BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah Pada awal abad ke-21 ini, telah memasuki suatu rentangan waktu yang sangat menentukan, dengan ditandai perubahan-perubahan besar yang belum pernah terjadi sepanjang peradaban manusia yang dikenal dengan era teknologi dan globalisasi. Menurut Toffler (dalam http://www.techtv.com/bigthinkers/features/story/ 0,23008,3335617,00.html) manusia sekarang sedang memasuki gelombang ketiga yang penuh kejutan-kejutan besar yaitu era informasi. Era ini di tunjang oleh teknologi transportasi
dan telekomunikasi yang serba canggih, sehingga
hubungan antar manusia dalam berbagai tempat dan keadaan dapat berlangsung dengan sangat cepat. Kompetisi, kecepatan dan keunggulan menjadi doktrin yang sangat dominan pada era ini. Pada era tersebut arus barang dan jasa juga tenaga ahli akan melintasi batas negara tanpa hambatan. Murniati ( dalam MPA, Maret, 1998) dalam era tersebut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan penting dan menentukan guna memacu pertumbuhan berbagai bidang. Untuk itu maka penekanan yang sangat kuat terhadap peningkatan kualitas SDM menunjukkan komitmen bangsa yang sangat besar untuk mengejar keunggulan dalam era persaingan global. Dalam era persaingan global, SDM yang berkualitas adalah mereka yang mampu menguasai suatu bidang keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, mampu
1
2
melaksanakan pekerjaan secara profesional, serta mampu menghasilkan karyakarya unggul yang dapat bersaing di dunia. Penguasaan terhadap berbagai cabang ketrampilan dan keahlian yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutlak diperlukan dalam rangka menggerakkan berbagai sektor industri dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan produktivitas nasional yang berkelanjutan. Disiplin, kreatif dan memiliki etos kerja yang tinggi menurut Indaryani dan Milwardani (dalam Nadjamudin, 1998) adalah indikator
sumber daya
manusia yang berkualitas dan fondasi yang amat menentukan. Seseorang dikatakan mempunyai kualitas sumber daya manusia yang tinggi jika dia dapat menunjukkan perilaku yang mencerminkan
adanya kedisiplinan, kreativitas
maupun etos kerja yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Sikap disiplin merupakan sikap yang harus ditingkatkan, karena memberi manfaat dan sumbangan yang besar, apalagi pada negara yang masih berkembang seperti negara Indonesia. Berhubungan dengan manusia yang berkualitas, dalam khasanah ilmiah psikologi terdapat istilah prokrastinasi yang menunjukkan suatu perilaku yang tidak disiplin dalam penggunanaan waktu. Prokrastinasi adalah
suatu
kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering terlambat dalam menghadiri pertemuan-pertemuan (Solomon & Rothblum, 1984;
Tuckman,
dalam
state.edu/references/procrastinator_APA_paper.htm).
http://all.successcenter-ohio-
3
Pembangunan Indonesia dewasa ini menuntut adanya inovasi dan produktivitas, istilah prokrastinasi akan menjadi istilah yang berkonotasi negatif, yang menurut Ferrari, dkk.,(dalam Rizvi, 1998) bahwa pada negara dengan teknologi sudah digunakan, ketepatan waktu menjadi hal yang sangat penting, sehingga prokrastinasi dapat dianggap sebagai suatu masalah. Menurut Ferrari (dalam Rizvi,1998) bahwa prokrastinasi akademik banyak berakibat negatif, dengan melakukan penundaan, banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. Tugas-tugas menjadi terbengkalai, bahkan bila diselesaikan hasilnya menjadi tidak maksimal. Penundaan juga bisa mengakibatkan seseorang kehilangan kesempatan dan peluang yang datang. Hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa prokrastinasi merupakan salah satu masalah yang menimpa sebagian besar anggota masyarakat secara luas, dan pelajar pada lingkungan yang lebih kecil, seperti sebagian pelajar di sana. Sekitar 25% sampai dengan 75% dari pelajar melaporkan bahwa prokrastinasi merupakan salah satu masalah dalam lingkup akademis mereka (Ellis dan Knaus; Solomon dan Rothblum; dalam Ferrari, dkk, 1995). Pada hasil survey majalah New Statement 26 Februari 1999 juga memperlihatkan bahwa kurang lebih 20% sampai dengan 70% pelajar melakukan prokrastinasi. Menurut Zakarilya (2002) anak-anak usia sekolah, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU), cenderung lebih banyak mengisi waktunya dengan bermain dan menonton televisi dari pada belajar. Semangat belajar mereka semakin lama semakin menipis, dan kalah dengan keinginan untuk bermain. Apalagi saat ini dengan
banyak saluran televisi yang bisa dipilih,
4
membuat anak terpaku di depan pesawat televisi. Masih untung jika permainan yang dilakukan bersifat positif. Pada kenyataannya, anak-anak usia sekolah terutama anak-anak SMU justru terjerumus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat negatif seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merokok, minum minuman keras dan sebagainya. Jika sudah terjerumus dalam kegiatan-kegiatan negatif seperti itu, jangankan menjaga semangat belajar, berangkat ke sekolah saja mungkin menjadi sebuah beban yang berat. Ditegaskan kembali oleh Tedjasaputra (2001) dibandingkan tugas sekolah, seperti pekerjaan rumah (PR) dan buku-buku sekolah, televisi memiliki daya tarik yang lebih besar bagi anak. Perhatian anak akan lebih terpusat pada menyaksikan acara di televisi dari pada belajar, sehingga tugas sekolah menjadi tertunda bahkan menjadi terbengkalai dan anak merasa bosan untuk belajar. Komputer dan video game adalah pesona yang begitu besar selain televisi, bagi anak yang mempengaruhi jadwal kehidupan anak sehari-hari. Biasanya anak menjadi malas belajar, sulit makan dan tidur tidak pada waktunya. M o nks, dkk. (1992) berpendapat bahwa pada remaja terjadi krisis yang nampak paling jelas pada penggunaan waktu luang yang sering disebut sebagai waktu pribadi orang (remaja) itu sendiri. Hal yang dapat dicatat adalah bahwa para remaja mengalami lebih banyak kesukaran dalam “memanfaatkan” waktu luangnya. Hasil pengamatan penulis, pada sebagian remaja SMU/MA dan yang sederajat, di Jogjakarta dapat disimpulkan bahwa penundaan merupakan salah satu kebiasaan yang
sering dilakukan remaja dalam menghadapi tugas-tugas
5
mereka. Banyak remaja yang menunda untuk mengerjakan pekerjaan rumah, maupun menunda belajar
untuk menghadapi ulangan, dengan melakukan
aktivitas lain yang tidak penting bagi mereka, sehingga dapat pula dikatakan bahwa pameo yang ada dalam dunia mahasiswa tentang SKS, yang dibelokkan kepanjangannnya dengan “sistem kebut semalam”, berlaku pula bagi dunia remaja setingkat SMU/MA. Sebagai tunas harapan bangsa, remaja diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa di era yang akan datang. Remaja sudah seharusnya menjadi fokus utama guna mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mereka dapat bersaing dalam era sekarang ini dan mandatang. Remaja yang saat ini sedang menempuh bangku sekolah merupakan calon kompetitor yang akan menghadapi tingkat persaingan yang tinggi, namun bilamana perilaku prokrastinasi akademik sering dilakukan, akan dapat menjadi masalah tersendiri bagi mereka, sehingga dapat pula dikatakan bahwa tingkat kedisplinan mereka rendah, dan juga dapat dianggap sebagai salah satu indikator bahwa remaja masih belum bisa diharapkan menjadi sumber daya manusia seperti yang diharapkan. Demikian itu, prokrastinasi akademik pada mereka dapat dikatakan sebagai suatu masalah. Dikatakan juga bahwa tingkat prokrastinasi akademik seseorang akan semakin meningkat seiring dengan makin lamanya studi seseorang (Solomon dan Rothblum, 1984). Jika masa remaja seseorang sudah melakukan prokrastinasi akademik, diasumsikan
pada mahasiswa tingkat prokrastinasi akademiknya
semakin meningkat. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa prokrastinasi
6
akademik pada remaja
merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat
perhatian. Berbagai hasil penelitian menemukan aspek-aspek pada diri individu yang mempengaruhi seseorang untuk mempunyai suatu kecenderungan perilaku prokrastinasi, antara lain; rendahnya kontrol diri (Green, 1982; Tuckman, dalam http://all.successcenter-ohio-state.edu/references/procrastinator_APA_paper.htm; Page dalam http://www.mwsc.edu/psychology/research/psy302/fall96/stephanie_p age.html), self conscious, rendahnya self esteem, self efficacy, dan kecemasan sosial (Janssen dan Carton, 1999) Setiap individu memiliki suatu
mekanisme yang dapat membantu
mengatur dan mengarahkan perilaku, yaitu kontrol diri. Menurut Goldfried & Marbaum (dalam Lazarus, 1976) kontrol Diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif.
Sebagai salah satu sifat kepribadian,
kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memilikki kontrol diri yang rendah. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku utama yang membawa pada konsekuensi positif. Sebagai seorang pelajar, yang bertugas untuk belajar, bila mempunyai kontrol diri yang tinggi, mereka akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku. Mereka mampu menginterpretasikan stimulus yang dihadapi, mempertimbangkan konsekuensinya sehingga mampu memilih tindakan dan melakukannya dengan meminimalkan
7
akibat yang tidak diinginkan. Mereka mampu mengatur stimulus sehingga dapat menyesuaikan perilakunya kepada hal-hal yang lebih menunjang belajarnya. Individu yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya, sehingga diasumsikan, seorang pelajar yang dengan kontrol diri yang rendah akan berprilaku, lebih bertindak kepada hal-hal yang lebih menyenangkan dirinya misalnya dengan lebih banyak menonton televisi, bemain video game dan lain-lainnya, bahkan akan menunda-nunda tugas yang seharusnyalah ia kerjakan terlebih dahulu. Dengan kontrol diri yang rendah, mereka tidak mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku. Mereka tidak mampu menginterpretasikan
stimulus yang dihadapi, tidak mampu
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga tidak mampu memilih tindakan yang tepat. Secara umum orang yang mempunyai kontrol diri yang tinggi akan menggunakan waktu yang sesuai dan mengarah pada perilaku yang lebih utama, yang bila ia pelajar adalah belajar, sedangkan orang yang mempunyai kontrol diri rendah tidak mampu mengatur dan mengarahkan perilakunya, sehingga akan lebih mementingkan sesuatu yang lebih menyenangkan, dan diasumsikan banyak menunda-nunda. Berbagai hasil penelitian juga menemukan bahwa faktor eksternal juga mempengaruhi prokrastinasi akademik antara lain Gaya pengasuhan orangtua, yang menemukan bahwa tingkat pengasuhan otoriter ayah menyebabkan munculnya kecenderungan perilaku prokrastinasi yang kronis pada subyek penelitian
anak
wanita,
sedangkan
tingkat
pengasuhan
otoritatif
ayah
8
menghasilkan anak wanita yang bukan prokrastinator. Ibu yang memiliki kecenderungan melakukan avoidance procratination menghasilkan anak wanita yang memiliki kecenderungan untuk melakukan avoidance procratination pula (Ferrari dan Ollivete dalam http://www.yosh.acil/syllabus/behave/academik.doc). Kondisi lingkungan yang rendah pengawasan membuat prokrastinasi akademik juga lebih banyak dilakukan
daripada lingkungan yang penuh pengawasan
(Millgram, dkk. Dalam Rizvi, 1998). Demikian pula orangtua
yang mendampingi atau tidak mendampingi
anaknya ketika mengerjakan tugas sekolah yang
dikerjakan di rumah akan
berpengaruh terhadap kebiasaan belajar anaknya. Orangtua yang mendampingi anaknya di saat belajar mengerjakan tugas sekolah akan mempunyai kebiasaan yang baik dalam mengerjakan tugas-tugas lainnya seperti tugas sekolah, dan mempunyai prokrastinasi akademik yang rendah, dibandingkan dengan yang tidak mendampingi
anaknya
di
saat
belajar
mengerjakan
pekerjaan
rumah
(http://www.yosh.acil/syllabus/behave/academic.doc). Menurut Walgito (1994) keluarga merupakan lingkungan yang pertamatama bagi anak, merupakan tempat yang sangat penting khususnya mengenai peletakan dasar
bagi pembangunan,
dalam pembangunan mental dan
pembentukan pribadi anak-anak. Menurut Johnson dan Madinnus (dalam Walgito 1994) bahwa dalam hubungan orangtua dengan anak ada beberapa aspek yang dapat diteliti, yaitu bagaimana hubungan anak mempersepsikan
orangtua, bagaimana orangtua
menanamkan disiplin kepada anak-anaknya, dan mengenai masalah identifikasi.
9
Lindgren (1966) berpendapat bahwa pendekatan kognitif menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahaman mereka terhadap situasi yang dikaitkan dengan tujuan. Perilaku individu dapat diprediksi apabila diketahui bagaimana individu mempersepsikan situasi dan apa yang diharapkan. Lindgren dkk. (1974) menegaskan kembali bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi mengenai diri mereka dan lingkungan sekitarnya, sehingga apa yang dilakukan merupakan cerminan dari lingkungan sekitarnya, dan
persepsi dapat mempengaruhi perilaku; persepsi merupakan salah satu
prediktor perilaku individu. Lebih lanjut Hurlock (1984) menambahkan bahwa persepsi individu dapat memotivasi perilakunya lebih lanjut. Obyek persepsi yang dinilai tidak menyenangkan, maka perilakunya negatif, individu yang mempersepsikan suatu obyek secara positif akan mengkondisikan individu secara psikologis sebagai motivasi bagi individu untuk berperilaku positif. Begitu pula dengan metode penerapan disiplin tertentu pada anaknya, akan mempunyai pengaruh tersendiri bagi anaknya baik ke arah positif maupun ke arah negatif. Apabila anak mempersepsikan penerapan disiplin orangtua dengan positif, kondisi psikologis ini memotivasi
perilaku belajarnya, begitu pula
sebaliknya apabila anak mempersepsikan penerapan disiplin orangtua dengan negatif, maka justru akan menjadi penghambat belajarnya.
10
1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah timbul pertanyaan apakah terdapat hubungan antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik?. Adakah hubungan antara persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik ?. Berawal dari masalah tersebut di atas, dipandang perlu mengadakan pengkajian atau penelitian yang mendalam dan seksama dalam rangka sumbangan pada dunia psikologi dan pendidikan. 2. Keaslian Penelitian Penelitian di luar negeri tentang prokrastinasi akademik telah banyak dilakukan. Hasil Penelitian Janssen dan Carton (1999) Menemukan bahwa prokrastinasi akademik banyak dilakukan oleh siswa, terutama pada mereka yang mempunyai locus of control yang eksternal dan tugas-tugas yang dianggapnya sulit. Bahwa kebanyakan siswa melakukan prokrastinasi dikarenakan kemampuan manajemen waktu yang rendah. Siswa yang mempunyai locus of control internal lebih sedikit waktu dalam menyelesaikan tugas dibandingkan siswa yang mempunyai locus of control yang eksternal. Penelitian di luar negeri oleh Green (1982) dengan tema Minority Students’
Self-Control of Procrastination, berusaha untuk
mengetahui pengaruh
kontrol diri pada siswa tiga sekolahan kejuruan berupa program administrasi, ekonomi dan publikasi, hubungannya dengan prokrastinasi.
11
Menyikapi hasil-hasil penelitian sebelumnya dan untuk memperkaya hasil penelitian tentang prokrastinasi akademik sebagai sumber informasi dan bahan kajian di samping sebagai bahan pertimbangan dalam mendisiplinkan remaja maka penelitian tentang hubungan kontrol diri dan persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik dengan subjek Madrasah Aliyah di wilayah kota Jogjakarta perlu dilakukan. Berdasarkan
data-data dan penelitian prokrastinasi akademik, dapat
dikatakan bahwa hubungan kontrol diri dan persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik dengan subjek siswa-siswi Madrasah Aliyah di kota Jogjakarta belum pernah diteliti, sehingga dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 3. Manfaat Penelitian Harapan yang disematkan pada penelitian ini, yakni akan memberi manfaat: 1). Secara teoretis. a.
Dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya tentang kontrol diri dan persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik.
b.
Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kontrol diri dan persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik.
12
2). Secara praktis. Dapat
membantu
mengetahui
sekaligus
sebagai
bahan
pertimbangan antisipatif sebab-sebab terjadinya prokrastinasi akademik yang menghambat terwujudnya, terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas untuk kemajuan bangsa dan negara bagi para guru, orangtua, maupun masyarakat secara umum.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui ada tidaknya hubungan antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik.
2.
Mengetahui ada tidaknya hubungan antara
persepsi remaja terhadap
penerapan disiplin orangtua dengan prokrastinasi akademik.