BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) dengan manifestasi angina tidak stabil dan infark miokard dengan atau tanpa elevasi segmen ST merupakan keadaan yang mengancam nyawa dan penyebab tertinggi morbiditas dan mortalitas di dunia meskipun sudah dengan pemberian terapi tahap lanjut. Kebanyakan kasus iskemia miokard disebabkan oleh karena adanya plak aterosklerosis yang menyumbat arteri koroner sehingga terjadi penurunan aliran darah kaya oksigen yang mensuplai miokard. Aterosklerosis merupakan suatu keadaan inflamasi kronik yang dipercaya sebagai penyebab sumbatan pada arteri koroner.Plak aterosklerosis terdiri dari penumpukkan lemak, kalsium, dan zat lainnya didinding pembuluh darah. Beberapa faktor resiko dianggap mempercepat progresi aterosklerosis,
yaitu
hipertensi,
diabetes
melitus
(DM),
obesitas,
hiperkolesterolemia, dan merokok. Berdasarkan data statistik dari American Heart Association (AHA), sekitar 18 % laki-laki dan 23 % perempuan diatas usia 40 tahun mengalami kematian dalam 1 tahun akibat infark miokard. Beban ekonomi akibat sindrom koroner akut (SKA) yang tercatat oleh AHA sangat tinggi, menghabiskan dana hingga mencapai 150 milyar Dollar Amerika. Sekitar 20 % pasien SKA menjalani rawat inap berulang di rumah sakit (RS) dalam 1 tahun menghabiskan 60 % dari total biaya keseluruhan. Di Inggris, PJK menyebabkan satu dari lima kematian laki-laki dan satu dari enam kematian perempuan. Pada tahun 2003 didapatkan data total
biaya penanganan PJK mencapai sekitar 3,5 milyar Euro (60 Euro perkapita), dimana 79 % dari total biaya ini adalah untuk perawatan selama di RS (Body, McDowell, et al., 2012, Kolansky, 2009). Presentasi klinis dari PJK meliputi iskemia yang tidak diketahui/silent ischemia, angina pektoris stabil (APS), angina pektoris tidak stabil (APTS) /unstable angina (UA), infark miokard, gagal jantung dan kematian mendadak. Sekitar 35 pasien yang mendatangi Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan nyeri dada dicurigai berasal dari kardiak, dimana 74-88% pasien ini menjalani rawat inap ( 1 dari 5 kasus rawat inap) dan pada akhirnya hanya seperempat dari semuanya dengan diagnosa akhir SKA. Sebanyak 6% pasien dengan nyeri dada yang diperbolehkan pulang dari UGD ternyata benar
mengalami kerusakan
miokard yang merupakan makna prognostik dimana pasien ini memiliki kecenderungan resiko tiga kali lipat untuk mengalami kematian dibandingkan pasien yang rawat inap di RS. Membedakan pasien SKA pada populasi pasien dengan nyeri dada merupakan suatu tantangan diagnostik, terutama pada pasien yang gejala dan rekaman elektrokardiografi (EKG)-nya tidak menunjukkan petanda yang jelas (Hamm, Bassand, et al., 2011, Body, McDowell, et al., 2012) . Pemahaman terhadap PJK dan evolusi patofisiologi PJK telah mengalami kemajuan dalam abad terakhir ini. Pada tahun 1910, seorang dokter asal Rusia mengenalkan presentasi klinis dari infark miokard akut (IMA) untuk pertama kalinya. Dua tahun kemudian ditemukan kaitan antara IMA dengan oklusi trombosis koroner akut. Pada tahun 1913 muncul hipotesa bahwa aterosklerosis terjadi akibat akumulasi lipid secara bertahap di dinding arteri. Pengenalan
prosedur revaskularisasi pada pertengahan abad ke-20 memberikan jalan observasi penanggulangan terhadap gejala angina dengan mengembalikan aliran darah dari lesi stenosis koroner yang bermakna. Berdasarkan hasil observasi tersebut dipercaya bahwa semakin berat stenosis koroner maka akan semakin tinggi pula resiko kejadian IMA atau UA
(Crea and Liuzzo, 2013, Body,
McDowell, et al., 2012, Epstein, Fuster, et al., 1992). Beberapa tahun terakhir keseluruhan konsep ini mengalami perkembangan. Jauh dari hanya sekedar penyakit akibat penumpukan kolesterol yang dikarakterisasi dengan akumulasi pasif dari lipid pada dinding pembuluh darah, berbagai penelitian besar
dan pemikiran terbaru menunjukkan bahwa
aterosklerosis koroner merupakan suatu penyakit inflamasi yang dinamis, bergantung terhadap interaksi kompleks antara sistem imun, koagulasi, dan sistem humoral (Kleinschmidt, 2006). Pemahaman terbaru terhadap proses aterosklerosis adalah bahwa kelainan ini terjadi sejak awal kehidupan dan terus berkembang sampai pada akhirnya menimbulkan gejala. Inflamasi yang disebabkan oleh adanya suatu penyakit kronik atau faktor resiko yang dapat dimodifikasi dianggap memiliki peranan penting terhadap mekanisme aterosklerosis. Inflamasi terlibat dalam pembentukan plak arteri, ruptur plak, dan pembentukan bekuan darah baik pada keadaan subklinis maupun kejadian koroner dengan gejala (Kleinschmidt, 2006, Body, McDowell, et al., 2012, Boudi and Ali, 2013). Studi eksperimental tentang aterosklerosis memberikan informasi mengenai mekanisme molekular pertumbuhan plak dan transisi dari status plak koroner
stabil menjadi tidak stabil. Penyebab dan mekanisme terjadinya plak yang tidak stabil ini bersifat multifaktorial, terdiri dari 3 kelompok dengan presentasi klinis yang hampir sama yaitu : 1). pasien dengan sumbatan aterosklerosis
dan
inflamasi sistemik; 2). pasien dengan sumbatan aterosklerosis tanpa inflamasi sistemik; 3). pasien tanpa sumbatan aterosklerosis (Crea and Liuzzo, 2013). Inflamasi sebagai faktor yang berperan dalam aterosklerosis menyebabkan semakin berkembangnya pencarian terhadap penanda inflamasi yang dapat memperkirakan risiko kejadian PJK dan
gejala sisanya.
Pada kasus SKA,
penanda inflamasi dapat memberikan informasi terhadap proses patofisiologi, prognosis, dan strategi terapi yang optimal. Salah satu penanda inflamasi yang dianggap berkaitan dengan kejadian SKA adalah angiogenic growth factor. Angiogenesis memiliki peranan yang penting terhadap perkembangan plak aterosklerotik (Armstrong, Morrow, et al., 2006). Pada lesi awal, angiogenesis vasa vasorum menyediakan nutrisi bagi perkembangan dan perluasan intima sehingga mencegah kematian sel dan berperan terhadap pertumbuhan dan stabilisasi plak. Namun, pada plak tahap lanjut, infiltrasi sel inflamasi dan produksi berbagai sitokin pro-angiogenik menyebabkan proliferasi pembuluh darah mikro neointimal yang tidak terkontrol sehingga terjadi pembentukan pembuluh darah baru yang kurang berkembang dan rapuh. Apabila pembuluh darah ini ruptur terjadi arus sel darah merah ke dalam plak. Sel darah merah mengandung kolesterol bebas dengan konsentrasi tinggi yang akan merangsang proses inflamasi dan menganggu stabilisasi plak (Armstrong, Morrow, et al., 2006).
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) atau dikenal juga dengan VEGF–A adalah penting untuk diferensisasi sel endotel dan angiogenesis selama embriogenesis dan berperan utama
terhadap neo-vaskularisasi pada beragam
penyakit. Dua reseptor protein kinase untuk VEGF adalah vascular endothelial growth factor receptor-2/ kinase insert domain receptor/fetal liver kinase-1 (VEGFR-2/KDR/Flk-1) dan vascular endothelial growth factor receptor-1/fmsrelated tyrosine kinase-1 (VEGFR-1/Flt-1), dimana keduanya penting untuk perkembangan vaskular embriogenik. Studi terhadap Flt-1 menunjukkan bahwa Flt-1 terlibat dalam aterogenesis dimana pemberian anti-Flt-1 blocking antibody mengurangi pertumbuhan plak aterogenesis pada mencit dengan apolipoprotein (APO) E. Penghambatan dari Flt-1 akan menekan patofisiologi angiogenesis dan memediasi Placental Growth Factor (PlGF) menginduksi kemotaksis monosit (Khurana, Moons, et al., 2005). Placental Growth Factor merupakan bagian dari kelompok VEGF dan potensial untuk menjadi suatu penanda independen terhadap disrupsi plak, iskemia, dan trombosis. Plasma PlGF diproduksi pada endotel pembuluh darah miokard yang mengalami infark selama fase akut dari IMA. Pasien dengan serangan jantung memiliki kadar PlGF yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan subjek yang sehat. Pasien dengan kadar PlGF yang lebih tinggi mengalami penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri pada hari ketiga setelah serangan, hal ini menunjukkan bahwa PlGF merupakan biomarker independen untuk penilaian jangka pendek terhadap luaran pasien yang buruk (Marković, Ignjatović, et al., 2009).
Placental growth factor berikatan dengan Vascular Endothelial Growth Factor Receptors (VEGFR), terlibat dalam ketidakstabilan plak aterosklerosis dan neo-vaskulogenesis koroner terutama dengan mengaktivasi VEGFR-1 yang ditemukan terbanyak pada endotel vaskular. PlGF
yang secara original
ditemukan di plasenta, belakangan ini telah ditemukan pada jaringan jantung, paru, muskuloskeletal, dan tiroid. Sel endotel memproduksi penanda ini dalam jumlah kecil, namun ketika distimulasi dengan adanya iskemia atau injuri. PlGF akan diproduksi secara berlebihan dan merangsang peralihan angiogenesis. Interaksi antara PlGF dan VEGFR-1 berkontribusi terhadap peralihan angiogenesis dengan meningkatkan interaksi pertautan silang dari VEGFR-1 dan VEGFR-2, dengan memperkuat aktivitas VEGF-A pada VEGFR-2 dan merangsang sinyal PlGF pada VEGFR-1. Efek utama dari rangkaian ini adalah PlGF menginduksi peningkatan aktivitas angiogenik VEGF dan perekrutan sel-sel inflamasi, sel punca (stem cell) hemapoetik, dan sel punca vaskular dari sumsum tulang. Studi pada hewan mendapatkan penghambatan PlGF terkait aktivasi VEGFR-1 dengan pemberian anti VEGFR-1 antibodi monoklonal akan mengakibatkan hambatan terhadap inflamasi dan proliferasi plak aterogenik (Yaqub, Jenkins, et al., 2010). Khurana et al. (2004)
mencoba mempelajari peranan PlGF pada awal
aterosklerosis dengan memberikan suatu adenoviral PlGF-2 pada kelinci yang telah diberikan kolesterol sebelumnya dimana terjadi peningkatan spektrum proses angiogenik, termasuk diantaranya penebalan intima arteri, paparan endotel Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1), dan akumulasi makrofag.
Penemuan ini mendukung kesimpulan bahwa pemberian PlGF dapat secara langsung menyebabkan penebalan intima aterogenik dan perekrutran makrofag intimal yang menunjukkan bahwa produksi PlGF diperlukan untuk migrasi makrofag pada lesi awal aterosklerosis. Studi oleh Pilarczyk et al. (2008) mempelajari paparan PlGF, C-reactive protein (CRP) dan cluster of differentiation 40 ligand (CD40L) pada plak karotid. Dari 60 pasien didapatkan level PlGF jauh lebih tinggi pada pasien dengan gejala dibandingkan pasien yang tidak menunjukkan gejala serta memiliki tingkat sel inflamasi dan pembuluh darah kecil yang tinggi. Paparan PlGF menunjukkan korelasi positif terhadap paparan CRP. Dari studi ini disimpulkan bahwa paparan PlGF pada lesi ateroslerotik manusia berkaitan dengan inflamasi dan densitas mikrovaskular plak , hal ini menunjukkan bahwa PlGF berperan dalam destabilisasi plak demikian pula dengan manifestasi klinis dari penyakit. Wang and Keiser (1998) menemukan bahwa peningkatan konsentrasi PlGF akan meningkatkan stimulasi eksresi Matrix Metalloproteinases (MMPs), dalam hal ini MMP-1 dan MMP-9 pada smooth muscle cell (SMC) melalui flt-1, dimana PlGF memiliki sifat berikatan secara spesifik dengan flt-1. Suatu MMP berkontribusi terhadap migrasi SMC
dalam proses angiogenesis dan
aterosklerosis. Selain itu, MMP juga berperan dalam destruksi dari extracellular matrix (ECM) di punggung dari suatu ateroma dan meningkatkan degradasi kolagen tipe I yang merupakan komponen utama dari cap fibrosa plak yang berfungsi melindungi pembuluh darah dari ruptur dan menjaga integritas dinding pembuluh darah plak aterosklerotik sehingga terjadi destabilisasi plak
aterosklerosis. Studi oleh Suryana, 2013 mendapatkan penderita SKA yang mengalami kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan memiliki kadar MMP-9 yang tinggi. Makovich et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi PlGF dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko dan paling banyak tergantung pada riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya, obesitas, dan indeks massa tubuh (IMT). Suatu PlGF dilepaskan kedalam plak tidak stabil dari kardiomiosit yang mengalami kerusakan, dimana derajat perlukaan endotel vaskular menentukan induksi PlGF segera setelah onset IMA. Peningkatan serum PlGF dapat menjadi prediktor yang relevan terhadap ketidakstabilan plak pada beberapa jam pertama setelah datang ke UGD. Nilai prediktif PlGF yang independen terhadap high sensitivity Creactive protein (hsCRP) yang merupakan penanda inflamasi secara umum menunjukkan bahwa PlGF menyediakan nilai prognostik secara independen dan dapat menjadi faktor klinis yang penting dalam memprediksi perkembangan infark miokard selanjutnya serta menentukan resiko kejadian SKA. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka peneliti ingin mengetahui peranan kadar PlGF dengan kejadian kardiovaskular (KKV) dalam 6 bulan pada penderita SKA di bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana (UNUD)/ Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Diharapkan dengan hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberikan kontribusi ilmiah terhadap progresifitas perburukan SKA (faktor prognostik) sebagai dasar dalam upaya pencegahan kejadian KV pada penderita SKA di masa yang akan datang serta penanganan pasien SKA.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan rangkuman konsep di atas, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah kadar PlGF yang tinggi merupakan petanda prognostik kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan pada pasien SKA?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk membuktikan peranan PlGF pada patogenesis SKA. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui apakah kadar PlGF yang tinggi meningkatkan kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan pada pasien SKA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik/ Ilmiah Untuk menambah pengetahuan tentang peranan PlGF sebagai penanda inflamasi pada proses aterosklerosis dan nilai prognostik PlGF sebagai penanda SKA.
1.4.2 Manfaat Praktis Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut dan memberi kontribusi pada penanganan jangka panjang pasien SKA untuk mencegah kejadian kardiovaskular.