BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan modern pada abad ke-20 ini, menempatkan posisi anak pada tempat yang utama dalam kepeduliannya pada tugas-tugas pendidikan, di mana sistem pendidikannya harus didasarkan pada ilmu-ilmu yang membicarakan tentang kepribadian anak. Masa kanak-kanak adalah merupakan generasi penentu masa depan. Tetapi, dengan sangat menyesal metode-metode yang pantas dan layak diberikan kepada anak-anak sering diabaikan dalam proses pendidikan dan pengajaran, kecuali pada saat di mana pendidikan modern muncul dan menganggap perhatian yang besar terhadap masa kanak-kanak adalah sesuatu yang sangat prinsip dan ide yang berharga dalam pendidikan yang sempurna dan pengajaran yang baik.1 Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan mau membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya,
1
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,Terj. Syamsuddin Asyrofi (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1996), 86
2
terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan dituntut pengembangannya bagi kepentingan manusia.2 Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.3 Dalam hal ini konsep pendidikan yang digagas adalah mengakui hak si anak atas kemerdekaannya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat serta pembawaannya. 4 Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada anak didik sesuai dengan perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan. Anak didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama anak didik.5
2
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), 53 3 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 131 4 MIF Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan (Bandung: Nuansa, 2007), 45 5 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 170
3
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi :
gُ aَ hْ Zِ iَ C اe ُ fَ Xْ `َ =َa َآSِ Tِ =َcd V aَ Fُ ْ َأوSِ Tِ َاUW V Xَ Fُ ْ أوSِ Tِ دَاEV Zَ Fُ [ُ َاE\َ ]َ^َ ِةUَ ْQNِ C اP?َ@ َ Bُ CَْEFُ H G ْ ٍد ِإECُْE>َ ْM>ِ =َ> ْPfِ Cّ اSِ ?ّC َة اUَ Q ْ ^ِ ْsfُ wْ x ِ ْ ُءوْا ِإنUَ yْ وَا: َةUَ Fْ Uَ ْ ُهE\ُ ل َأ ُ ْErُ Fَ sG tُ .ْ@َ= ِءBk َ ْM>ِ ن َ ْEc no ِ `ُ ْpَ= َء َهjaْ k َ gَ aَ hْ Zِ \َ Sِ ?ّC{ ا ِ ?ْ | َ Cِ p َ Fْ Bِ iْ `َ H َ =َZhْ ?َ@ َ س َ =GXC اUَ Q َ ^َ “Tidak seorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka akibat kedua orang tuanyalah yang me-Yahudi-kannya atau me- Nasrani-kannya atau me-Majusi-kannya. Sebagaimana halnya binatang yang dilahirkan dengan sempurna, apakah kamu lihat binatang itu tiada berhidung dan bertelinga ? Kemudian Abi Hurairah berkata, apabila kau mau bacalah lazimilah fitrah Allah yang telah Allah ciptakan kepada manusia di atas fitrah-Nya. Tiada penggantian terhadap ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus (Islam) “. ( H.R. Muslim )6 Demikian pula dalam Al-Qur’an surat Ar Rum ayat 30:
َوsُ hV rَ C اM ُ Fْ BV C ا َ Cٰ ذ ِ {ا ِ ?ْ | َ Cِ p َ Fْ Bِ iْ `َ H َ =َZhْ ?َ@ َ س َ =ّXC اUَ Q َ ^َ PِfCّ ا ِ تا َ Uَ Q ْ ^ِ =ًNhْ Xِ
َ M ِ Fْ BV ?C َ Zَ k ْ ْ َوsyِ ]َ^َ
(٣٠ ومUCْ َن )اEaُ ?َjْ Fَ H َ س ِ =ّXC اUَ َ َا ْآM G ِ ٰC “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapkanlah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perbuatan bagi fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum 30).7 Dari ayat dan Hadis tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya.
6
Imam ‘Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari Juz II, Terj. Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), 290. 7 Al-Qur’an, 21: 30.
4
Di sini juga jelas bagaimana pentingnya peranan orang tua untuk menanamkan pandangan hidup keagamaan terhadap anak didiknya. Agama anak didik yang akan dianut semata-mata bergantung pada pengaruh orang tua dan alam sekitarnya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak anak didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian halnya kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Karena itu Al-Qur’an telah mengkonkretkan bagaimana Luqman sebagai orang tua telah menanamkan pendidikan agama kepada anaknya seperti disebutkan dalam surat Luqman ayat 13 : 8
ٌْ ِ َ ٌْ ُ َ ك َ ْ!# " ن ا % ' ِا ِ (ِ) ْ ِ!ك# ْ *ُ +َ , % -َ )ُ (َ. /ُ ُ 0ِ .َ 1َ َو ُه/ِ-)ْ +ِ ن ُ (َ45ْ ُ َ( َل7 َْو ِاذ (١٣ (ن45) “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah nyata-nyata kezaliman yang besar”. (QS. Luqman:13).9 Usia anak adalah usia yang paling kritis atau paling menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir seluruhnya terjadi pada usia anak-anak. Kalau anak terlanjur menjadi pencuri atau penjahat, maka pendidikan setinggi apa pun bagi anak
8 9
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 171 Al-Qur’an, 21: 13.
5
tersebut boleh dikatakan tidak berarti apa-apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua susah dibengkokkan. 10 Anak-anak memiliki potential intelegence yang luar biasa. Potensi ini mesti dikembangkan.11 Untuk itu para orang tua dan pendidik selayaknya memperhatikan masalah-masalah penting seputar pendidikan anak. Begitu pentingnya pendidikan pada setiap anak, baik itu pendidikan yang menyangkut moril, spirituil dan intelegensi, maka perlu adanya prinsipprinsip dasar yang melatarbelakangi pendidikan anak tersebut. Agar nantinya pendidikan yang diajarkan tersebut dapat tertanam dan tercermin pada kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Nashih ‘Ulwan, materi pendidikan anak yang dikemukakannya lebih bersifat global dan cenderung mengemukakan materi pendidikan agama, sedangkan macam-macam ilmu pengetahuan umum yang dikemukakannya kurang lengkap. Materi-materi itu di antaranya : pendidikan iman, pendidikan akhlak, pendidikan fisik, pendidikan rasio, pendidikan psikologis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Di dalam merumuskan tujuan pendidikan anak menurut Islam, ‘Ulwan menjelaskan bahwa pendidikan merupakan upaya membina mental anak didik, melahirkan generasi Islam yang dapat meneruskan perjuangan Islam sesuai prinsip-prinsip pendidikan Islam, membina umat dan
10
Pengantar penerbit Peran Bunda Dalam Mendidik Buah Hati (Bandung: Media Istiqomah, 2006), x. 11 Ibid., hlm. x.
6
budaya yang dapat menjaga moral Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis serta memberlakukan prinsip kemuliaan dan peradaban untuk merubah dari kegelapan syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah, dan kemantapan.12 Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang dicanangkan atau pelajaran yang diberikan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh pada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang kedua adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum;
yaitu
mata
pelajaran
yang
meliputi
lapangan
kultural
dan
kemasyarakatan.13 Dengan
materi
tersebut,
terlihat
bahwa
Ki
Hajar
Dewantara
menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada pembentukan sikap kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahan pelajaran yang diberikan dalam kegiatan
pendidikan
adalah
pelajaran
yang
memajukan
intelek
dan
kemasyarakatan, dengan memberikan ilmu dan kepandaian pada anak-anak kita 12
‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), xxxvii 13 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 135
7
yang ditujukan kepada matangnya batin, yaitu halusnya perasaan serta teguh, tetap dan luhurnya kemauan yang akhirnya dapat menyesuaikan hidupnya anak dengan dunianya (alam individual, alam kebangsaan, alam kemanusiaan); yang kesemuanya ini dimaksud untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan, bagi orang seorang, serta di alam pergaulannya dengan orang-orang lain dapat dicapai pula tertib dan damai.14 Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti tentang “ Prinsip Dasar Dalam Pendidikan Anak (Telaah Komperatif Antara Pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara)”, karena telaah komperatif antara pemikiran tokoh Islam dan tokoh umum sangat minim sekali di Perguruan Tinggi STAIN Ponorogo. Skripsi yang berjudul “ Prinsip Dasar Dalam Pendidikan Anak (Telaah Komperatif Antara Pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara) “ akan membahas tentang tujuan dan materi pendidikan anak serta persamaan dan perbedaan pemikiran di antara kedua tokoh tersebut, yang akan dibahas pada bab berikutnya.
14
Ibid., hlm. 136.
8
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana
tujuan pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih
‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara ? 2. Bagaimana materi pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara ?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian ini, tujuan pembahasan yang ingin dicapai sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tentang tujuan pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara. 2. Untuk mengetahui tentang materi pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara.
D. Manfaat Penelitian Yang memiliki nilai guna, maka kegunaan di sini ada 2 macam, yaitu: a. Kegunaan secara teoritis 1. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan pendidikan islam. 2. Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan. 3. Memberikan sumbangan bagi para pendidik bahwa metode pendidikan anak sangatlah penting untuk pembentukan aqidah dan akhlak anak,
9
sehingga diharapkan metode pendidikan anak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. b. Kegunaan secara praktis 1. Bagi lembaga pendidikan, penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. 2. Bagi pendidik, sebagai sumbangan acuan bahan dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan anak dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang di tetapkan. 3. Bagi penulis, sebagai sarana menambah wawasan pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara.
E. Telaah Pustaka 1. Dalam skripsi yang ditulis oleh Futihati Romlah (Oktober 2004, STAIN Ponorogo) yang berjudul
“Studi Komperatif tentang Materi dan Metode
Pendidikan Anak antara Pemikiran Ibnu Khaldun dan Pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan”. Di dalamnya meneliti tentang riwayat hidup, materi pendidikan anak, metode pendidikan anak, serta persamaan dan perbedaan antara pemikiran Ibnu Khaldun dan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan. Sedangkan tujuan pendidikan anak tidak dibahas. Dalam skripsi ini akan meneliti tentang
10
tujuan dan materi pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara. 2. Dalam skripsi yang ditulis oleh Yusmicha Ulya Afif (April 2007, STAIN Ponorogo) juga meneliti tentang pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan yang berjudul “Konsep Pendidikan Keteladanan Dalam Islam menurut ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan “Telaah Atas Kitab Tarbiyat Al-Aulad Fi al-Islam” di dalamnya meneliti tentang keteladanan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sedangkan dalam skripsi ini akan meneliti tentang tujuan dan materi pendidikan anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara.
F. Metode Penelitian Mengingat penelitian ini adalah studi tokoh, maka metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam kategori kajian kepustakaan ( Library Research ). 1. Pengumpulan Data Adapun sumber data yang dapat dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini yang ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan berasal dari berbagai literatur kepustakaan, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian. Dalam hal ini penulis akan menyebutkan beberapa sumber data primer dan sekunder.
11
a. Data Primer
Dr. ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan. Pendidikan Anak Dalam Islam. Terj. Jamaludin Miri. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Karya Ki Hajar Dewantara. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962.
b. Data Sekunder 1. Muhammad Azmi. Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga). Yogyakarta: Belukar, 2006. 2. MIF Baihaqi. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan (Dari Abendanon Hingga K.H. Imam Zarkasyi). Bandung: Nuansa, 2007. 3. I. Djumhur, Danasaputra. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1959. 4. Taufiq Ismail. Horison Esai Indonesia. Jakarta: Horison, 2004. 5. Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. 6. Tim Penulis. Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I. Jakarta: Djambatan, 2002. 7. 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia. Biografi Singkat Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi, 2006.
12
2. Metode Analisa Data Setelah data-data tersebut diolah, maka selanjutnya data tersebut dianalisa dengan menggunakan beberapa metode, yaitu : a. Metode Deduktif Metode deduktif adalah metode yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum dan bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum itu kita hendak menulis kejadian yang bersifat khusus. b. Metode Induktif Metode induktif adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta atau peristiwa yang khusus atau konkrit dicari generalisasi yang mempunyai kesamaan.15 c. Metode Komparasi Metode komparasi yaitu usaha membandingkan sifat hakiki dalam obyek penelitian sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Perbandingan ini dapat menentukan secara tegas tentang kesamaan dan perbedaan sehingga hakikat obyek dapat difahami dengan semakin murni.16
15
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I (Yokyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987), 42-46 16 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 47.
13
G. Sistematika Pembahasan Sebagai gambaran pola pemikiran penulis yang tertuang dalam karya ilmiah ini, maka penulis menyusun sistematika pembahasan yang dibagi menjadi lima bab, di antaranya ialah : BAB I
: Pendahuluan, dalam bab ini memaparkan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II
: Pada bab ini berisikan tentang Prinsip Dasar Dalam Pendidikan Anak menurut pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan yang berisi tentang Riwayat hidup ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan tentang tujuan pendidikan anak, pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan tentang materi pendidikan anak.
BAB III
: Pada bab ini berisikan tentang prinsip dasar dalam pendidikan anak menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara yang berisi tentang Riwayat hidup Ki Hajar Dewantara, pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang tujuan pendidikan anak, pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang materi pendidikan anak.
BAB IV
: Merupakan analisa yang berisikan komparasi pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara tentang tujuan dan materi pendidikan anak, bab ini terdiri dari bagaimana persamaan dan
14
perbedaan pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara tentang tujuan dan materi pendidikan anak. BAB V
: Penutup merupakan bab yang terakhir dalam skripsi ini, di dalamnya menguraikan tentang kesimpulan sebagai jawaban dari pokok permasalahan dan saran yang terkait dengan hasil penelitian.
15
BAB II PRINSIP DASAR DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PEMIKIRAN ‘ABDULLAH NASHIH ‘ULWAN
A. Riwayat Hidup ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan ‘Abdullah Nahsih ‘Ulwan lahir di kota Halab pada tahun 1928. Ia menyelesaikan belajarnya di Madrasah Tsanawiyah al-Syar’iyyah di kota kelahirannya pada tahun 1949. Beliau belajar kepada ulama’-ulama’ Halab Syuriah. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya di Universitas al-Azhar Mesir Fakultas Ushuluddin dan selesei pada tahun 1952. Setelah menyelesaikan strata satu, ia melanjutkan program Magister di Universitas yang sama dengan mengambil spesialisasi bidang pendidikan dan selesai pada tahun 1954. Setelah menyelesaikan program Magister beliau tidak bisa menyelesaikan pendidikan doktornya karena diusir keluar negeri pada masa Presiden ‘Abd al-Nasr di tahun yang sama yaitu pada tahun 1954.17 Sehingga beliau mendapatkan gelar doktornya di negara lain. Pada tahun 1954 ia menjadi seorang guru pendidikan Islam di sebuah madrasah tsanawiyah di Halab sampai tahun 1978, dan ia menekuni ilmu pendidikan, dan menekuni kegiatan taujih dan dakwah di beberapa sekolah dan di masjid-masjidnya. Beberapa karyanya dalam bidang keilmuan di antaranya: 17
1978), 1119
‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyat al-Aulad Fi al-Islam II (Beirut: Dar as Salam,
16
1. Al-Takaful al-Ijtimai fi al-Islam 2. Ta’adud al-Zaujat fi al-Islam 3. Salahu al Din al-‘Ayubi 4. Hatta Ya’lamu al-Shabab 5. Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam Sedangkan karya-karyanya yang lain dalam bidang ke-Islaman di antaranya adalah: 1. Fada’il al-Siyam wa Ahkamuh 2. Hukmu al Ta’minu fi al-Islam 3. Hukmu al-Islam fi Wasa’il al A’lam 4. Ahkam al-Zakat (‘ala dau al-Madhahib al-Arba’ah) 5. Shubuhat Warududu Hauli al-‘Aqidah wa Asl al-Insan 6. Mas’uliyah al-Tarbiyah al-Jinsiyah 7. Ila Warathatu al-anbiya’ 8. Takwin al- Sakhsiyah fi Nadri al-Islam 9. Nizam al-Raq fi al-Islam 10. Hurriyah al-I’tiqad fi al-Shari’ah al-Islamiyah.18 ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan adalah seorang yang sangat peduli dengan Islam, khususnya terhadap anak-anak dan remaja. Ia menulis tentang pendidikan anak ditinjau dari sudut pandang Islam secara panjang dan lebar luas dan jujur. Ia
18
Ibid., 1119-1120
17
juga memperbanyak bukti-bukti Islami dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan peninggalan para salaf untuk menetapkan hukum Islam.19
B. Tujuan Pendidikan Anak Mendidik merupakan salah satu sarana untuk mempersiapkan anak didik dalam rangka menghadapi masa dan zaman selanjutnya serta memelihara peradaban manusia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pendidikan dapat dilakukan dengan memperhatikan dan bertanggung jawab mendidik dan membiasakan dengan kegiatan yang bermanfaat mulai dari masa kelahiran anak sampai masa analisa, puberitas sampai anak menjadi dewasa serta mampu berfikir secara logis dan konsisten,20 sehingga perkembangannya sesuai dengan harapan pendidik yang mengacu kepada sistem pendidikan anak yang sesuai dengan pendidikan Islam yang berdasarkan pada AlQur’an dan Hadis. Untuk mewujudkan sebuah peradaban yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, pendidik agar selalu mengingatkan kepada anak untuk senantiasa mengingat Allah dalam berfikir serta mempelajari pemikiran yang dapat
19
‘Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam II , terj. Jamaludin Miri Jakarta: Pustaka Amani, 1999), xxx. 20 Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam II, Terj. Jamaludin Miri, 157-160
18
mendekatkan diri kepada Allah dan pemikiran yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.21 Dalam merumuskan tujuan pendidikan anak menurut Islam, ‘Ulwan menjelaskan bahwa pendidikan merupakan upaya membina mental anak didik, melahirkan generasi Islam yang dapat meneruskan perjuangan Islam sesuai prinsip-prinsip pendidikan Islam, membina umat dan budaya yang dapat menjaga moral Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis serta memberlakukan prinsip kemuliaan dan peradaban untuk merubah dari kegelapan syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah, dan kemantapan.22 Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Maidah ayat 15-16 ] َ `" َْ( َء ُآg ْV7َ !ٍ ْ [ِ ]ْ َآ َ ْا1^ُ 0ْ .َ _ َو ِ XِY] ا َ `ِ ن َ ْ1^ُ a ْ *ُ ْXُ -ْ ( ُآ%4`" ْ َآ ِ[ ْ!ًاYُ َ ] ُ " cَ .ُ (َ-ُْ1d ُ َ( َء ُآْ َرg ْV7َ ب ِ (َXYِ اZَ ـ َ( ْه. ' ِ ا َو/ِiْْ ِر ِ)ِ(ذ1-j اk َ ِ اl4ُ ُ ] ا َ `" ْmُ g ُ !ِ a ْ .ُ ِ َو%n اZَ cُ d ُ /َiَا1o ْ ِرpَ cَ *% ] ا ِ `َ ' ُ ا/ِ )ِ ْيVِ mْ .%
ٌ]ْ cِ `j ٌ_Xِوآ% ٌْر1iُ kَْ ِاmِ .ْ Vِ mْ .َ
(
: ةVu(4)ا
ٍ ْ 5ِ Xَ n ْ `j ط ٍ !َاs ِ ا
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al- Ma’idah :15-16).23
21
Ibid., 184-185 ‘Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam III , terj. Jamaludin Miri Jakarta: Pustaka Amani, 2002), xxx.vii. 23 Al-Qur’an, 5 : 15-16. 22
19
Pada ayat tersebut telah dijelaskan bahwa tujuan diturunkannya Al-Qur’an untuk memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat manusia agar dalam kehidupannya selalu mencari ridha Allah. Serta untuk membenahi moral manusia agar terhindar dari moral dan peradaban yang tidak sesuai dengan norma dan etika kemanusiaan yang merupakan tujuan akhir Pendidikan Islam. Pembinaan mental anak didik merupakan prinsip dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pengajaran terhadap anak didik. Dengan mental yang kuat dan terbiasa diharapkan akan mewujudkan generasi tangguh dalam menghadapi kehidupan di masyarakat luas dan pada akhirnya akan mewujudkan peradaban manusia yang terbiasa sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam.
C. Materi Pendidikan Anak Orang tua, guru dan semua orang yang berada di sekitar anak mempunyai tanggung jawab atas pendidikan anak, yang termasuk di dalamnya adalah pendidikan iman, akhlak (moral), fisik, intelektual, psikhis, sosial, dan seksual. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang merasa memiliki tanggung jawab, bekerja sesuai dengan kemampuannya dan berhati-hati untuk lari dari tanggung jawab, melimpahkan tanggung jawab, dan mengekor kepada
20
selainnya. Sebab, tanggung jawab dalam Islam bersifat umum yang mencakup semua individu muslim. Rasulullah SAW bersabda :
Sِ fِ hG @ ِ ْ َرM@ َ ٌ ُوْلc ْ >َ ْsُ ?nع و ُآ ٍ ْ رَاsُ ?nُآ “ Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas yang dipimpinnya “.(Muttafaq’Alaih).24 Tanggung jawab itu bersifat kolektif, setiap orang memiliki tanggung jawab sesuai dengan kedudukannya. Yang ini dengan pengajaran dan ucapannya, yang ini dengan nasehat dan bimbingannya, yang ini dengan kekuatan dan hartanya, yang ini dengan kedudukan dan pengarahannya kepada jalan yang bermanfaat dan demikian seterusnya. Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab atas anak, terutama dalam hal pengajaran, nasehat dan bimbingannya, agar anak memiliki wawasan yang luas. Luas wawasan memiliki urgensi yang sangat dalam untuk meninggikan kemauan, meluaskan pandangan, meninggikan akhlak, dan meluaskan lingkup pemikiran. Berbeda dengan sempit wawasan yang menutup akal, menghalangi untuk melihat kebenaran, menyebabkan berfikir secara terbatas, sempit pandangan dan menerbitkan peraturan-peraturan (keputusan) yang cacat atau bathil.
24
Imam ‘Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari Juz VII, Terj. Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), 106.
21
Berikut beberapa materi pendidikan anak yang diungkapkan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan : 1. Pendidikan Iman Yang dimaksud dengan pendidikan iman adalah, mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz. Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah gaib, semisal beriman kepada Allah Swt. , beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi , beriman kepada semua rasul, beriman bahwa manusia akan ditanya oleh dua malaikat, beriman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib lainnya. Yang dimaksud dengan rukun Islam adalah, setiap ibadah yang bersifat badani maupun materi, yaitu sholat, puasa, zakat, dan haji bagi orang yang mampu untuk melakukannya. Dan yang dimaksud dengan dasar-dasar syariat adalah, segala yang berhubungan dengan sistem atau aturan Ilahi dan ajaran-ajaran Islam, berupa akidah, ibadah, akhlak, perundang-undangan, peraturan, dan hukum.
22
Kewajiban pendidik adalah, menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman di atas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin dan teladannya.25 Pemahaman yang menyeluruh tentang pendidikan iman ini didasarkan kepada wasiat-wasiat Rasulullah Saw. dan petunjuknya di dalam menyampaikan dasar-dasar keimanan dan rukun-rukun Islam kepada anak. Berikut ini, petunjuk dan wasiat Rasulullah Saw. : a. Membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa ilaaha illallaah.
b. Mengenalkan hukum-hukum halal dan haram kepada anak sejak dini. c. Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun. d. Mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya, dan membaca AlQur’an.26
25 26
Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam III, Terj. Jamaludin Miri, 165 Ibid., 166.
23
2. Pendidikan Moral (Akhlak) Tujuan yang terutama dalam pendidikan ialah pendidikan akhlak, baik perangai dan tingkah laku, halus budi pekerti, keras kemauan, membedakan yang baik dari yang buruk, mengerjakan kebaikan, dan menjauhi kejahatan. Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk putera, puteri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, beradap sopan santun, baik tingkah lakunya, manis tutur bahasanya, jujur dalam segala perbuatannya, suci murni hatinya. Jiwa pendidikan dan penghidupan jiwa kemajuan, jiwa rumah tangga dan sekolah, haruslah pendidikan akhlak. Kalau kita katakan, bahwa pendidikan ialah mencapai sifat yang tinggi dan akhlak yang sempurna dalam adat kebiasaan, dalam segala hal dan dalam adab sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa tujuan akhlak haruslah menjadi tujuan yang hakiki dalam pendidikan.27 Yang dimaksud pendidikan moral (akhlak) adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukalaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan.
27
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996). 22-23
24
Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap, dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagaman seseorang yang benar. Jika sejak masa kanak-kanaknya, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng pertahanan religius yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah yang telah dihayati dalam dirinya dan intropeksi diri yang telah menguasai seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan anak dari sifat-sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa, dan tradisi-tradisi jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu kebiasaan dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat yang paling utama.28 Jika pendidikan anak jauh dari pada akidah Islam, lepas dari ajaran religius dan tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak diragukan lagi, bahwa anak akan tumbuh dewasa di atas dasar kefasikan, penyimpangan,
28
Ibid., 193.
25
kesesatan, dan kefasikan. Bahkan ia akan mengikuti nafsu dan bisikan-bisikan setan, sesuai dengan tabiat, fisik, keinginan, dan tuntutannya yang rendah. 29 Jadi, apabila pendidikan utama pada tahapan pertama menurut pandangan Islam adalah bergantung pada kekuatan perhatian dan pengawasan, maka selayaknyalah bagi para ayah, ibu, pengajar, dan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan dan moral untuk menghindarkan anak-anak dari empat fenomena berikut ini, yang merupakan perbuatan terburuk, moral terendah, dan sifatnya yang hina. Fenomena-fenomena tersebut adalah: a. Suka berbohong. b. Suka mencuri. c. Suka mencela dan mencemooh. d. Kenakalan dan penyimpangan.30
3. Pendidikan Fisik Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan pertama atau disebut juga kebutuhan primer, seperti sandang, papan dan pangan. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan fisik manusia. Kebutuhan fisik jasmani manusia diakui adanya dalam Islam dan semua
29 30
Ibid., 194. Ibid., 200.
26
manusia akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya, apabila tidak dipenuhi maka seseorang akan merasa cemas dan gelisah.31 Di antara tanggung jawab lain yang dipikulkan Islam di atas pundak para pendidik, termasuk ayah, ibu dan para pengajar, adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat.32 Berikut ini adalah beberapa dasar-dasar ilmiah yang digariskan Islam dalam mendidik fisik anak-anak, supaya para pendidik dapat mengetahui besarnya tanggung jawab dan amanat yang diserahkan Allah, di antaranya adalah : a. Kewajiban memberi nafkah kepada keluarga dan anak.
b. Mengikuti aturan-aturan yang sehat dalam makan, minum, dan tidur. c. Melindungi diri dari penyakit menular. d. Pengobatan terhadap penyakit. e. Tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain. f. Membiasakan anak berolah raga dan bermain ketangkasan. g. Membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan.
31
Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Pengefektifan Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga), (Yogyakarta: Belukar, 2006), 40 32 Ibid., 245.
27
h. Membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari pengangguran, penyimpangan, dan kenakalan.33
4. Pendidikan Rasio (akal) Salah satu dari tiga potensi yang diberikan Allah SWT. Kepada manusia adalah potensi akal, dengan akal manusia bisa memahami, mengamati, berpikir, belajar merencanakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Potensi berakal yang dianugrahkan Allah kepada manusia perlu dikembangkan melalui proses pendidikan Islam. Pengembangan potensi akal melalui pemberian materi pendidikan intelektual anak tidak kalah pentingnya dari pada tanggung jawab pemberian materi pendidikan Islam yang lain seperti aqidah, ibadah, akhlak, jasmani, rohani dan sosial. Tanggung jawab pemberian materi pendidikan intelektual merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling menopang dalam upaya membentuk anak yang terdidik secara sempurna, sehingga ia menjadi manusia utuh yang dapat mengembangkan kewajiban. 34 Yang dimaksud dengan pendidikan rasio (akal) adalah, membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti; ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian, pikiran anak menjadi
33 34
Ibid., 246-256. Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, 42
28
matang, bermuatan ilmu, kebudayaan, dan sebagainya. Pendidikan rasio (akal) merupakan penyadaran, pembudayaan, dan pengajaran. Tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para pendidik dalam setiap tanggung jawab yang harus dilakukan terhadap diri anak yaitu terfokus pada tiga permasalahan antara lain : 1. Kewajiban mengajar.
2. Menumbuhkan kesadaran berpikir. 3. Kejernihan berpikir (menjaga kesehatan akal). Dari tiga permasalahan di atas merupakan tanggung jawab yang paling menonjol di dalam mendidik rasio anak-anak. Jika para orang tua, pendidik dan pengajar meremehkan berbagai kewajiban dan tanggung jawab ini,
maka
Allah
Swt.
Akan
memperhitungkan
dan
meminta
pertanggungjawaban akibat dari sikap meremehkan itu.35
5. Pendidikan Kejiwaan Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang secara fisik psychic dan mental yang memadai.36 Pendidikan kejiwaan bagi anak dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya bersikap berani terbuka, mandiri, suka 35 36
Ibid., 301. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Setia, 1995), 96
29
menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Tujuan dari pendidikan ini adalah membentuk, membina, dan menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak sudah mencapai usia taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna. Sejak anak dilahirkan, Islam telah memerintahkan kepada para pendidik untuk mengajari dasar-dasar kesehatan jiwa yang memungkinkan ia dapat menjadi seorang manusia yang berakal, berpikir sehat, bertindak penuh pertimbangan, dan berkemauan tinggi. Islam juga memerintahkan kepada mereka untuk membebaskan anak dari setiap faktor yang menghalangi kemuliaannya, menghancurkan diri dan kepribadiannya, serta menjadikan kehidupan dirinya dalam pandangan yang diliputi kedengkian, kebencian, dan ketidakbergairahan. Faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan oleh para pendidik dari anak-anak dan murid-murid adalah sifat-sifat berikut : 1. Sifat minder
2. Sifat penakut 3. Sifat kurang percaya diri 4. Sifat dengki
30
5. Sifat pemarah.37
6. Pendidikan sosial Yang dimaksud dengan pendidikan sosial, adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada akidah islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berperilaku sosial baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.38 Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab terpenting bagi para pendidik dan orang tua di dalam mempersiapkan anak. Sebab, pendidikan sosial ini merupakan manifestasi perilaku dan watak yang mendidik anak untuk menjalankan kewajiban, tata karma, kritik sosial, keseimbangan intelektual, politik dan pergaulan yang baik bersama orang lain. Tentang kehidupan sosial anak, ‘Ulwan memandang : 1. Anak terlibat dengan berbagai pihak (orang tua, guru, teman, tetangga, dan orang dewasa. 2. Anak tidak dengan sendirinya dapat melaksanakan hubungan dengan berbagai pihak, selaras dengan norma yang diharapkan. Oleh karena itu,
37 38
Ibid., 363. Ibid., 435.
31
anak yang memang belum digolongkan matang memerlukan bimbingan, pengendalian, dan kontrol dari pihak pendidik. Kaidah dan kontrol sosial itu hanya dapat tumbuh utuh apabila bertopang pada satu landasan yang kokoh. Anak adalah manusia yang masih memerlukan bimbingan dan pendidikan ke arah pengertian dan pemahaman kaidah itu untuk direalisasikannya dalam kehidupan sosial. Segi kehidupan sosial itu dalam pandangan ‘Ulwan mencakup : a. Dasar-dasar kehidupan sosial seperti ukhuwwah, kasih sayang, al-truisme (itsar ‘alan-nafsi, mementingkan orang lain), pemaaf, berpegang teguh pada kebenaran yang semuanya didasarkan pada takwa kepada Allah swt. b. Pergaulan hidup yang melukiskan keterlibatan anak dengan berbagai pihak : dengan orang tua, guru, tetangga, teman, dan orang dewasa lainnya. c. Berbagai kaidah hidup sosial seperti etiket makan, minum, etiket bertamu, etiket berhubungan dengan sesama manusia, etiket berbicara, dan etiket melayat. d. Kritik dan kontrol sosial yang dirasakan pentingnya dalam kehidupan karena kaidah kehidupan bersama seperti yang disinggung di atas tidak selalu dapat dipahami. 39
39
Pengantar Penerbit, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), viii
32
Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha keras penuh dedikasi dan pengabdian untuk melaksanakan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya di dalam pendidikan sosial. Sehingga mereka dapat memberikan andil di dalam membina suatu masyarakat Islami yang utama dan berpusat pada keimanan, akhlak, dan norma-norma Islam yang tinggi. Apabila manusia sebagai makhluk sosial itu berkembang, maka berarti pula manusia itu adalah makhluk yang berkebudayaan baik moral, maupun material. Di antara salah satu insting manusia adalah kecenderungan mempertahankan segala apa yang dimilikinya. Oleh karena itu maka manusia perlu melakukan transpormasi dan transmisi kebudayaannya kepada generasi yang akan menggantikan di kelak kemudian hari.40
7. Pendidikan Seksual Yang dimaksud dengan pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan. Menurut ‘Ulwan pendidikan seksual yang harus mendapatkan perhatian secara khusus dari para pendidik, dilaksanakan berdasar fase-fase berikut ini:
40
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 97.
33
Fase pertama, usia 7-10 tahun, disebut masa tamyiz (masa prapubertas). Pada masa ini, anak diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu. Fase kedua, usia 10-14 tahun, disebut masa murobaqoh (masa peralihan) pubertas pada masa ini anak dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual. Fase ketiga, usia 14-16 tahun disebut masa bulugh (masa adolesen). Jika anak sudah siap untuk menikah, maka pada masa ini diberi pelajaran tentang etika (adab) mengadakan hubungan seksual. Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Pada masa ini anak diberi pelajaran tentang adab (etika) melakukan isti’faf (bersuci). Jika memang ia belum mampu melangsungkan pernikahan.41
41
‘Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam II, Terj. Jamaludin Miri, 1.
34
BAB III PRINSIP DASAR DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H. di Yokyakarta, dan wafat pada 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H. (berusia 70 tahun). Dilihat dari segi leluhurnya, ia adalah putra dari Suryaningrat, putra Paku Alam III. Sebagai seorang keluarga ningrat, ia termasuk yang memperoleh keuntungan dalam mendapatkan pendidikan yang baik. Pendidikan dasarnya ia peroleh dari sekolah rendah Belanda (Europeesche Lagere School, ELS). Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah guru (Kweek School), tetapi sebelum sempat menyelesaikannya, ia pindah ke STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Arten). Namun di sekolah ini pun ia tidak sempat menamatkan pendidikannya, di karenakan ayahnya mengalami kesulitan ekonomi. Sejak itu, ia memilih terjun ke dalam bidang jurnalistik, suatu bidang yang kelak mengantarkannya ke dunia pergerakan politik nasional.42
42
252.
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I (Jakarta: Djambatan, 2002), Cet. II,
35
Pangeran muda ini lalu aktif menulis di pelbagai surat kabar, sampai bekerja di Apotek Rathkamp Yogyakarta. Media perjuangannya mulai ia gagas lewat berbagai tulisan. Di antara beberapa karya Ki Hajar Dewantara ialah: 1. Als Ik Een Nederlandes Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) 2. Een Voor Allen maar Ook Allen Voor Een (Satu Untuk Semua, tapi Semua Untuk Satu Juga) 3. Kenang-kenangan,
Dari
Kebangunan
Nasional
Sampai
Proklamasi
Kemerdekaan 4. Masalah Kebudayaan 5. Demokrasi dan Leiderschap 6. Karya I (Pendidikan). (Bagian Pertama Pendidikan) 7. Karya IIa (Kebudayaan).43 Rumusan sikap patriotiknya tersebar di berbagai media massa ternama waktu itu, misalnya Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De Express, Tjahaya Timoer, dan Poesara. Pada 1908, dalam usia 19 tahun, Ki Hajar Dewantara sudah aktif dalam perjuangan pergerakan nasional. Ia aktif di Budi Utomo dalam divisi propaganda.44
43
Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), 141-142. 44 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia, Biografi Singkat Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20 (Yogyakarta: Narasi, 2006), 109.
36
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh peletak dasar Pendidikan Nasional. Pada tanggal 25 Desember 1912 dia bersama Dr. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij. Setelah aktif di bidang politik dan sempat dibuang pemerintah kolonial Belanda, sekembalinya di tanah air pada tahun 1918, ia mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya ia mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Taman Siswa, 3 Juli 1922. Dalam Zaman pendudukan jepang, kegiatannya di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Jabatan yang pernah dipegang setelah Indonesia merdeka ialah sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Selain itu, melalui surat keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada di tahun 1957.45 Sebagai tokoh Pergerakan Politik dan tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga
45
Taufiq Ismail, Horison Esai Indonesia (Jakarta: Horison, 2004), 21-22.
37
terlihat aktif sebagai pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang diperjuangkannya melalui sistem pendidikan taman siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia. Konsep ini cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Karena jasanya yang demikian besar dalam dunia Pendidikan Nasional, maka hari kelahirannya, tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.46
B. Tujuan Pendidikan Anak Pendidikan Nasional sebagaimana dianut oleh Taman Siswa adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel-national) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.47 Bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 48
46
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 129. 47 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam, 130 48 Ibid., 131.
38
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan, ditujukan kearah keselamatan dan kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat laku pembangunan, tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti, yaitu kekuatan batin, karakter, pikiran (intelect), dan tubuh anak;49 memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Dengan memperhatikan beberapa pernyataan di atas, tampak sekali bahwa tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, sehingga mereka dapat berdiri kokoh sejajar dengan bangsabangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.50 Itulah maksud dan tujuan pemberian pengajaran, yang dihubungkan dengan tingkatan-tingkatan perkembangan jiwa yang ada di dalam hidupnya anak-anak, mulai kecilnya sampai masa dewasanya. Ada baiknya untuk perbandingan kita memperhatikan tradisi pendidikan keagamaan (Islam) yang
49
Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya Dalam Islam (Tinjauan Psikologi Pendidikan Dari Sudut Pandang Islam), (Jakarta: Amzah, 2003), 7 50 Ibid.
39
sudah di zaman dahulu terkenal sebagai metode syari’ah, hakiki, tarikat, dan makrifat.51
C. Materi Pendidikan Anak Pelajaran yang diberikan kepada anak-anak dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh pada kemajuan batin, dalam arti memasakkan pikiran, rasa dan kemauan. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya : intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti. Sedangkan yang kedua adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan. Di antara materi tersebut adalah.52
51 52
Ibid., 140. Ibid., 135.
40
1. Pendidikan Budi Pekerti Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, budi pekerti adalah jiwa dari pengajaran, dan bukan konsep yang bersifat teoretis sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, dan bukan pula pengajaran budi pekerti dalam arti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah dan seterusnya. Dalam hubungan ini pengajaran budi pekerti mengandung arti : pemberian kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri keadaban manusia, bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain artinya dari pada menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Pendidikan budi pekerti yang dimaksudkan olehnya bukanlah mengajarkan teori-teori tentang baik buruk dengan dalil-dalilnya. Yang ia kehendaki dengan pendidikan budi pekerti adalah pembiasaan berbuat baik pada diri anak dalam kehidupan sehari-hari, hingga mendarah daging. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga memiliki pandangan pendidikan budi pekerti yang bersifat integrated dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, ia menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apa pun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran adalah alat bukan tujuan.53
53
Ibid., 140.
41
Gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan budi pekerti sebagaimana tersebut di atas, terlihat dengan jelas diarahkan pada pembetukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Ia menginginkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap dan pandangan yang maju di satu pihak, namun dipihak lain ia tetap berpijak pada kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan kepribadian yang khas, tidak meniru atau bersikap kebarat-baratan dan sebagainya.54
2. Pendidikan Agama Pendidikan agama adalah pendidikan yang wajib diberikan kepada anak-anak didik, sejak kecil di rumah tangga dilanjutkan di sekolah dan masyarakat. Pendidikan agama harus memberikan bimbingan hidup beragama bukan sekedar memberikan ajaran-ajaran sebagai science (pengetahuan). Apabila penanaman jiwa agama telah dilaksanakan pula, yang kemudian disusul dengan pengajaran agama, barulah tujuan pendidikan untuk menanamkan salah satu sila yang terpenting telah terjadi dalam pendidikan nasional.55
54
Ibid., 141. Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 24-25 55
42
Pendidikan agama sebagai sebuah mata pelajaran memiliki perbedaan subtansial dibandingkan mata pelajaran lainnya. Pendidikan agama tidak hanya menjadi semacam ilmu pengetahuan, melainkan harus menjadi keyakinan, pandangan hidup yang memengaruhi pola pikir dan tingkah laku sehari-hari, bahkan harus memengaruhi seluruh aspek kehidupan lainnya. Dengan kata lain, di dalam pendidikan agama terdapat misi dakwah, yaitu mengajak orang lain agar menerima, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama yang disampaikan kepada yang bersangkutan.56 Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa yang didirikannya menyatakan sikapnya dengan mengatur pendidikan agama sebagai berikut : a. Agama tiap-tiap murid dan guru bebas, saling menghormati. b. Agama dimasukkan sebagai ethik (budi pekerti). c. Di daerah-daerah yang nyata penduduknya hidup secara adap Islam dibolehkan memberi pengajaran agama di dalam jam pelajaran; tetapi tidak boleh dengan paksaan. (Hari-hari liburan menurut agamanya masing-masing, bagi Perguruan Taman Siswa yang dipakai adat agamanya sebagian besar dari murid-murid). Berdasarkan uraian tersebut, bahwa Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan sikapnya sebagai seorang nasionalis religius yang bersikap toleran, demokrat, menghargai keragaman dan sekaligus juga realistik. Selain
56
Ibid., 142.
43
itu, ia juga menginginkan agar masing-masing agama memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki akhlak dan sopan santun masyarakat dengan cara menonjolkan sisi-sisi pengamalan agama dalam bentuk budi pekerti yang mulia.57 Jalan pemecahan masalah (solusi) yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara terhadap persoalan pendidikan agama tersebut tampaknya cukup toleran, demokrat, menghargai perbedaan, seimbang, sesuai dengan prinsip menjunjung hak-hak asasi manusia dan sekaligus juga realistik. Dari sikapnya ini terlihat, bahwa ia memang bukan seorang kiai atau ulama, tapi cara pandangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.58
3. Pendidikan Taman Kanak-kanak Pendidikan Taman Kanak-kanak termasuk ke dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia. Dalam bahasa Arab dijumpai adanya istilah Bustanul Athfal (Tempat bermain Kanak-kanak), Riyadlul Athfal (Taman Kanak-kanak), dan sebagainya. Mengenai daftar pelajaran (kurikulum) bagi Taman Anak menurut Ki Hajar Dewantara adalah latihan pancaindera. Oleh karena itu, latihan pancaindera itu merupakan pekerjaan lahir dalam rangka mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu, dan lainlain). 57 58
Ibid., 144-145. Ibid., 146.
44
Dalam membangun konsep pendidikan Taman Kanak-kanak itu, Ki Hajar Dewantara banyak melihat dan membaca konsep-konsep pendidikan kanak-kanak yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kaliber dunia seperti Dr. Frobel dan Dr. Maria Montesori.59 Dalam hubungannya dengan pendapat kedua pujangga tersebut, pandangan
Frobel
terhadap
pendidikan
merupakan
perluasan
dari
pandangannya terhadap dunia dan pemahamannya tentang hubungan individu, Tuhan dan alam. Masing-masing individu merefleksikan keseluruhan dari budaya mereka, sama seperti sebatang pohon yang merefleksikan alam. Frobel memandang pendidikan dapat membantu perkembangan anak secara wajar. Ia menggunakan taman sebagai suatu simbol dari pendidikan anak. Apabila anak mendapat pengasuhan yang tepat, maka seperti halnya tanaman muda atau binatang yang berkembang secara wajar dan mengikuti hukumnya sendiri . Pendidikan taman kanak-kanak perlu mengikuti sifat dari anak. Bermain dipandang sebagai suatu metode dari pendidikan dan cara dari anak untuk meniru kehidupan orang dewasa dengan wajar. Montesori memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia juga memahami pendidikan sebagai aktivitas diri, mengarah pada pembentukan disiplin pribadi, kemandirian dan pengarahan diri. Berbeda dengan Frobel yang berminat terhadap pemikiran yang bersifat abstrak, Montesori memandang persepsi anak terhadap dunia sebagai dasar dari ilmu pengetahuan. Seluruh indra anak dilatih sehingga dapat menemukan hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal tersebut Montesori merancang sejumlah materi yang memungkinkan indra seorang anak dikembangkan. Dengan menggunakan alat yang memungkinkan seseorang mengoreksi diri, anak akan menjadi sadar terhadap berbagai macam rangsangan yang kemudian diorganisasikan dalam pikirannya.60
59 60
2000), 7-9.
Ibid., 147. Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: PT Rineka Cipta,
45
Taman Siswa boleh dibilang memakai keduanya sebagai yang terkandung dalam sifat pendidikan Montesori dan frobel itu, tetapi pelajaran pancaindera dan permainan anak itu tidak terpisah, yaitu dianggap satu, sebab dalam Taman Siswa hiduplah kepercayaan, bahwa dalam segala tingkah laku dan segala keadaan hidup anak-anak itu sudah diisi oleh Sang Maha Among, segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak. Ki Hajar Dewantara memberikan komentar bahwa sesungguhnya metode pendidikan Taman Kanak-kanak yang dikemukakan oleh Frobel dan Montesori sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi), atau Metode Kaki Among Nini Among, yaitu Metode Among Siswa.61 Konsep pendidikan Taman Kanak-kanak Ki Hajar Dewantara, tampak jelas sangat dipengaruhi oleh pandangannya yang utuh tentang manusia serta sikap nasionalisme yang kokoh. Melalui pendidikan Taman Kanak-kanak, pelajaran ditujukan untuk mempertajam daya batin (cita, rasa, karsa, nafsu, dan sebagainya) yang dilakukan melalui pengajaran pancaindera dengan mempergunakan sejumlah permainan yang hidup dan tumbuh di bumi Indonesia sendiri. Dengan kata lain bahwa permainan anak sebagai alat pendidikan dan tentang asas-asasnya yang terdapat di Taman Siswa dan disesuaikan dengan metode Montesori dan Frobel itu bermaksud memberi
61
Ibid., 148.
46
jalan pada sekalian kaum pendidik dan ibu-bapak untuk mengadakan metode sendiri yang selaras dengan hidupnya bangsa kita. Substansi yang ingin dicapai melalui pendidikan Taman Kanakkanak, yakni membina batin manusia secara utuh melalui pancaindera yang didukung lewat sejumlah permainan, dan bukan semata-mata mengajarkan permainan itu sendiri.62
4. Pendidikan Berwawaskan Global-Internasional Dasar kebangsaan ini menurut Ki Hajar Dewantara harus pula dibangun dalam hubungan yang lebih luas dengan dunia internasional. Dalam hubungan ini, ia mengatakan: meskipun cara penyelenggaraan pengajaran itu harus seimbang dengan kekuatan dan keadaan lain-lain dari masyarakat, tetapi hendaklah selalu diusahakan memperbaiki segala peraturan pengajaran, hingga dapat memenuhi syarat-syarat dan ukuran-ukuran internasional. Sejalan dengan wawasan global-internasional tersebut, Ki Hajar Dewantara sangat menekankan pentingnya pengajaran bahasa dunia. Ia mengatakan bahwa bahasa yang dipelajarkan pada sekolah-sekolah rendah hanya bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Sedangkan untuk sekolah menengah selain bahasa itu perlu pula bahasa Inggris sebagai bahasa dunia
62
Ibid., 149.
47
internasional dan bahasa Jerman untuk keperluan perluasan ilmu pengetahuan, yang sebaik-baiknya diajarkan di sekolah menengah tinggi.63 Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pentingnya bahasa asing dengan tidak mengalahkan bahasa nasional itu tidak lepas dari tujuan untuk membangun kerjasama dan menimba pengalaman dan kemajuan dari bangsabangsa lain yang telah maju dengan tetap menjunjung tinggi kepribadian bangsa sendiri. Dengan kemampuan berbahasa asing, maka hubungan internasional dengan bangsa lain dapat dibangun. Sehubungan dengan pandangan tersebut, maka Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswanya telah mampu menjalin hubungan internasional dengan tokoh-tokoh pujangga dunia untuk datang ke Indonesia, khususnya ke Taman Siswa. Datangnya dr. Maria Montesori ke Perguruan Taman Siswa sungguh mengandung arti yang besar bagi keluarga Taman Siswa di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi bukti adanya penghargaan dunia luar terhadap Perguruan Taman Siswa.64 Keberhasilan Taman Siswa dalam menjalin hubungan internasional tersebut juga memperlihatkan tentang pentingnya memiliki perguruan yang bertarap internasional, yaitu perguruan yang memiliki identitas visi, misi dan tujuan mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan cara memberi bekal wawasan pengetahuan agama dan umum, pengayaan ilmu lahir batin, 63 64
Ibid., 151. Ibid., 152.
48
penguasaan teknologi, keterampilan serta berkomunikasi melalui bahasa asing yang dikuasainya dengan baik.65
5. Pendidikan Berbasis Sistem Pondok Selain berbicara tentang berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga berbicara tentang sistem pondok. Sistem ini
menurutnya
memiliki
banyak
faedah,
diantaranya:
mengandung
keuntungan dari segi ekonomi, social kemasyarakatan dan secara akademis akan mendukung terciptanya hasil pendidikan yang berkualitas, dan sekaligus dapat memanfaatkan seluruh waktunya untuk kepentingan pendidikan. Konsep pendidikan yang berbasiskan pada sistem asrama ini masih tampak cukup menarik di zaman sekarang ini. Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan berbagai godaan yang dapat menjerumuskan peserta didik ke dalam kehidupan yang menyuramkan masa depannya, sistem pendidik yang
berbasiskan
dipertimbangkan.
pondok Berbagai
ini
merupakan
lembaga
alternatif
pendidikan
yang
yang
perlu
menginginkan
lulusannya berhasil dalam studinya dengan baik masih terus mengembangkan konsep pendidikan yang berbasis pondok ini.66
65 66
Ibid., 154. Ibid., 155.
49
Pondok asrama ini menjadi salah satu alat pendidikan di Taman Siswa (pendidikan kekeluargaan). Pondok untuk anak laki-laki disebut Wisma Priya dan untuk anak-anak perempuan Wisma Rini. Pondok itu selalu dibawah pengawasan para guru dan sifat kekeluargaan tetap terpelihara. Menurut keyakinan Ki Hajar Dewantara dengan sistim inilah penyelenggaraan pendidikan akan lebih berhasil.67
67
I. Djumhur, Danasaputra, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1959), 179.
50
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN ANTARA PEMIKIRAN ‘ABDULLAH NASHIH ‘ULWAN DAN KI HAJAR DEWANTARA
A. Persamaan dan Perbedaan Tujuan Pendidikan Anak Menurut Pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara 1. Persamaan Tujuan Pendidikan Anak. Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.68 Dalam Islam, tujuan utama dari pendidikan adalah pembentukan akhlak yang mulia. Seperti apa yang dikatakan oleh Sayid Syabiq: “ Misi Islam yang sebenarnya ialah pengarahan manusia mencapai nilai-nilai derajat kemanusiaan yang luhur, yang sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai pemimpin (khalifah) “.69 Adapun menurut Islam, tujuan pendidikan ialah membentuk manusia supaya sehat, cerdas, patuh dan tunduk kepada perintah Tuhan serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Sehingga ia dapat berbahagia hidupnya lahir batin, dunia akherat. Pada umumnya tiap-tiap bangsa dan negara sependapat tentang pokokpokok tujuan pendidikan, yaitu: mengusahakan supaya tiap-tiap orang sempurna
68
Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 59. Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, Terj. Haryono S. Yusuf (Jakarta: PT Intermasa, 1981), 40. 69
51
pertumbuhan tubuhnya, sehat otaknya, baik budi pekertinya dan sebagainya. Sehingga ia dapat mencapai puncak kesempurnaannya dan berbahagia hidupnya lahir batin.70 Tujuan ideal yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia lewat proses dan sistem pendidikan nasional itu ialah: “ Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan “.71
Sedangkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yang dikembangkan adalah, tujuan pendidikan nasional makro; bertujuan membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki sumber daya manusia yang sehat dan tangguh. Dan tujuan pendidikan nasional mikro ialah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradap dan berwawasan budaya), memiliki nalar (maju dan cakap, cerdas, kreatif), mampu berkomunikasi/sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif
70 71
Pasal 4.
Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 99. Undang-undang, Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 2 Tahun 1989 pada Bab II
52
dan kompetitif, demokratis) dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.72 Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional, secara implisit mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat kita pahami dari hasil rumusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.73 Bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.74 Dengan melihat kedua tujuan pendidikan di atas, baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pendidikan Islam, ada dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan, yaitu: a. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekadar ukhrawi) yang berupa ketakwaan, keimanan dan keikhlasan. b. Dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, keintelektualan dan sebagainya.
2004), 212. 1999), 28. 1986), 23.
72
Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar Pustaka,
73
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
74
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif,
53
Dengan demikian keberhasilan pendidikan Islam akan membantu terhadap keberhasilan pendidikan nasional. Juga sebaliknya keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Sebab itu keberadaan lembaga pendidikan Islam oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.75
2. Perbedaan Tujuan Pendidikan Anak. Tujuan pendidikan yang dikemukakan Abdullah Nasih ‘Ulwan mengacu kepada sistem pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Bahwa pendidikan merupakan upaya membina mental anak didik, melahirkan generasi Islam yang dapat meneruskan perjuangan Islam sesuai prinsip-prinsip pendidikan Islam, membina umat dan budaya yang dapat menjaga moral Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis serta memberlakukan prinsip kemuliaan dan peradaban untuk merubah dari kegelapan syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan kemantapan. Inti dari tujuan pendidikan Abdullah Nasih ‘Ulwan yang dimaksud di atas, bertujuan membawa manusia kepada pengenalan, yaitu: 1. Nilai-nilai spiritual dan transendental. 2. Supaya hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
75
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, 29.
54
3. Menuntut manusia agar bertingkahlaku susila, berbudi luhur dan mau menapak di jalan Tuhan.76 Sedangkan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam menerapkan konsepnya sangat dipengaruhi oleh kondisi atau setting sosial pada masa itu, sehingga orientasi pendidikannya agak sedikit cenderung kepada pembentukan jiwa nasionalisme peserta didik, walaupun demikian pesan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara melalui konsep pendidikannya sebenarnya mempunyai tujuan ingin membentuk jiwa anak didik yang mempunyai akhlaqul karimah atau budi pekerti yang baik. Ini berarti bahwa filsafat pendidikan yang telah dilancarkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Dengan sistem pendidikannya yang terkenal, yaitu sistem Among. Asas perguruannya ialah Pancadharma, yaitu:77 1. Kebangsaan, berisikan upaya untuk membangkitkan rasa patriotik dan loyalitas kepada tanah air dan bangsa sendiri, yang harus dipupukkan dengan bersungguh-sungguh pada pribadi anak didik. 2. Kebudayaan, asas ini dipakai untuk membimbing anak didik agar tetap menghargai serta mengembangkan kebudayaan sendiri. Sebab kebudayaan mencerminkan keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia, dan merefleksikan kebesaran kepribadian manusianya.
76
Kartini Kartono, Tinjauan Holistik MengenaiTujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), 64. 77 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik MengenaiTujuan Pendidikan Nasional, 51.
55
3. Kemerdekaan, adalah usaha memperjuangkan kemerdekaan agar terlepas dari belenggu penjajahan (yaitu pemerintah Belanda dan Jepang). Selanjutnya menggalang kebebasan pribadi untuk melakukan ekspresi bebas, agar bisa berprestasi di era pembangunan sekarang. 4. Kemanusiaan, ialah berusaha mengembangkan sifat-sifat luhur manusia, hidup saling asah (mencerdaskan), hidup bersama atas dasar kegotong royongan dan saling mengasihi, dan saling mengasuh atau membimbing agar bisa menjadi pribadi yang baik. 5. Kodrat Alami, yaitu asas yang dimanfaatkan untuk bisa mengembangkan segenap bakat, potensi dan kemungkinan yang ada pada diri manusia secara kodrati. Orang juga dibimbing untuk tidak menyalahi kodratnya sendiri yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung. Di samping menyadari, bahwa semua orang itu adalah sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, inti tujuan pendidikan Taman Siswa ialah: membentuk anak supaya mampu mandiri, dan menjadi manusia utuh/ paripurna, yang bahagia lahir batinnya.78
78
Ibid., 52.
56
B. Persamaan dan Perbedaan Materi Pendidikan Anak Menurut Pemikiran ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara 1. Persamaan Materi Pendidikan Anak Yang dimaksud dengan istilah bahan (materi) pendidikan adalah segala sesuatu yang disajikan pendidikan sebagai perangsang guna perkembangan anak didik dalam usaha mencapai tujuannya menjadi dewasa, mampu berdiri sendiri dan bertanggung jawab menunaikan tugasnya. Bahan itu untuk semua jenis pendidikan yang tercantum dalam kurikulum.79 Pada dasarnya, materi pendidikan yang telah dikemukakan oleh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara tersebut berangkat dari sebuah asumsi dasar, bahwasanya apa yang telah dilontarkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan istilah sistem Among, sesungguhnya memiliki kesamaan dengan apa yang telah disampaikan oleh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan. Dimana kedua konsep tersebut sebenarnya memiliki kaitan erat dengan konsep yang ada dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dalam filsafat pendidikan Islam sendiri disebutkan bahwa secara prinsip materi harus diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi inelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, serta material dan spiritual. Sementara filsafat pendidikan Islam juga terdapat persamaan persepsi dimana materi harus mampu mencerna
79
Agus Sujono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum (Bandung: CV Ilmu, 1980), 193.
57
realitas yang melingkupi peserta didik dengan dilandasi oleh nilai-nilai Ilahiyah yang dapat mengantarkan peserta didik agar dapat menuju kepada keseimbangan lahir dan batin di dunia dan akhirat. Materi pendidikan yang dikemukakan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara pada dasarnya sama, karena materi-materi pendidikan yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut bersumber pada ajaran Islam. Materi pendidikan tersebut sama-sama mempunyai tujuan agar anak didik bisa memperoleh pengetahuan semaksimal mungkin, baik ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan (tauhid), kemasyarakatan, maupun budi pekerti. Dengan ilmu pengetahuan ini diharapkan agar anak didik menjadi manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlakul karimah, yang menjadi idaman para orang tua, pendidik dan semua manusia. Selain itu, keduanya sama-sama mengungkapkan pentingnya materi pendidikan agama maupun umum untuk disampaikan kepada anak didik, sesuai dengan tingkat kematangan jiwanya.
2. Perbedaan Materi Pendidikan Anak Materi pendidikan yang dikemukakan oleh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan lebih menyeluruh, yakni mencakup berbagai macam komponen materi pendidikan, baik yang bersifat ‘aqli (alami), yakni melalui bimbingan pikiran maupun yang naqli, di mana manusia memperolehnya dari orang yang menciptakan (konversional) yang semuanya bersandar kepada informasi
58
berdasarkan autoritas syari’at yang diberikan. Macamnya (materi pendidikan) banyak di antaranya: Pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan rasio (akal), pendidikan psikis (kejiwaan), pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Materi pendidikan yang dikemukakan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan mencakup berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, selain ilmu pengetahuan agama, ‘Ulwan juga mengungkapkan berbagai macam ilmu pengetahuan umum. Pengetahuan yang dikemukakan Abdullah Nasih ‘Ulwan cenderung lebih menyeluruh dan disebutkan secara lengkap, karena ‘Ulwan mengacu pada sistem pendidikan Islam yang sesuai dengan pendidikan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan materi pendidikan anak yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam menerapkan konsepnya dipengaruhi oleh kondisi atau setting sosial pada masa itu, sedang materi yang digunakannya mengacu pada kodrat alam atau fitrah manusia. Karena setiap anak dilahirkan pada hakikatnya sudah mempunyai potensi masing-masing atau kodrat alam. Sehingga untuk menggali dan mengembangkannya diperlukan adanya pendidikan yang memanusiakan peserta didik. Maka untuk mengembangkan potensi anak didik tersebut bimbingan dari pendidik sebagai “Pamong” anak didik mutlak keberadaannya. Hal ini di maksudkan agar perkembangan potensi anak didik benar-benar dapat terkontrol dengan baik sesuai dengan kodratnya.
59
Materi pendidikan Ki Hajar Dewantara di antaranya: pendidikan budi pekerti, pendidikan
agama, pendidikan taman kanak-kanak,
pendidikan
berwawaskan global-internasional, dan pendidikan berbasis sistem pondok.
60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Tujuan pendidikan anak yang dikemukakan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara mempunyai dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan, yaitu: dimensi transendental dan dimensi duniawi, sedangkan perbedaan tujuan pendidikan anak kedua tokoh tersebut adalah, ‘Ulwan membawa manusia kepada pengenalan yaitu, nilai-nilai transendental, supaya hidup bahagia di dunia dan akhirat, menuntut manusia agar bertingkahlaku susila, berbudi luhur dan mau menapak di jalan Tuhan. Sedangkan Ki Hajar Dewantara, menekankan pembentukan jiwa anak didik yakni lebih berorientasi pada pembentukan jiwa nasionalisme anak didik. 2. Materi pendidikan anak yang dikemukakan ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara mempunyai kesamaan yaitu materi pendidikan diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, serta material dan spiritual. Dimana materi pendidikan harus mampu mencerna realitas yang melingkupi peserta didik dengan dilandasi oleh nilai-nilai Ilahiyah. Sedangkan perbedaan materi pendidikan kedua
61
tokoh tersebut, ‘Ulwan mengacu kepada sistem pendidikan yang sesuai pendidikan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mengacu pada kodrat alam atau fitrah manusia.
B. Saran 1. Untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang sesuai dengan sistem pendidikan agama maupun umum, maka keluarga, masyarakat, pengelola pendidikan dan pemerintah harus bersatu dalam sistem yang saling melengkapi. 2. Prinsip pendidikan anak yang ditawarkan oleh Abdullah Nasih ‘Ulwan dan Ki Hajar Dewantara, dapat dijadikan kerangka pendidikan anak dalam rangka membentuk manusia yang sehat, cerdas, patuh dan tunduk kepada perintah Tuhan serta menjauhi larangan-Nya, sehingga ia dapat berbahagia hidupnya lahir batin, dunia akhirat. 3. Lembaga pendidikan agama maupun umum, hendaknya mengulas kembali tujuan dan materi pendidikan anak yang telah dirumuskan oleh para tokohtokoh pendidikan, agar mencapai hasil yang lebih maksimal dalam mendidik anak. 4. Pendapat para tokoh pendidikan akan memperkaya pengetahuan dan dapat saling melengkapi, sehingga muncul kesempurnaan yang semakin baik.