1
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah Perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan persamaan hak di semua bidang kehidupan telah membuahkan hasil. Saat ini, kaum perempuan dapat mengakses pendidikan yang setara dengan laki-laki, dapat berkiprah di ranah publik, mempunyai hak suara, dan dapat menjadi pemimpin. Bahkan, di ranah domestik, perempuan memperoleh kemudahan dalam menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, yaitu dengan adanya jasa pembantu rumah tangga, babysitter, dan tempat-tempat penitipan anak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sommers (via Rosenstand, 2000:436) bahwa kaum perempuan, saat ini, telah sadar politik, menaruh perhatian pada persamaan gender, dapat menentukan profesi yang mereka inginkan dalam kehidupannya, seperti berkiprah di ranah publik dan domestik atau pun berperan sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya. Namun, di sisi lain, sampai saat ini, perjuangan tersebut belum berhasil menghapuskan konstruksi-konstruksi negatif masyarakat yang berkaitan dengan peran perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik serta konstruksi masyarakat tentang tingkah laku dan sifat yang seharusnya dimiliki oleh perempuan dan laki-laki yang dikenal dengan istilah femininitas dan maskulinitas. Kedua istilah tersebut, pada kenyataannya, tidak dikonstruksi sebagai dua hal yang setara, yang terdapat dalam diri manusia perempuan dan laki-laki, tetapi dikonstruksi sebagai dua hal yang berbeda dan berlawanan. Konstruksi-konstruksi
1
2
tersebut kemudian disebut dengan konstruksi gender karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku tersebut dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, dan adat-istiadat (Tim Penyusun, 2002:4). Dalam kehidupan kaum perempuan, peran dan sifat mereka di masyarakat merupakan hal penting karena memengaruhi pengalaman hidup mereka. Perempuan yang telah berusia lebih dari 30 tahun, misalnya, yang memilih berkarier dan menghabiskan waktunya untuk bekerja daripada menikah akan mendapat perhatian khusus dari masyarakat, bahkan distigmakan negatif. Mereka distigmakan sebagai perempuan yang tidak laku, perempuan yang sinis dengan laki-laki, bahkan dicurigai mempunyai seksualitas menyimpang. Terkait dengan hal tersebut, Udasmoro (2009:108) mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak menikah menjadi kelompok yang marjinal, terutama secara simbolik. Di ranah domestik, perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, dan sebagai ibu dituntut untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah meskipun telah menyewa pembantu rumah tangga dan babysitter, bahkan hal tersebut terkadang memunculkan stigma negatif. Perempuan yang menghabiskan waktunya berperan di ranah domestik, tetapi memiliki pembantu rumah tangga atau babysitter terkadang dipandang sebagai perempuan yang kurang bertanggung jawab karena mereka tidak mempunyai kesibukan di luar rumah, tetapi tidak mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah, sedangkan suami mereka sibuk bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Hal tersebut terjadi
3
karena peran perempuan dan laki-laki telah dikonstruksi oleh masyarakat berdasarkan perbedaan seksual, terutama yang berkaitan dengan organ-organ reproduksi. Secara seksual, perempuan dicirikan sebagai makhluk yang mempunyai vagina dan organ-organ reproduksi khusus, yaitu uterus, ovarium, dan payudara sehingga perempuan dapat melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki dicirikan sebagai manusia yang memiliki penis, memiliki jakun, memproduksi sperma, dan tidak mempunyai organ-organ reproduksi khusus seperti kaum perempuan. Perbedaan tersebut kemudian mendasari munculnya perbedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Perempuan yang memiliki organ-organ reproduksi khusus kemudian terikat dengan peran dan tanggung jawab utama di ranah domestik, yaitu sebagai penghasil keturunan dan sebagai ibu yang merawat anak dan mengerjakan urusan rumah tangga. Adapun laki-laki berperan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab mencari nafkah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Udasmoro (2009:102) yang mengatakan bahwa kenyataan tentang perempuan sebagai grup yang memiliki fungsi-fungsi reproduksi kemudian memperkokoh peran perempuan di sektor domestik karena mereka selalu dihubungkan dengan kelahiran dan pengasuhan anak. Selain hal di atas, hal lain yang berkaitan dengan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang juga dipengaruhi oleh perbedaan seksual adalah konstruksi masyarakat tentang sifat yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki yang kemudian dikenal dengan istilah femininitas dan maskulinitas. Hal tersebut seperti pendapat Beere (1990:21) yang mengatakan bahwa peran gender
4
merupakan istilah yang merujuk pada femininitas dan maskulinitas. Dalam kehidupan masyarakat, femininitas dan maskulinitas dipandang sebagai nilai-nilai yang berbeda dan bertentangan, bahkan kedua nilai tersebut dikonstruksi sebagai nilai yang tetap dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Femininitas dikonstruksikan sebagai nilai yang melekat pada perempuan, sedangkan maskulinitas melekat pada laki-laki, padahal kedua nilai tersebut terdapat dalam diri setiap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bem (via Lippa, 2002:44—45) yang menunjukkan bahwa dalam diri setiap perempuan dan laki-laki terdapat sifat feminin dan maskulin, namun dengan level yang berbeda. Level maskulinitas seseorang tidak berhubungan dengan level femininitas dalam dirinya, sebaliknya level femininitas tidak berhubungan dengan level maskulinitas yang terdapat dalam diri perempuan dan laki-laki. Namun, pada kenyataannya, perbedaan seksual yang berkaitan dengan organ-organ reproduksi menempatkan femininitas dan maskulinitas sebagai dua hal yang seolah-olah merupakan kodrat Tuhan YME. Hal tersebut kemudian menimbulkan permasalahan dalam kehidupan perempuan, terutama yang berkaitan dengan relasi mereka dengan kaum laki-laki. Meskipun saat ini, perempuan dapat berperan seperti laki-laki, yaitu mencari nafkah dan menduduki jabatan sebagai seorang pemimpin, tetapi mereka tetap dikonstruksikan sebagai makhluk yang feminin dan diposisikan sebagai pihak kedua, sedangkan pihak pertama adalah mereka yang dikonstruksikan sebagai makhluk yang maskulin, yang memegang kekuasaan, yaitu laki-laki. Begitu juga dalam kehidupan rumah
5
tangga, seorang istri yang juga berkiprah di ranah publik dan mempunyai pendapatan sendiri tetap dibebani dengan peran dan tanggung jawab utama yang bernilai feminin, yaitu sebagai ibu dan istri. Hal itu disebabkan masyarakat masih memandang kiprah perempuan di ranah publik sebagai pekerjaan tambahan dan bukan peran utama. Selain itu, ranah publik dianggap sebagai ranah kekuasaan laki-laki, ranah yang maskulin sehingga mereka yang feminin lebih layak untuk berada di ranah domestik. Dengan demikian, di ranah domestik, suami tetap berperan sebagai kepala rumah tangga yang mencari nafkah sehingga dianggap tidak layak dibebani dengan tanggung jawab pekerjaan domestik. Hal ini kemudian memunculkan pembagian kerja yang tidak seimbang. Terkait dengan hal tersebut, Budianta (1998:12) mengatakan bahwa mitos perempuan super yang dapat berperan ganda tidak diimbangi oleh pembagian peran yang lebih melibatkan partisipasi laki-laki dalam mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Di sisi lain, meskipun aktivitas perempuan di ranah domestik dan publik membuat mereka berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan perempuan pekerja, hal tersebut tetap mereka lakukan. Salah satu alasan yang mendasari hal tersebut adalah peran perempuan di ranah publik menjadi sarana penting dalam pembentukan harga diri dan kebanggaan pribadi. Hal itu disebabkan masyarakat masih memandang pekerjaan di ranah publik sebagai pekerjaan yang bernilai, terutama nilai ekonomi daripada pekerjaan di ranah domestik. Permasalahan-permasalahan seperti di atas, ternyata menginspirasi pengarang perempuan untuk mengangkat masalah tersebut dalam karya sastra.
6
Hal itu disebabkan karya sastra dapat menjadi media untuk menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan pengalaman dan kehidupan perempuan secara tertulis, termasuk permasalahan yang berkaitan dengan femininitas, maskulinitas, dan peran gender. Bahkan, menurut Budianta (1998:12), karya sastra ikut berpartisipasi dalam mendukung, membentuk atau menggugat ideologi gender dalam masyarakatnya. Dengan demikian, karya sastra dapat menjadi alat perjuangan bagi kaum perempuan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih adil, setara, dan harmonis, baik di ranah domestik maupun di ranah publik. Salah satu karya sastra yang mengangkat permasalahan tentang femininitas, maskulinitas, dan peran gender adalah Tiga Venus karya Clara Ng. Clara Ng merupakan nama pena dari Clara Regina Juana yang lahir di Jakarta pada 28 Juli 1973. Lulusan Ohio State University, Amerika, Jurusan Interpersonal Communication ini belajar menulis dari ratusan buku yang telah dibacanya; dari pengalaman hidup yang diperolehnya; dan dari imajinasi anak-anaknya. Hal itulah yang mendorong Clara Ng menulis karya-karya yang bergenre anak-anak, metropop, novel dewasa, cerpen, bahkan skenario film. Beberapa hasil karyanya yang bergenre anak-anak telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, salah satunya berjudul Gaya Rambut Pascal yang berhasil memperoleh penghargaan Adikarya Ikapi Award 2006. Karya-karya lain yang telah diterbitkan, seperti Tujuh Musim Setahun, Indiana Chronicle: Blues, Indiana Chronicle: Lipstick, Indiana Chronicle: Bridesmaid, Tiga Venus, The (Un) Reality Show, Dinsum Terakhir, Utukki: Sayap Para Dewa, Gerhana Kembar, Tea for Two, Seri Berbagi Cerita
7
Berbagi Cinta, Seri Sejuta Warna Pelangi, dan Stories From The Heart Series (Clara, 2007:6 dan 294). Tiga Venus merupakan novel bergenre metropop yang mengangkat kehidupan dan pengalaman tiga tokoh perempuan yang berbeda. Di masa ketika perempuan, termasuk perempuan menikah mempunyai kesempatan luas untuk berkiprah di ranah publik, bahkan meraih jabatan tinggi, ternyata, kehidupan perempuan tetap terikat oleh nilai-nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat. Nilainilai itu berkaitan erat dengan sifat dan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Clara Ng mengisahkan bahwa perempuan yang berkiprah di ranah publik dan belum menikah sampai usia di atas 30 tahun distigmakan negatif oleh masyarakat meskipun ia berhasil mencapai kesuksesan secara ekonomi, berhasil meraih jabatan tinggi, bahkan hidup mandiri. Terkadang, mereka mendapat sebutan perawan tua yang mempunyai konotasi negatif daripada perjaka tua. Perempuan dengan sebutan perawan tua distigmakan sebagai perempuan yang tidak laku, pemilih, dan sinis dengan kehidupan rumah tangga. Mereka masih dianggap sebagai pihak yang tidak lazim, bahkan dianggap kurang produktif dalam hal menghasilkan keturunan. Clara Ng juga menceritakan tentang stigma negatif yang dilekatkan pada perempuan yang telah menikah yang berperan sebagai istri dan ibu, tetapi mempunyai pembantu rumah tangga dan babysitter untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Perempuan tersebut distigmakan sebagai perempuan yang kurang bertanggung jawab karena tidak mampu mengerjakan semua peran yang
8
menjadi tanggung jawab utamanya, padahal mereka tidak bekerja di ranah publik dan semua kebutuhannnya telah dicukupi oleh sang suami. Dalam Tiga Venus, perempuan yang berkiprah di ranah publik dan meraih kesuksesan dihadirkan oleh Clara Ng sebagai perempuan yang lebih mandiri dan berjiwa pemimpin, sedangkan perempuan yang berkiprah di ranah domestik dihadirkan sebagai perempuan yang lebih bersifat penuh kasih sayang, lemahlembut, sabar, dan pengalah. Meskipun demikian, ketiga tokoh dalam Tiga Venus, baik yang bekerja di ranah publik maupun di ranah domestik dihadirkan sebagai perempuan pekerja yang mandiri, terutama dari segi ekonomi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kategori feminin dan maskulin berkaitan erat dengan peran yang dijalankan oleh setiap perempuan. Selain itu, Clara Ng juga menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak hanya memiliki nilai-nilai femininitas, seperti kasih sayang, lemah lembut, sabar, dan pengalah, tetapi juga memiliki nilai-nilai maskulinitas seperti yang dilekatkan oleh masyarakat pada kaum laki-laki, yaitu jiwa kepemimpinan dan kemandirian. Nilai-nilai femininitas dan maskulinitas itu pun berpengaruh dalam kehidupan masing-masing tokoh perempuan, terutama dalam menjalankan peran mereka di masyarakat. Femininitas dan maskulinitas yang dalam masyarakat dianggap sebagai dua nilai yang bertentangan, ternyata, terdapat dalam diri setiap perempuan, tetapi dengan kualitas yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti yang diceritakan oleh Clara Ng dalam Tiga Venus. Dalam Tiga Venus, Clara Ng menceritakan bahwa relasi yang terjalin dalam kehidupan perempuan, baik di ranah domestik maupun di ranah publik
9
dapat memengaruhi kualitas femininitas dan maskulinitas perempuan. Selain itu, pengalaman masa lalu, terutama pengalaman yang berdampak buruk dalam kehidupan perempuan seperti kekerasan di ranah domestik dapat juga berpengaruh dalam pembentukan nilai-nilai femininitas dan maskulinitas dalam diri perempuan. Dengan demikian, nilai-nilai femininitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan peran gender, terutama dalam kehidupan perempuan merupakan hal yang dapat berubah karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan alasan pemilihan Tiga Venus sebagai objek penelitian. Pertama, Tiga Venus menghadirkan permasalahan tentang femininitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan peran gender serta pengaruhnya dalam kehidupan perempuan. Kedua, Tiga Venus menghadirkan faktor-faktor yang memengaruhi femininitas dan maskulinitas dalam kehidupan perempuan, salah satunya adalah faktor relasi gender dalam kehidupan di ranah publik dan kehidupan di ranah domestik. Adapun teori yang dipakai untuk menganalisis Tiga Venus adalah teori yang berkaitan dengan femininitas, maskulinitas, dan peran gender. Teori yang dipakai disesuaikan dengan masalah yang muncul dalam analisis, yaitu tentang konstruksi-konstruksi masyarakat yang berkaitan dengan femininitas dan maskulinitas perempuan dalam menjalankan perannya, baik di ranah publik maupun di ranah domestik serta faktor-faktor yang memengaruhi femininitas dan maskulinitas dalam diri perempuan. Selain itu, dalam analisis ini akan diuraikan femininitas, maskulinitas, dan peran gender dari sudut pandang pengarang.
10
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimanakah hubungan femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam kehidupan perempuan yang dihadirkan dalam Tiga Venus? 2. Bagaimanakah
hubungan
femininitas
dan
maskulinitas
dengan
pengalaman hidup tiga tokoh perempuan dalam peran yang berbeda? 3. Apa sajakah faktor-faktor yang memengaruhi femininitas dan maskulinitas tiga tokoh perempuan dalam Tiga Venus? 4. Bagaimanakah femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam Tiga Venus dideskripsikan dari sudut pandang pengarang?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan hubungan femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam kehidupan perempuan yang dihadirkan dalam Tiga Venus; (2) mendeskripsikan hubungan femininitas dan maskulinitas dengan pengalaman hidup tiga tokoh perempuan dalam peran yang berbeda; (3) mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi femininitas dan maskulinitas tiga tokoh perempuan dalam Tiga Venus; dan (4) mendeskripsikan pandangan pengarang tentang femininitas, maskulinitas, dan peran gender yang terdapat dalam novel Tiga Venus. Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pembaca tentang pemikiran-pemikiran perempuan yang berkaitan dengan masalah femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam karya sastra, terutama dalam Tiga Venus karya Clara Ng.
11
1.4 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang diketahui mengangkat masalah gender sebagai berikut. Pertama, skripsi berjudul “Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya N.H. Dini: Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis” yang ditulis oleh Desy Arsianty, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (2009). Penelitian dalam skripsi tersebut bertujuan untuk menganalisis manifestasi ketidakadilan gender; menganalisis persoalan kekerasan dalam rumah tangga; dan menganalisis usaha-usaha yang dilakukan tokoh perempuan untuk melepaskan diri dari persoalan kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan landasan teori berupa konsep tentang feminisme secara umum, kritik sastra feminis, serta konsep tentang gender dan jenis kelamin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketidakadilan gender dalam
novel
Argenteuil
Hidup
Memisahkan
Diri
karya
N.H.
Dini
termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja. Kemudian, faktor-faktor yang memicu terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah faktor budaya, pemahaman tentang ajaran agama, faktor ekonomi, dan politik. Adapun alasan yang mendasari tokoh utama menuntut perceraian adalah adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam waktu yang lama; kepercayaan terhadap takdir Tuhan; keyakinan akan dapat hidup mandiri; keinginan memperoleh kebebasan; dan adanya dukungan dari sahabat serta anak-anak.
12
Kedua, skripsi berjudul “Citra Perempuan dalam Perspektif Gender: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Terhadap Novel Api Awan Asap, Bunga, dan Upacara Karya Korrie Layun Rampan” yang ditulis oleh Erna Wahyuni, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (2010). Dalam skripsi tersebut, penulis menganalisis citra perempuan dalam perspektif gender dan dengan pendekatan kritik sastra feminis, yaitu feminisme psikoanalisis. Melalui pendekatan tersebut diketahui bahwa citra perempuan dalam tiga novel karya Korrie Layun Rampan bergerak menuju masyarakat yang androgini, yaitu masyarakat yang seutuhnya merupakan campuran sifat-sifat positif feminin dan maskulin. Ketiga, skripsi berjudul “Perlawanan Perempuan Terhadap Ketidakadilan Gender: Tinjauan Kritik Sastra Feminis dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari” yang ditulis oleh Asep Dikdik Sodikin, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (2011). Penelitian dalam skripsi tersebut bertujuan untuk menganalisis ketidakadilan gender dan implikasinya serta menganalisis perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender dalam novel Entrok. Kedua masalah tersebut dianalisis berdasarkan pendekatan kritik sastra feminis, yaitu feminisme postmodern yang difokuskan pada pendapat Helene Cixous tentang tulisan perempuan (e criture feminine) dan berdasarkan konsep gender yang terdiri atas stereotip, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban kerja. Dari hasil analisis diketahui bahwa perempuan menulis gagasan perlawanan terhadap ketidakadilan gender dengan menyuarakan beragam fakta
13
yang dialaminya dari sudut pandang mereka, seperti ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam stereotip, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban kerja. Kemudian, realitas ketertindasan yang disuarakan perempuan melalui ketidakadilan
gender
mencakup keterbatasan
untuk bertindak,
memilih,
memegang prinsip hidup yang diungkapkan apa adanya, seksualitas, dan tubuh. Adapun perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender dalam skripsi ini dilakukan dengan membuat tahapan-tahapan membangun perlawanan berupa penguasaan perempuan terhadap bidang pendidikan dan ekonomi di sektor publik dan domestik. Keempat, artikel berjudul “Representasi Peran dan Relasi Gender dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan dan Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu” yang ditulis oleh Wiyatmi (2009). Dalam artikel tersebut Wiyatmi mendeskripsikan relasi gender dan peran gender yang terdapat dalam Cantik Itu Luka dan Nayla. Selain itu, ia juga mendeskripsikan perbedaan visi kedua pengarang dalam memandang relasi gender dan peran gender tersebut. Analisis dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif dan didasarkan pada teori kritik sastra feminis. Dari
hasil
analisis
diketahui
bahwa
novel
Cantik
Itu
Luka
merepresentasikan relasi gender yang didominasi oleh kekuatan patriarki. Selain itu, perempuan masih ditempatkan pada posisi yang inferior. Adapun novel Nayla merepresentasikan relasi gender yang mengarah pada perempuan superior, yaitu perempuan yang mencoba untuk melawan kekuatan patriarki. Novel Cantik Itu Luka juga merepresentasikan peran gender yang didominasi oleh kekuatan
14
patriarki, terutama di ranah publik, sedangkan novel Nayla merepresentasikan perempuan yang berusaha melawan dominasi patriarki melalui representasi relasi dan peran gender yang cenderung mengunggulkan perempuan. Setelah menguraikan tiga skripsi di atas diketahui perbedaan antara ketiga analisis tersebut dengan analisis terhadap Tiga Venus karya Clara Ng. Analisis terhadap Tiga Venus dilakukan berdasarkan konsep femininitas, maskulinitas, dan peran gender yang disampaikan oleh Kate Millett dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics, sedangkan dalam tiga skripsi di atas, pendekatan yang dipakai adalah konsep gender yang berkaitan dengan ketidakadilan gender dan kritik sastra feminis yang difokuskan pada pandangan feminisme psikoanalisis dan feminisme postmodern. Kemudian, dalam artikel yang ditulis oleh Wiyatmi, analisis relasi dan peran gender didasarkan pada kritik sastra feminis, yaitu feminisme radikal, sedangkan analisis dalam Tiga Venus didasarkan pada konsep femininitas dan maskulinitas yang berkaitan dengan peran dan relasi gender. Selain itu, analisis juga dilakukan untuk mendeskripsikan femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam Tiga Venus dari sudut pandang pengarang.
1.5 Landasan Teori Untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan femininitas, maskulinitas, dan peran gender yang terdapat dalam Tiga Venus dipakai teori politik seksual yang disampaikan oleh Kate Millett dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics. Kate Millett bernama lengkap Katherine Murray Millett. Ia dilahirkan di St. Paul, Minnesota pada 14 September 1934. Millett merupakan salah satu tokoh penting dalam gelombang feminisme kedua, yaitu sekitar 1960-
15
an s.d. 1970-an. Bukunya yang berjudul Sexual Politics merupakan disertasi yang berhasil
diterbitkan
pertama
kali
pada
Agustus
1970
(http://womenshistory.about.com/od/feminism/a/sexual_politics.htm). Dalam bukunya tersebut, Millett mengubah cara pandang pembaca tentang politik seksual dan patriarki. Diawali dengan menghadirkan konstruksi historis ideologi patriarki seperti yang dikenal oleh masyarakat saat ini, Millett kemudian mengidentifikasi munculnya politik seksual yang berkaitan erat dengan ideologi patriarki tersebut dalam kesusastraan dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum perempuan. Selain itu, melalui buku tersebut, Millett menganalisis struktur diskriminasi dan dominasi yang dibentuk oleh masyarakat melalui bahasa dan pencitraan. Ia juga menganalisis karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki, seperti D.H. Lawrence, Henry Miller, Norman Mailer, dan Jean Genet yang difokuskan pada citra perempuan yang terdegradasi (Millett, 2000:237—361). Dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki, D.H. Lawrence, misalnya, bentuk-bentuk politik seksual ditampilkan dengan kuat, tetapi Lawrence berhasil menyampaikan hal tersebut secara halus. Ia menyampaikan dan meyakinkan pesan-pesan maskulin, seperti supremasi dan dominasi laki-laki melalui kesadaran perempuan yang feminin, yaitu yang pasif, kurang berpendidikan, dan lebih berorientasi ke ranah domestik. Melalui hal tersebut, Lawrence meyakinkan pembaca bahwa laki-laki merupakan individu yang aktif, sedangkan perempuan pasif. Hal tersebut sesuai dengan mitos teori nature yang menyatakan bahwa sifat-sifat dalam diri perempuan yang kemudian disebut
16
sebagai nilai-nilai femininitas merupakan hal yang dibawa sejak lahir dan bukan sesuatu yang dibentuk dan dipelajari (Millett, 2000:239—241). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa teori yang disampaikan Millett dalam Sexual Politics merupakan hasil analisis terhadap beberapa karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa Millett mempunyai perhatian terhadap karya sastra yang menurutnya merepresentasikan dominasi
laki-laki
dan
subordinasi
perempuan.
Representasi
tersebut
merefleksikan hal-hal serupa yang terjadi di dunia nyata. Selain itu, perbedaan seksual dan ideologi patriarki menjadi faktor penting yang membentuk diskriminasi dan dominasi dalam masyarakat, terutama terhadap kaum perempuan. Dalam bukunya Sexual Politics, Millett mendefinisikan politik sebagai istilah yang mengacu pada struktur hubungan kekuasaan, yaitu ketika pengaturan terhadap kelompok manusia dikontrol oleh kelompok manusia yang lain (2000:23). Kemudian, Millett mendefinisikan seks sebagai kategori status yang mempunyai implikasi politik (2000:24). “The term ‘politics’ shall refer to power-structured relationships, arrangements whereby one group of persons is controlled by another.” (Millett, 2000:23)
“…sex is a status category with political implications.” (Millett, 2000:24) Seks dalam hal ini merupakan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang tidak hanya didasarkan pada perbedaan alat kelamin, tetapi
17
menyangkut perbedaan organ-organ reproduksi, hormon, dan kromosom dalam tubuh perempuan dan laki-laki. Dalam masyarakat patriarki, seks kemudian menjadi dasar terbentuknya struktur hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Millett mengatakan bahwa kekuasaan seksual menjadi sebuah ideologi yang meresap ke dalam budaya dan menjadi konsep pokok tentang kekuasaan (2000:25). Hal tersebut menurut Millett dipengaruhi oleh masyarakat yang patriarkis. Dalam bidang kehidupan manusia, seperti militer, industri, teknologi, pendidikan, ilmu pengetahuan, lembaga politik, dan keuangan, serta di setiap lembaga kekuasaan dalam masyarakat terdapat kebijakan kekuasaan yang memaksa, yang dikuasai oleh kaum laki-laki (2000:25). “…sexual dominion obtains nevertheless as perhaps the most pervasive ideology of our culture and provides its most fundamental concept of power.” (Millett, 2000:25) “This is so because our society, like all other historical civilizations, is a patriarchy. The fact is evident at once if one recalls that the military, industry, technology, universities, science, political office, and finance-in short, every avenue of power within the society, including the coercive force of the police, is entirely in male hands.”
(Millett, 2000:25) Dalam hal ini, patriarki didefinisikan oleh Millett sebagai institusi sosial yang tetap dan mengakar kuat untuk menjalankan bentuk-bentuk politik, sosial, atau ekonomi, dalam kasta atau kelas, feodal atau birokrasi (2000:25). Millett juga mengatakan bahwa patriarki bagaikan endemi dalam kehidupan sosial manusia yang dapat dijelaskan dan tidak terelakkan atas dasar fisiologi manusia (2000:27).
18
“While patriarchy as an institution is a social constant so deeply entrenched as to run through all other political, social, or economic forms, whether of caste or class, feudality or bureaucracy, ….” (Millett, 2000:25) “It is often assumed that patriarchy is endemic in human social life, explicable or even inevitable on the grounds of human physiology.” (Millett, 2000:27) Lebih lanjut Millett mengatakan bahwa sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan merupakan warga negara minoritas. Minoritas dalam hal ini tidak didefinisikan berdasarkan jumlah, tetapi berdasarkan status mereka dalam masyarakat. Grup minoritas ini didefinisikan sebagai grup manusia yang karena kondisi fisik atau sifat budayanya diperlakukan khusus dari yang lain dalam masyarakat, yaitu mereka hidup sebagai yang beda dan menerima perlakukan yang tidak sama (2000:55). “As women in patriarchy are for the most part marginal citizens when they are citizens at all, their situations is like that of other minorities, here defined not as dependent upon numerical size of the group, but on its status. ‘A minority group is any group of people who because of their physical or cultural characterictics, are singled out from others in the society in which they live for differential and unequal treatment.” (Millett, 2000:55) Dengan demikian, berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Millett tentang seks dan politik dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan politik seksual adalah hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki sebagai implikasi dari perbedaan seksual yang dipengaruhi oleh sistem patriarki dalam masyarakat. Dalam hal ini, ideologi patriarki melebih-lebihkan adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Ideologi ini kemudian memastikan
19
dominasi laki-laki dan peranan yang rendah bagi perempuan. Terkait hal tersebut, Millett mengatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, politik seksual memperoleh persetujuan masyarakat melalui proses sosialisasi yang dilakukan terhadap kaum perempuan maupun laki-laki. Hal ini kemudian menjadi dasar pembedaan antara perempuan dan laki-laki yang didasarkan pada tiga dimensi, yaitu temperament, role, dan status (2000:26). “Sexual politics obtains consent through the ‘socialization’ of both sexes to basic patriarchal polities with regard to temperament, role, and status.” (Millett, 2000:26) Dimensi pertama adalah temperament. Menurut Millett, temperament meliputi formasi kepribadian manusia sepanjang garis stereotip berdasarkan kategori seks, yaitu feminin dan maskulin serta didasarkan pada kebutuhan dan nilai kelompok yang dominan. Menurut Millett, femininitas pada perempuan adalah kepasifan, ketidaktahuan, kejinakan, kebajikan, dan ketidakefektifan, sedangkan maskulinitas pada laki-laki adalah keagresifan, intelegensi, kekuatan, dan efesiensi (2000:26). “The first item, temperament, involves the formation of human personality along stereotyped lines of sex category (‘masculine’ and ‘feminine’), based on the needs and values of the dominant group and dictated by what its members cherish in themselves and find convenient in subordinates: aggression, intelligence, force, and efficacy in the male; passivity, ignorance, docility, ‘virtue’, and ineffectuality in the female.” (Millett, 2000:26) Dimensi pertama tersebut, menurut Millett, dilengkapi oleh dimensi kedua, yaitu peran seksual. Peran seksual ini memutuskan sebuah kesesuaian dan aturan-aturan tentang perilaku dan sikap yang sesuai untuk perempuan maupun
20
laki-laki. Berkaitan dengan aktivitas, peran seksual menandakan pekerjaan rumah tangga dan kehadiran bayi bagi perempuan, sedangkan bagi laki-laki, peran seksual menandakan pencapaian prestasi, perhatian/minat, dan ambisi. Lebih lanjut Millett mengatakan bahwa peran yang terbatas diberikan kepada perempuan untuk membatasinya pada pengalaman yang bersifat biologis (2000:26). Hal ini berkaitan dengan pengertian seks sebagai perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, terutama yang menyangkut perbedaan organ-organ reproduksi. Secara biologis, perempuan dapat mengandung, melahirkan, dan menyusui karena mereka mempunyai organ-organ yang mendukung hal tersebut, seperti uterus, ovarium, dan payudara. Fakta-fakta tersebut kemudian menjadi alat untuk membatasi perempuan pada peran yang berkaitan dengan pengalaman biologisnya. Dengan demikian, peran seksual juga berkaitan dengan dikotomi ranah publik dan ranah domestik. “In term of activity, sex role assigns domestic service and attendance upon infants to the female, the rest of human achievement, interest, and ambition to the male. The limited role allotted the female tends to arrest her at the level of biological experience.” (Millett, 2000:26) Berdasarkan pendapat Millett di atas diketahui bahwa femininitas dan maskulinitas merupakan dua hal yang berkaitan erat dengan peran seksual. Terkait dengan istilah peran seksual, dalam analisis ini akan dipakai istilah peran gender untuk menggantikan istilah peran seksual. Hal ini disebabkan peran gender dianggap lebih tepat untuk menjelaskan dikotomi ranah domestik dan ranah publik serta implikasinya terhadap pengalaman perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Definisi peran gender dianggap lebih luas daripada peran seks. Peran
21
gender dianggap tidak hanya mencakup perbedaan seksual yang bersifat biologis antara perempuan dan laki-laki, tetapi menyangkut juga konstruksi-konstruksi masyarakat terkait dengan perbedaan seksual tersebut yang kemudian melahirkan dikotomi ranah domestik dan ranah publik serta dikotomi femininitas dan maskulinitas. Dalam masyarakat patriarki, peran perempuan dan laki-laki ditentukan berdasarkan kategori seksual. Perempuan yang secara seksual memiliki organorgan reproduksi khusus sehingga dapat mengandung dan melahirkan anak kemudian dilekatkan dengan peran seksual yang ditandai dengan kehadiran anak dan serangkaian pekerjaan rumah tangga. Perempuan yang melahirkan dan mengasuh anak kemudian dikonstruksikan sebagai individu yang feminin, yaitu yang lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan penuh kebajikan. Konstruksi tentang femininitas inilah yang kemudian membentuk perempuan dalam masyarakat, yaitu tentang bagaimana mereka harus bersikap dan peran apa yang harus mereka kerjakan. Dimensi berikutnya adalah status. Menurut Millett, status muncul mengikuti peran seksual yang dijalankan oleh perempuan dan laki-laki. Status merupakan komponen politik sehingga status yang tinggi menunjukkan adanya peran yang memiliki kekuasaan. Dengan demikian, status menjadi hal penting dalam masyarakat patriarki karena status yang tinggi di tangan laki-laki menjadi tujuan utama untuk mengatur superioritas kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, status secara tidak langsung juga bertujuan untuk
22
mengurangi kompetisi perempuan, yaitu dengan mengisolasi mereka dengan peran seksual, yaitu sebagai pengurus rumah tangga (2000:26). “Of course, status again follows from such an assignment. Were one to analyze the three categories one might designate status as the political component, role as the sociological, and temperament as the psychological…. Those awarded higher status tend to adopt roles of mastery, largely because they are first encouraged to develop temperaments of dominance”. (Millett, 2000:26) Terkait dengan patriarki, Millett mengatakan bahwa patriarki berdampak secara psikologis terhadap perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini, status, temperament, dan role merupakan keseluruhan sistem nilai dengan percabangan psikologi yang tidak berujung. Patriarki dalam kehidupan pernikahan dan keluarga yang di dalamnya terdapat pembagian kerja mempunyai dampak besar dalam menekan status, temperament, dan role (2000:54). “The aspects of patriarchy already described have each an effect upon the psychology of both sexes. Status, temperament, and role are all value systems with endless psychological ramifications for each sex. Patriarchal marriage and the family with its ranks and division of labor play a large part in enforcing them.” (Millett, 2000:54) Terkait dengan teori yang disampaikan oleh Millett di atas, dalam analisis ini, teori yang dipakai akan difokuskan pada teori tentang temperament, yang meliputi femininitas dan maskulinitas, role ‘peran gender’, dan status. Ketiga hal tersebut akan dikaitkan dengan pengalaman hidup perempuan dalam masyarakat yang patriarkis. Ketiga teori tersebut dipakai untuk mengetahui femininitas dan maskulinitas yang terdapat dalam diri seorang perempuan serta hubungannya dengan peran gender.
23
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti (Bogdan dan Tylor via Moleong, 2001:3). Selain itu, untuk mempermudah melakukan analisis dipakai metode bantu, yaitu reading as a women yang disampaikan oleh Culler (1983:44—47) dengan konsep penting sebagai berikut. 1. Ketika membaca sebagai pembaca perempuan yang diperhatikan secara subtansial adalah pengalaman yang sedang dilihat oleh perempuan dalam karya sastra, yaitu melihat sebagai seorang perempuan yang dibatasi dan dimarginalkan. Analisis terhadap novel Tiga Venus akan dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan nilai-nilai femininitas, maskulinitas, dan peran gender yang dihadirkan melalui tiga tokoh perempuan dengan peran yang berbeda. 2. Konsep dari pembaca perempuan adalah mempertegas hubungan yang berkelanjutan antara pengalaman perempuan dalam struktur sosial dan struktur kekeluargaan dan pengalaman perempuan sebagai pembaca. Dengan demikian, penelitian ini akan menganalisis tokoh-tokoh perempuan untuk menentukan pengalaman yang berkaitan dengan peran, status, dan relasi gender dalam Tiga Venus.
24
Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan sebagai berikut. a. Menentukan objek formal, yaitu analisis yang didasarkan pada konsep tentang temperament, yang meliputi femininitas dan maskulinitas, role ‘peran gender’, dan status. b. Menentukan objek material, yaitu novel Tiga Venus karya Clara Ng. c. Menentukan rumusan masalah yang akan dianalisis. d. Mencari referensi yang berhubungan dengan penelitian melalui studi pustaka dan studi laman. e. Menentukan data-data dari objek material yang berhubungan dengan analisis. f. Melakukan analisis data yang diperoleh dari objek material. g. Membuat kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan. h. Menulis laporan penelitian.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Sistematika laporan penelitian ini sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II berisi hubungan femininitas, maskulinitas, dan peran gender dalam kehidupan perempuan. Bab III berisi hubungan femininitas dan maskulinitas dengan pengalaman hidup tiga perempuan dalam peran yang berbeda. Bab IV berisi tentang faktor-faktor yang memengaruhi femininitas dan maskulinitas perempuan. Bab V berisi tentang femininitas, maskulinitas, dan peran gender dari sudut pandang pengarang. Bab VI berisi kesimpulan.