BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Istilah film pada awalnya dimaksudkan pada media penyimpan gambar atau yang biasa disebut celluloid, yaitu lembaran plastik yang dilapisi oleh emulsi. Berawal dari itu, pengertian film kemudian berubah menjadi tayangan audio visualdan dipahami sebagai potongan gambar-gambar bergerak1. Menurut Jaya Panca Javandalasta menyebutkan dalam bukunya 5 Hari Mahir Bikin Film setidaknya ada 5 keistimewaan media film. Diantaranya adalah: 1. Film dapat menghadirkan pengaurh emosional yang kuat, sanggup menghubungkan penonton dengan kisah-kisah personal. 2. Film dapat mengilustrasikan kontras visual secara langsung 3. Film dapat berkomunikasi dengan para penontonnya tanpa batas menjangkau luas kedalam perspektif pemikiran. 4. Film dapat memotivasi penonton untuk membuat perubahan Film dapat menjadi alat yang mampu menghubungkan penonton dengan pengalaman yng terpampang melalui bahasa gambar 2. Kategori film pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis, fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata, sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. 1 2
Panca Javandalasta, 5 Hari Mahir Bikin Film, MUMTAZ Media, Surabaya, 2011, hal 1 Ibid
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Seperti yang dikatakan Sheila Curran Bernard dalam bukunya Documentary Storytelling yaitu, ”Documentaries bring viewers into new worlds adn experiences through the presentation of factual information about real people, places, and events, generally-but not always- portrayed through the use of actual images and artifacts”3. Seiring majunya zaman, dokumenter modern telah membarui film dokumenter sebelumnya. Para analis box office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi sukses dengan bukti banyaknya film yang sudah dirilis di bioskop. Bila dibandingkan dengan film naratif dramatik, film dokumenter banyak dibuat dengan anggaran yang lebih murah daripada film fiksi. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan perfilman yang ingin mendapatkan laba besar dengan modal yang tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi kekuatan pada film dokumenter adalah seberapa kuat pesan yang disampaikan kepada para audien lewat penuturan fakta dan data. Ukuran berhasil atau tidaknya sebuah film dokumenter dapat dilihat dari sejauh mana film kita dapat berbicara dengan khalayak pada waktu “sekarang”, maksudnya adalah film kita dapat memberikan reaksi kognitif kepada audien ketika sedang menonton dan sesudah menonton. Saat film pertama kali diproduksi pada tahun 1895, editing belum digunakan. Disaat itu juga pemahaman teknik editing bermula berangkat dari film 3
Sheila Curran Bernard, Documentary Storytelling : Creative Non Fiction on Screen, Elsevier, Oxford, 2011, hal. 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
dokumentasi satu shot yang awalnya dibuat Lumière Brothers lewat judul La Sortie de l' Usine Lumière ( Pekerja Meninggalkan Pabrik Lumière) dan Arrivée d' un Kereta en Gare ( Kedatangan dari kereta api di stasiun ). Film dokumenter ini dibuat dengan shot dan posisi kamera yang statis. Beberapa sineas kemudian melakukan eksperimen dengan menyusun sejumlah shot sambil mempelajari sejauh mana gambar dapat disusun sedemikian rupa, sehingga memiliki kemampuan untuk merangsang emosi dan membentuk atau memutarbalikan presepsi. Ketika masih dalam era film bisu, teknik editing begitu penting, karena pembuat harus mampu bercerita dengan bahasa gambar. Perkembangan teori maupun teknik editing diawali sineas Edwin S. Porter yang meletakkan prinsip editing, yaitu menyusun sejumlah shot secara berkesinambungan (continuity shot or film continuity)4. Metode Porter ini kemudian dikembangkan oleh D.W Griffith yang mengembangkan metode paralel editing menjadi teori baru, yaitu penekanan dramatik (dramatic emphasis). Griffith membuat variasi tipe shot seperti Long Shot, Medium Shot, Close-Up, CutAway dan Tracking Shot sebagai materi untuk melakukan teknik editing paralel yang dianggap sebagai konstruksi dramatik (dramatic construction). Lalu berlanjut kepada pengembangan teknik editing Vsevolod I. Pudovkin: Editing and Heightened Realism, Sergei Eisenstein: The Theory of Montage, Dziga Vertov: The Experiment of Realism, Alexander Dovzhenko:
Editing
by
Visual
Association
dan
Luis
Buñuel:
Discontinuity5.
4 5
K. Dancyger, The Technique of Film and Video Editing, Elsevier, Oxford, hal 4 Ibid, hal 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Visual
4
Dalam film dokumenter yang peneliti buat dengan judul “PESISIR HARAPAN”, peneliti mengaplikasikan teknik editing Montage dari teori Sergei Eisenstein. Sineas asal Rusia ini mengawali karirnya sejak muda sebagai sutradara. Sudah sejak dari zaman awal sinema, para sineas Russia termasuk Eisenstein telah banyak bereksperimen dalam penyuntingan gambar. Montage adalah teknik editing yang paling populer dari teknik lainya dimasa itu dan hingga kini masih berpengaruh pada para sineas dunia. Teknik editing ini dilakukan dengan cara menggabungkan satu cerita dengan cerita lain sehingga menghasilkan cerita baru. Eisenstein mencoba menggabungkan satu cerita tentang tentara dengan perlengkapan perang yang lengkap keluar dari kapal perang, di satu cerita lain ada para petani gandum yang sedang panen. Ketika kedua cerita itu digabungkan maka terbentuklah sequence dimana terjadi invasi tentara pada petani gandum. Begitu pula pada Dokumenter “PESISIR HARAPAN”, peneliti mencoba menggabungkan cerita tentang para Tenaga Harian Lepas (THL) Konservasi Penyu Pangumbahan yang sedang melakukan aktivitas konservasiya. Di satu cerita lain ada penuturan konflik yang terjadi di tubuh konservasi penyu dan pengusaha ekowisata. Ketika kedua cerita itu digabungkan maka terbentuklah sequence dimana terjadi konflik antara Konservasi dan Ekowisata ditengah-tengah usaha penyelamatan spesies langka. Alasan peneliti memilih Teknik Editing Sergei Eisenstein karena Montage berguna sebagai sebuah cut untuk menyambungkan satu cerita dengan cerita lain, sebuah cut untuk menyambungkan tesis (shot) dengan tesis (shot) lain; cutting to
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
connect one story to another; cutting to argue one thesis to another. 6 Dalam Film Dokumenter “PESISIR HARAPAN”,
Montage sangat
membantu untuk
memproyeksikan pos-pos cerita yang cukup panjang kedalam satu sequence agar alur cerita lebih dinamis dan tidak membosankan. Sebagian pembuat dokumenter beranggapan bahwa baik buruknya penggarapan sebuah film dokumenter bersandar pada kualitas pengembangan konsep dalam treatment, jadi tidak semata-mata bergantung kepada kemampuan kamera dalam merekam aksi-aksi spontan. selain itu, bagaimana mengetengahkan aksi dari peristiwa merupakan penilaian baik buruknya film. Pada prinsipnya proses penyutradaraan dan editing dapat berjalan bersamaan saat syuting sudah dipikirkan volume gambar atau jumlah gambar untuk proses kreatif di meja editing nanti. Gaya Cinema Verite yang dipengaruhi visi Dziga Vertov, menyadarkan 90 persen proses kerja produksi karyanya di meja editing; dengan begitu peran editor sangat penting dalam menentukan baik buruknya hasil akhir 7. Di proses editing video inilah dilakukan pemotongan, pemilihan dan penyusunan ulang gambar, agar sesuai dengan tuntunan script. Setelah dilengkapi dengan pekerjaan sound, animasi, visual efek dsb dan dianggap selesai, proses editing pun diakhiri dengan outputting, yaitu ekspor ke format file tertentu yang diinginkan untuk proses selanjutnya8. Setiap film dokumenter memiliki gaya sendiri dalam pemaparan faktafaktanya. Gaya dalam dokumenter terdiri dari bermacam-macam kreativitas, 6
https://dikiumbara.wordpress.com/category/editing/ diakses 21 Mei 2014 Pukul 15:54 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal 119 7
8
Panca Javandalasta, 5 Hari Mahir Bikin Film, MUMTAZ Media, Surabaya, 2011, hal 45
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
seperti gaya humoris, puitis, satir, anekdot, serius, semi serius dan seterusnya. Kemudian dalam gaya ada tipe pemaparan eksposisi (Expository documentary) yang konvensional, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi dengan menggunakan narator sebagai penutur tunggal. Oleh karena itu narasi disini disebut sebagai Voice of God karena aspek subjektivitas narator, kita dapat melihat contohnya pada dokumenter Discovery Channel, Natonal Geographic, ataupun BBC Documentary. Dipihak lain adapula tipe observasi (Observational documentary) yang hampir tidak menggunakan narator, akan tetapi berkonsentrasi pada dialog antar subjek-subjeknya. Pada tipe ini sutradara menempatkan posisinya hanya sebagai observator. Lee Hirsch dalam “Bully“ (2011) melalui kamera dia mengamati semua kejadian yang terjadi setiap hari kelima siswa korban bullying di tempat yang berbeda (Georgia, Iowa, Texas, Missisipi, dan Oklahoma). Lee Hirsch berusaha mengikuti semua kejadian di sekolah mereka dari tahun ajaran 2009 – 2010. Dia juga membawa serta orangtua korban bullying tersebut dalam cerita sebagai subjek naratif. Dalam film ini, Lee Hirsch tampak berusaha sangat keras menuturkan eksposisi ceritanya sehingga terlihat agak membingungkan. Namun film dokumenter ini mendapat respon yang luar biasa dari publik. Lain halnya dengan Frederik Wiseman dalam “High School I & II” melalui kamera dia hanya mengamati semua kejadian yang terjadi setiap hari di sebuah sekolah menengah umum di Philadelphia, Amerika Serikat. Wiseman berusaha menengahkan konflik yang terjadi antara sesama murid, guru dengan murid, hingga antara murid, guru, dan orang tua murid. Akan tetapi konflik yang terjadi antara sesama murid, guru
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
dengan murid, hingga antara murid, guru, dan orang tua murid. Akan tetapi konflik yang ditampilkan tak mampu memberikan aspek dramatik, sehingga alur penuturan terasa datar. Konsep Wisseman terlihat sederhana yaitu hanya merekam kejadian sehari-hari yang ada di sekolah itu, filmya itu dianggap sebagai contoh gaya cinema verite yang baik, dan menjadi bahan bahasan hampir di setiap literatur dokumenter, meskipun butuh kesabaran untuk menikmati film yang terasa monoton itu. Gaya yang kini sangat jarang ditemui adalah gaya dimana film tersebut merupakan sebuah refleksi (Reflexive documentary) dari proses pembuatan (shooting) film tersebut. Dokumentaris Rusia Dziga Vertov merupakan pelopor dalam gaya ini. Dengan filmnya yang berjudul “Man with The Movie Camera” (1928), Vertov hanya bertujuan merefleksikan dua prinsip teorinya mengenai apa itu film kebenaran (Kino Pravda=Film Truth), dimana semua adegan harus sesuai apa adanya. Melihat berbagai gaya pemaparan dalam penuturan film dokumenter, kami menemukan bahwa peran semua kru menjadi faktor penting dalam upaya membuat film dokumenter yang mampu “berbicara” kepada publik. Tidak hanya sutradara, tetapi juga pengarah gambar (Director of Photography), penyunting gambar (Editor), penata musik (Music Engineer) dan semua kru yang telibat langsung dalam pembuatan film dokumenter.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
1.2. Permasalahan Berdasarkan film yang kami buat yaitu “PESISIR HARAPAN”, film ini bercerita tentang sekelompok orang yang mencari penghidupan dari penyu-penyu di kawasan konservasi penyu Sukabumi. Mereka mengambil telur, daging, dan karapas penyu untuk dijual. Seperti yang kita tahu, populasi penyu sudah sangat kritis keberadaannya di alam akibat rusaknya habitat peneluran, menipisnya tempat penyu mencari makan (feeding ground), dan yang paling mengancam adalah ganasnya berbagai jenis predator seperti babi hutan, ikan hiu, anjing, burung elang dan juga manusia. Berdasarkan dua faktor tadi sudah selayaknya upaya pelestarian ini ditingkatkan baik dari kuantitas dan juga kualitas. Walaupun jumlah telur yang dihasilkan seekor penyu dalam satu kali bertelur dapat mencapai ratusan butir, namun yang dapat bertahan hingga dewasa hanya beberapa butir saja, bahkan hanya satu ekor. Hal tersebut menyebabkan penurunan populasi penyu hijau di alam. Saat ini penyu hijau termasuk dalam daftar Appendix 1 menurut IUCN (international Union Conservation of Nature and Natural Reserve)9. Jika kita amati, sebenarnya warga lokal tidak punya banyak pilihan untuk mencari nafkah di pesisir pantai Pangumbahan, Sukabumi. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani dan peternak. Menurut profil desa pangumbahan periode Desember 2013, dengan jumlah penduduk sebanyak 4.567 orang, hanya kurang dari sepuluh persen warga lokal yang berpenghasilan tetap di kawasan eko wisata pantai Pangumbahan. Sepuluh persen itu antara lain pemilik villa, pemilik
9
Ahmad Nontji, Laut Nusantara, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 372
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
toko kelontong, pemilik restoran, Nelayan dan petugas konservasi. Selebihnya adalah petani dan peternak yang bekerja diluar area eko wisata. Setiap hari penyu-penyu selalu naik ke pantai untuk bertelur, warga merasa mengambil telur penyu bisa dijadikan mata pencaharian tambahan. Selain karena harga telurnya terbilang mahal yaitu lima ribu hingga sepuluh ribu rupiah per butir, telur penyu mudah diambil karena sarangnya tersebar di sepanjang pantai. Para pencari telur cukup mencari waktu yang tepat untuk “panen” agar tidak diketahui oleh para pelaku konservasi. Dalam penelitian ini kami menemukan sebuah fakta yang mengagetkan yaitu hampir semua petugas adalah mantan “Penggemar”, sebutan bagi para pencuri telur. Bahkan banyak dari mereka yang mengatakan pencuri telur penyu saat ini paling banyak adalah petugas konservasi sendiri. Alasan mereka tak lain adalah kecilnya honor yang mereka dapat per bulan. Tetapi banyak juga yang telah sadar untuk tidak melakukan tindakan ilegal itu. Mereka yang telah sadar inilah yang menjadi karakter dalam film kami dengan anggapan bahwa mereka adalah para pejuang konservasi yang ingin keberadaan penyu tetap lestari dan masyarakat tercerahkan akan pentingnya eksistensi penyu di muka bumi. Seandainya ada usaha untuk mengubah paradigma masyarakat setempat yang suka mengambil telur penyu untuk menyambung hidup, masyarakat tidak perlu lagi merasa was-was ketika mencari nafkah karena dikira pencuri. Selain itu, upaya konservasi juga akan berjalan dengan efektif karena penangkaran tukik dilakukan dengan baik dan terarah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Dari banyaknya pos-pos cerita yang kami temukan di atas, akan sangat membosankan apabila teknik editing yang digunakan tidak tepat. Cerita yang panjang dan monoton biasanya menjadi permasalahan film dokumenter tidak banyak ditonton lama. Dalam satu cerita keseluruhan dengan banyak pos-pos cerita yang cukup kompleks, alur cerita yang dibuat secara dinamis bisa menjadi triger emosi penonton sehingga cerita yang panjang dan membosankan dapat diminimalisir.
1.3 Tujuan Perancangan Film “PESISIR HARAPAN” dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan S1 di bidang studi Broadcasting Universitas Mercu Buana. Film dokumenter ini adalah aplikasi dari penulisan skripsi aplikatif yang dibuat berdasarkan ketentuan akademik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana. Skripsi aplikatif merupakan karya tulis ilmiah, berupa paparan tulisan hasil penelitian dan perancangan yang membahas suatu permasalahan dalam bidang ilmu tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu komunikasi. Skripsi aplikatif ini lebih bersifat keahlian, jadi proses penerapannya diarahkan secara visual maupun audio visual sebagai metode pemecahan masalah yang kreatif, rasional dan estetis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
1.4 Alasan Pemilihan Judul Kami memilih judul “PESISIR HARAPAN” karena melihat berbagai unsur sosio kultur yang ada pada kawasan konservasi penyu Sukabumi. Kata pertama, yaitu “pesisir” atau daratan berpasir di tepian pantai merujuk pada lokasi pegambilan gambar yaitu di pantai Pangumbahan, Ujung Genteng, Sukabumi. Kata pesisir menggeneralisasi makna pantai, pemukiman di sekitar pantai, dan konservasi penyu sendiri yang merupakan zona ekowisata di pesisir pantai Pangumbahan. Sementara kata kedua yaitu “harapan” bermakna lebih luas. Seperti yang kita tahu, logo kabupaten Sukabumi adalah penyu, pemerintah setempat sudah memproklamirkan kepada masyarakat bahwa penyu adalah ikon dari daerah Sukabumi, ini bermakna bahwa pemerintah mengupayakan agar keberadaan penyu harus selalu dijaga. Penyimbolan ini tentu saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk ikut andil dalam proses pelestarian penyu dengan konservasi menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkannya. Kata “harapan” merujuk ke sudut pandang sosio-kultur yang ada di daerah setempat, bahwa sejak dulu, masyarakat memanfaatkan penyu sebagai komoditas ekonomi daerah yang potensial. Masyarakat menaruh banyak “harapan” pada penyu sebagai sumber mata pencaharian. Namun kini, setelah populasi penyu kian sedikit bahkan hampir menuju kepunahan, masyarakat tidak bisa lagi memandang penyu sebagai komoditi, melainkan sebagai objek untuk menarik wisatawan. Tidak hanya golongan masyarakat yang memanfaatkan keberadaan penyu demi mendapatkan mata pencaharian, tetapi ada juga masyarakat yang menaruh “harapan” pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
keberadaan penyu lewat upaya-upaya pelestarian, yaitu para pekerja konservasi itu sendiri. Para pekerja konservasi-lah yang terjun langsung dalam upaya menjalankan tanggung jawab menjaga keberadaan penyu, bukan komunitaskomunitas pecinta alam yang membantu tugas para pekerja konservasi. Petugas konservasi, atau yang biasa disebut Tenaga Harian Lepas (THL) lebih memahami pentingnya keberadaan penyu bagi ekosistem laut dan pesisir, karena mereka juga merupakan warga pribumi yang tinggal di daerah sekitar konservasi.
Jadi
penggunaan kata “harapan” pada film ini mengarah kepada seluruh elemen sosial yakni kepada masyarakat yang menaruh harapan pada penyu sebagai sumber mata pencaharian, harapan pada kesadaran masyarakat bahwa penyu penting bagi ekosistem pesisir, dan juga harapan dari masyarakat kepada pemerintah setempat agar dapat memberikan perhatian lebih kepada daerah yang menjadi pembuktian atas simbol dan ikon pada kabupaten Sukabumi sendiri. Secara keseluruhan, judul “PESISIR HARAPAN” bermakna: suatu pesisir dimana berbagai lapisan masyarakat menaruh banyak harapan untuk kesejahteraan mereka dan masa depan yang lebih baik. Judul ini didapat dari hasil diskusi bersama seluruh kru setelah beberapa kali melakukan perubahan judul seperti: Between Man and Sea Turtles dan The Saviors of Shore.
1.5. Manfaat Perancangan 1.5.1. Manfaat Akademis Secara akademis khususnya bagi Fakultas Ilmu Komunikasi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan pengetahuan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
dibidang Broadcasting mengenai film dokumenter. Terutama dari teknik penyuntingan gambar Montage oleh Sergei Eisenstein yang masih jarang diaplikasikan oleh mahasiswa Univesitas Mercu Buana. Serta dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa yang akan datang. Selain itu juga dapat bermanfaat bagi sarana pengetahuan akan film dan pembuatnya. Juga secara personal film ini menambah wawasan dan pengalaman para pembuat film agar kelak bisa membuat film dokumenter serupa dengan lebih baik dan berkualitas.
1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis film ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar dapat melihat kondisi konservasi penyu Sukabumi secara gamblang dan tidak dengan sebelah mata. Pemerintah harus menyadari bahwa masih banyak yang harus dibenahi agar cita-cita yang dimiliki dapat tercapai tanpa mengorbankan berbagai pihak terutama masyarakat. Lewat data yang ditampilkan film ini, kami mengharapkan manfaat yang lebih luas lagi yakni bagi kualitas lingkungan hidup Indonesia yang masih perlu ditingkatkan, juga kepada semua orang yang menonton film untuk lebih peka terhadap lingkungan, dan agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan hidup minimal dengan upaya sederhana.
http://digilib.mercubuana.ac.id/