1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terminal Peti Kemas (TPK) Koja merupakan salah satu pelabuhan yang memberikan jasa pelayanan bongkar dan muat peti kemas yang terletak di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Terminal ini merupakan badan usaha terminal operator yang dibentuk melalui kerja sama operasi (KSO) antara PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dengan PT Ocean Terminal Petikemas (OTP). TPK Koja beroperasi sejak tahun 1997 sebagai antisipasi terhadap meningkatnya permintaan pelayanan peti kemas pada awal tahun 1990-an seiring dengan pesatnya peningkatan aktivitas ekspor dan impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Berdasarkan statistik, sebesar 90% aktivitas komoditi perdagangan internasional dilakukan melalui pelabuhan laut (Winklemans, 2002) dan sebesar 65% melalui jalur Asia Pasifik (PSA, 2003). Metoda pengiriman barang dalam bentuk peti kemas juga menjadi pilihan yang paling dominan saat ini. Kondisi ini menyebabkan terminal peti kemas di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok memiliki peran yang penting dan strategis karena aktivitas ekspor dan impor nasional secara dominan, yakni sebesar 60%, digerakkan dari Jakarta. Akibatnya tingkat persaingan antar operator terminal yang ada menjadi meningkat.
2 Tabel 1.1. Daftar 20 Besar Terminal Peti Kemas Dunia dan Throughput-nya (dalam Juta TEU).
Sumber : Containerization International, Maret 2003
Selain TPK Koja, di wilayah pelabuhan Tanjung Priok terdapat tiga terminal peti kemas lainnya, yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT), PT MTI, dan PT Segoro Fajar Satryo. Di luar wilayah pelabuhan Tanjung Priok antara lain terdapat Terminal Peti Kemas di Lampung, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Tingkat persaingan ini akan lebih ketat apabila rencana pembangunan pelabuhan Bojanegara, di Banten, direalisasikan dan dijadikan sebagai international hub port (Atas News, Februari 2003).
3 Tingkat throughput TPK Koja di wilayah pelabuhan Tanjung Priok saat ini berada pada urutan kedua setelah PT JICT dengan kecenderungan pangsa pasar yang semakin berkurang.
Tabel 1.2. Throughput Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Tahun
TPK KOJA Box TEUs
PT JICT Box TEUs
1997 97,598 137,821 1,047,984 1998 197,034 287,681 968,043 1999 268,033 393,872 993,685 2000 330,884 494,795 1,029,537 2001 326,592 490,120 1,010,251 2002 365,535 551,179 1,031,720 2003* 337,593 507,216 919,837 Sumber : Departemen Marketing TPK Koja
1,533,090 1,425,347 1,472,707 1,530,497 1,500,221 1,537,091 1,376,996
PT MTI Box TEUs
PT SEGORO Box TEUs
0 0 0 0 0 0 95,920
0 0 0 0 0 0 75,417
0 0 0 0 0 0 133,898
Box
TOTAL TEUs
0 1,145,582 1,670,911 0 1,165,077 1,713,028 0 1,261,718 1,866,579 0 1,360,421 2,025,292 0 1,336,843 1,990,341 0 1,397,255 2,088,270 99,692 1,428,767 2,117,802 * terhitung hingga November 2003
Kondisi tersebut menyebabkan pihak TPK Koja merasa perlu untuk meningkatkan kinerjanya. Salah satunya yang telah dilaksanakannya adalah menambah quay crane sehingga jumlahnya menjadi enam buah dan memperpanjang dermaga menjadi 650 meter. Selain itu pihak terminal juga perlu meningkatkan kecepatan proses bongkar muatnya untuk meningkatkan throughput. Peningkatan kecepatan proses bongkar muat juga akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Hal ini disebabkan waktu singgah kapal menjadi lebih singkat.
4
1.2. Rumusan Permasalahan Permasalahan yang dihadapi oleh pihak TPK Koja adalah adanya kecenderungan throughput yang relatif tetap dan stagnan seperti yang ditunjukkan data statistik terminal. TEUs
600,000 494,795
551,181
500,000
547,280
490,120 393,872
TEUs
400,000 287,681
300,000
200,000
100,000
137,821
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
TAHUN
Gambar 1.1. Pertumbuhan Throughput TPK Koja Tahun 1997 – 2003 (Departemen Marketing TPK Koja, 2004).
Kecenderungan stagnasi throughput mulai tampak tahun 2000 hingga tahun 2003, walaupun kapasitas terminal masih di atasnya. Throughput tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar 551.181 TEU, sedangkan kapasitas terbangun adalah sebesar 630.000 TEU. Sehingga tingkat utilitasnya baru mencapai 87,48%. Apabila 5% dari kapasitas digunakan untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas terminal, maka masih tersisa kapasitas sebesar 7,52% atau sebesar 47.376 TEU yang masih dapat dicapai.
5 Dilihat dari sisi indikator kinerja proses bongkar muat, yaitu BCH (Box Crane per Hour) dan BSH (Box Ship per Hour), TPK Koja masih di urutan bawah bila dibandingkan dengan terminal peti kemas regional (lihat Tabel 1.3). Nilai BCH menunjukkan jumlah boks peti kemas yang dapat dilayani oleh crane per jam, sedangkan nilai BSH menunjukkan jumlah boks peti kemas yang dapat dibongkar muat dari sebuah kapal selama 1 jam.
Tabel 1.3. Produktivitas Crane dan Dermaga Terminal Peti Kemas Regional.
Sumber : UNCTAD Monographs on Port Management , 2003
Besarnya BCH rata-rata per kedatangan kapal dibandingkan dengan rata-rata nilai BCH selama setahun, dan kecendrungan peningkatan nilai BCH yang ada di TPK Koja berdasarkan data historis operasional tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 1.2.
6
BCH TPK Koja 2003 60.0
50.0
BCH
40.0
30.0
20.0
10.0
BCH
Rata-Rata
Linear (BCH)
1 15 29 43 57 71 85 99 113 127 141 155 169 183 197 211 225 239 253 267 281 295 309 323 337 351 365 379 393 407 421 435 449 463 477 491 505 519 533 547 561
No Urut Kedatangan Kapal
Gambar 1.2. Nilai Variasi BCH Rata-rata per Kapal di TPK Koja.
Sedangkan nilai BSH yang secara teoritis merupakan jumlah total BCH masing-masing crane (apabila penanganan bongkar muat peti kemas dilayani lebih dari satu crane) pada kenyataannya hanya menghasilkan rata-rata sebesar 1,20 kali dari nilai BCH seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3.
7 BSH TPK Koja 203 70.0
60.0
50.0
BSH
40.0
30.0
20.0
10.0
BSH
Rata-Rata
Linear (BSH)
1
23 45 67 89 111 133 155 177 199 221 243 265 287 309 331 353 375 397 419 441 463 485 507 529 551 No Urut Kedatangan Kapal
Gambar 1.3. Nilai Variasi BSH Rata-Rata per Kapal TPK Koja.
Dari hasil pengumpulan data awal dan informasi dari pihak manajemen, penurunan throughput disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal, yaitu antara lain adalah sebagai berikut: a) Peralatan yang dimiliki oleh TPK Koja sudah mulai usang dan mengalami berbagai kerusakan. Sementara penambahan atau perbaikan peralatan memerlukan prosedur yang rumit. b) Beberapa jenis kapal yang harus dilayani memiliki karakteristik yang menghambat proses bongkar muat. c) Kecenderungan meningkatnya waktu tunggu kapal baik disebabkan oleh halhal yang dapat dikontrol maupun yang tidak.
8 d) Penetapan BCH dan BSH yang perlu disesuaikan dengan kapasitas dan tingkat produktivitas yang dicapai dalam operasionalnya. e) Terminal lain menerapkan kebijakan discount, sementara TPK Koja harus mengikuti kebijakan PT Pelindo II. Akibatnya banyak perusahaan pelayaran dan cargo owner yang berpindah ke terminal lain. Dari faktor-faktor tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh TPK Koja adalah bagaimana meningkatkan kinerja (performance) operasional terminal. Selain itu juga bagaimana meningkatkan jasa pelayanan operasional sehingga masih tetap dapat mempertahankan keunggulan bersaingnya. Pihak manajemen juga perlu mengidentifikasi bagian operasional mana saja yang secara dominan mempengaruhi kinerja operasional secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diselesaikan adalah: a) Melakukan analisis terhadap indikator bongkar muat yang ditetapkan dalam bentuk BCH dan BSH untuk mendapatkan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhinya. b) Bagaimana memperbaiki dan meningkatkan BCH dan BSH sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan throughput? c) Faktor-faktor apa saja yang secara dominan dan signifikan mempengaruhi nilai BCH dan BSH? d) Yang juga sangat penting adalah menurunkan tingkat variabilitas BCH dan BSH agar terdapat konsistensi operasional. Konsistensi sangat penting karena dapat mengoptimalkan pengalokasian pada berthing window.
9 e) Metodologi apa yang secara tepat dapat diterapkan untuk melakukan analisis dan evaluasi dibandingkan dengan metoda-metoda lainnya? f) Bagaimana memanfaatkan dan meningkatkan peran sistem Teknologi Informasi sebagai alat (tools) dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan BCH dan BSH?
1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian yang dilaksanakan dalam rangka GFP (Group Field Project) di TPK Koja adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui hubungan antara BCH dan BSH dengan faktor-faktor yang merupakan faktor pembentuknya serta hubungan keduanya. 2. Mengetahui faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi nilai indikator BCH dan BSH di terminal peti kemas serta mendapatkan solusi perbaikan dan peningkatan nilainya. Dengan kata lain mengurangi tingkat variabilitas indikator BCH dan BSH pada proses bongkar muat peti kemas (transfer cycle). 3. Membuka dan sekaligus memperlebar berthing window sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan berthing contract yang baru. 4. Mendapatkan perangkat (tool) yang dapat digunakan untuk memonitor dan mengendalikan variabilitas yang terintegrasi dalam sistem operasional terminal. 5. Meningkatkan kepuasan pelanggan terhadap jasa layanan bongkar muat peti kemas.
10 6. Mengetahui peran dan manfaat sistem Teknologi Informasi yang dibangun di TPK Koja dalam memberikan dukungan bagi perbaikan dan peningkatan BCH dan BSH. 7. Memberikan masukan dan bahan rekomendasi solusi untuk TPK Koja dalam rangka peningkatan produktivitas bongkar muat, khususnya untuk peningkatan throughput. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: a) Memberikan kepastian waktu operasional bongkar muat bagi pelanggan. b) Meningkatkan pendapatan jasa bongkar muat sebagai akibat adanya efisiensi dan produktivitas terminal. c) Munculnya kesadaran staf operasional untuk bersinergi dengan staf perencanaan dan pengendalian guna mencapai sasaran mutu yang sesuai dengan ditetapkan pada ISO 9001:2000. d) Meningkatkan daya saing antarterminal peti kemas di lingkungan pelabuhan Tanjung Priok. e) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pihak lain yang tertarik untuk melakukan riset yang lebih mendalam tahapan demi tahapan operasional terminal. Yakni, riset lanjutan yang ditujukan untuk menjadikan suatu terminal peti kemas yang mampu beroperasi menjadi lean port management.
11
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah mencakup analisis salah satu tahapan operasional terminal, yaitu sistem bongkar muat dari kapal ke dermaga (berth) atau sebaliknya serta analisa untuk perbaikan dan peningkatanya dengan mengoptimalkan sistem Teknologi Informasi yang telah ada di TPK Koja. Pada analisis kinerja operasional tidak memilah kategorisasi untuk jenis pelayanan kapal maupun jenis kapalnya. Di luar tahapan bongkar muat seperti tahapan untuk sandar, proses penumpukkan, proses di gate (delivery) tidak dicakup dalam penelitian ini. Batasan penelitian ini ditetapkan dengan berbagai pertimbangan dan alasan, yaitu: 1. Masing-masing tahapan dalam operasional terminal peti kemas melibatkan banyak faktor yang saling terkait sehingga memunculkan kompleksitas yang sulit untuk dipahami. Selain itu waktu penyelesaian penelitian juga terbatas sehingga tidak memungkinkan semua tahapan operasional dapat dianalisa. Oleh karena itu pembatasan diperlukan untuk mendapatkan simplifikasi masing-masing tahapan. 2. Analisis dibatasi hanya pada operasional bongkar muat pada tahapan transfer cycle. 3. Peningkatan lebih ditekankan pada optimalisasi sistem dan prosedur bukan dengan cara peningkatan kapasitas fisik terminal. 4. Analisa lebih ditekankan pada langkah-langkah efisiensi, perbaikan sistem, dan prosedur operasi.
12 5. Perbaikan operasional bongkar muat tidak menyentuh masalah investasi yang melibatkan dana yang besar.
1.5. Definisi dan Terminologi Definisi dan terminologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Terminal Operator, yaitu pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan proses bongkar muat peti kemas ekspor dan impor yang dilakukan melalui pelabuhan laut. 2. Peti kemas, yaitu kotak yang terbuat dari metal dengan konstruksi kaku yang digunakan untuk mengangkut kargo yang dapat dipindahkan ke kapal, truk, kereta api, pesawat terbang atau ditumpuk (stack) di lapangan penumpukan. Peti kemas dapat dilengkapi dengan ventilasi, pendingin, flat rack, terbuka (open top), berisi cairan (bulk liquid), atau bahkan memiliki peralatan khusus. Terdapat beberapa ukuran peti kemas, yaitu dengan panjang 20 kaki, 40 kaki, 45 kaki, 48 atau 53 kaki. Lebarnya dapat berukuran 8 kaki atau 8 kaki 6 inci. Sementara tingginya dapat memiliki ukuran 8 kaki 6 inci atau 9 kaki 6 inci. 3. TEU (Twenty foot Equivalent Unit), yaitu satuan ukuran peti kemas dengan panjang 20 kaki. 4. Throughput, yaitu banyaknya peti kemas dalam ukuran TEU yang masuk dan keluar dari terminal peti kemas dalam satu periode waktu tertentu (biasanya dalam 1 tahun). 5. Hub Port, yaitu pelabuhan yang memiliki berthing window yang tetap sehingga dapat berperan sebagai pelabuhan collecting bagi pelabuhan feeder.
13 6. BCH, yaitu satuan indikator yang menunjukkan rata-rata jumlah peti kemas yang ada pada sebuah kapal yang dapat dilayani oleh satu buah quay crane dalam waktu satu jam. 7. BSH, yaitu satuan indikator yang menunjukkan jumlah rata-rata peti kemas yang dapat dilayani dari sebuah kapal oleh sebuah dermaga dalam waktu satu jam. 8. Crane atau juga disebut sebagai quay crane (container crane, disingkat CC), yaitu peralatan berupa sebuah tower yang berada di sepanjang dermaga dan digunakan sebagai alat transpor antara truk dengan kapal peti kemas. 9. Dermaga (berth), yaitu satu tempat dimana kapal dapat bersandar di pelabuhan untuk melakukan proses bongkar muat. 10. Perusahaan Pelayaran (shipping liner), yaitu perusahaan yang menyediakan kapal untuk pengangkutan laut baik cargo bulk atau peti kemas, dan untuk keperluan ekspor maupun impor. 11. Cargo Owner, yaitu perusahaan yang memiliki barang yang akan diekspor atau diimpor. 12. Lean Port, yaitu pelabuhan laut yang telah terintegrasi dengan moda lain (darat, udara, kereta api) dalam sistem pengelolaan operasionalnya.
14