satu jenis wayang di Indonesia adalah wayang kulit purwa yang termasuk dalam pertunjukan bayangan (shadow play) yang berkembang dan populer terutama di Jawa. Disebut wayang kulit, karena salah satu propertinya adalah boneka pipih yang terbuat dari kulit kerbau. Kata purwa dalam konteks wayang kulit purwa dihubungkan dengan cerita yang ditampilkan yaitu cerita kuna (lama) dari Ramayana dan Mahabharata. Fokus perhatian pada pertunjukan wayang kulit purwa adalah pada dalang yang memainkan wayang (boneka wayang). Tugas utama sang dalang adalah bercerita dan menggerakkan boneka sehingga boneka-boneka itu kelihatan hidup di kelir (layar putih tempat memainkan wayang). Selain itu, seorang dalang juga 1 Periksa Intangible Heritage Section/UNESCO, “Safeguarding of the Wayang Puppet Theatre of Indonesia“, July 2008, www.unesco.org/culture/ich. Diakses 12 Maret 2009; Singgih Wibisono, “Wayang, Karya Agung Dunia”, www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0612/bud2.html. Diakses 13 Januari 2006.
2
bertugas sebagai semacam conductor dalam sebuah orkestra. Wayang Kulit purwa melibatkan berbagai aspek, di antaranya seni rupa (tatah sungging), musik (karawitan),
sastra, dan sabetan
(gerak wayang). Di dijumpai
Indonesia di
pertunjukan
keraton-keraton
wayang
kulit
(Surakarta
dan
purwa
dapat
Yogyakarta),
kadipaten-kadipaten (Mangkunegaran atau Pakualaman), atau di rumah-rumah
para
bangsawan.
Orang
juga
dapat
menyaksikannya di luar keraton, yaitu rumah-rumah keluarga di kampung-kampung atau desa-desa, tempat-tempat ziarah, di gedung-gedung pertunjukan; bahkan wayang kulit purwa juga dipertunjukkan
di
Istana
Negara.
Dengan
perkataan
lain,
siapapun dapat mengadakan pertunjukan wayang kulit purwa. Orang mengadakan pertunjukan wayang kulit purwa untuk berbagai
kepentingan.
Untuk
mengundang dalang untuk
keperluan
Ruwatan,
orang
pertunjukan yang sifatnya ritual.2
Untuk maksud hiburan, wayang kulit purwa dipertunjukkan
2 Periksa Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967), 125; Kathy Foley, “Of Dalang and Dukun – Spirits and Men: Curing and Performance in the Wayang of West Java” (Asian Theatre Journal, vol. 1, no. 1, 1984), 52-75; Eddy Pursubaryanto, “Ruwatan: A Ritual in Transition” (GELAR, Vol. 4, No. 2, Desember 2006), passim.
3
untuk keperluan sunatan, resepsi pernikahan, ulang tahun instansi, dan bahkan untuk propaganda.3 Dalam penelitian ini yang menjadi objek material adalah adegan gara-gara dalam wayang kulit purwa gaya Surakarta. Adapun objek formal penelitiannya difokuskan pada atributatribut yang terdapat dalam adegan gara-gara. Pertunjukan wayang kulit purwa pada umumnya berlangsung semalam suntuk dan pada umumnya berlangsung sekitar 8 jam, dan dimulai sekitar pukul 21.00. Dalam lakon yang disajikan terbagi menjadi adegan-adegan.
Victoria Maria Clara van Groenendael dalam
bukunya berjudul The Dalang behind the Wayang: the Role of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesian-Javanese Society menyebut pembagian adegan itu dengan istilah struktur dramatik. Menurut van Groenendael dalam wayang kulit purwa baik gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta, struktur dramatik dalam pertunjukan semalam suntuk ditandai dengan pembagian pathet, yaitu pathet Nem, pathet Sanga, dan pathet Manyura dimana setiap pathet mempunyai bagian-bagian sendiri yang sudah dibakukan.4
Dalam struktur pertunjukan wayang kulit
Periksa R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2002), passim. 4 Victoria Maria Clara van Groenendael, The Dalang behind the Wayang: the Role of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesian-Javanese Society (Dordrecht: Foris Publications Holland, 1985), 222-225; periksa pula M. Ng. Najawirangka, (alias Atmatjendana), Serat Tuntunan Padalangan (Tjaking Pakeliran Irawan Rabi). Djilid I [Jilid I]. Tjap-tjapan kaping II [Cetakan ke 2] (Jogjakarta [Yogyakarta]: Djawatan Kebudajaan, Kementerian PP dan K., 1958), 3
4
purwa gaya Surakarta, pengertian adegan gara-gara tidak seperti yang terdapat dalam wayang kulit purwa gaya Yogyakarta.5 Dalam gaya Yogyakarta, gara-gara adalah sebuah adegan yang menjadi bagian tersendiri dalam sebuah pertunjukan semalam suntuk.6 Kekhasan pengertian gara-gara dalam gaya Surakarta adalah gara-gara bukan sebuah adegan tetapi sebuah narasi tentang kekacauan alam. Di dalam prakteknya, sejumlah dalang yang mempunyai basis gaya Surakarta hampir dalam setiap lakon yang dipentaskan menempatkan adegan gara-gara
sebagai bagian
tersendiri seperti dalam gaya Yogyakarta. Dari sinilah, adegan gara-gara yang disajikan oleh para dalang wayang kulit purwa yang memiliki basis gaya Surakarta menarik untuk dikaji. Pemilihan judul penelitian berdasarkan beberapa alasan. Peneliti pernah terlibat secara aktif hampir setiap tahun antara tahun
1990-1999
dalam
seksi
kesenian
yang
menangani
pertunjukan wayang kulit purwa dalam Panitia Dies Natalis Universitas Gadjah Mada. Dalam periode tersebut, peneliti sebagai pecinta wayang kulit purwa mempunyai kesempatan untuk mengamati,
merekam,
mempelajari,
dan
mencatat
sejumlah
32-43; periksa pula Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme (Surakarta: STSI Press, (2005)), 115; [Najawirangka dibaca Nayawirangka]. 5Penulisan kata gara-gara sering pula ditulis dengan goro-goro. Dalam penelitian ini penulisan dengan ejaan gara-gara akan digunakan, kecuali dari kutipan langsung yang menggunakan ejaan lain. 6Periksa R.M. Mudjanattistomo, R. Ant. Sangkono Tjiptowardoyo, R.L. Radyomardowo, dan M. Basirun Hadisumarto. Pedhalangan Ngayogyakarta. Jilid I. (Ngayogyakarta [Yogyakarta]: Yayasan Habirandha, 1977), 164.
5
pementasan dalang wayang kulit purwa dari gaya Surakarta yang diundang untuk berpentas pada acara Dies Universitas Gadjah Mada. Salah satu adegan yang dirasa menarik adalah adegan gara-gara yang ditampilkan berbeda dengan gara-gara yang pernah dilihat oleh peneliti. Kemudian muncul sebuah pertanyaan apakah terjadi perubahan penampilan (adegan) gara-gara wayang kulit gaya Surakarta. Pertanyaan yang mengikuti adalah adakah hal-hal yang tidak berubah atau tetap berlanjut.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini membatasi wayang kulit purwa gaya Surakarta yang
dipertunjukkan
semalam
suntuk;
sedangkan
fokus
perhatiannya adalah adegan gara-gara yang ada di dalamnya. Terdapat tiga pertanyaan penelitian tentang adegan gara-gara dalam penelitian ini yang akan dicari jawabannya, yaitu sebagai berikut. 1) Mengapa terjadi perubahan dalam adegan gara-gara dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam adegan gara-gara? 2) Bagaimana struktur dan pesan-pesan yang terkandung dalam adegan gara-gara? 3) Apa makna adegan gara-gara?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan tiga pertanyaan yang telah disebutkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengungkap alasan perubahan dalam adegan gara-gara wayang kulit purwa gaya Surakarta dan mengidentifikasi dan
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mendorong
perubahan tersebut. 2) Menjabarkan dan menguraikan struktur dan pesanpesan
adegan
gara-gara
wayang
kulit
purwa
gaya
Surakarta. 3) Mengungkapkan makna adegan gara-gara dalam wayang kulit purwa gaya Surakarta. Jawaban-jawaban
yang
dihasilkan
diharapkan
dapat
bermanfaat bagi siapapun yang ingin melihat Indonesia secara lebih mendalam terutama melalui dinamika wayang kulit purwa, lebih spesifik lagi melalui adegan gara-gara. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat mempertegas secara lebih rinci struktur dramatika adegan gara-gara dalam wayang kulit purwa gaya Surakarta yang pada umumnya hanya dikenal sebagai adegan tempat hadirnya tokoh panakawan.
7
D. Tinjauan Pustaka Tulisan
tentang
wayang
kulit
purwa
telah
banyak
diproduksi. Berikut ini akan ditinjau sejumlah tulisan penting yang mengandung atau menyinggung adegan
gara-gara wayang
kulit purwa. Sebuah buku yang berisi tentang panduan wayang kulit purwa muncul dengan judul Serat Sastramiruda yang tidak berangka tahun penerbitan. Namun Serat tersebut diduga ditulis pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwana IX (raja Keraton Surakarta)
yang
hidup
antara
tahun
1863-1893.
Serat
Sastramiruda ditulis oleh K.P.A. Kusumadilaga yang berisi tentang “ugering padhalangan ingkang sampun mupakat kangge [kanggé] abdidalem dhalang ing Kraton Surakarta Adiningrat utawi abdi dalem
dhalang
ing
Kadipaten
[Kadipatèn]
Anom”
(aturan
pedalangan yang sudah disetujui untuk abdidalem dalang di Kraton Surakarta atau abdi dalem dalang di Kadipaten Anom). Isi Serat yang membicarakan tentang pelajaran pedalangan ini dibeberkan kepada seorang murid bernama Mas Sastramiruda, nama tokoh dalam Serat itu. Itulah sebabnya Serat ini diberi judul Serat Sastramiruda. Buku ini juga menyajikan gancaran adegan gara-gara, namun uraian urutannya memang tidak diberikan secara rinci. 7
7K.P.A. Kusumadilaga, Serat Sastramiruda. Terjemahan Kamajaya dan dialihaksarakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto (Jakarta: Departemen Pendidikan
8
Pada tahun 1958, diterbitkan lagi (cetak ulang) sebuah buku dari seorang guru pedalangan bernama Najawirangka (dikenal pula dengan nama Atmatjendana) dengan judul Serat Tuntunan Padalangan: Tjaking Pakeliran Irawan Rabi, jilid IV. Tentang adegan gara-gara dia menulis Tjaking pakeliran gara-gara (penerapan sajian adegan gara-gara) tahap demi tahap, yang berisi antara lain narasi pra-gara-gara, sulukan, pocapan, dhodhogan, gending,
ginem
dihadirkan
di
(dialog), kelir).8
serta
Buku
blocking
ini
dari
merupakan
wayang
yang
pedoman
yang
digunakan dalam kursus pedalangan Radyapustaka di bawah naungan Keraton Surakarta. James R. Brandon dalam bukunya On Thrones of Gold: Three Javanese
Shadow
Plays
secara
khusus
mengulas
seni
pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta. Buku ini berisi terjemahan tiga lakon wayang kulit purwa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris. Ketiga lakon itu masing-masing 1) Wahyu
dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1981), 216-221. 8M.Ng. Najawirangka (al. Atmatjendana), Serat Tuntunan Padalangan (Tjaking Pakeliran Irawan Rabi). Djilid IV [Jilid IV]. Tjap-tjapan kaping 2 [Cetakan ke 2]. (Jogjakarta [Yogyakarta]: Djawatan Kebudajaan [Djawatan Kebudayaan], Kementerian PP dan K., Tjabang [Cabang] Bagian Bahasa Jogjakarta, 1958), 20-24. Buku ini merupakan edisi cetak ulang. Dalam cetakan-cetakan sebelumnya, misalnya dalam cetakan 1954, nama penulis ditulis dengan ejaan M.Ng. Nojowirongko (al. Atmatjendono). Dalam disertasi ini penulisan Najawirangka atau Nojowirongko body text menggunakan ditulis dengan ejaan Najawirangka dibaca Nayawirangka, kecuali dari kutipan langsung.
9
Purba Sedjati (The Reincarnation of Rama), 2) Irawan Rabi (Irawan’s Wedding), dan 3) Karna Tanding (The Death of Karna). Brandon menyebutkan bahwa buku ini terutama digunakan bagi para pemula [penutur asing] yang ingin belajar tentang wayang kulit purwa. Pengantar buku ini berisi tentang seluk beluk wayang purwa, di antaranya bentuk wayang kulit purwa dan bagaimana terjemahan tiga lakon itu dikerjakan. Tentang adegan gara-gara, Brandon
secara
spesifik
memberi
keterangan
tentang
yang
dimaksudkan dengan gara-gara, yaitu pocapan (narasi) yang diucapkan dalang untuk memulai adegan gara-gara sebagai sebuah adegan. Namun demikian, bukunya tak menguraikan secara mendalam dan rinci tentang sajian adegan gara-gara termasuk struktur dramatiknya.9 Pada tahun 1977 terbit sebuah buku pedoman untuk para calon
dalang,
ketrampilan
khususnya pedalangan
yang di
menimba
kursus
pengetahuan
dalang
dan
HABIRANDHA
(Hamurwani Birawa Rancangan Dhalang) Keraton Yogyakarta. Buku yang berjudul Pedhalangan Ngayogyakarta (Jilid I) ini berisi pengetahuan tentang pedalangan gaya Yogyakarta. Dalam buku ini dibicarakan tentang estetika pedalangan semalam suntuk, di antaranya tentang apa yang harus dilakukan dan tak boleh
9 James R. Brandon, ed., On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays. With an introduction by James R. Brandon (Cambridge: Harvard University Press, 1970), passim.
10
dilakukan oleh dalang, cara memegang wayang, sulukan, janturan, kandha, sabetan, pakem sabetan perang antar jenis wayang.10 Buku ini juga memuat sebuah contoh pakeliran berdurasi empat jam dengan lakon Aji Narantaka yang di dalamnya juga terdapat adegan gara-gara.11 Dalam buku ini dikatakan bahwa gara-gara bukanlah sebuah jejeran (adegan).
Pada umumnya gara-gara
dipahami sebagai hadirnya tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang kemudian mereka gegojègan (bersendagurau), njogèd (menari), dan tetembangan (menyanyi). Secara ringkas dikatakan bahwa sajian gara-gara mulai dari lagon pathet sanga, carita badhé gara-gara (narasi yang mengawali gara-gara), serta apa saja yang dilakukan oleh para panakawan sampai adegan gara-gara berakhir.12 Namun demikian buku ini juga tidak menguraikan struktur dramatik adegan gara-gara secara cukup. Dalam penelitiannya terutama di wilayah Surakarta antara tahun
1976-1978
di
Jawa
Tengah
dan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta, Victoria Maria Clara van Groenendael mengungkap peran dalang wayang kulit purwa dalam masyarakat Jawa. Dalam pertunjukan wayang kulit purwa, terdapat tiga komponen yang
10R.M. Mudjanattistomo, R. Ant. Radyomardowo, dan M. Basirun Hadisumarto, 11R.M. Mudjanattistomo, R. Ant. Radyomardowo, dan M. Basirun Hadisumarto, 12R.M. Mudjanattistomo, R. Ant. Radyomardowo, dan M. Basirun Hadisumarto,
Sangkono Tjiptowardoyo, 1977, passim. Sangkono Tjiptowardoyo, 1977, 214-253. Sangkono Tjiptowardoyo, 1977, 164.
R.L. R.L. R.L.
11
saling berhubungan, yaitu dalang, penonton, dan pemerintah. Dikatakan bahwa peran dalang adalah “guru masyarakat”. Selain itu buku ini juga ingin menjawab beberapa pertanyaan atas peran dalang sebagai guru masyarakat, yaitu apakah peran dalang secara tradisional, adakah perubahan peran seorang dalang, dan bagaimana sikap dalang dalam merespons perubahan perannya. Dia
melihat
menginterpretasi
bahwa
Pemerintah
(pemerintah
Indonesia)
ungkapan ini secara berbeda. Analisis
dalam
penelitian ini mengungkap adanya perubahan respons terhadap peran
seorang
dalang
baik
dari
sisi
Pemerintah
maupun
masyarakat. Van Groenendael hanya menyinggung sangat sedikit tentang sajian adegan gara-gara, yaitu dalam Lampiran II (dalam bukunya) yang diberi judul Structure of a Wayang Play in the Surakarta Tradition (Struktur Dramatik Pertunjukan Wayang [Kulit Purwa] Tradisi Surakarta). Dalam Lampiran ini hanya dikatakan bahwa gara-gara adalah „‟commotion in nature in pagedhongan‟‟ (kekacauan alam yang disampaikan secara pagedhongan, yaitu hanya dinarasikan). Sesudahnya dapat diikuti dengan tampilan banyolan panakawan yaitu Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong yang kadang-kadang sudah dihadirkan pula kesatria yang diikuti oleh panakawan. 13
13
van Groenendael, 1985, 222-225.
12
Terdapat tiga penelitian tentang adegan gara-gara yang menyinggung
pocapan
gara-gara
(narasi
oleh
dalang
yang
dipahami untuk menggambarkan kekacauan alam semesta) dalam wayang kulit purwa gagrak Surakarta.14 Dalam tesis S-2nya yang berjudul ”Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang,” Bambang Murtiyoso menyinggung tentang pocapan gara-gara (PGG) yang digunakan oleh dua dalang tenar yaitu Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono. Dikatakan bahwa dalam PGG mereka, kedua dalang tersebut lebih banyak menggunakan keindahan bahasa lewat purwakanthi swara dan meminjam beberapa kata bahasa Arab. Ki Anom Suroto menyebut Jangka Jayabaya untuk merujuk keadaan yang dilukiskannya. Ki Manteb Soedharsono memanfaatkan permainan kata dalam PGG yang secara tersirat menyitir Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Dalam uraiannya hanya dikatakan bahwa wacana tentang jaman Kalabendu dan jaman Kaliyoga yang diungkapkan oleh kedua dalang
tenar
itu
“cukup
menarik,
bila
dikaitkan
dengan
kepekaannya terhadap kondisi masyarakat.” Namun demikian, Murtiyoso tidak menjelaskan kondisi masyarakat macam apa yang dimaksudkan.15
14 Selanjutnya dalam penelitian ini pocapan gara-gara akan disingkat dengan PGG. 15 Bambang Murtiyoso, ”Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang.” Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1995, 105-109.
13
Dalam tesis S-2nya yang berjudul “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta Dwi Dasa Warsa Terakhir Abad ke XX (1980-1998),”
Randyo di antaranya mengupas sebagian adegan
gara-gara terutama narasi PGG yang digunakan dalang untuk mengungkapkan ide-ide atau gagasan. Tesis ini menampilkan beberapa contoh PGG pernah digunakan oleh dua dalang populer yaitu Ki Manteb Soedharsono dan Ki Anom Suroto. Dalam uraiannya, Randyo mengatakan bahwa PGG yang digunakan oleh kedua dalang tersebut terasa “segar dan humor”. Selanjutnya, dikatakan bahwa PGG yang dikemas oleh para dalang populer ini lebih dipusatkan pada kondisi masyarakat yang berkaitan dengan situasi yang dialami. Randyo juga menyebutkan bahwa Ki Anom Suroto telah merujuk ke Jangka Jayabaya dan Ki Manteb Soedharsono merujuk ke Serat Kalatida. PGG
yang mengambil
referensi pada dua karya sastra Jawa ini mendapat tanggapan yang serius dari penonton, karena isinya berkaitan dengan keadaan dan kondisi jaman yang sedang dialami. Dalam tesisnya tersebut, Randyo juga tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa yang dikatakannya sebagai kondisi masyarakat yang berkaitan dengan situasi yang dialami.16
16 M. Randyo, “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta Dwi Dasa Warsa Terakhir Abad ke XX (1980-1998).” Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2001, 103-117.
14
Pembicaraan tentang adegan gara-gara juga terdapat dalam penelitian untuk tesis S-2 Purbo Asmoro. Dia menjelaskan siapa figur dibalik PGG yang digunakan oleh dua dalang tenar Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono. Kedua dalang ini pernah menggunakan PGG karya Tristuti Rahmadi Suryasaputra, yang naskah-naskah pedalangannya digunakan sebagai objek penelitian oleh Purbo Asmoro. Ketika memberi komentar atas PGG yang dibuat Tristuti, Purbo Asmoro mengatakannya sebagai „segar‟, menggelitik, dengan vokabuler bahasa Jawa sehari-hari dan bersifat komunikatif. Di bagian lain, dikatakan bahwa teks garagara susunan Tristuti cenderung bersifat sembrana parikena (kelakar), yang bertujuan mencari efek tawa para penikmat pakeliran. Namun demikian, penelitian Purbo Asmoro itu tidak menampilkan uraian yang mendalam tentang contoh-contoh PGG yang ditulis oleh Tristuti.17 Pada tahun 1993-1995 Umar Kayam mengadakan penelitian wayang kulit purwa di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penelitiannya diterbitkan dalam buku berjudul Kelir
Tanpa
Batas.
Dalam
buku
ini,
Kayam
mula-mula
memaparkan gambaran umum mengenai wayang kulit purwa di daerah penelitiannya. Kemudian ditampilkannya otoritas-otoritas 17Purbo Asmoro, “Kehadiran Naskah Pedalangan Karya Tristuti Rahmadi Suryasaputra dalam Pertunjukan Wayang Kulit Gaya Surakarta.” Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2004, 51, 53, 79.
15
wayang kulit purwa, baik berdasarkan pakem-pakem dan estetika pedalangan yang berlaku pada saat penelitian berlangsung. Temuan dari penelitian tersebut adalah memudarnya tatanan (pakem dan estetika) yang disebabkan faktor politik dan ekonomi Indonesia pada antara tahun 1993 dan 1995.18 Namun demikian, dalam buku hasil penelitiannya tidak ditemukan keterangan tentang memudarnya tatanan dalam adegan gara-gara. Soetarno dalam bukunya Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan menguraikan berbagai aspek dunia wayang Indonesia. Setelah memaparkan asal mula dan perkembangan wayang dari aspek penyaji [dalang], iringan, pakeliran, dan nilainilai yang terkandung; buku ini juga mengupas kaitan antara pertunjukan wayang dengan upacara Ruwatan. Selain itu, buku ini
juga
membicarakan
aspek-aspek
dramaturgi
pedalangan
wayang kulit purwa selain tegangan-tegangan yang mengiringi perkembangan
seni
pertunjukan
ini.19
Dalam
buku
ini
pembicaraan tentang adegan gara-gara dikaitkan dengan konsep panca kusika – lambang kosmis klasifikasi lima.20 Dalam bukunya yang lain berjudul Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme,
Soetarno
menguraikan
unsur
struktural
18Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas, Editor: Faruk. Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gama Media [untuk Pusat Studi Kebudayaan UGM], 2001), passim. 19Soetarno, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan. Cetakan Pertama (Surakarta : STSI Press, 2004), passim. 20Soetarno, 2004, 141-151.
16
pergelaran wayang kulit purwa gaya Surakarta.
Khusus dalam
uraian tentang adegan gara-gara, Soetarno menyebutkan adegan gara-gara sebagai berikut. Gara-gara adalah adegan setelah perang gagal keluarnya para panakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) mereka bersendau-gurau, dan tetembangan. Adegan gara-gara itu menggambarkan suatu pergantian hidup yang hebat dan penting, dari masa remaja ke masa dewasa, dan banyak kesulitan yang harus diatasi. Peristiwa ini menimbulkan dalam hati sanubarinya sesuatu yang keruh dan ruwet serta rasa bingung.21 Di bagian lain dalam buku yang sama, Soetarno menyajikan sebuah deskripsi dari naskah pendek pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon Ciptaning, mulai dari Pathet Nem sampai dengan adegan Tanceb Kayon di Pathet Manyura. Dalam naskah ini dipaparkan pula adegan gara-gara, termasuk PGG yang disebabkan oleh Ciptaning yang sedang mesubrata [bersemadi]. Di bagian lain, ketika mengulas sisi garap karawitan yang menyertai adegan gara-gara, Soetarno menyinggung pula perbedaan garap karawitan (gaya Surakarta) era Nartosabdo dan era sebelumnya.22 Sebuah buku karya Jan Mrázek berjudul Phenomenology of a Puppet Theatre: Contemplations on the Art of Javanese Wayang Kulit terbit tahun 2005. Buku ini adalah sebuah deskripsi yang mengupas perubahan-perubahan dalam pertunjukan wayang 21Soetarno, 22Soetarno,
(2005), 170. (2005), 14-16, 24, 87, 90.
17
dewasa ini secara paling menyeluruh, interaksi pertunjukan wayang dengan berbagai hiburan dari tradisional dan modern, bagaimana pertunjukan wayang dipengaruhi oleh politik dan ekonomi, serta sorotan tentang pertunjukan wayang dalam era pasca-Soeharto.23 Tentang adegan gara-gara Mrazek mengatakan bahwa ia bukan saja bagian yang berfungsi sebagai “gap in the structure” tetapi adegan gara-gara adalah juga tempat untuk ngaso (rehat) karena adegan-adegan lain memerlukan konsentrasi yang tinggi dan kita (penonton) mengikuti adegan lain tersebut dengan seksama.24 Sejumlah
literatur
yang
diuraikan
sebelumnya
telah
menyinggung adegan gara-gara dari sisi-sisi tertentu. Namun demikian, studi-studi yang menyangkut adegan gara-gara belum mengulas dan menguraikan secara cukup beberapa aspek dalam adegan gara-gara. Penelitian disertasi ini mempunyai posisi untuk melengkapi hal-hal yang belum diulas dan diuraikan tentang adegan gara-gara dalam studi lain. Untuk tujuan ini, peneliti mendapati kesempatan untuk melihat dunia wayang kulit purwa terutama dengan memfokuskan pada dinamika adegan gara-gara masih sangat terbuka.
23Jan Mrázek, Phenomenology of a Puppet Theatre: Contemplations on the Art of Javanese Wayang Kulit (Leiden: KITLV Press, 2005), passim. 24 Mrázek, 2005, 508.
18
E. Landasan Teori Penelitian ini berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikut. Asumsi pertama adalah bahwa pertunjukan wayang adalah cermin kehidupan dan refleksi dari berbagai sisi kehidupan manusia (bangsa Indonesia) baik dari sisi sosial politik, ekonomi, dan budaya. Janturan jejer pertama Ki Manteb Soedharsono berikut kiranya dapat memberi ilustrasi dari asumsi pertama ini. Wayang purwa kinarya pengilon gesanging manungsa sawiji-wiji; marma ginambar miring murih datan olok nggènya sung sesulang.25 (Wayang purwa digunakan sebagai cermin kehidupan setiap insan manusia; digambar miring (dua dimensi) agar supaya tak menyolok dalam memberi pelajaran). Asumsi kedua adalah wayang bukan sesuatu yang tunggal (homogen), karena ada yang disebut gagrag, atau gaya. Asumsi ketiga adalah adegan gara-gara selalu dinanti oleh penonton. Asumsi keempat adalah wayang kulit purwa sebagai salah bentuk kebudayaan (kebudayaan Jawa) yang masih hidup tentulah memiliki dinamika. Asumsi kelima adalah bahwa sebagai salah satu bentuk kebudayaan pastilah dinamika wayang kulit purwa pastilah terkait dengan hal-hal di luarnya. Sebagai teks adegan gara-gara dalam wayang kulit purwa mempunyai dinamika yang disebabkan oleh interaksi dengan teks yang lain, misalnya dengan 25Manteb Soedharsono, Sesaji Raja Suya (Kaset rekaman wayang kulit purwa. Lembaga Studi Jawa Yogyakarta, 1996).
19
lakon yang disajikan, waktu penyajian, dalang, dan maksud pertunjukan. Dengan acuan ke tiga pertanyaan besar dalam rumusan masalah yang disebutkan sebelumnya, jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif. Seperti yang dikatakan oleh Pertti Alasuutari jenis penelitian ini dapat menguak berbagai hal yang tersembunyi atau ‟misteri‟.26 Penelitian ini memerlukan sebuah “payung” ilmu untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. ‟‟Payung‟‟ ilmu yang dianggap cocok untuk penelitian ini adalah dramaturgi pedalangan. Kata dramaturgi adalah ilmu atau pengetahuan tentang seni drama.27 Tery McCabe dalam bukunya berjudul Mis-directing the Play: An Argument Against Contemporary Theatre mengatakan bahwa dramaturgi meliputi hampir semua kegiatan dalam kegiatan berteater.28
Dalam
Pertti Alasuutari, Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies (London: Sage Publications) 1995, passim. https://books.google.co.id/books?id=cN0gMqjUZ80C&printsec=frontcover&sour ce=gbs_atb#v=onepage&q&f=false. Diakses 24 Nopember 2016. Periksa R.M. Soedarsono, Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya (Yogyakarta: Tarawang, 2000), 4. 27Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 364. 28Terry McCabe, Mis-directing the Play: An Argument Against Contemporary Theatre (N.p.: Ivan R. Dee, 2001), 64. https://www.amazon.com/Mis-directing-Play-Argument-AgainstContemporary/dp/1566637996#reader_1566637996. Diakses 25 Nopember 2016; periksa Magda Romanska, Dramaturgy Student Handbook (Boston: Emerson College Department of Performing Arts), n.d. http://www.lmda.org/sites/default/files/MadgaRomanska'sDramaturgyHandbo ok for Emerson.pdf. Diakses 25 Nopember 2016. 26
20
penelitian, dramaturgi yang dimaksud adalah dramaturgi dalam bidang pedalangan wayang kulit purwa, yang di antaranya memuat teknik-teknik pendramaan, aturan-aturan, dan estetika seni
pertunjukan
wayang
kulit
purwa.
Ilmu
Dramaturgi
pedalangan memberi pengetahuan dan arahan bagaimana seorang dalang menyajikan pertunjukan wayang kulit purwa dengan baik. Najawirangka menyebutkan bahwa terdapat lima bagian besar dalam pengetahuan pedalangan, yaitu cerita (janturan, ginem, banyol,
aluran,
antawacana),
laras
(karawitan),
sabet,
pengetahuan lain untuk mendukung pertunjukan (mantra, sajen, property pertunjukan, bagian-bagian boneka wayang, wanda wayang, “pakaian” boneka wayang), dan pakeliran (penerapan ke lima pengetahuan pedalangan).29 Ilmu dramaturgi pedalangan dirasa kurang mencukupi, oleh karena itu penelitian ini melibatkan pendekatan multidisiplin. Untuk tujuan tersebut penelitian ini meminjam beberapa teori di luar dramaturgi pedalangan, yaitu teori intertekstualitas, teori adaptasi, teori art for mart, teori perkembangan kebudayaan, teori fungsi seni pertunjukan, dan teori penampilan. Adegan gara-gara adalah sebuah fenomena, meskipun secara bentuk hanya merupakan bagian kecil dari sebuah 29 M.Ng. Najawirangka (al. Atmatjendana), Serat Tuntunan Padalangan (Tjaking Pakeliran Irawan Rabi). Djilid I [Jilid I]. Tjap-tjapan kaping 2 [Cetakan ke 2]. (Jogjakarta [Yogyakarta]: Djawatan Kebudajaan [Djawatan Kebudayaan], Kementerian PP dan K., Tjabang [Cabang] Bagian Bahasa Jogjakarta, 1958), 10.
21
pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk (kurang lebih 7 jam). Secara tekstual, sebagai langkah awal dipinjam arahan Edman Burke Feldman dalam bukunya Image and Idea ketika seseorang mengamati sebuah lukisan. Menurut Feldman, dalam sebuah pengamatan langkah penting yang diperlukan adalah deskripsi yang merupakan proses inventarisasi, yaitu dengan cara mencatat apa yang tampak di mata pemirsa; dan agar objektivitas terjaga dalam pendeskripsian ini, seseorang semata-mata akan melihat ‟‟apa yang ada di depan matanya‟‟ yang akan disetujui oleh orang lain.30 Dalam hal sebuah pertunjukan, diperlukan juga menginventarisir apa yang didengar. Untuk data yang bersifat auditif tentu apa yang didengar menjadi lebih dipentingkan. Pendeskripsian dalam hal ini juga disertai dengan uraian secara rinci. Untuk menjawab ke tiga pertanyaan tersebut menuntut pendekatan intertekstual dan adaptasi. Judith Still and Michael Worton dalam bukunya yang berjudul Intertextuality: Theories and Practices
mengatakan
bahwa
istilah
intertekstualitas
(intertextuality) pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristteva. Teori ini menegaskan bahwa “a text ... cannot exist as a hermetic or self-sufficient whole, and so does not function as a closed system
30
Edman Burke Feldman, Image and Idea (Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1967), 470.
22
(sebuah teks tak bisa berdiri sendiri sebagai suatu keutuhan sehingga teks tersebut tak dapat berfungsi sebagai sistem yang tertutup),
sehingga
apabila
teks
adalah
hasil
seni,
maka
sebetulnya keutuhannya sangat terkait dengan hasil seni yang lain.
31
Keterkaitan ini salah satunya dapat dilihat dari referensi
dari suatu hasil seni dengan karya seni yang lain. Sebuah teks tak dapat hadir dengan sendirinya sebagai sesuatu yang mempunyai makna yang utuh. Wujud dari intertekstualitas antara lain adalah tema, alusi, referensi, dan terjemahan. 32 Teori intertekstualitas kiranya cocok disandingkan dengan teori adaptasi karena ketika sebuah karya muncul (diciptakan), karya tersebut sebetulnya tidak begitu saja turun dari langit. Karya tersebut merupakan wujud dari suatu kreativitas dan interpretasi dari suatu tindakan. Linda Hutcheon dalam bukunya yang berjudul A Theory of Adaptation mengatakan beberapa hal tentang
adaptasi
sebagai
berikut.
Adaptasi
disebut
sebagai
31Judith Still and Michael Worton, eds., Intertextuality: Theories and Practices. With Introduction by Judith Still and Michael Worton Judith Still and Michael Worton (Manchester and New York: Manchester University Press, 1990), 1. 32 Periksa Maria Jesús Martinez Alfaro, “Intertextuality: Origins and Develeopment of the Concept” (in Atlantis, Vol. 18, No. 1/2 (Juni - December 1996), 268-285, http://www.jstor.org/stable/41054827?seq=1#page_scan_tab_contents. Diakses 8 Oktober 2015; periksa pula Adolphe Haberer, “Intertextuality in Theory and Practice” (in LITERATURA, 49(5), 2007), 54-67, http://www.literatura.flf.vu.lt/wpcontent/uploads/2011/11/Lit_49_5_5467.pdf. Diakses 8 Oktober 2015.
23
perubahan yang diakui (diterima) dari sebuah karya atau karyakarya lain yang telah dikenal sebelumnya. Adaptasi adalah penyesuaian
(antara
penyelamatan
(suatu
satu
situasi
karya).
dengan
Adaptasi
tak
situasi bisa
lain)
dan
dipungkiri
merupakan sebuah peristiwa intertekstualitas dengan karya yang diadaptasi. Dalam arti yang lebih luas, sebagai sebuah produk, adaptasi dapat berupa parafrase (dalam kebahasaan), terjemahan dari teks lain, interpretasi khusus tentang situasi politik atau sejarah.
Terdapat
menceritakan,
tiga
kegiatan
mempertunjukkan,
dalam dan
adaptasi,
berinteraksi
yaitu dengan
cerita.33 Untuk menjawab pertanyaan pertama dan ketiga perlu dipertimbangkan pula pendapat Roland B. Dixon dalam bukunya yang berjudul The Building of Cultures tentang teori perkembangan kebudayaan. Dixon mengatakan bahwa perkembangan sebuah budaya disebabkan terutama karena adanya inovasi yang terjadi karena
adanya
resources,
opportunity, needs,
and genius.34
Pendapat Dixon ini selaras dengan substansi pendapat R.M. Soedarsono dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan dari Perspektif
Politik,
Sosial,
dan
Ekonomi.
R.M.
Soedarsono
mengatakan bahwa perkembangan sebuah seni pertunjukan dapat 33 Linda Hutcheon, A Theory of Adaptation (New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006), 8-27. 34 Roland B. Dixon, The Building of Cultures (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1928), 33-49.
24
ditentukan
oleh
pengaruh
internal
dan
eksternal,
dan
diingatkannya bahwa faktor non-seni pun dapat terlibat dalam kedua pengaruh tersebut.35 Berikut adalah kutipan pendapat R.M. Soedarsono. Seni pertunjukan sebagai salah satu aspek penting dari kehidupan manusia, perkembangannya sangat diwarnai oleh berbagai faktor non seni, dan yang paling signifikan adalah faktor politik, sosial, dan ekonomi. Ketiga faktor inilah yang sangat menentukan hadirnya sebuah genre atau bahkan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat. Ketiga faktor tersebut kadangkadang faktor politik yang menonjol, kadang-kadang faktor sosial, tetapi sering pula faktor ekonomi yang menentukan, atau bahkan kerap terjadi perpaduan antara dua atau ketiganya.36 Pendapat Dixon dan R.M. Soedarsono tersebut kiranya dapat digabung dengan teori Art for Mart dari Timbul Haryono. Dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni, Timbul Haryono mengatakan bahwa “penciptaan seni didasarkan atas pertimbangan calon penonton atau pemesannya karena orientasi pemikiran tersebut adalah seni untuk pasar.‟‟37 Pendapat Dixon dan Haryono di atas kiranya dapat disandingkan dengan pendapat R.M. Soedarsono tentang teori fungsi seni pertunjukan dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. R.M. 35 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 1-17. 36 R.M. Soedarsono, 2003, 69. 37 Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Cetakan Pertama (Surakarta: ISI Press Solo, 2008), 129.
25
Soedarsono mengatakan bahwa fungsi seni pertunjukan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer meliputi seni pertunjukan sebagai 1) sarana ritual; 2) hiburan pribadi; dan 3) presentasi estetis. Fungsi lainnya misalnya seni untuk tujuan pendidikan dan politik dikelompokkan
sebagai
fungsi
sekunder.
Pendapat
R.M.
Soedarsono ini dianggap penting karena sebuah seni pertunjukan melibatkan penyaji dan penikmat termasuk pendukungnya.38 Untuk menjawab pertanyaan pertama sampai dengan ke tiga, juga dipinjam sebuah teori penampilan (performance) dari Richard Bauman dalam artikelnya yang berjudul “Performance” buku yang berjudul Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments: A Communication - Centered Handbook. Bauman mengatakan bahwa All performance … is situated, enacted, and rendered meaningfully within socially defined social context (Semua penampilan berada dalam suatu tempat, dipertunjukkan, dan diberi makna dalam konteks sosial masyarakatnya). 39
38R.M.
Soedarsono, 2002, 123. Bauman, „Performance‟ dalam Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments, edited by Richard Bauman (New York: Oxford University Press, 1992), 46; kata performance artinya tidak hanya mengacu pada seni pertunjukan (performing arts), tetapi dapat pula berarti penampilan termasuk penampilan cabang seni yang lain atau bahkan penampilan yang tidak termasuk dalam seni pertunjukan. Dalam konteks penelitian ini kata performance mengacu pada seni pertunjukan dan diterjemahkan dengan penampilan. 39Richard
26
F. Metode Penelitian 1. Metode pengumpulan data a. Pemilihan sampel dalang dan sampel lakon Penelitian ini mengambil sampel dalang yang
dilakukan
secara purposive. Penelitian ini mengambil empat dalang, masingmasing Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Purbo Asmoro. Secara purposive, keempat dalang ini mempunyai basis gaya yang sama, yaitu gaya Surakarta dan keempatnya dianggap sebagai dalang “besar”.
Mereka juga
populer pada eranya masing-masing, seperti telah dikemukakan oleh Bambang Murtiyoso.40 Selain itu, subyek-subyek tersebut dianggap
dapat
merepresentasikan
data
yang
benar-benar
diperlukan dalam penelitian ini dan memiliki informasi yang cukup. b. Pemilihan sampel lakon Dua lakon yang pernah disajikan semalam suntuk dari setiap sampel dalang
diambil secara purposive sebagai sampel
lakon. Lakon-lakon yang dipilih adalah lakon-lakon yang tidak termasuk dalam jenis lakon banjaran, yaitu “penggabungan beberapa lakon yang menceritakan seorang tokoh dari lahir
40
Murtiyoso, 1995, passim.
27
sampai mati dalam satu kesatuan pentas”41 karena dalam lakon banjaran tidak ada adegan gara-gara. Lakon kadéwan atau lakon tentang para dewa-dewi, juga tak diambil sebagai sampel. Di kalangan para dalang, pada umumnya lakon kadéwan ditengarai dengan belum timbulnya tokoh-tokoh panakawan, sehingga juga tidak ada adegan gara-gara. Khusus dari Ki Nartosabdo diambil tiga sampel lakon, yaitu Alap-alapan Setyaboma, Bima Suci, dan Salya-Duryudana Gugur. Lakon Salya-Duryudana Gugur diambil sebagai sampel karena dalam pengamatan awal dalam lakon tersebut terdapat adegan gara-gara yang kehadirannya mirip dengan adegan gara-gara wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Sampel lakon dari Ki Anom Suroto masing-masing adalah Prabu Sumilih dan Wisanggeni Lahir. Lakon Pandawa Sokur dan Dewi Sri Boyong mewakili Ki Manteb Soedharsono. Sampel lakon dari Ki Purbo Asmoro adalah Pandawa Moksa dan Sesaji Raja Suya. c. Bentuk dan sumber data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menuntut data kualitatif pula. Data primer berasal dari lapangan ketika peneliti mengamati secara langsung pertunjukan wayang kulit purwa. Selain itu, data primer juga bersumber pada informan 41 Bambang Murtiyoso, Waridi, Suyanto, Kuwato, Hariyadi Tri Putranto, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, Cetakan Pertama (Surakarta: Citra Etnika Surakarta, 2004), 67.
28
yang informasinya dianggap cukup mendukung topik penelitian. Data sekunder bersumber dari kepustakaan tentang dunia wayang kulit purwa dan terutama yang mengandung informasi tentang adegan gara-gara. Penelitian ini juga mempertimbangkan sumber data dari berbagai pustaka elektronik -- lewat beberapa situs internet – yang menulis, mencatat, merekam dan mengunggah, serta mendokumentasikan berbagai hal yang terkait dengan dunia wayang kulit purwa. Data yang menyangkut pertunjukan dari sampel lakon bersumber pada data yang sudah terekam baik dalam rekamanrekaman audio atau video yang tersedia di pasaran termasuk rekaman audio atau audiovisual yang tersedia dari Youtube. Data terekam seperti ini sangat disarankan oleh Pertti Alasuutari mengingat bahwa data kualitatif merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, multi-dimensional, dan kompleks.42
Pertti Alasuutari, Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies (London: Sage Publications), 1995, 16-18, 20, 179. https://books.google.co.id/books?id=cN0gMqjUZ80C&printsec=frontcove r&source=gbs_atb#v=onepage&q&f=false. Diakses 24 Nopember 2016. Periksa Susan Dobscha, “Reviewed Work: Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies by Pertti Alasuutari” (in Journal of Marketing Research. Vol. 34, No. 2, May, 1997), 303-305. http://www.jstor.org/stable/3151870. Diakses 24 Nopember 2016. Periksa pula R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Cetakan kedua (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 46. 42
29
d. Teknik pengambilan data Sebagian data primer diambil lewat pengamatan langsung (direct observation) dan membuat catatan-catatan pementasanpementasan Ki Anom Suroto dan Ki Purbo Asmoro ketika mereka pentas di kampus Universitas Gadjah Mada antara tahun 19901999. Dengan cara yang sama, peneliti mendapatkan data primer melalui
pengamatan
langsung
pertunjukan
Ki
Manteb
Soedharsono di wilayah Yogyakarta pada kurun waktu antara tahun 1990-2002. Untuk mendapatkan data primer, wawancara langsung maupun tidak langsung dengan sampel dalang dan informan juga dilakukan. Wawancara langsung dilakukan dengan tidak terstruktur; sedang wawancara tidak langsung dilakukan lewat e-mail dan SMS (short message system). Dalang sampel yang diwawancarai adalah Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Purbo Asmoro. Sumber lain yang diwawancarai adalah Bambang Murtiyoso, S. Kar., M.Hum., dan Dr. Bambang Suwarno (keduanya staf pengajar di Insitut Seni Indonesia Surakarta), serta Drs. Manu Jayaatmaja dan R. Bima Slamet Raharjo, M.A. (keduanya staf pengajar Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada). Selain itu juga dilakukan wawancara dengan Djoko Walujo Wimboprasetyo, S.H. (staf pengajar di California Institute of the Arts, California, U.S.A.), serta Ki Ledjar Subroto (dalang Wayang Kancil).
30
Teknisi sound system dari masing-masing dalang membantu peneliti membuat rekaman dari beberapa lakon yang pernah dipentaskan oleh Ki Anom Suroto dan Ki Purbo Asmoro. Data terekam inilah yang dalam penelitian ini digunakan sebagai sebagian data sekunder. Data terekam lain sebagai data sekunder dari pertunjukan Ki Manteb Soedharsono di Yogyakarta direkam dari
siaran
langsung
Radio
Republik
Indonesia
Stasiun
Yogyakarta. Rekaman dilakukan dengan menggunakan radio tape sambil melakukan pengamatan langsung dan membuat catatancatatan. Data sekunder juga diambil dari pertunjukan dalang sampel yang terekam dan diunggah ke Youtube. Data terunggah di Youtube kemudian diunduh (download) dengan bantuan program Youtube downloader atau keepvid downloader dan kemudian disimpan di flashdisk, external hard disk, atau laptop. Peneliti melakukan
juga
melakukan
penghayatan
lebih
partisipasi
terlibat
mendalam
dan
untuk
mendapat
kesempatan untuk mengamati secara lebih dekat perkembangan dunia wayang kulit purwa. Peneliti belajar karawitan Jawa khususnya karawitan untuk iringan wayang kulit purwa dan belajar pedalangan baik gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta, serta kemudian bertindak sebagai dalang amatir. Selain itu, peneliti juga sering ikut menabuh untuk pergelaran wayang kulit purwa baik dalam gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta.
31
2. Metode analisis data Adegan dinamikanya
gara-gara
adalah
memerlukan
sebuah
pemahaman.
fenomena
Di
dalam
dan
analisis,
diperlukan cara untuk memahami makna seluruh data yang terkumpul dari para dalang sampel dan lakon-lakon yang ditampilkan. Caranya adalah dengan membahas makna data tersebut
secara
hermeneutik
melalui
penafsiran-penafsiran
sehingga didapat pengetahuan lebih banyak tentang dinamika adegan
gara-gara.
Proses
pemahaman
dan
penafsiran
ini
disarankan oleh Max Weber seperti yang diungkapkan oleh Anthony
Giddens.
Menurut
Weber
“pemahaman”
(verstehen)
terhadap makna sangat penting untuk menjelaskan tindakan manusia.43
Dalam penelitian ini pemaknaan dan penafsiran
dilihat dari sudut peneliti. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut. a. Membuat transkripsi dan terjemahan data terekam Data terekam dari sampel-sampel lakon yang digelar oleh sampel
dalang
43Anthony
ditranskripsikan
secara
ortografis,
tetapi
Giddens dalam Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Translated by Talcott Parsons in 1930. With an introduction by Anthony Giddens written in 1976 London: Routledge Classics, 1992), ix. http://www.d.umn.edu/cla/faculty/jhamlin/1095/The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.pdf. Diakses 14 September 2016.
32
transkripsi dibatasi hanya pada adegan gara-gara. Data terekam lain
yang
mendukung
penelitian
ini
juga
ditranskripsikan.
Sebelum transkripsi dilakukan, data terekam yang tersimpan dalam pita kaset, CD atau DVD diubah menjadi soft copy yang disimpan dalam laptop, komputer, atau flash disk. Pengubahan menjadi
soft
copy
ini
mempermudah
proses
transkripsi.
Transkripsi data terekam yang ditampilkan dalam disertasi ini disertai dengan terjemahan semantis terjemahan komunikatif (communicative translation).44 b. Membuat klasifikasi sub adegan gara-gara dari buku pakem pedalangan Data yang dianalisis pada awalnya bersumber dari adegan gara-gara yang disiapkan untuk para calon dalang di beberapa kursus pedalangan lewat bahan-bahan tertulis tentang pakeliran wayang kulit purwa. bagaimana
sajian
Tahapan ini penting untuk melihat
adegan
gara-gara
“seharusnya”
disajikan.
Ketika gara-gara dianggap sebagai adegan, dalam analisis tahap ini dilihat dan ditentukan sub-sub adegannya. Agar ada kesamaan dalam
melihat
kapan
dan
berakhirnya
adegan
gara-gara,
penelitian ini menandai awal adegan gara-gara dengan sulukan pathet
sanga
dan
akhir
adegan
gara-gara
ditandai
ketika
44Peter Newmark, A Textbook of Translation (New York: Prentice Hall, 1988), 46.
33
panakawan sowan bendara (panakawan menghadap majikan).45 Adapun sub-sub adegan secara rinci dibuat berdasarkan buku karya
M.Ng.
Najawirangka
yang
berjudul
Serat
Tuntunan
Padalangan: Tjaking Pakeliran Irawan Rabi, cetakan ke 2, Jilid IV, dengan
tahun
terbit
1958.46
Buku
yang
dihimpun
oleh
Najawirangka ini terdiri dari empat jilid. Cetakan-cetakan (Jilid I, II, III, IV) yang dikeluarkan semenjak tahun 1954 selalu laku keras, dengan pembelinya meliputi dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur,
Sumatera,
dan
Kalimantan.
Itulah
sebabnya
penelitian ini memilih karya Najawirangka sebagai titik tolak penelitian dan pembuatan sub-adegan gara-gara. c. Membuat klasifikasi sub adegan gara-gara dari sampel lakon Sub-adegan gara-gara dari sampel lakon yang dipilih diidentifikasi dengan mengacu pada sub-adegan gara-gara dari pakem pedalangan Najawirangka. Setiap hasil identifikasi adegan gara-gara kemudian direpresentasikan dalam sebuah tabel. d. Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan adegan garagara dari sampel lakon dengan adegan gara-gara Nayawirangka. Tahap analisis selanjutnya adalah membandingkan antara sub-adegan gara-gara dalam pakem pedalangan Nayawirangka 45Untuk istilah sulukan pathet sanga ada yang menyebut pathetan Slendro Sanga wantah dan ada pula yang menyebut sulukan pathet Sanga wetah. 46 M. Ng. Najawirangka, Jilid IV, 1958.
34
dengan sub-adegan gara-gara yang ditemukan dalam sampel lakon. Kontinuitas dan perubahan adegan gara-gara dalam lakonlakon yang disajikan oleh dalang-dalang yang diambil sebagai sampel dapat dilihat dari perbandingan ini. e. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kontinuitas dan perubahan adegan gara-gara Penelitian ini berada dalam wilayah Indonesia (Jawa) dan paling
tidak
dalam
rentang
waktu
tertentu
ketika
subyek
menyajikan lakon yang dianalisis. Paling tidak penelitian ini dapat melihat rentang waktu ketika buku Najawirangka diterbitkan pada tahun 1958 sampai dengan pasca-Reformasi pertengahan tahun 2000an.47 Agar dapat melihat kontinuitas dan perubahannya, penelitian ini memposisikan Ki Nartosabdo sebagai satu periode. Periode berikutnya adalah periode Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono, serta yang terakhir adalah periode Ki Purbo Asmoro. G. Sistematika Penulisan Penyajian penelitian ini mencakup enam bagian, masingmasing sebagai berikut. Bab I merupakan pengantar yang memuat tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teoretis, dan metode penelitian. Bab II berisi uraian struktur dramatik adegan
47
M. Ng. Najawirangka, Jilid IV, 1958.
35
gara-gara
dalam
beberapa
buku
pakem
pedalangan
yang
disiapkan untuk sekolah atau kursus pedalangan. Uraian dimulai dengan melihat pengertian gara-gara, sekilas tentang adegan garagara sebelum tahun 1958, struktur dramatik adegan gara-gara dan sub-adegan gara-gara, serta tokoh panakawan. Bab III menyajikan uraian dan pembahasan struktur dramatik adegan gara-gara
dari
Ki
Nartosabdo.
Bab
IV
berisi
uraian
dan
pembahasan adegan gara-gara dari Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Purbo Asmoro. Bab V menguraikan dan membahas dinamika adegan gara-gara serta faktor penyebab kontinuitas dan perubahan adegan gara-gara. Bab VI berisi kesimpulan yang memuat jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam rumusan masalah, implikasi konseptual, serta beberapa rekomendasi.