BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial merupakan tahapan dimana manusia memulai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Manusia bertinteraksi sosial untuk dapat saling mengenal, memahami dan bekerjasama satu sama lain. Interaksi sosial juga mengantarkan manusia pada kondisi bahagia, senang, bermakna, atau marah, sedih, tersakiti bahkan hingga konflik. Di Indonesia saat ini mudah ditemukan berbagai konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Mulai dari konflik perorangan hingga konflik kelompok yang melibatkan masyarakat umum. Konflik yang tidak sehat tentunya menimbulkan kerugian fisik, psikis, sosial dan finansial. Akibatnya, konflik menjadikan individu tidak mampu mencapai kesejahteraan hidup dengan baik, dikarenakan kondisi tidak nyaman yang ditimbulkan dari konflik yang sedang dialami oleh individu. Banyak konflik terjadi pada perorangan terutama mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan usia mahasiswa masih tergolong remaja yang identik dengan masalah. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2002) masa remaja adalah masa topan dan badai (strom and Stress) karena pada masa ini remaja bebas menentukan nasib sendiri. Menurut Rostiana (1999), jika seseorang yang kurang terampil menjalin hubungan sosial maka konflik interpersonal akan mudah terjadi pada orang tersebut. Konflik sosial yang dimaksud adalah kepekaan terhadap lingkungan, penyesuaian diri, dan komunikasi. Konflik interpersonal dirasa
1
2
memiliki dampak paling signifikan bagi individu. Dampak buruk yang diterima individu dalam sebuah konflik interpersonal adalah trauma, marah, benci, dendam, bersikap pasif, hilangnya kepercayaan dan semangat, tidak ingin bertemu pelaku, cemas, khawatir, takut, stress, depresi dan sejenisnya (Nashori, Iskandar, Setiono, dan Siswadi, 2011). Segala hal yang berhubungan dengan konflik terkait siapa, di mana, kapan dan bagaimana ternyata memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan psikologis individu. Berdasarkan peneltian Arif (2013) konflik interpersonal remaja adalah konflik yang sering dialami remaja dengan teman bermainnya. Remaja menilai lingkungan dan temannya berdasarkan keserasian atau kesamaan yang dimilikinya. Jika terdapat perbedaan maka memicu timbulnya pengabaian dan kurangnya penerimaan. Selanjutnya, beberapa kesalahan yang dilakukan oleh individu seperti ketidaksetiaan, pengkhianatan, kebrutalan, dan agresivitas dapat memberikan luka dan korban jiwa sulit untuk dimaafkan. Hal ini menimbulkan frustrasi dikarenakan rasa kecewa, yang kemudian dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, salah satunya berperilaku agresif ingin membalas (Arif, 2013). Berdasarkan data hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi diperoleh kasus-kasus sebagai berikut: “Peristiwa menyakitkan itu terjadi sudah cukup lama, itu terjadi karena ada triger yang memicu setiap perlakuan. Perlakuan itu membuat saya dirugikan hingga membuat saya ingin bunuh diri, ingin rasanya mati. Secara emosi saya merasakan marah benci, dan dendam campur semua menjadi satu, emosi saya tidak bisa saya kontrol. Peristiwa ini menjadi sangat menyakitkan karena saya sudah terlalu percaya pada pelaku. Awalnya saya percaya bahwa semua orang baik, pada akhrinya saya dikecewakan dan hingga kini saya tidak mudah percaya lagi pada orang lain. Rasa itu masih saya rasakan hingga detik ini. Saya meresa tidak nyaman dan memilih menghindar daripada harus bertemu dengan orang
3
itu. Rasa percaya itu tidak mudah dibangun, dan menurut saya akan sangat lama, kalaupun memaafkan tidak akan bisa seperti dulu. Saya sudah mencoba mempertimbangkan dan memikirkan semua kebaikan dia, namun satu keburukan yang dia lakukan telah menghapus semua kebaikan dia di masa lalu. Kini saya tidak akan mudah percaya pada oranglain. Pada pelaku, saya lebih milih mencoba tidak peduli dengan apa yang dilakukannya saat ini. Untuk balas dendam padanya, jika ada kesempatan saya ingin membalas dengan merusak hidupnya. Hingga saat ini saya tidak bisa menerima rekonsiliasi. Tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan kembali dengan pelaku. Biarkan saja seperti ini” (Mahasiswa X, Pria, 23 Tahun). “ Saya sungguh marah pada diri saya, saya memiliki situasi dimana saya tidak bisa memaafkan situasi itu. Situasi itu membuat saya begitu trauma. Padahal itu sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Sesekali saat ini kadang saya tiba-tiba mengingatnya dan hal itu menimbulkan perasaan sangat tidak nyaman bagi saya. Saya merasa marah, merasa benci, dan akhirnya saya merasa stres sendiri. Jika sudah demikian saya kurang dapat mengontrol diri saya. Alternatif yang saya lakukkan saat ini adalah menghadap Allah dan muhasabah untuk mencertikan apa yang terjadi. Saya sadar jika saya sulit untuk memaafkan, dan saya juga sadar efek ini sungguh buruk bagi saya. Namun saya memang belum bisa menerimanya dan melepaskan perasaan ini dari diri saya. Kadang saya takut, cemas, namun saya mencoba untuk melewatinya. Untuk saat ini biarkan dulu seperti ini” (Mahasiswi Y, Wanita, 23 Tahun). Dari dua kasus di atas menunjukkan jika konflik yang dialami masingmasing individu baik dengan pelaku maupun dengan peristiwa, dan situasi memberikan dampak secara emosi yang signifikan. Contoh lain yang dimuat berdasarkan data yang dimuat dalam media massa di Indonesia, sebuah berita dimuat dalam merdeka.com menyatakan
bahwa
terjadi pembunuhan pada korban (AS) berusia (19) tahun (perempuan) yang dilakukan oleh teman korban sendiri. Tersangka berusia (19) tahun (laki-laki) melakukan pembunuhan dibantu teman permpuannya yang berusia (18) tahun. Menurut keterangan tersangka, tersangka membunuh korban (AS) karena sakit hati dan merasa dikhianati (http://www.merdeka.com/ jumat, 07 Maret 2015).
4
Dari temuan lapangan menunjukkan jika kegagalan interaksi sosial yang berdampak pada sakit hati, marah, dan dendam dapat menimbulkan tindak kekerasan bahkan berujung pada kematian. Burney dan Kromrey (2001) mengemukakan perlu adanya strategi menejemen kemarahan yang baik dan belajar mencari solusi positif sebagai altertnatif bagi remaja untuk menghadapi suatu masalah. Hasil penelitian menunjukkan individu yang dapat memaafkan mengalami penurunan kemarahan, kecemasan dan depresi akibat kekerasan dimasa kecil secara signifikan (Snyder & Heinze, 2005). Selain itu menurut (Worthington dan Scherer, 2004) menyatakan bahwa pemaafan merupakan strategi emotion focused coping untuk meredakan stres, kesehatan yang baik, dukungan sosial, kualitas hubungan dan agama. Perilaku memaafkan dapat digunakan oleh remaja untuk bisa melepaskan semua beban penderitaan seperti stres, menyimpan dendam, beban pikiran dan perasaan sakit. Selesainya suatu konflik ditandai dengan adanya saling menerima dan memaafkan baik pada peristiwa, pelaku dan kondisi. Penelitian lain yang dilakukan Luskin (Nashori, 2014) menyatakan bahwa individu yang memaafkan akan semakin jarang terlibat konflik. Dapat diartikan, jika pemaafan merupakan salah satu cara dalam mencegah dan mengakomodasi terjadinya konflik, pemaafan memberikan implikasi yang besar dalam hubungan jangka pendek dan jangka panjang (Fincham, Beach, & Davila, 2008). Hal tersebut menerangkan bahwa memaafkan merupakan salah satu metode resolusi konflik yang efektif untuk menyelesaikan konflik secara beradab, baik konflik kelompok maupun interpersonal.
5
Dari beberapa hasil penelitian, pemaafan memberikan banyak manfaat bagi individu. Beberapa di antaranya adalah penelitian Worthington, Witvliet & Miller (2007) diketahui pemaafan memberikan dampak positif bagi kesehatan dan kebahagiaan seseorang, individu yang mudah memaafkan ternyata memiliki kestabilan kesehatan fisik yang baik dan kebahagian yang baik pula. Sama halnya dengan penelitian di atas, penelitian Radatussalamah dan Susanti (2014) menjelasakan bahwa seseorang yang mudah memaafkan berdampak pada psychological well being individu tersebut. Artinya individu dapat memperoleh kebahagiaan psikologisnya dengan memaafkan hal-hal yang membuat dirinya tidak nyaman. Jadi dapat dikatakan bahwa memaafkan memiliki korelasi positif dengan kesehatan dan kebahagiaan bagi individu. Individu yang mampu memaafkan atas kejadian yang menimpanya akan membuat kondisi fisik lebih sehat, dan secara psikologis individu memiliki kebahagiaan yang tinggi. Hal ini dikarenakan individu membuang perasaan marah, dendam, cemas dan emosi negatif dalam diri. Selain itu dalam penelitian Yuniardita (2014) pemaafan berkorelasi positif dengan kematangan emosi. Penelitian Hasan (2013) menyatakan bahwa religiusitas memiliki korelasi yang baik dengan pemaafan. Hal ini menunjukkan jika memaafkan menjadikan individu dapat mengendalikan dirinya dengan baik untuk menuju harmonisasi kehidupan lebih baik secara emosi dan religiusitas.
6
Bahkan Islam secara tegas menganjurkan pemaafan pada pemeluk ajaran agamanya. Seperti firman Allah dalam surah Ali-Imran 159 : “maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai Orang-orang yang bertawakal kepadanya” Demikian juga dalam surah Ash- Shuraa (40): “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah. sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” Begitu luhurnya memaafkan bagi seorang manusia sehingga Allah memerintahkan langsung untuk memaafkan dalam setiap perkara agar hati kita menjadi baik. Kurang lebih 34 kali firman Allah menyebut kata maaf dalam kitab Al-Qur’an (Nashori, 2014). Hal tersebut menggambarkan betapa pentingnya memaafkan bagi kehidupan manusia. Memaafkan menjadi hal yang sangat penting, karena jika individu tidak memaafkan akan memberikan dampak negatif bagi individu. Beberapa dampak negatif yang bisa dialami individu jika tidak memaafkan diantaranya berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa emosi negatif memiliki efek negatif jangka panjang pada kesehatan, terutama jantung (Brosschot & Thayer, 2003), menigkatkan tekanan darah (Glynn, Christenfeld, & Gerin, 2002), menimbulkan gangguan kecemasan (Thayer & Lane, 2000). Perasaan marah yang dibiarkan akan memicu reaksi emosi yang akan meninggalkan luka dan permusuhan yang berdampak pada perilaku, kepercayaan, penilaian yang buruk dan pada akhirnya
7
memicu gejala frustasi, penganiayaan, dan profokasi (Smith, 1992). Menurut Gani (2011) tidak memaafkan berdampak memiliki gejala tekanan darah tinggi, stres, kemarahan mudah terpicu, tekanan jantung meninggi, menunjukkan gejala depresi, menunjukkan gejala kecemasan, merasa nyeri akut pada tubuh, hubungan dengan orang lain kurang akrab, sukar menjalin persahabatan, merasa diri hampa, dan tendensi pelarian pada minuman beralkohol dan obat-obatan. Begitu banyak dampak buruk jika tidak memaafkan. Oleh karenanya, memaafkan merupakan pola dan sikap positif untuk kesejahteraan yang baik bagi individu. Beberapa cara dapat dilakukan untuk meningkatkan pemaafan pada individu. McCullough, Rachal, Steven, Sandage, Everett, Wortington, Brown, dan Hight (1998) menyatakan faktor
yang mempengaruhi pemaafan
dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori konseptual, antara lain (a) Sosial-kognitif, (b) Tingkat kelukaan atau serangan, (c) Hubungan Interpersonal, (d) Kepribadian. Bagi mahasiswa memenejemen diri sangatlah dibutuhkan, kemampuan internal individu merupakan salah satu faktor paling efektif untuk meningkatkan pemaafan. Kepribadian merupakan faktor internal yang dimiliki setiap individu (Nashori, 2014). McCulough, dkk (1998) menyatakan bahwa kepribadian individu yang ekstrovert akan lebih mudah memaafkan karena individu berkepribadian ekstrovert menunjukkan karakter seperti berjiwa sosial, terbuka, asertif, hangat kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, jujur, sopan, fleksibel, empatik, dan bersahabat. Sedangkan kepribadian introvert menunjukkan kecenderungan seseorang bersikap tertutup, tidak asertif, suka menyembunyikan perasaan,
8
cenderung terbenam dalam sensasi jiwanya sendiri, serta memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak menarik. Berdasarkan teori McCullough, dkk (1998) menyatakan kepribadian sebagai faktor pembentuk pemaafan. Peneliti tertarik mencari tipe karakter kepribadian yang dapat membentuk individu mudah memaafkan. Dalam hal ini peneliti mengacu pada peneltian Ashton dan Lee (2007) yang menyatakan ada aspek kepribadian dalam struktur kepribadian HEXACO yang memiliki sifat hampir sama dengan tipe ekstrovert. Aston dan Lee (2007) menyatakan bahwa HonestHumility adalah salah satu aspek kepribadian dalam struktur kepribadian HEXACO personality yang memiliki sifat jujur, setia/loyal, sederhana, berpikiran adil dan tulus, sikap tersebut berlawanan dengan keserakahan, penghindaran, licik, sok, munafik, sombong, dan angkuh. Selain berdasarkan penelitian Ashton dan Lee (2007), peneliti mengambil dasar Al-Qur’an dan Hadits, Allah berfirman dalam surah Al-Furqon (25;63) “dan hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang bodoh (kafir) menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka megucapkan “salam”. Selain itu Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabada “tiada satu pun karunia yang diperoleh seseorang yang bersikap tawadhu kepada Allah kecuali Allah meninggikan derajatnya” (HR. Muslim no 6535 dalam Khalid, 2006). Peneliti ingin mengetahui apa saja dampak positif dari rendah hati bagi manusia, salah satunya apakah akan memiliki hubungan dengan pemaafan, apakah seseorang yang rendah hati juga akan mudah memaafkan.
9
Berangkat dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cardak (2013) dengan judul hubungan humility dan pemaafan studi kasus pada mahasiswa di Turki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaafan dipengaruhi oleh kepribadian yang rendah hati, pribadi yang rendah hati lebih mudah memaafkan pada subjek penelitian mahasiswa. Peneliti ingin mereplikasi hasil penelitian sebelumnya, apakah hasil yang serupa berlaku sama pada mahasiswa di Indonesia dengan kondisi fisik, budaya, dan keberagamaan yang berbeda jika dibandingkan di Turki.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara kerendahhatian dan pemaafan pada mahasiswa.
C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menyumbang khasanah dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi sosial, psikologi islami, psikologi positif, psikologi perkembangan dan psikologi kepribadian, dengan mengetahui hubungan keterkaiatan kepribadian rendah hati dan perilaku pemaaf pada remaja dalam kehidupan sehari hari. 2. Manfaat praktis dari penelitian ini, membuktikan secara empirik hubungan antara kerendahhatian dan pemaafan. Dengan harapan menjadi bahan acuan untuk pengembangan pelatihan pemaafan.
10
D. Keaslian Penelitian Hodgson dan Wertheim (2010) dengan judul multiple dimensi empati, menejemen emosi dan pemaafan pada diri dan orang lain. Penelitian ini memprediksi apakah dua dimensi empati dan emosi mempengaruhi pemaafan pada diri dan orang lain. Dengan subjek penelitian berjumlah 110 subjek dengan cara snow ball. Penelitian menggunakan empat skala diantaranya Trait MetaMood Scale (TMMS) Salovey, Goldaman, Mayer, Turvey, &Palfai 1995), Skala The Interpersonal Reactivity Indeks (IRI: Davis et al, 1983), Skala The Trait Forgivenes Scale (TFS: Berry, Worthington, O’Connor, Parrot & Wade, 2005), dan Skala The Self Subscale of the Heartland Forgiveness Scale (SHFS: Thompson, et al, 2005). Penelitian membuktikan individu yang mampu mengontrol emosinya mampu memberikan maaf lebih besar, hal ini juga sama dengan hasil empati, semakin besar rasa empati maka tingkat pemaafan akan lebih baik. Penelitian Lambert, Fincham, Stillman, Graham, Beach (2009), dengan judul dapatkah berdoa meningkatkan pemaafan. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua kelompok peneltian. Penelitian pertama melibatkan 52 responden yang memiliki hubungan dekat dengan orang tercinta masing-masing terutama teman. Penelitian selanjutnya melibatkan 62 responden yang memiliki teman dekat dan saling mendoakan temannya. Hasilnya kelompok yang suka mendoakan teman dekatnya atau partner lebih memiliki tingkat pemaafan yang tinggi pada teman
11
dekatnya. Hubungan dekat dengan saling mendoakan akan memudahkan untuk saling memaafkan. Cardak (2013) melakukan penelitian tentang rendah hati dan pemaafan pada mahasiswa Turki. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara rendah hati dengan pemaafan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 346 mahasiswa perguruan tinggi di Turki. Pemaafan diukur menggunakan skala The Heartland Forgiveness Scale (HFS) dikembangkan Thompson dkk (2005), sedangkan rendah hati diukur menggunakan Humility Scale (HS) yang dikembangkan Elliot (2010). Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi positif antara rendah hati dan pemaafan. Dimana mahasiswa dengan level rendah hati yang tinggi memiliki level pemaafan yang tinggi juga. Penelitian ini mendukung bahwa seseorang dengan rendah hati yang tinggi akan meningkatkan level pemaafan di dalam lingkungan. Arif (2013) melakukan penelitian tentang komitmen dengan pemaafan dalam hubungan persahabatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan komitmen dengan pemaafan dalam hubungan persahabatan. Peneltitian ini menggunakan skala non-test yaitu skala pemaafan dan skala komitmen dengan model skala likert, perhitungan korelasi menggunakan product moment. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 296 orang dengan rentang usia 18-22 tahun mahasiswa Universitas Muhamadyah Malang dengan teknik insidental. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan anatar komitmen dengan pemaafan. Semakin tinggi komitmen dalam sebuah persahabatan maka akan semakin tinggi tingkat pemaafan yang diberikan pada sahabat.
12
Yuniardita (2014) meneliti tentang kematangan emosi dan pemaafan pada remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kematangan emosi dan pemaafan pada remaja awal dalam berhubungan dengan teman sebaya. Metode pengumpulan data dengan skala kematangan emosi dan skala pemaafan dengan model skala likert. Subjek penelitian berjumlah 244 rentang usia 13-16 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara kematangan emosi dan pemaafan yang dibuktikan dengan korelasi product moment. Semakin tinggi kematangan emosi maka akan semakin tinggi pemaafan. 1.
Keaslian Topik Topik dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Cardak (2013) hubungan kerendahhatian dan pemaafan pada mahasiswa di Turki. Topik penelitian ini mengangkat tema Psikologi Islami dan Psikologi Positif. Subjek dalam penelitian ini bertema masyarakat, dan dunia pendidikan.
2.
Keaslian Teori Teori yang digunakan dalam peneltian ini mengacu pada teori pemaafan yang dikemukakan oleh penelitian sebelumnya seperti Enright, McCullough, Worthington, Gani dan Nashori. Sedangkan pada teori kerendahhatian mengacu pada teori yang dikembaangkan oleh Elliot (2010), Tangney (2000) dan ditambahkan dengan konteks Islam dari Khalid (2006).
13
3.
Keaslian Alat Ukur Alat Ukur Pemaafan yang digunakan menggunakan Skala Pemaafan yang digunakan Nashori (2015). Skala kerendahhatian (humility Scale) yang dikembangkan peneliti dengan kostruk teori Eliot (2010).
4.
Keaslian Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Cardak (2013) yaitu Mahasiswa. Perbedaannya adalah budaya antara mahasiswa Turki dan mahasiswa Indonesia.