1
BAB I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Mengingat
Indonesia
merupakan
daerah
rawan
bencana,
maka
Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dirasa perlu dan harus disosialisasikan pada masyarakat Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya memperkuat PRB. Namun nampaknya UU tersebut belum dipahamisecara optimal oleh masyarakat. Bencana yang merupakan serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat kerapkali menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Sayangnya, dammpak dari manusia untuk mengatasi masalah bencana belum banyak dilakukan secara keberlanjutan (suistanable) dan sistematik sehingga korban bencana masih menunjukkan angka-angka yang relatif tinggi. Selama ini penanggulangan bencana di Indonesia masih berdifat responsif, yaitu baru melakukan penanganan pada saat dan setelah terjadinya bencana. Saat ini tengah terjadi pergeseran paradigma dalam penanggulangan bencana dari yang bersifat responsif menjadi perventif; yaitu melakukan upaya-upaya yang mengutamakan pengurangan resiko bencana melalui upaya-upaya : pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana (Ma’arif, 2010 : 4). Menurut Astuti dan Sudaryono (2010), Indonesia sebagai daerah rawan bencana masih memiliki tiga masalah utama yaitu masih rendahnya kinerja
2
penanganan bencana, masih rendahnya perhatian perlunya pengurangan resiko bencana, dan masih lemahnya peran sekolah dalam pendidikan mitigasi bencana. Peran sekolah dalam pendidikan mitigasi bencana dianggap merupakan hal yang penting mengingat bahwa anak-anak merupakan kelompok rentan yang dalam sebagian besar kejadian bencana menjadi korban. Posisi anak sebagai kelompok rentan telah termuat dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 pasal 48 dan 55. Selain itu, UndangUndang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam beberapa pasal telah mengatur bahwa anak-anak korban bencana merupakan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK). Pasal-pasal tersebut antara lain : a. Pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khsus kepada anak dalam situasi darurat. b. Pasal 60, dinyatakan antara lain bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak korban bencana alam. c. Pasal 62, dinyatakan bahwa perlindungan khusus tersebut dilaksanakan melalui : 1. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
3
2. Pemenuhan
kebutuhan
khusus
bagi
anak
yang
menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. Keseriusan penanganan dan perhatian terhadap anak dalam bencana didasarkan pada kenyataan bahwa mereka masih tergantung kepada orang dewasa. Pada saat terjadinya bencana masih sering ditemui di lapangan bahwa orang tua, guru, dan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap anak sering teralihkan perhatiannya, sehingga anak-anak yang seharusnya masih menjadi tanggung jawab perlindungan mereka seringkali tidak mendapat perhatian dan perlindungan yang memadahi pada saat ataupun setelah terjadinya bencana. Anak-anak di Indonesia seringkali merasa tidak berdaya karena tidak tahu harus melakukan apa tanpa orang tua/orang dewasa yang membantu mereka. Sebagai perbandingan, anak-anak di Jepang sejak usia dini telah dilatih untuk bagaimana harus bertindak dan menyelamatkan diri pada saat terjadinya bencana. Seperti yang kita ketahui, seperti halnya Indonesia, Jepang merupakan negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik sehingga kerap diguncang gempa bumi dan dilanda tsunami. Komitmen Jepang untuk pencegahan bencana terlihat melalui berbagai kegiatan yang salah satunya dilakukan dalam peringatan “National Disaster Prevention Day” atau Hari Pencegahan Bencana Nasional. Pada hari itu, anak-anak di sekolah Jepang serentak menggelar simulasi evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami. Orang tua pun dilibatkan dalam simulasi ini dengan menjemput anak-anak mereka di sekolah. Sekolah-sekolah Jepang memang dibangun di lokasi paling aman dan disiapkan menjadi pusat evakuasi
4
bagi
komunitas
di
sekitarnya
(Arif,
2013,
dalam
http://internasional.kompas.com/read/2013/09/01/2026286/Jepang.Serius.Mengur angi.Risiko.Bencana.Bagaimana.Indonesia.). Tidak hanya dilakukan dalam satu tahun sekali, ternyata upaya pengurangan resiko bencana yang melibatkan anakanak di Jepang sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta melalui organisasi-organisasi yang bergerak khusus dalam bidang pengurangan resiko bencana berbasis komunitas maupun sekolah. Salah satu Organisasi Pengurangan Resiko Bencana (OPRB) adalah Iza Kaeru Caravan. OPRB ini mengembangkan suatu pendidikan kebencanaan yang dikemas dalam konsep menyenangkan yang melibatkan anak, orangtua, dan keluarga lainnya. Salah satu permainannya adalah anak-anak diminta membawa mainain bekas dari rumah yang nantinya akan ditukar di Bank Kaeko (Bank mainan) dan dihargai dalam bentuk poin. Bagi mereka yang berani latihan pemadam api juga memperoleh poin. Setelah mengumpulkan poin, anak bisa membeli barang yang dilelang. Anak juga diajari memasak di dapur umum, membuat piring, mangkuk sendiri dari barang bekas karena di masa darurat akibat bencana sulit memperoleh wadah yang masih
utuh
(http://www.combine.or.id/2011/12/bokomi-tim-siaga-bencana-
berbasis-komunitas-ala-jepang/). Kondisi Indonesia yang tidak berbeda jauh dengan Jepang seharusnya dapat belajar dari keseriusan Jepang dalam menghadapi bencana. Tanggung jawab dalam menghadapi bencana tidak seharusnya hanya berada di tangan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pemerintah dinilai perlu untuk memprioritaskan
5
partisipasi masyarakat dalam program manajemen bencana. Dalam konteks penelitian ini, partisipasi anak dalam pengurangan resiko bencana perlu diprioritaskan. Pemriortiasan ini didasarkan akan pertimbangan mengenai pengaruh bencana yang diterima oleh anak memiliki dampak jangka panjang yang mempengaruhi perkembangan dan masa depan anak yang bersangkutan. Pelibatan anak secara langsung dalam upaya Pengurangan resiko Bencana dinilai mendesak karena kompleksitas kebutuhan anak dalam menghadapi bencana membutuhkan penanganan khusus, serta kebutuhan anak tidak dapat disamakan dengan kebutuhan orang dewasa. Sehingga pada saat terjadinya bencana, tidak dapat disimpulkan bahwa apabila kebutuhan orang dewasa (termasuk kebutuhan orang tua anak) telah terpenuhi, maka kebutuhan anak otomatis juga terpenuhi. Seturut dengan usia dan tahap pertumbuhannya, anak akan membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dalam kebutuhan fisik, sosial, mental, dan dukungan emosional yang berbeda dari orang dewasa (Peek, 2008 : 3). Banyak yang menilai bahwa anak yang menghadapi bencana pasti akan menjadi anak yang rapuh, namun ternyata pandangan tersebut salah. Tidak semua anak yang mengalami paparan bencana menjadi anak yang rapuh, sebagian dari mereka dapat kembali ke kehidupan normal seperti saat sebelum terjadinya bencana. Dalam konteks kerentanan anak, walaupun anak dikategorikan sebagai kelompok yang rentan terhadap bencana bukan berarti mereka sama sekali tidak resilien
(Peek,
2008).
Resiliensi
menunjukkan
kualitas
pribadi
yang
memungkinkan seseorang untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Fakta
6
tentang resiliensi begitu menarik sehingga penelitian mengenai resiliensi begitu gencar dilakukan di seluruh dunia. Penelitian tentang resiliensi pertama kali dilakukan pada tahun 1954 pada saat Emmy Werner menerbitkan hasil penelitiannya tentang resiliensi yang melibatkan sekelompok remaja yang lahir di Pulau Kaui, Hawaii selama hampir 5 dekade (Werner & Smith, dalam Diclemente et. al., 2009). Penelitian Werner dimulai dengan pertanyaan yang sederhana : Why some children did well socially and emotionally in the face of adversity? Pertanyaan Werner memicu sejumlah penelitian yang berlomba-lomba bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang serupa. Pada intinya penelitian mengenai resiliensi terfokus pada pertanyaan mengapa seseorang yang hidup dalam kesengsaraan dan tekanan dapat kembali sehat, sementara yang lain tidak. Cutuli & Masten (dalam Lopez, 2009) melakukan penelitian resiliensi yang kemudian berkembang menjadi penelitian pada individu yang memiliki resiko atau masalah perkembangan, termasuk di dalamnya anak-anak yang memiliki resiko karena latar belakang keluarga mereka (misalnya, memiliki orang tua dengan beberapa gangguan mental), dan pengalaman hidup (misalnya, kemiskinan atau kekerasan lingkungan). Penelitian resiliensi lebih banyak dikembangkan pada anak-anak dan remaha, karena anak-anak dan remaja adalah populasi utama dimana resiliensi terjadi pada rentang waktu tersebut (Ahern et al., dalam Resnick, Gwyther & Roberto, 2011).
7
Pentingnya penelitian resiliensi dikemukakan juga oleh Bernard, Burgoa, dan Wheldon (dalam Goldsten dan Brooks, 2005). Penelitian resiliensi merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya membangun komunitas yang mendukung pada pengembangan manusia berdasarkan hubungan saling membantu, juga untuk menunjukkan pada anak dan remaja akan kebutuhan stabilitas psikologis dan rasa memiliki. Pada saat manusia telah berkembang dengan memiliki stabilitas psikologis dan rasa memiliki, manusia dapat menghadapi berbagai kesulitan dan tannagna hidup terutama dalam hal ini adalah bencana yang mengancam kehidupan manusia. Dalam Handbook of Resilience children Goldstein & Brooks (2005) mengemukakan bahwa resiliensi adalah upaya mengurangi tingkat faktor-faktor resiko (risk factors) dan meningkatkan faktor-faktor pelindung (protective factors). Perlu diketahui bahwa baik secara langsung ataupun tidak, resiliensi mengurangi
timbulnya
kondisi
mudah
terserang
(vulnerabilities)
dan
meningkatkan kompetisi serta kekuatan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Pemerintah Indonesia telah serius dalam memperhatikan pentingnya perlindungan anak. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk perlindungan hukum yang telah dikeluarkan khusus bagi perlindungan anak, serta adanya kementrian di pemerintahan yang
berfokus pada perlindungan anak. Namun permasalahan
selama ini adalah, kurangnya implementasi perlindungan anak di tataran bawah, khususnya dalam menghadapi bencana. Salah satu realitas yang dapat dilihat adalah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Dari 35 kabupaten dan kota yang
8
berada di Jawa Tengah, Kabupaten Boyolali menempati peringkat kedua sebagai kabupaten yang paling banyak mengalami kejadian bencana dengan jumlah kejadian bencana sebanyak 192 kejadian dalam rentang tahun 2008 sampai 2011. Peringkat pertama diduduki oleh Kabupaten Klaten dengan jumlah 322 kejadian bencana. Berdasarkan pengamatan didapatkan fakta bahwa trend bencana di Kabupaten Boyolali semakin meningkat, dengan kejadian utama merupakan bencana yang memiliki korelasi dengan persoalan perubahan iklim dan bencana musiman (erupsi Gunung Merapi) (Wahyono dkk, 2012 : 159 ). Tingginya kerawanan bencana Kabupaten Boyolali ini tidak diimbangi dengan upaya pengurangan resiko bencana yang melibatkan partisipasi anak. Salah satu contohnya, selama tahun 2012 Badan Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten Boyolali (BPBD Boyolali) hanya memasukkan satu program Pengurangan Resiko Bencana yang melibatkan anak-anak. Hampir 90% lainnya merupakan program Pengurangan Resiko Bencana yang melibatkan orang dewasa (Sumber : Data Kegiatan BPBD Kabupaten Boyolali tahun 2012). Tentu saja minimnya pelibatan partisipasi anak dalam pengurangan resiko bencana di Kabupaten Boyolali sangat disayangkan.
Sejak tahun 2007,
Kabupaten Boyolali bersama dengan Kota Semarang telah dinominasikan untuk menyandang gelar Kota & Kabupaten Layak Anak menyusul kota Solo, Jambi, Gorontalo,dan
Sidoarjo
(Priyanto,
2007
dalam
http://suaramerdeka.com/harian/0708/04/kot03.htm). Dan pada akhir tahun 2013 lalu, Boyolali telah resmi mencanangkan diri sebagai Kabupaten Layak anak. KLA bertujuan agar anak terjamin pemenuhan haknya sesuai dengan
9
Konvensi Hak Anak dan Undang Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, serta diharapkan anak dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Pemenuhan hak anak di Kabupaten Boyolali difokuskan pada bidang pendidikan dan kesehatan, serta pelibatan anak dalam Musyawarah rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten dan Forum Gabungan SKPD (Assegaf, 2014 : 9). Sayangnya belum nampak adanya kesadaran akan pentingnya pemenuhan hak anak dalam mendapatkan informasi mengenai bencana serta pelibatan mereka dalam upaya Pengurangan Resiko Bencana. Penelitian ini akan dikhususkan pada anak berusia 13 – 14 tahun yang sedang menempuh pendidikan kelas VIII SMP. Pengkhususan ini mengingat bahwa anak usia tersebut sudah dapat dan mampu untuk diajak bekerjasama terutama dalam pengisian kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Selain alasan tersebut, menurut teori perkembangan anak oleh Piaget kelompok anak dengan usia 13 -14 tahun telah berada dalam periode operasi formal, dimana anak telah dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa abstrak, tidak hanya dengan objek-objek konkrit. Penelitian mengenai resiliensi anak di Kecamatan Selo ini akan difokuskan pada faktor-faktor resiko dan faktor-faktor pelindung yang mempengaruhi tingkat resiliensi anak. Tujuannya adalah bagaimana mengelola faktor-faktor resiko agar berada pada level seminimal mungkin, dan memaksimalkan faktor pelindung yang mendorong terwujudnya resiliensi pada anak. Upaya pemaksimalan faktor pelindung dalam resiliensi anak nantinya diharapkan dapat menjadi saran khususnya pada Pemerintah Daerah Kabupaten
10
Boyolali untuk menjadi batu pijakan dalam membangun kebijakan lanjutan yang menempatkan perlindungan anak sebagai fokus utama dalam tujuan pemenuhan hak anak sebagai syarat Kabupaten Layak Anak umumnya, dan upaya pelibatan aktif anak dalam Pengurangan Resiko Bencana khususnya. 1.2 Permasalahan Penelitian 1. Bagaimana tingkat ketangguhan mental (resiliensi) anak di Kecamatan Selo dalam menghadapi bencana? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketangguhan mental anak di Kecamatan Selo dalam menghadapi bencana? 3. Apa saja rekomendasi yang dapat ditawarkan berdasarkan faktor-fakor tersebut agar dapat digunakan sebagai salah satu upaya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana? 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai resiliensi anak telah banyak dilakukan sebelumnya. Namun penelitian tentang resiliensi anak yang berhubungan dengan bencana masih sangat minim dilakukan. Secara lebih khusus, penelitian mengenai resiliensi anak dalam menghadapi bencana di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali belum pernah diteliti sebelumnya. Walaupun banyak penelitian memiliki variabel yang sama, namun setiap penelitian memiliki inti permasalahan dan hasil penelitian yang berbeda-beda. Penelitian ini lebih menekankan pada aspek manajemen bencana, yaitu mencoba mengungkap faktor resiliensi apa yang memiliki peran terbesar yang mempengaruhi resiliensi anak, dan setelah
11
mengetahuinya maka akan diupayakan pengelolaan terhadap faktor tersebut untuk memperkuat tahap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Berikut beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan resiliensi, antara lain : Tesis berjudul “Kajian Penghidupan (livelihood) Masyarakat Akibat Banjir Lahar Hujan Kali Putih di Desa Sirahan Kecamatan Salam Kabupaten Magelang” oleh Rindu Alam Rinjani (2013), memiliki tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perubahan kondisi penghidupan pasca bencana dan dari perubahan tersebut dikaitkan dengan tingkat resiliensi oleh masing-masing individu dalam upaya pemulihan penghidupan tersebut. Hasil data dalam penelitian ini dianalisis degan menggunakan analisis regresi berganda dengan variabel independen adalah kondisi penghidupan dan variabel dependen adalah resiliensi. Hasil dari penelitian dengan menggunakan instrumen kuesioner tersebut menunjukkan bahwa kondisi penghidupan masyarakat pasca bencana mengalami perubahan. Tingkat resiliensi masyarakat pasca bencana berada pada level sedang dan tinggi, tidak ada masyarakat pada masing-masing desa dengan resiliensi yang rendah, dimana kondisi tersebut dapat terjadi karena faktor resiliensi berkaitan dengan kondisi psikologis sehingga faktor yang ada dalam individu bersumber dari diri individu itu sendiri. Penelitian Muallifah (2009) mengenai Pengaruh Dukungan Sosial dan Resiliensi terhadap Motivasi Berprestasi Siswa Survivor Gempa Yogyakarta, memiliki tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial dan resiliensi terhadap motivasi berprestasi siswa survivor gempa Yogyakarta. Penelitian yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi ini
12
menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial dan resiliensi terhadap motivasi berprestasi siswa survivor gempa Yogyakarta. Penelitian Munauwarah (2008) yang berjudul “Tipe Kepribadian Tangguh, Harga Diri, Dukungan Sosial, dan Resiliensi pada Remaja Penyintas Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta” memiliki tujuan penelitian untuk membuktikan secara empiris hubungan antara tipe kepribadian tangguh, harga diri dan dukungan sosial dengan resiliensi (resiliensi trauma dan resiliensi depresi) pada remaja penyintas bencana, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi dan korelasi parsial, yang kemudian menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepribadian tangguh, harga diri, dan dukungan sosial dengan resiliensi. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Mengkaji tingkat resiliensi anak di Kecamatan Selo dalam menghadapi bencana. 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi anak di Kecamatan Selo dalam menghadapi bencana. 3. Memberikan rekomendasi yang dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali khususnya, dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesiapsiagaan anak dalam menghadapi bencana. 1.5 Manfaat Penelitian
13
Manfaat penelitian meliputi beberapa aspek yaitu sebagai berikut : 1. Bagi Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman, pengetahuan, dan informasi terutama tentang manajemen bencana khususnya pada tahap prabencana dalam meningkatkan kesiapsiagaan untuk meningkatkan resiliensi anak. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi anak yang apabila dikelola dengan baik dapat berguna untuk mengurangi paparan resiko terhadap anak dalam menghadapi bencana. 2. Bagi Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan rujukan dan pertimbangan dalam melaksanakan proses kesiapsiagaan khususnya terhadap anak sebagai kelompok rentan dengan mengelola faktor-faktor yang memperkuat resiliensi. 3. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai peningkatan resiliensi anak serta pengelolaan faktor-faktor protektifnya yang bereguna dalam pengurangan resiko bencana. 1.6 Hipotesis Penelitian Dari pengantar penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Tingkat resiliensi anak dipengaruhi oleh faktor internal (faktor individu) dan faktor eksternal (faktor keluarga dan faktor lingkungan masyarakat).