BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Yang merupakan salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non
dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib 1
2
dipertanggung-jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.1 Seperti kita ketahui bahwa setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Dan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi atau kelompok. Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang ditulis. Kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam masyarakat. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Oleh karena
1
Pembukaan rancangan pedoman etika dan perilaku Hakim, http://www.hukumonline.com/artikel/html, 24 juli 2006.
3
itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional, serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.2 Pelanggaran atas suatu pedoman etika dan perilaku hakim itu tidaklah terbatas sebagai masalah internal badan peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat dan pencari keadilan. Akan tetapi untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang oleh hakim. Padahal sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, hakim harus berintegritas dan profesional, serta membutuhkan kepercayaan masyarakat dan pencari keadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Budi pekerti luhur adalah sikap dan perilaku
2
Ibid
4
yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Orang yang berbudi pekerti luhur dalam bertindak dan berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang mengatur dan berdasarkan akal sehat. Keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid, (2) standar profesi, (3) etika profesi, (4) pengakuan masyarakat, dan (5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi officium nobile terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat. Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri. Sedangkan perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.
Perilaku
hakim dapat
menimbulkan
kepercayaan,
tetapi
juga
menyebabkan ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan3. Sejalan dengan dengan hal tersebut, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itulah dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia di bentuk sebuah Komisi Yudisial agar warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan 3
Ibid.
5
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Oleh karena itu, institusi pengawasan itu dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung, melalui institusi tersebut aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para Hakim Agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika. Pada dasarnya Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga yang masih tergolong baru di Negara kita. Sebuah komisi yang bersifat mandiri yang mana kewenangannya adalah untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan kewenangan lain yaitu menjaga (mengawasi) dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim4 ( UUD 45 pasal 24B ayat (1) ). Bahwa salah satu wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan Undang Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 4
UUD 1945 Pasal 24B Ayat (1)
6
Untuk melaksanakan kewenangannya itu secara efektif dibutuhkan adanya suatu pedoman etika dan perilaku hakim. Dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai pedoman etika dan perilaku hakim, dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela. Selain itu juga, yang menjadi alasan Utama Bagi Terwujudnya Komisi Yudisial Di Dalam Suatu Negara Hukum adalah: 1.
Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2.
Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3.
Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang
7
menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. 4.
Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial).
5.
Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (Judicial Power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik5. Akan tetapi kewenangan untuk mengawasi para hakim ini masih bersifat
terlalu umum dalam artiannya, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran yurisdiksi tugas pengawasan perilaku hakim. Mahkamah Agung menganggap bahwa yang dimaksud pengawasan perilaku tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat mengancam independensi hakim6 (Rifqi S. Assegaf “Mahkamah Konstitusi VS Komisi Yudisial”). Dalam batas tertentu, alasan ini dapat dimengerti. Apalagi ada kekhawatiran lain bahwa nantinya bisa jadi Komisi Yudisial ditempatkan selayaknya lembaga 5
Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial http://www.komisiyudisial.go.id/html, 17 april 2006 Rifqi S. Assegaf, 2006 “Mahkamah Konstitusi VS Komisi Yudisial”, http://www.republika.com/artikel/html, 14 september 2006. 6
8
banding jika ada ketidakpuasan pencari keadilan atas suatu putusan. Pada gilirannya hal ini akan merusak sistem dan melahirkan ketidakpastian hukum. Komisi Yudisial memandang bahwa sudah selayaknya pengawasan terhadap putusan masuk dalam wilayah kerja mereka. Pertimbangannya adalah, UU menyatakan bahwa hakim dapat diberhentikan karena alasan ketidakcakapan, yakni jika kerap melakukan kesalahan besar dalam bertugas (lihat antara lain, UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum). Jadi independensi hakim ada batasannya. Kewenangan penting, namun cara pelaksanaannya juga penting. Bukan mustahil Komisi Yudisial menganggap cara mereka--misalnya untuk memanggil dan memeriksa hakim--telah sesuai dengan UU, yakni tetap menghargai harkat dan martabat hakim serta telah merahasiakan informasi hasil pemeriksaan (Pasal 22 UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Di sisi lain, Mahkamah Agung mungkin berpandangan sebaliknya. Perlu dilakukan penyamaan ‘frekuensi’ penafsiran. Misalnya, tidak boleh membuat pernyataan ke publik yang seakan-akan telah memvonis suatu fakta yang masih dalam tahap pemeriksaan. Pemanggilan hakim seyogyianya dilakukan di akhir masa pengumpulan bukti. Dan hanya jika ada bukti awal yang kuat saja seorang hakim akan dipanggil. Tidak perlu ada publikasi nama hakim yang akan atau tengah diperiksa (kecuali jika kasusnya sudah diketahui publik). Publikasi (demi akuntabilitas dan transparansi) dilakukan jika sudah ada rekomendasi sanksi ke Mahkamah Agung.
9
Kedudukan dan martabat masing-masing institusi harus dijaga. Model pemanggilan (pengundangan) hakim agung perlu dibedakan dari hakim biasa, mengingat kedudukannya. Dalam hal seorang hakim agung akan diminta keterangannya sebagai saksi, sebaiknya dilakukan di Mahkamah Agung atau tempat yang netral. Namun jika hakim agung tersebut akan diminta keterangan sebagai terlapor (jika ada bukti yang cukup kuat), maka yang bersangkutan harus datang ke Komisi Yudisial sebagai bentuk penegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum. Dari kasus tersebut diatas, membuktikan bahwa ada kesalah pahaman diantara pihak – pihak tersebut diatas. Maka berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut kedalam suatu penulisan skripsi dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU No. 22 Tahun 2004 .” B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai
berikut : 1.
Bagaimana ketentuan yuridis wewenang pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam UU No.22 Tahun 2004.
2.
Bagaimana ketentuan yuridis wewenang pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006.
10
3.
Bagaimana ketentuan yuridis wewenang pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006.
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk : a.
Untuk
mengetahui
bagaimana
ketentuan
yuridis
terhadap
pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam UU No.22 Th 2004 . b.
Untuk
mengetahui
bagaimana
ketentuan
yuridis
terhadap
pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006. 2.
Manfaat Penelitian a.
Sebagai acuan untuk menjawab dan mengetahui bagaimana ketentuan yuridis terhadap pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
b.
Bagi dunia pendidikan khususnya fakultas hukum dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang masalah – masalah hukum yang ada dalam masyarakat.
c.
Dan
sebagai
referensi
Muhammadiyah Malang.
bagi
Perpustakaan
Universitas
11
D.
Metode Penelitian 1.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan hal yang penting bagi penelitian, karena sebagai pembatas studi agar tidak melebar dan menjadi layak sehingga informasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menganalisa permasalahan utama tentang tinjauan yuridis terhadap pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial diperlukan data yang relevan dan akurat. Oleh karenanya, penelitian ini dibatasai pada hal – hal yang hanya berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial saja, sehingga pengumpulan data akan lebih terarah. 2.
Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana sumber data diperoleh. Sumber data adalah benda, hal atau orang dimana peneliti mengamati, membaca, dan bertanya tentang data. Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data. Dalam hal ini penulis menggunakan sumber data primer yaitu data – data yang diperoleh dengan cara pengkajian terhadap peraturan perundang – undangan dalam hal ini adalah UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dan juga data sekunder yaitu data - data yang diperoleh dengan cara penelusuran dan pengumpulan data pada media cetak, media elektronik, buku – buku literature, dan peraturan perundang – undangan, selain itu juga opini – opini atau catatan – catatan
12
lainnya yang terkait dengan obyek penelitian, yang mana hal ini dilakukan guna mendapatkan landasan teoritis. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam kegiatan penelitian, pengumpulan data merupakan suatu kegiatan penting karena dengan metode pengumpulan data ini akan diperoleh data – data yang akan dianalisa dan hasilnya disajikan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan tugas akhir ini, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a.
Dokumentasi
Yaitu suatu metode dimana penulis akan mengumpulkan data dengan cara membaca dan mempelajari dokumen, yaitu berupa peraturan perundang – undangan antara lain UUD 45, UU No. 22 Th. 2004 Tentang Komisi Yudisial. b.
Pengamatan
Yaitu suatu metode dimana penulis akan melakukan penelusuran dan pengumpulan data dengan mengikuti dan mengamati berita yang terdapat pada media cetak maupun media elektronik. 4)
Analisa Data
Data yang bisa diperoleh oleh penulis didapat dari studi pustaka dan merupakan data primer yang selanjutnya akan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu suatu analisa yang menggambarkan suatu gejala tertentu secara tetap kemudian dimasukkan ke dalam pembahasan.
13
E.
Sistematika Penulisan Untuk lebih dapat memahami dalam penulisan skripsi ini, maka sistematika
penulisan “legal opini” ini dibagi menjadi 4 (empat) bab dimana, masing – masing bab terdiri dari sub bab. Adapun bab – bab tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diberikan suatu gambaran yang masih bersifat umum
yang meliputi latar belakang masalah yang juga berisi pertimbangan alasan pemilihan judul. Disamping itu juga diberikan rumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian. Setelah itu akan dikemukakan metode penelitian. Dan sebagai akhir dari bab ini akan diuraikan tentang sistematika penulisan legal opini ini. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dikemukakan tentang pendekatan teoritik mengenai kerangka dasar yang diangkat, yaitu mengenai perundang – undangan dan juga literatur – literatur lain yang berkaitan dengan Komisi Yudisial. BAB III
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan berisikan tentang penjelasan dari hasil yang telah diperoleh untuk membahas permasalahan yang sudah ada secara sistematis. BAB IV
PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan atas pembahasan dan saran, dimana penulis menarik kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan pada bab–bab sebelumnya serta
14
memberikan saran – saran berdasarkan hasil penelitian yang dapat bermanfaat bagi pihak–pihak yang berkepentingan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Hakim Lembaga peradilan di Indonesia dari tahun ke tahun mulai menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu dari lembaga peradilan, hakim saat ini juga mendapat sorotan yang relatif tinggi dari masyarakat dan media. Secara yuridis, hakim merupakan bagian integral dari sistem supremasi hukum. Tanpa adanya hakim yang memiliki integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan, maka jargon-jargon good government dan good governance yang selama ini digembar-gemborkan oleh banyak pihak tidak akan dapat terealisasi, hanya sebatas “mimpi” semata. A.I.
Pengertian Hakim Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun
2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak 15
16
boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.7 Melihat dari pengertian hakim yang dijabarkan oleh Bambang Waluyo, S.H maka bisa diketahui bahwa yang dimaksud hakim olehnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU No.22 Th 2004, bukankah hakim agung, hakim yang berada dibawah peradilan, dan juga hakim konstitusi itu juga merupakan organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan. Hal ini senada juga dengan apa yang diungkap kan oleh Al. Wisnu Broto, pendapatnya ialah, yang dimaksud dengan Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan secara abstrak, Bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.8 Kalau kita perbandingkan dari keduanya, secara normatif hakim merupakan institusi yang mempunyai kekuasaan kehakiman, yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya sampai ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan penjelasan tentang hakim secara umum, hakim haruslah seseorang yang mempunyai tanggung jawab, integritas, dan kemampuan untuk berbuat adil dalam membuat keputusan. Pada dasarnya pengertian hakim, apabila kata tersebut ditafsirkan secara generik maka dapat diartikan bahwa hakim adalah seluruh hakim disemua jenis dan
7
Bambang Waluyo, S.H. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika Edisi 1 Cet. 1. Jakarta 19912. hal 11. 8 Al. Wisnu Broto Hakim Dan Peradilan Di Indonesia (dalam beberapa aspek kajian), Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997, hal 2
17
tingkatan peradilan yaitu Hakim Agung, hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi. A.II.
Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Hakim Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam menjalankan tugasnya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berpekara saja, dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan, tetapi juga mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam tiap - tiap amar putusan hakim selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya harus dibuatkan undang-undang. Tengok saja, dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan disesuaikan lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kemudian, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Komisi Yudisial, dan peraturan perundangan lainnya. Bahkan, dalam menjalankan tugasnya diruang sidang, hakim terikat aturan hukum, seperti hal nya pada pasal158 KUHAP yang mengisyaratkan: Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Begitupun dalam menilai alat bukti, UU telah dengan tegas mengingatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan kepribadian
18
yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, demikian bunyi pasal 32 UU No. 4/2004. Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat dibidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip prinsip dasar kode etik hakim, antara lain: a.
Prinsip kebebasan. Prinsip ini memuat kebebasan peradilan adalah suatu prasyarat terhadap
aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu, seorang Hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek perorangan maupun aspek kelembagaan. b.
Prinsip Ketidakberpihakan. Prinsip ini sangatlah penting untuk pelaksanaan secara tepat dari peradilan.
Hal ini tidak hanya berlaku terhadap keputusan itu sendiri tetapi juga terhadap proses dalam mana keputusan itu dibuatan. c.
Prinsip Integritas. Prinsip integritas sangat penting untuk pelaksanaan peradilan secara tepat
mutu pengemban profesi d.
Prinsip Kesopanan. Kesopanan dan citra dari kesopananitu sendiri sangat penting dalam
pelaksanaan segala kegiatan seorang Hakim. e.
Prinsip Kesetaraan.
19
Prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya. f.
Prinsip Kompetensi dan Ketaatan. Prinsip kompetensi dan ketaatan adalah prasyarat terhadap pelaksanaan
peradilan sebagaimana mestinya. 9 Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita. Dalam amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Disamping itu, pada Pasal 25 amandemen UUD 1945 ditentukan bahwa syarat–syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan oleh undang–undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan sungguh–sungguh dan memiliki independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain dalam masyarakat.
9
Disiplin F. Manao, SH, Hakim sebagai pilihan profesi, artikel, ditulis untuk workshop pembekalan profesi hukum, diselenggarakan IKA PERMAHI (Ikatan Alumni Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), Jakarta, 19 Juli 2003. Disiplin F. Manao, seorang Hakim, juga pengurus IKA PERMAHI.
20
Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral, untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang oleh hakim. Hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah (UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Pasal 1 ayat 5). A.II.a. Kewenangan Hakim (hak & kewajiban) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat 1). Dalam hal ini ketika berada dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai–nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat, untuk itu ia harus terjun ketengah – tengah masayarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
21
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberi keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam
mempertimbangkan
berat
ringannya
pidana,
hakim
wajib
memperhatikan pula sifat – sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.1 (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 th 1999 Pasal 27 ayat 2). Dalam hal ini sifat – sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan–keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil – adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang–orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya. A.II.b. Kekuasaan Hakim. Demi mendukung kelancaran tugas – tugas yang amat mulia yang dilakukan oleh hakim, maka diperlukan adanya suatu kemandirian bagi hakim. Asas kemandirian hakim dalam menangani suatu perkara juga di anut oleh Indonesia, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang dalam penjelasannya disebutkan “Kekuasaan hakim ialah kekuasaan yang merdeka” artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu maka harus diadakan jaminan dalam undang – undang tentang kedudukan para hakim.10 Dalam penafsiran Undang-undang dasar 1945 Bab IX pasal 24 menyebutkan : 1.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
10
Al. Wisnu Broto, Op Cit
22
2.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkung peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
3.
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.
B.
Komisi Yudisial Sebagaimana telah diperintahkan UUD 1945 hasil amandemen, khususnya
pasal 24A ayat (3), pasal 24B pasal 25, maka perlu dibentuk lembaga negara baru bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Negara baru ini bernama Komisi Yudisial, yang dibentuk berdasarkan UU Komisi Yudisial. Mengenai kewenangan Komisi Yudisial, pasal 13 UUKY menentukan : a.
Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b.
Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Sedangkan tugas Komisi Yudisial ditentukan pasal 14 ayat (1) UUKY, yaitu:
a.
Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b.
Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
23
c.
Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d.
Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR Disamping itu, Komisi Yudisial juga bertugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim (Pasal 20 UUKY). Dalam melaksanakan kewenangannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UUKY). Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada Mahkamah Konstitusi untuk hakim konstitusi. Bagaimana pengawasan itu dilakukan. Sesuai Pasal 22 ayat (1), maka Komisi Yudisial: a.
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.
meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.
melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.
memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e.
membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
24
Sedangkan pasal 22 ayat (2) menegaskan, bahwa dalam melaksanakan pengawasannya, Komisi Yudisial wajib: a.
Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.
Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Yang dimaksud dengan mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semenamena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak memperlakukan hakim seolah-olah tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan Pelaksanaan tugas Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (pasal 22 ayat 3). Itu artinya, hakim tetap diberikan kemandirian dalam melaksanakan tugasnya. Hanya saja, manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22 ayat (4) menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima. Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan itu dapat diberikan secara lisan dan/atau tertulis” (penjelasan pasal 22 ayat 4).
25
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta (Pasal 22 ayat 5). Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan dan data ini bersifat rahasia (pasal 22 ayat 7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial. Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu: a.
Teguran tertulis;
b.
Pemberhentian sementara; atau
c.
Pemberhentian. Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya,
bersifat mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim
26
yang dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada presiden paling lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan (pasal 23 ayat 5). Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat 6) Selain tugas pengawasan, Komisi Yudisial juga dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (pasal 24 ayat 1). Harus diakui, dilahirkannya lembaga Komisi Yudisial ini tidak lain akibat dari banyaknya penyimpangan perilaku hakim, bahkan sampai-sampai memunculkan istilah mafia peradilan, sementara system yang ada untuk membersihkan penyimpangan penyimpangan hakim, misalnya suap dan korupsi dinilai tidak mampu menembus dinding korps hakim. Boleh jadi, jika saja hakim dinegeri ini banyak yang berperilaku bersih, tak perlu dibentuk Komisi Yudisial. Sekelompok orang yang ditunjuk dan atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan suatu tugas tertentu yang berhubungan dengan lembaga hukum atau
lembaga
yudikatif.
Latar
Belakang
Lahirnya
Komisi
Yudisial
dan
Kedudukannya Dalam Susunan Ketatanegaraan Indonesia. Guna pembenahan terhadap masalah masalah dalam hal kekuasaan kehakiman yang selama ini seringkali
27
dimanfaatkan oleh kepentingan politik pihak–pihak tertentu maka diperlukan adanya gagasan – gagasan tentang perlunya lembaga–lembaga khusus yang mempunyai fungsi fungsi tertentu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial dibentuk dalam rangka memenuhi gagasan–gagasan tersebut sebagai penyeimbang yang berjalan bukan pada rel atau koridor peradilan tetapi untuk melakukan pengawasan atau sebagai fungsi control sehingga perwujudan konsep “chek and balance” bisa tercapai dengan benar. Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan di Indonesia adalah termasuk kedalam lembaga tinggi Negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independent yang dalam
istilah
lain
disebut
lembaga
Negara
mandiri
(state
auxiliaries
institution).dengan demikian status kelembagaan Komisi Yudisial tidak sama dengan, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komnas HAM, Komnas perempuan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Hukum Nasional, Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Konstitusi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak, karena ada alasan sebagai berikut: 1.
Kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu pasal 24B
2.
Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, karena pengaturan ada dalam bab IX kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945.
28
Yang jelas kedudukan Komisi Yudisial disini sebagai lembaga Negara, yakni lembaga yang kewenangannya ditentukan oleh UUD, dimana Komisi Yudisial itu sendiri dalam pasal 24b ayat 1 dan 2 dalam hubungannya dengan lembaga Negara yang lain seperti MK, MA, Presisen, MPR, DPR itu sejajar. Pola hubungan yang ada diantara lembaga – lembaga ini yakni pola hubungan fungsional dan bukan structural. Yang membedakan antara pola hubungan fungsional dengan pola hubungan structural disini adalah tidak lagi pola hubungan yang bersifat instruktuif tetapi bersifat berjalan sesuai fungsi masing – masing lembaga tersebut yang mana konsepsi ketenegaraan sekarang yakni konstruksi check and balance yang artinya ada fungsi control dan penyeimbang dalam lembaga Negara (Aan Eko Widiarto.SH, MHum)11 B.I.
Kewenangan Komisi Yudisial Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945). B.II.
Fungsi Komisi Yudisial
1.
Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat
11
Aan Eko Widiarto “KY Merupakan Perwujudan Check and balance”AZAS Edisi XVIII/Tahun/XIV/2006, Fakultas Hukum UMM.
29
dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja; 2.
Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3.
Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.
4.
Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial)
5.
Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (Judicial Power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
C.
Pengawasan Terhadap Hakim Banyaknya kasus – kasus penyalahgunaan wewenang oleh hakim serta pejabat
peradilan lain yang banyak dipublikasikan oleh berbagai media akhir – akhir ini
30
menjadi cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim serta pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi dilingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah terjadi dilingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi, sehingga menimbulkan sebuah pandangan bahwa lembaga peradilan sebagai suatu sistem dianggap sudah tidak bersih dan kurang berwibawa. Pada dasarnya Hakim itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kesalahan dan kekilafan, yang mempunyai banyak kelemahan – kelemahan dan harus selalu diingatkan akan kelemahannya, untuk itu diperlukan adanya pengawasan terhadap para hakim agar supremasi hukum bisa terealisasi secara signifikan. D.
Komisi Yudisial Berwenang Melakukan Pengawasan Terhadap Hakim Karena selama ini kedudukan hakim sebagai salah satu dari bagian lembaga
peradilan dirasakan tidak berjalan secara optimal maka pemerintah melakukan pembenahan – pembenahan yang salah satunya yaitu dengan melakukan pembentukan lembaga yang independen yang berfungsi sebagai lembaga pengawasan terhadap hakim. Seperti yang kita tahu, akhirnya dilahirkanlah suatu lembaga baru melalui perubahan ketiga UUD 1945 yaitu Komisi Yudisial Republik Indonesia. Yang secara legislatif salah satu kewenangan dan tugas Komisi Yudisial adalah menegakkan kehormatan, dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B UUD 45). Tugas dan kewenangan tersebut dilaksanakan Komisi Yudisial dengan melakukan pengawasan terhadap hakim, yakni dengan meneliti, menguji, dan
31
melakukan verifikasi terhadap perilaku hakim sedemikian rupa sehingga kehormatan, martabat dan perilaku hakim tetap tegak, luhur dan terjaga. Tidak efektifnya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung membuat kehadiran Komisi Yudisial menjadi amat beralasan pada suatu negara yang berlandaskan hukum seperti negara Indonesia ini. Pada prinsipnya pelaksanaan kewenangan yang diemban oleh Komisi Yudisial ini bertujuan untuk mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim, agar hakim pada semua tingkat peradilan dapat menjalankan wewenang dan tugasnya secara sungguh – sungguh dengan berdasarkan kebenaran, rasa keadilan, peraturan perundang – undangan yang berlaku dan bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan serta menjunjung tinggi kode etik hakim, sehingga terciptanya kepastian hukum dan keadilan serta terwujudnya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dapat tercapai. E.
Dampak Hukum Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas terhadap hakim membawa
dampak yang begitu besar pada dunia peradilan. Kata ”hakim” yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial yang seharusnya mencakup seluruh hakim dibantah oleh Mahkamah Agung, karena menurut Mahkamah Agung pengertian hakim tersebut hanya sebatas hakim yang ada di lingkup lembaga peradilan yang berada dibawahnya saja. Disamping itu Mahkamah Agung sendiri juga mempunyai wewenang pengawasan seperti yang tercantum dalam pasal 32 UU No.5 Th 2004 tentang Mahkamah Agung.
32
Dengan alasan ini maka Mahkamah Agung meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan peninjauan kembali terhadap UU No. 22 Th 2004 tentang Komisi Yudisial agar dilakukan revisi dan tidak mencantumkan Hakim Agung sebagai salah satu objek kepengawasan yang di lakukan oleh Komisi Yudisial. Akan tetapi keputusan Mahkamah Konstitusi malah mencabut pasal - pasal yang ada didalam UU No.22 Th 2004 yang berkaitan dengan pengawasan. Hal ini menyebabkan
hilangnya fungsi pengawasan Komisi Yudisial atas hakim dan
membuat fungsi lembaga tersebut menjadi tumpul dan sistem check and balance antarlembaga tinggi negara jadi terganggu. F.
Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Makamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan peran MK penting dalam mengharmoniskan hubungan antar lembaga negara yang sering berbenturan. Untuk menjamin akuntabilitas putusannya, hakim MK perlu dilengkapi kelompok ahli yang berfungsi memberikan wawasan dan pertimbangan bagi MK. Banyaknya lembaga negara baru yang muncul pasca reformasi menimbulkan konflik antar lembaga yang mengganggu penyelenggaraan negara. Konflik antar lembaga negara sebenarnya dapat diarahkan menjadi sesuatu yang konstruktif bagi perkembangan demokrasi pada masa depan12 (Gubernur
12
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi, Selasa 5 Desember 2006 “Resume Berita Mengenai Mahkamah Konstitusi”, http://www.republika.com/artikel/html, Selasa 20 Desember 2006
33
Lembaga Ketahanan Nasional Muladi “Resume Berita Mengenai Mahkamah Konstitusi”). Makamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Dan mengenai susunan MK menurut UU RI No. 24 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1, 2, 3, 4, 5 Tentang Susunan MK yang berbunyi : 1.
Makamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2.
Susunan Makamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi
3.
Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
4.
Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Makamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan ketua dan wakil Ketua Makamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
5.
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Makamah Konstitusi. Mengenai kewenangan Makamah Konstitusi dalam hal mengadili putusannya
bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir, untuk menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, kemudian memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan atau diatur oleh UUD Negara Indonesia Tahun 1945, membubarkan partai politik dan memutuskan perselisihan.
34
Aturan mengenai wewenang dan tanggung jawab MK terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2003 BAB III Tentang Kekuasaan Makamah Konstitusi Pasal 10 yang menyatakan : 1.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a.
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
c.
memutus pembubaran partai politik; dan
d.
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a.
pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
35
b.
korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c.
tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d.
perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e.
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan guna mendukung pelaksanaan wewenang MK sebagaimana dimaksud pasal 10 MK Berhak memanggil pejabat Negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Sesuai pasal 11 UU No. 24 Tahun 2003 yang menyatakan : “Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara,
pejabat
pemerintah,
atau
warga
masyarakat
untuk
memberikan
keterangan”.13 Sedangkan mengenai tanggung jawab MK diatur dalam pasal 12, 13 ayat 1 dan 2 mengenai tanggung jawab dan akuntabilitas yang menyatakan : Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih. (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2003). Dan pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : 13
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Makamah Konstitusi Pasal 11
36
1.
Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:
2.
a.
permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
b.
pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.
G.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau
Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut : 1)
Mahkamah
Agung
penyelenggaraan
melakukan
peradilan
di
pengawasan semua
tertinggi
lingkungan
terhadap
peradilan
dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman; 2)
Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;14
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada 14
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
37
Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur tangan dari Komisi Yudisial. Hal ini berbeda dengan Hakim pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial, juga Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Atas dasar tersebut maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur tentang usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B. Karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial tidak termasuk Hakim Agung
38
dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka sepanjang mengenai “pengawasan dan usul penjatuhan sanksi” terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal: 1 butir 5, 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undangundang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan selanjutnya menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Mengingat seperti apa yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Yang mana isi nya adalah ; MENGADILI 1. Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian; 2. Menyatakan: a. Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”; b. Pasal 20, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”; c. Pasal 21, yang berbunyi, ”Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan
39
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”; d. Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR”; e. Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta”; f. Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”; g. Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, dan; h. Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau
40
Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim”; i. Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; j. Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; k. Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; l. Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
41
3. Menyatakan: a. Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, b. Pasal 20, c. Pasal 21, d. Pasal 22 ayat (1) huruf e, e. Pasal 22 ayat (5), f. Pasal 23 ayat (2), g. Pasal 23 ayat (3), dan h. Pasal 23 ayat (5) i. Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; j. Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; k. Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; l. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik
42
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 5. Menolak permohonan untuk selebihnya. Untuk keputusan Mahkamah Konstitusi selengkapnya bias dilihat di lampiran No.1
BAB III PEMBAHASAN
A.
Ketentuan Yuridis Wewenang Pengawasan Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial Dalam UU No.22 Tahun 2004.
1.
Undang – undang No. 22 Tahun 2004. Pada era seperti sekarang ini kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan
sudah mulai dipertanyakan, ketika para penegak keadilan itu sendiri sudah enggan untuk menjaga dan memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilakunya. Menghadapi situasi semacam ini tentunya pemerintah sudah berupaya untuk mewujudkan keseimbangan (“check and balance”) antara penegak keadilan itu sendiri dengan masyarakat sehingga kebenaran dan keadilan yang berdasarkan ke Tuhanan yang maha esa itu benar – benar terwujud. Dengan membentuk suatu Komisi Yudisial yang dalam hal ini melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim yang didasari oleh UUD 1945 dan UU No 22 Tahun 2004.15 Kinerja Komisi Yudisial tentang pengawasan perilaku hakim inilah yang kemudian menjadi salah satu hal yang diatur dalam UU No 22 Tahun 2004 BAB III tentang wewenang dan tugas Komisi Yudisial. Pasal – pasal tersebut pada dasarnya 15
Pembukaan rancangan pedoman etika dan perilaku Hakim, Op Cit.
.
43
44
mengatur bahwa dalam menjalankan tugasnya Komisi Yudisial dituntut untuk konsisten, apabila terjadi suatu penyimpangan – penyimpangan yang dilakukan oleh Hakim. Adapun ketentuan – ketentuan pengawasan yang diatur dalam UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial adalah : 1.
Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 13 huruf b UUKY)
2.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UUKY)
3.
Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UUKY).
4.
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: a.
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
b.
Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku Hakim.
c.
Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
d.
Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
45
melanggar kode etik perilaku hakim; dan e.
Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada
Mahkamah
Agung
dan/atau
Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR (Pasal 22 ayat (1) UUKY). 5.
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib: a.
menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.
menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. (Pasal 22 ayat (2 )UUKY)
6.
Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima (Pasal 22 ayat (4) UUKY).
7.
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta (Pasal 22 ayat (5) UUKY).
46
8.
Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 ayat (3) UUKY).
9.
Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 ayat (5) UUKY).
10.
Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 ayat (1) UUKY). Untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim
sebagaimana
ditentukan
dalam
peraturan
perundang-undangan
harus
diimplementasikan secara konkrit dan konsisten. Konkrit dalam arti Komisi Yudisial dalam kepengawasannya harus fokus terhadap beberapa hal yaitu, teknik yudisial yang berkaitan dengan keputusan – keputusan yang dikeluarkan oleh hakim, serta sikap dan perilaku hakim. Sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, diharapkan para hakim sadar akan betapa pentingnya menjaga kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku mereka.
47
Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Agar pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bisa terlaksana, Masyarakat diharapkan turut andil dengan cara mau melaporkan langsung ke Komisi Yudisial jika menemukan ada hakim yang "nakal". Hal ini dimaksudkan agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim.16 Selain itu Komisi Yudisial juga berhak untuk mendapatkan laporan secara berkala dari badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, dan juga berhak untuk memeriksa, memanggil dan meminta keterangan (baik secara lisan maupun tertulis) langsung dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Dalam melakukan
16
Wawan Tunggul Alam,SH, “Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Advokat, dan Konsultan Hukum Pasar Modal)”, Milenia Populer, Jakarta, 2004
48
kepengawasannya Komisi Yudisial harus menaati Norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semena-mena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak memperlakukan hakim seolah-olah sebagai tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan. Komisi Yudisial berhak meminta keterangan atau data kepada badan peradilan atau hakim yang digunakan dalam rangka kepengawasannya, dan jika badan peradilan atau hakim tidak mau memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial, maka Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta Setelah semua data itu dikumpulkan, maka Komisi yudisial harus segera membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Memang jika dilihat hal ini akan mengancam idependensi hakim, akan tetapi melihat dari kinerja para hakim yang selama ini banyak yang “bermain” dalam memutus perkara, dan juga melihat dari UU yang menyatakan bahwa hakim dapat diberhentikan dengan alasan ketidakcakapan, yakni jika kerap melakukan kesalahan besar dalam bertugas (lihat antara lain, UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum). Jadi independensi hakim tetap saja ada batasannya.
49
Pada dasarnya pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial itu bukan hanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim yang notabene nya bahwa hakim selalu “nakal”, akan tetapi jika dalam menjalankan kepengawasannya itu Komisi Yudisial mendapati ada hakim yang berprestasi maka Komisi Yudisial berhak untuk mengajukan usul kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk memberi penghargaan kepada hakim tersebut. Dari apa yang telah dijabarkan diatas maka kita dapat mengetahui bahwa begitu mulianya tugas Komisi Yudisial yang dengan segala keterbatasan wewenangnya “bahwa hasil pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak bersifat final dalam arti Komisi Yudisial bukanlah sebagai eksekutor atas apa yang telah dilakukannya selama ini, melainkan yang menjadi eksekutor itu adalah Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial hanya bisa membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi yang selanjutnya disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi” akan tetapi Komisi Yudisial masih saja mau menjalankan tugasnya yaitu melakukan pengawasan dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim dan mau memainkan peran yang selama ini diharapkan publik, yang pasti publik menginginkan agar pihak yang berwenang berani mengambil sikap untuk menghukum
hakim
yang
melakukan
perbuatan
tercela,
yang
sebagian
termanifestasikan dalam putusan yang tidak adil dan bertentangan dengan hukum.
50
2.
UUD 1945 Pasal 24B Ayat (1) Adapun kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam UUD 1945 Pasal
24B ayat (1) adalah ; “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Melihat dari hal ini maka bisa diketahui bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua (2) wewenang yang di atur didalam UUD 1945, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan yang kedua adalah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam melaksanakan wewenang yang pertama, Komisi Yudisial mempunyai tugas : 1.
melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.
melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.
menetapkan calon Hakim Agung;dan
4.
mengajukan calon Hakim Agung
yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial adalah Mahkamah Agung, Pemerintah dan Masyarakat. Setelah calon – calon Hakim Agung diterima, Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. Kemudian Komisi Yudisial menetapkan dan
51
mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan Hakim Agung. Selain wewenang untuk melakukan rekrutisasi calon Hakim Agung, Komisi Yudisial juga mempunyai wewenang lain, yaitu melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut, Komisi Yudisial: 1.
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
2.
meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
3.
melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
4.
memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim;dan
5.
membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada
Mahkamah
Agung
dan/atau
Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada presiden dan DPR. Ketentuan ini menimbulkan masalah, karena tidak cukup jelas apa yang dimaksud dengan "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." Masalah semakin jelas, jika wewenang lain tersebut diartikan sebagai pengawasan, karena dalam peraturan perundang-undangan ada lembaga lain (selain Komisi Yudisial) yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.
52
Masalah lainnya adalah siapa yang dimaksud "hakim" dalam "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Interpretasi dari pasal tersebut adalah sangat beragam, kata
wewenang lain yang tidak tegas tercantum dalam UUD 1945 menjadi peluang bagi Komisi Yudisial untuk dapat mengambil posisi yang signifikan dalam sistem kenegaraan di Indonesia. Terlebih Komisi Yudisial diberi amanah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.17 Sah – sah saja bagi Komisi Yudisial mengartikan bahwa hakim adalah seluruh hakim, baik itu Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi, dan juga mengartikan bahwa yang dimaksud dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu adalah pengawasan. Karena bukankah dengan melakukan pengawasan, kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu baru bisa dijaga dan ditegakkan. Oleh karena
itu,
sudah
seharusnyalah
jika
setiap
lembaga
kehakiman
itu
mempertimbangkan posisi Komisi Yudisial sebagai pengawas atas kinerja mereka. Keberadaan Komisi Yudisial di negara Indonesia saat ini merupakan respon terhadap tuntutan realita sosial yang telah gemas terhadap kondisi penegakkan keadilan dan independensi pengadilan yang bermartabat. Postulat moral yang melatar belakangi lahirnya Komisi Yudisial; tidak lepas dari beban berat institusi yang
17
Majalah “AZAS”, edisi XVIII/Tahun XIV/2006 “Laporan Utama”, UMM, hal. 19
53
memikul tugas pembinaan dan pengawasan badan – badan pengadilan.18 Sehingga Komisi Yudisial harus didudukkan sebagai mitra dalam membangun sebuah peradilan yang bermartabat dan mampu menjadi pemberi keadilan dinegara kita ini. B.
Ketentuan Yuridis Wewenang Pengawasan Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PuuIV/2006.
1.
Tafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Wewenang Pengawasan Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial Didalam tafsirannya
terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD1945 Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Hakim Agung dan Hakim Konstitusi memiliki konsep yang berbeda dengan hakim, hal ini dikemukakan berdasarkan atas pendapat ahli yaitu. Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. (guru besar Universitas Airlangga di Surabaya) yang menggunakan pendekatan kontekstual dalam menganalisis Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Dengan mendasarkan diri pada pendapat Jan McLeod dalam bukunya “Legal Method”, dalam pendekatan contextual tersebut, menurut Ahli, terdapat 3 (tiga) asas yang penting, yaitu (1) asas noscitur a sociis, yang berarti suatu kata ditentukan dari konteks pengertian yang berhubungan dengannya (a thing is known by its associates); (2) asas ejusdem generis, yang mengandung makna of the same class; dan (3) asas expressio unius exclusio alterius yang berarti the expression (or the inclusion) of one thing implies the exclusion of another.
18
Ibid
54
Berdasarkan asas pertama noscitur a sociis, dalam konteksnya bahwa dibagian depannya itu adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan kemudian tugas lain itu “menjaga dan menegakkan kehormatan serta … dan seterusnya perilaku hakim”. Oleh karenanya, mengingat bahwa Indonesia tidak memiliki istilah yang spesifik untuk Hakim Agung, tidak seperti Amerika Serikat memiliki judge dan justice serta Belanda memiliki rechter dan de leden van den Hoge Raad der Nederlanden ataupun Philipina yang mengenal konsep Member of the Supreme Court sehingga Indonesia hanya mengenal istilah Hakim Agung. Oleh karenanya makna kata hakim tersebut tidak termasuk Hakim Agung, juga hakim pada Mahkamah Konstitusi. Asas yang kedua yaitu asas ejusdem generis, artinya mengandung makna of the same class, pada genus yang sama, pada kelompok yang sama. Bahwa yang dimaksud dengan kelompok yang sama, pada genus yang sama, yaitu Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Menurut Ahli, terdapat perbedaan konsep antara Hakim Agung dan hakim. Asas yang ketiga yaitu asas expressio unius exclusio alterius, mengandung makna hakim dalam konteks Pasal 24B ayat (1) tidaklah termasuk hakim agung, oleh karena itu, haruslah ditolak ketentuan dalam undang-undang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan mengartikan hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi termasuk pengertian hakim dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa berdasarkan asas pertama yaitu noscitur a sociis yang berarti bahwa suatu kata ditentukan dari konteks pengertian yang berhubungan dengannya, maka disini dapat dikatakan bahwa kata “hakim” yang
55
berada dalam pasal 24B UUD 45 itu juga berhubungan dengan Hakim Agung, karena bukankah Hakim Agung juga merupakan seorang hakim yang dalam pengertiannya adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bambang Waluyo, S.H. tentang pengertian hakim.19 Sedangkan untuk asas yang kedua yaitu pada kelompok yang sama, penulis mengartikan bahwa disini dapat dikatakan bahwa semua jenis hakim, baik itu Hakim Agung, Hakim Konstitusi maupun hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung itu adalah hakim, dalam arti bahwa sama – sama mempunyai kewajiban dan tanggun jawab dalam penegakkan hukum dan keadilan. Jadi dalam hal ini bisa dikatakan bahwa asas – asas tersebut tidak bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk mengamputasi pasal – pasal tentang pengawasan yang ada didalam UU No. 22 Tahun 2004. Didalam keputusannya, Mahkamah Konstitusi juga sependapat dengan seorang ahli lagi yang bernama Hobbes Sinaga, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, dan mantan Anggota PAH I BP MPR-RI yang terlibat dalam perubahan UUD 1945) yang berpendapat bahwa pada saat ini, Indonesia memiliki dua badan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung 19
Bambang Waluyo, S.H Op Cit hal 12
56
dan Mahkamah Konstitusi. Pengisian hakim pada kedua lembaga ini berbeda. Hakim Konstitusi diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, sedangkan Hakim Agung dipilih melalui proses fit and proper test di DPR. Untuk menjaga kemandirian dari Mahkamah Agung tersebut, dibentuklah Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Artinya, Komisi Yudisial hanya merekrut calon, sedangkan kewenangan penuh untuk memilih calon tetap berada di tangan DPR. Dengan demikian, kedudukan Komisi Yudisial tidak sama dengan DPR yang menyetujui, juga tidak sama dengan Presiden yang menetapkan. Tugas utama dari Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan, sedangkan kewenangan lain itu merupakan kewenangan tambahan yang seharusnya tidak boleh lebih besar dari kewenangan pokok. Yang menegakkan keluhuran martabat dan kehormatan hakim bukanlah Komisi Yudisial, melainkan hakim itu sendiri. Komisi Yudisial tidak memiliki hubungan dengan Mahkamah Konstitusi sehingga tidak relevan apabila Komisi Yudisial juga mengawasi hakim pada Mahkamah Konstitusi. Untuk kedudukan Komisi Yudisial yang dikatakan tidak sama dengan DPR maka penulis berpendapat bahwa, pada awalnya sebelum dilakukan perubahan yang ketiga terhadap UUD 1945, MPR adalah lembaga tertinggi Negara, hal ini berdasarkan atas: 1. Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat (2)); 2. Presiden dan wakil presiden dipilih Oleh MPR dengan suara yang terbanyak;
57
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi ada ditangan MPR (Penjelasan Umum Tentang Sistem Pemerintahan Negara); 4. MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.20 Akan tetapi setelah dilakukan perubahan yang ketiga UUD 45, maka dalam pasal 1 ayat (2) diubah menjadi “kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Dengan terjadinya perubahan atas pasal ini maka sudah tidak lagi Lembaga tertinggi Negara, atau lembaga Negara tinggi. Karena yang ada hanyalah lembaga – lembaga Negara (yang dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)21) yang masing – masing kedudukannya adalah sederajat. Dengan demikian kedudukan Komisi Yudisial dengan ketujuh lembaga Negara lainnya adalah sama. Sedangkan tentang masalah tugas Komisi Yudisiial, penulis berpendapat bahwa tugas utama “mengusulkan pengangkatan” seperti yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi itu adalah tidak benar karena wewenang mengusulkan pengangkatan itu adalah tugas pertama. Perlu digaris bawahi bahwa kalimat yang ada dalam pasal 24B ayat (1) UUD 45 yang mengatakan “…dan wewenang lain…” itu
20
Prof. (EM) Dr. Taufik Sri Soemantri. S.H. “Kedudukan, Wewenang dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial, Jakarta 2006, hal 25 21 Ibid hal 24
58
adalah tugas kedua yang dalam hal ini kedua – duanya adalah sebagai tugas pokok dari Komisi Yudisial dan bukan merupakan kewenangan tambahan seperti yang didalilkan oleh Mahkamah Konstitusi karena kalimat yang ada dalam pasal 24B UUD 45 tersebut dihubungkan oleh kata “dan” (yang merupakan penghubung kata, frase klausa dan kalimat yang sama22) dengan demikian kalimat yang pertama adalah mempunyai posisi yang sama dengan kalimat yang kedua. Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut : 3)
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
4)
Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping 22
Balai pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995
59
itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur tangan dari Komisi Yudisial. Hal ini berbeda dengan Hakim pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial, juga Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Atas dasar tersebut maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur tentang usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan/atau Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
60
Bahwa oleh karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial
tidak
termasuk Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka sepanjang mengenai “pengawasan dan usul penjatuhan sanksi” terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal: 1 butir 5, 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan selanjutnya menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Seperti apa yang tertulis di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Yaitu sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUMK sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945. Untuk seterusnya, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, termasuk sengketa yang melibatkan KY dan
61
MA, tidak lagi terganggu sebagai akibat diperluasnya pengertian hakim yang meliputi hakim konstitusi dimaksud. Seperti yang sudah dijelaskan diatas tadi, bukankah pengaturan tentang Mahkamah Konstitusi juga ditempatkan dalam Bab Kekuasaan Kehakiman (Bab IX UUD 1945), sama dengan pengaturan tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial? Bukankah Hakim Konstitusi - sebagaimana Hakim Agung dan hakim - juga menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara? Jika pengawasan terhadap Hakim Konstitusi cukup dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 UU No. 24 Tahun 2003) sebagaimana didalilkan oleh Mahkamah Konstitusi, bukankah di Mahkamah Agung juga sudah ada Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004), dan bukankah di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sudah ada Majelis Kehormatan Hakim? Bukankah pengawasan internal berpotensi untuk terkendala oleh "solidaritas korp" dan ini yang menjadi latar pemikiran tentang perlunya membentuk Komisi Yudisial? Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sepanjang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung, terbukti tidak cukup beralasan. Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan bahwa untuk kepentingan pembinaan
bertahap
dan
untuk
kepentingan
jangka
panjang
berdasarkan
pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah
62
merupakan produk rekruitmen oleh KY maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik para hakim di bawah hakim agung. Sekiranya undangundang menentukan hal demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Namun sebaliknya, jika undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur pengawasan. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa: (i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UUKY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid); (ii) UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya; (iii) Konsepsi
63
pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan “checks and balances” antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY dan MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya; Oleh karena itu, segala ketentuan UUKY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hokum (rechtsonzekerheid). Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkahlangkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan
64
sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Tugas legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah. MA, KY, dan juga MK merupakan lembaga pelaksana undangundang, sehingga oleh karenanya harus menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang. Bahwa MA, KY, dan juga MK dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga MK untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung; Sementara itu, Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan
65
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan; Mengingat Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4316); MENGADILI 1.
Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
2.
Menyatakan: a. Pasal
1
angka
5
sepanjang
mengenai
kata-kata
“hakim
MahkamahKonstitusi”; b. Pasal
20,
yang
berbunyi,
”Dalam
melaksanakan
wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”; c. Pasal 21, yang berbunyi, ”Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”; d. Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan
66
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR”; e. Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta”; f. Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”; g. Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, dan; h. Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim”; i. Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
67
Konstitusi”; j. Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; k. Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; l. Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3.
Menyatakan: a. Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, b. Pasal 20, c. Pasal 21,
68
d. Pasal 22 ayat (1) huruf e, e. Pasal 22 ayat (5), f. Pasal 23 ayat (2), g. Pasal 23 ayat (3), dan h. Pasal 23 ayat (5) i. Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; j. Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; k. Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; l. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4.
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
5.
Menolak permohonan untuk selebihnya.
69
Berdasarkan dari penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi maka bisa dikatakan bahwa penulis sependapat dengan dikatakannya bahwa Undang – undang Komisi Yudisial itu masih kurang sempurna, akan tetapi apakah hanya dengan dalil seperti itu lantas bias menjadi dasar Mahkamah Konstitusi untuk menghilangkan pasal – pasal yang ada dalam Undang – undang Komisi Yudisial, kenapa tidak “merevisi” saja Undang – undang tersebut, seperti yang diinginkan oleh Mahkamah Agung yang dalam hal ini adalah sebagai pemohon. Putusan MK atas KY tersebut juga tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi itu sendiri yakni Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa “Dari ketetentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan pengembangan Iebih lanjut ide pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang selama ini. Akan tetapi, jika majelis semacam ini dibentuk di Iingkungan internal Mahkamah Agung, maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena kedudukannya yang tidak independen terhadap subjek yang akan diawasi. Di samping itu, jika lembaga ini dibentuk di dalam struktur Mahkamah Agung, maka subjek yang diawasinya hanya terbatas pada hakim agung saja. Oleh karena itu, keberadaan lembaga Komisi Yudisial ini dibentuk tersendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga subjek yang
70
diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia.23 Sementara itu juga didalam cetak biru yang disusun oleh Mahkamah Konstitusi secara eksplisit Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun juga merupakan hakim yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. Dalam Bab IV Mewujudkan Akuntabilitas dan Transparansi Mahkamah Konstitusi bagian B Tujuan Strategis pada halaman 121 Mahkamah Konstitusi menyatakan: “MK memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang
tercermin
pada
kewenangan-kewenangan
yang
dimilikinya.
Untuk
mengimbangi dan menjaga agar MK tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme pengawasan terpadu terhadap MK. Menjadi penting bagi MK, untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di Iingkungan peradilan umum maupun MK.”24 Ketika dulu mereka pernah mengakui bahwa fungsi utama dari Komisi Yudisial adalah mengawasi para hakim. "Kenapa sekarang mereka tidak lagi mengakui itu? Melihat dari hal ini seharusnya bukan Mahkamah Konstitusi yang dapat menyatakan dirinya bebas dari pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, 23
Prof. Dr. Jimly asshidiqie SH, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah seminar pembangunan hukum nasional VIII tema penegakan hukum dalam era pembangunan berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003 24 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Jakarta, 2005. hal. 121
71
karena hal itu menjadi bagian dari legislative review. Bagaimana mungkin hakim yang punya kepentingan sebagai pihak dan yang tidak dipersoalkan dalam permohonan secara langsung, dia malah menjelajah pada persoalan yang berkaitan dengan kepentingannya. Seperti yang dipaparkan oleh anggota Komisi III DPR Mahfud MD bahwa sudah seharusnya lah Undang - Undang Mahkamah Konstitusi itu direvisi."UU MK harus direvisi. Harus diatur batasan-batasan yang tegas, apa yang boleh, apa yang tidak, karena MK sering melakukan keputusan yang melampaui batasan yang diminta atau ultra petita,"25 C.
Bagaimana Ketentuan Yuridis Wewenang Pengawasan Hakim Yang Dilakukan Oleh Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006. Gelombang demokratisasi yang melanda sebagian besar negara berkembang
biasa disebut sebagai proses transisional. Pada proses dimaksud, banyak negara mengadopsi konstitusi baru atau mengamandemen konstitusi lamanya. Konstitusi tersebut dimaknai sebagai kontrak politik baru yang idealnya memuat the whole aspiration of the nation. Pada proses transisi politik itu terjadilah perubahan struktur dan format kekuasaan yang acap kali juga menyentuh sistem kekuasaan kehakiman. Itu sebabnya, kini kekuasaan kehakiman di Indonesia berpucuk pada MA dan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan hanya MA; dan pembentukan KY yang berdasarkan atas 25
Thahrir Taimima, “Mahkamah Konstitusi Cukur Gundul Komisi Yudisial”, http://www.detikcom.com/artikel/html 3 Januari 2007
72
UUD 1945 dan Undang – Undang Tahun 24 adalah merupakan bagian dari kehendak untuk menciptakan saling imbang dan saling kontrol pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Putusan yang dibacakan oleh delapan hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (23/8), Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 yang membatalkan UU Komisi Yudisial (KY) Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 Ayat 1 Huruf e, Pasal 22 Ayat 5, Pasal 23 Ayat 2, 3, dan 5.
MK berpendapat pasal-pasal dalam UU KY yang
mengatur fungsi pengawasan terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini menyebabkan “kekosongan” kinerja Komisi Yudisial, ketika semua pasal – pasal yang berhubungan dengan pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim di Indonesia harus dihilangkan. Bukan kah itu merupakan tugas pokok dari Komisi Yudisial, hal ini terasa mengamputasi amanat dari UUD 45 pada pasal 24B ayat 1 yang menyatakan bahwa KY memiliki "....wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim". Mekanisme cheks and balances yang dijadikan dasar pertimbangan di mana KY dianggap sebagai supporting system sehingga tidak bisa melakukan pengawasan terhadap MK, akan menimbulkan kekacauan dalam sistem cheks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita. Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya dikontrol oleh dua lembaga. Dalam menjalankan kewenangan eksekutifnya dikontrol oleh DPR, sedangkan dalam menjalankan kekuasaan legislatifnya dalam membuat peraturan perundang-undangan di bawah UU, dikontrol oleh MA. Sementara DPR
73
kewenangan membuat UU dikontrol oleh MK. Sekarang siapa yang punya fungsi kontrol terhadap MA dan MK. Mengingat sistem negara. Seperti yang dipaparkan oleh Andi Samsanganro (Andi Samsanganro adalah seorang hakim dan juga kepala pengadilan tinggi Cibinong) bahwa yang menjadi alasan utama bagi terwujudnya komisi yudisial di dalam suatu negara hukum adalah: 1.
Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
2.
Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (Executive Power) dan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3.
Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (Judicial Power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.
4.
Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial)
74
5.
Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (Judicial Power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.26
Akan tetapi dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka secara otomatis fungsi kepengawasan Komisi Yudisial itu hilang, sehingga alasan dibentuknya Komisi Yudisial itu menjadi tidak ada, kecuali hanya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Separti yang diatur dalam UU No.22 Th 2004 Tentang Komisi Yudisial : 1.
Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a.
Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR ( Pasal 13 UUKY )
2.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a.
Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung
b.
Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c.
Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d.
Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. (Pasal 14 ayat 1 UUKY )
26
Majalah “AZAS”, Op Cit hal 13
75
3.
Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut. (Pasal 14 ayat 2 UUKY ).
4.
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung. (Pasal 14 ayat 3 UUKY ).
5.
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut. (Pasal 15 ayat 1 UUKY ).
6.
Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. (Pasal 15 ayat 2 UUKY ).
7.
Pengajuan calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (Pasal 15 ayat 3 UUKY ).
8.
Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal 16 ayat 1 UUKY ).
76
9.
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan calon hakim agung harus memenuhi persyaratan administrasi dengan menyerahkan sekurang-kurangnya: a.
Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan;
b.
Ijazah asli atau yang telah dilegalisasi;
c.
Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah;
10.
d.
Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon; dan
e.
Nomor Pokok Wajib Pajak. (Pasal 16 ayat 2 UUKY ).
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. (Pasal 17 ayat 1 UUKY ).
11.
Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. (Pasal 17 ayat 2 UUKY ).
12.
Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (Pasal 17 ayat 3 UUKY ).
13.
Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu
77
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir. (Pasal 17 ayat 4 UUKY ). 14.
Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan. (Pasal 18 ayat 1 UUKY ).
15.
Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. (Pasal 18 ayat 2 UUKY ).
16.
Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan. (Pasal 18 ayat 3 UUKY ).
17.
Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. (Pasal 18 ayat 4 UUKY).
18.
Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden. (Pasal 18 ayat 5 UUKY ).
19.
DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
78
diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5). (Pasal 19 ayat 1 UUKY). 20.
Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR. (Pasal 19 ayat 2 UUKY ).
21.
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5). (Pasal 19 ayat 3 UUKY ).
Putusan MK mengakibatkan terjadi kevakuman atau kekosongan hukum dalam pengawasan terhadap hakim-hakim karena rekomendasi MK yang meminta pemerintah dan DPR merevisi UU 22/2004 tentang KY, UU 5/2004 tentang MA, dan UU 4/2004 tentang Kehakiman tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat ( UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah – langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait
79
dengan sistem peradilan terpadu27 ). Dari hal ini . "Minimal 6 bulan atau 1 tahun ke depan pengawasan terhadap kehakiman tidak bisa dilakukan dan ini bukan kerugian bagi Komisi Yudisial, tetapi bagi rakyat Indonesia. Ini juga bukan salah Komisi Yudisial, karena sistemnya yang membuat seperti ini,"28 Pilihan MK untuk menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat segala aturan pengawasan dalam UU KY telah menimbulkan kekosongan hukum dalam pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Tindakan MK memilih terjadinya kekosongan hukum tersebut adalah merupakan langkah mundur dalam agenda reformasi hukum di Indonesia.
27 28
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 Thahrir Taimima, Op Cit, 3 Januari 2007
BAB IV PENUTUP Setelah penulis menguraikan tentang bagaimana fenomena peradilan di Indonesia penulis dapat menyimpulkan dan sekedar memberikan sedikit saran yang penulis tulis dalam bab terakhir ini dalam rangka penulisan skripsi ini. A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dari pembahasan yang dilakukan oleh penulis, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1.
Dari pembahasan yang pertama, yaitu tentang ketentuan yuridis wewenang pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam UU No.22 Tahun 2004, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin keseimbangan dalam system peradilan di Indonesia, bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang dibentuk atas dasar UUD 1945, yang kedudukannya setara dengan lembagalembaga Negara yang lainnya. Namun Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY bisa menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY
dan MA akan terus
berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya; 80
81
2.
Dari pembahasan yang kedua, yaitu tentang ketentuan yuridis wewenang pengawasan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, bahwa alasan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi atas dihapusnya pasal – pasal yang berkaitan dengan kepengawasan Komisi Yudisial didalam UU No. 22 th 2004 adalah tidak relevan, karena mahkamah Konstitusi selain pernah mengakui bahwa yang dimaksud dengan kata “Hakim” di dalam Pasal 24B UUD 1945 adalah terhadap seluruh Hakim., Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa jika perilaku Hakim Konstitusi dijadikan sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial akan mengganggu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, karena berpotensi menjadikan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak imparsial, khususnya jika salah satu pihak yang bersengketa adalah Komisi Yudisial. Dan hal ini justru malah melemahkan posisi Mahkamah Konstitusi, karena pengaturan tentang Mahkamah Konstitusi juga ditempatkan dalam Bab Kekuasaan Kehakiman (Bab IX UUD 1945), sama dengan pengaturan tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hakim Konstitusi - sebagaimana Hakim Agung dan hakim - juga menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Jika pengawasan terhadap Hakim Konstitusi cukup dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 UU No. 24 Tahun 2003) sebagaimana didalilkan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung juga sudah ada Majelis Kehormatan Mahkamah Agung
82
(Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004), dan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung juga sudah ada Majelis Kehormatan Hakim. Pengawasan internal berpotensi untuk terkendala oleh "solidaritas korp" - dan ini yang menjadi latar pemikiran tentang perlunya membentuk Komisi Yudisial. 3.
Pilihan MK untuk menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat segala aturan pengawasan dalam UU KY telah menimbulkan kekosongan hukum dalam pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Tindakan MK memilih terjadinya kekosongan hukum tersebut adalah merupakan langkah mundur dalam agenda reformasi hukum di Indonesia
B. Saran 1. Lembaga legislatif hendaknya segera melakukan perubahan terhadap Undang – undang no.22 th.2004 khususnya pada pasal – pasal yang mengatur tentang pengawasan terhadap hakim, agar Komisi Yudisial dapat mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. 2. Apabila Komisi Yudisial sudah diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan melalui Undang – undang yang berlaku, hakim diharapkan agar legowo ( berlapang dada ) dengan kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas, dan mau membantu kelancaran pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sehingga keseimbangan antar lembaga tinggi ( check and balance ) di Negara Indonesia ini dapat terwujudkan.