BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ideologi agama menjadi tema yang menarik di abad modernisasi ini. Terlebih dengan adanya sejumlah kasus yang muncul di tanah air akhir-akhir ini berkaitan dengan gerakan pengatasnamaan agama hingga perlakuan negatif terhadap agama. Gerakan radikalisme muncul dan dianggap oleh pelakunya sebagai salah satu solusi keprihatinan atas politik negara dan pemerintah yang terpengaruh kapitalisme dan kolonialisme negara-negara Barat. Bom Bali merupakan salah satu contoh kejadian tragis dan fenomenal berkaitan dengan gerakan radikal yang dibalut dalam koridor jihad mengatasnamakan Islam fundamentalis. Jumlah korban sipil yang sangat besar menjadi sebab gerakan ini dapat dikategorikan sebagai terorisme. Adanya transformasi ideologi bisa menjadi cikal bakal gerakan tersebut. Perubahan dari kelompok gerakan Islam fundamentalis menjadi gerakan radikal hingga dicap sebagai teroris disertai dengan kekuatan ideologi Barat ini menjadi wacana ideologi yang menarik dan layak kaji. Dalam konteks perang ideologi Barat dan Islam tersebut di atas, pada tahun 2010, seorang sutradara dokumenter bernama Rudi Haryanto pernah mengejewantahkan pemikirannya ke dalam suatu karya film yang berjudul Prison and Paradise. Film ini memang sudah lama dirilis oleh Rudi sebagai sutradara,
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
namun pembuatan film yang menghabiskan waktu selama 7 tahun ini menarik perhatian banyak orang. Terlebih dengan kontroversi yang terjadi pasca rilisnya film ini. Adapun film ini berlatarbelakang tentang bom bunuh diri di Bali yang diledakkan oleh teroris pada tanggal 12 Oktober 2002. Insiden ini menewaskan 202 jiwa sebagian besar orang asing dan juga orang Indonesia. Sejak saat itu Indonesia menjadi target ancaman bom dengan motivasi agama yang ditujukan untuk kantor-kantor kedutaan. Rudi Haryanto memulai riset dan wawancaranya di 2003. “In 2003, I had the opportunity to interview first Bali bombers. They are: Imam Samudra, Ali Gufron a.k.a Muklas, Amrozy and Ali Imron. I also met Mubarok a.k.a Fadlullah Hasan a.k.a Utomo Pamungkas in Kerobokan prison, Bali. In 2004, I was introduced to Noor Huda Ismail, a journalist at the Washington Post and an alumni of Al Mukmin Ngruki Islamic Boarding School (pesantren) on his duty covering the Bali bombing incident.” – Pada tahun 2003, saya berkesempatan untuk mewawancarai pelaku bom Bali pertama. Mereka adalah: Imam Samudra, Ali Gufron a.k.a Muklas, Amrozy dan Ali Imron. Saya juga bertemu Mubarok a.k.a Fadlullah Hasan a.k.a Utomo Pamungkas di penjara Kerobokan, Bali. Pada tahun 2004, saya diperkenalkan dengan Noor Huda Ismail, seorang wartawan di Washington Post dan seorang alumni pesantren Al Mukmin Ngruki dalam tugasnya meliput insiden bom Bali. “Some perpetrators of the bombing were graduated from Ngruki Islamic boarding school, such as Ali Gufron, Ali Imron and Mubarok. In fact, Nur Hooda Ismail shared a room with Mubarok in their early years in pesantren since Mubarok was the chairperson of their room in the pesantren. However, Noor Huda Ismail and Mubarok chose different path of life and different practice of jihad.” – Beberapa pelaku pengeboman tersebut merupakan lulusan dari pesantren Ngruki, seperti Ali Gufron, Ali Imron dan Mubarok. Sebenarnya, Nur Hooda Ismail berbagi kamar dengan Mubarok di tahun-tahun awal mereka di pesantren sejak Mubarok menjadi ketua kamar mereka di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
pesantren. Namun, Noor Huda Ismail dan Mubarok memilih jalan kehidupan yang berbeda dan praktik jihad yang berbeda. “In 2007, Noor Huda Ismail introduced me to Ali Imron and Mubarok’s families. He also invited me to meet Bali bombing victims, among other, the family of Haji Maksum, a Muslim activist in Denpasar, Bali. His son in law, Imawan Sarjono was killed during the bombing and left the wife, Eka Laskmi with their two sons, Alif and Aldi. During this meeting, I found many interesting stories, both from perpetrators’ families as well as victims’ families. They believe in the same religion, that’s Islam, they believe in the same Holy Quran, they pray with same manner and ways, but in Jihad, they do have different opinion. Indonesia has been an important site for terrorism and terrorism debate. The film “Prison and Paradise” would like to portray this issue closely. I would like to show the problem arising from Jihadis and their families. I would like also to address the discourse on terrorism, jihad, Islam political movement, war on terror agenda, and how this discourse shapes the future of the children, both of perpetrators’ as well as victims.” 1 Pada tahun 2007, Noor Huda Ismail memperkenalkan saya pada keluarga Ali Imron dan Mubarok. Dia juga mengundang saya untuk bertemu korban bom Bali, antara lain, keluarga Haji Maksum, seorang aktivis Muslim di Denpasar, Bali. Menantu laki-lakinya, Imawan Sarjono tewas dalam pengeboman tersebut dan meninggalkan istrinya, Eka Laskmi bersama kedua putra mereka, Alif dan Aldi. Dalam pertemuan ini, saya menemukan banyak cerita menarik, baik dari keluarga pelaku maupun keluarga korban. Mereka percaya pada agama yang sama, yaitu Islam, mereka percaya pada Alquran yang sama, mereka berdoa dengan cara dan cara yang sama, namun dalam Jihad, mereka memiliki pendapat yang berbeda. Indonesia telah menjadi situs penting dalam terorisme dan perdebatan terorisme. Film "Prison and Paradise" ingin menggambarkan masalah ini dengan seksama. Saya ingin menunjukkan masalah yang timbul dari Jihadis dan keluarga mereka. Saya ingin juga membahas wacana tentang terorisme, jihad, gerakan politik Islam, perang terhadap agenda teror, dan bagaimana wacana ini membentuk masa depan anakanak, baik pelaku maupun korban. Tujuan film itu, kata Daniel, untuk menunjukkan dampak buruk terorisme yang diterima generasi muda, terutama anak-anak. Dalam karya itu, Rudi berupaya menyorot efek aksi terorisme dari berbagai sisi secara seimbang. Director Statement oleh Daniel Rudi Haryanto http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/29/%E2%80%98prison-and-paradise%E2%80%99how-terrorism-affects-children.html 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Antara lain, dia menguak kehidupan korban, para pelaku teror, serta keluarga pelaku pengeboman. Dalam penggarapan filmnya, Rudi sempat mewawancarai para pelaku bom Bali seperti Imam Samudera, Amrozi Nurhasyim, Ali Gufron serta Ali Imron dan juga Mubarok dari balik jeruji besi di Pulau Nusakambangan di Jawa Tengah. Dalam penggarapan film ini, Rudi bekerjasama dengan Noor Huda Ismail, penulis novel “Temanku Teroris”. Noor Huda adalah mantan seorang wartawan Washington Post. Dia pernah menjadi teman sekamar dari salah satu tersangka Bom Bali I Utomo Pamungkas alias Fadhullah Hasan alias Mubarok ketika masih menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Saat ini, Huda mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian, yayasan yang melakukan pendampingan terhadap para mantan pelaku terorisme beserta keluarganya dan para korban terorisme. Tema film dokumenter yang diangkat oleh Rudi cukup membuat banyak kalangan memperdebatkan kembali ideologi jihad yang berujung pada radikalisme. Namun, ironisnya LSF justru menganggap dokumenter Rudi Haryanto tentang para pelaku bom Bali itu “sarat dengan dialog-dialog propaganda yang menyesatkan” dan berpotensi “memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda Islam Indonesia”. Ideologi tentang terorisme, jihad, kapitalis negara Barat
yang
dipertentangkan dengan konsep kemanusiaan pembuat film muncul secara gamblang dalam film ini. Ideologi-ideologi tersebut dihadirkan dan secara lugas dituturkan oleh subyek-subyek yang ada dalam film tersebut. Pertentangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
ideologi tersebut dikemas secara terstruktur oleh Rudi Haryanto sebagai pembuat film menjadi sebuah tontonan yang bisa menghasilkan asumsi dan pandangan, bahkan bisa jadi resolusi atas kondisi yang terjadi. Dalam konteks radikalisme-teroris, agama ditunggangi dan digunakan menjadi alat praktik ideologi yang represif, dan pemahaman terhadap hukum dan landasan keyakinannya sangat tekstual fundamentalis sekalipun pencetus dari gerakan tersebut bisa jadi lahir justru bukan dari kelompok agama, seperti politik, sosial dan ekonomi. Oleh Rudi (panggilan akrab Rudi Haryanto), perbenturan ideologi-ideologi subyek dalam film ditampilkan namun dengan kemasan yang lebih halus karena mengangkat sisi keluarga dan dampak negatif yang ditimbulkan dari melakukan tindakan kejahatan terorisme. Selain itu, Noor Huda Ismail yang merupakan teman salah satu pelaku pemboman, memiliki pandangan bahwa keluarga pelaku harus mendapatkan hak yang sama seperti halnya masyarakat pada umum. Hal ini nampaknya sejalan dengan ideologi liberalisme dimana kebebasan individu dan hak asasi manusia menjadi mutlak harganya. Terlepas bahwa perlu adanya perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia, kebebasan setiap individu dalam praktik liberalisme juga akan mengalami gesekan dengan kebebasan dan kepentingan individu yang lain tentunya. Menurut penulis dalam konteks pertentangan ideologi, kemasan film yang dibuat oleh Rudi merupakan suatu ambivalen dalam praktik wacana kritis. Di satu sisi ia (Rudi, sutradara) berusaha menampik stereotype bahwa jihad dan Islam identik dengan terorisme, namun di sisi lain ia menampilkan sisi netral pemikirannya di bagian akhir film. Premis yang tersirat dalam filmnya, dimana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
ideologi radikalis sebagaimana visinya menentang kapitalisme Barat justru dipertentangkan dengan pemikiran keluarga pelaku dan korban dalam adegan dan penuturan yang humanis. Kerelaan dan keikhlasan keluarga korban di bagian akhir justru menjadi degradasi perspektif dalam menampik stigma Islam-teroris. Nampaknya, hal ini yang kemudian menjadi sumber masalahnya. Interpretasi penonton terhadap film dokumenter “Prison and Paradise” inilah yang sepertinya ditakutkan oleh pihak Lembaga Sensor Film yang kemudian menolak penayangan film di seluruh daerah di Indonesia. Namun demikian, pihak LSF tidak memberikan ruang untuk diskusi lebih lanjut terkait hal itu. Dalam ranah politik lembaga pemerintah, tidak adanya mediasi ini adalah persoalan lain yang tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis berusaha meneliti ideologi-ideologi yang muncul dari setiap subyek film sebagai obyek kajian. Ideologi-ideologi tersebut muncul secara eksplisit sekaligus implisit dalam dialog tutur antara subyek dengan pembuat film. Bahkan tidak hanya implisit, namun juga symptomatic meaning yang bersifat ideologis.2 Subyek film dokumenter Prison and Paradise disini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Pertama; pelaku bom yaitu Imam Samudra, Amrozy, Ali Gufron, Ali Imron, dan Mubarok. Kedua; keluarga pelaku, yaitu diwakili oleh keluarga Mubarok; ayah Mubarok, Pak Harsono; istri Mubarok, Ukhi Titin beserta kedua anak perempuannya, Asma Azzahra dan Qonita Annisa. Juga istri Ali Imron yaitu Nissa dan juga anak mereka yaitu Azzah Rohida. Ketiga; keluarga korban diwakili oleh keluarga korban yaitu istri korban, David Bordwell, Kristin Thompson. Film Art: an introduction. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2004 hal 57
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Eka Laksmi; kedua putranya Alif dan Aldi; serta Haji Maksum, kakek mereka. Keempat; teman asrama Mubarok (pelaku bom) sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (LSM yang bergerak di bidang pendampingan eks narapidana terorisme), Noor Huda Ismail. Dari empat subyek tersebut, satu kesamaan di antara mereka yaitu penganut agama Islam, perbedaannya ada pada identifikasi ideologi yang muncul dari dialog pada film, yaitu: pelaku bom memiliki ideologi Islam fundamentalis yang mengarah ke radikalisme, yang kemudian diterjemahkan oleh hegemoni Barat sebagai terorisme. Wacana kemanusiaan dengan isu dampak keluarga terhadap tindakan teroris dimunculkan sebagai pihak yang dipertentangkan dengan ideologi Islam fundamentalis para pelaku. Wacana kemanusiaan tersebut dipaparkan oleh narasumber Noor Huda Ismail, dimana merupakan subyek ‘perpanjangan
tangan’ Rudi
sebagai
pembuat
film
dalam
meletakkan
perspektifnya. Adapun Noor Huda Ismail adalah aktivis kemanusiaan yang memusatkan pada pandangan dan pemikiran terhadap hak asasi keluarga korban dan pelaku (baik keluarganya juga pelaku yang insaf). Sebagai informasi, adanya perbedaan pemikiran pasca peristiwa bom Bali membawa akibat Mubarok dan Ali Imron menyesali perbuatannya, tidak demikian dengan terpidana hukuman mati; Imam Samudra, Ali Gufron dan Amrozy. Mereka tetap konsisten dengan diri dan dasar pemikiran fundamentalisnya. Maka kemudian menjadi menarik ketika subyek keluarga pelaku dalam film justru diwakili oleh keluarga Mubarok dan Ali Imron yang notabene sudah insaf, bukan keluarga pelaku yang dihukum mati. Ideologi lain yang tersirat dari film ini adalah ideologi negara Barat yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
direpresentasikan sebagai kapitalis-hedonisme yang diwakili oleh dialog yang dituturkan oleh subyek dan makrostruktur hegemoni barat untuk menggambarkan kekuatan dominasi Barat dan hegemoninya atas Islam. Meskipun ideologi ini tidak muncul sebagai representasi ideologi subyek yang ada dalam film, namun ideologi kapitalis menjadi landasan dan dampak hegemoni munculnya banyak gerakan radikal di dunia. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menelaah ideologi subyek yang muncul dalam film Prison and Paradise dan menganalisis wacana ideologi Islam fundamentalis-radikal
serta
kapitalisme
negara
barat
dalam
perspektif
kemanusiaan Rudi sebagai pembuat film dengan menggunakan studi wacana kritis Teun A. Van Dijk. Adapun pemikiran dekonstruksif juga akan digunakan dalam penelitian ini sebagai perspektif pemaknaan ideologi subyek yang muncul dalam film dokumenter Prison and Paradise. Dengan meminjam perspektif analisis dekonstruksi, diharapkan bisa menyingkap makna-makna yang tersembunyi atau terabaikan dalam penafsiran ideologi.
Bentuk penelusuran dekonstruksi
membantu untuk bisa melihat apa yang disembunyikan sejarah dan menyusun sejarah melalui unsur-unsur yang didominasi. Metode dekonstruksi dirasa perlu untuk mengidentifikasi politik teks sehingga membantu untuk memperoleh kesadaran lebih tinggi akan adanya bentuk inkonsistensi dalam teks tanpa adanya keberpihakan.3 Dalam konteks ideologi subyek dalam film dokumenter Prison and Paradise, terminologi tafsir jihad menjadi wacana kunci dalam film tersebut. Maka, penulis hendak memperlakukan teks, kognisi, dan konteksnya secara netral
3
Haryatmoko. Critical Discourse Analysis. Jakarta: Raja Grafindo. 2016 hal 214
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
sebagai sarana yang mampu membuka kemungkinan baru untuk perubahan dan rekonsiliasi ideologi-ideologi yang represif dan tertutup.
1.2. Fokus Penelitian
Berdasarkan apa yang telah dijabarkan pada latar belakang berkaitan dengan pertentangan ideologi yang muncul pada dialog subyek-subyek dalam film dokumenter “Prison and Paradise”, maka peneliti hendak mencari tahu secara relevan dan mendalam mengenai: Bagaimana dekonstruksi ideologi subyek yang terdapat dalam film dokumenter Prison and Paradise?
1.3. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian, dapat diidentifikasi masalah-masalah yang akan coba diselesaikan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana ideologi Islam fundamentalis-radikal subyek pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise?
2.
Bagaimana ideologi kemanusiaan subyek pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise?
3.
Bagaimana ideologi negara barat pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
1.4. Tujuan Penelitian
Bertolak dari identifikasi masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengungkapkan ideologi Islam fundamentalis-radikal subyek pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise
2.
Untuk mengungkapkan ideologi kemanusiaan subyek pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise
3.
Untuk mengungkapkan ideologi negara barat pada level teks, kognisi dan konteks sosial dalam film dokumenter Prison and Paradise
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat peneliti kategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis, berikut penjabarannya: 1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi dan perfilman yang mempelajari dekonstruksi ideologi yang muncul dari subyek film dokumenter.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
1.5.2. Manfaat Praktis Secara praktis peneliti berharap penelitian ini dapat memenuhi fungsifungsi seperti: 1.5.2.1. Fungsi Akademis Penelitian ini dapat diterapkan bagi setiap kalangan yang memiliki minat dalam film dokumenter di Universitas Mercu Buana. 1.5.2.2. Fungsi Individual Diharapkan
penelitian
dapat
memberikan
gambaran
bagaimana perspektif dekonstruksi ideologi subyek dalam film dokumenter “Prison and Paradise”. 1.5.3. Manfaat Sosial Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat akan perspektif dekonstruksi ideologi subyek dalam film dokumenter Prison and Paradise.
http://digilib.mercubuana.ac.id/