BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat pada beberapa tahun terakhir. Perkembangan pesat tersebut ditunjukkan oleh industri teknologi informasi dan komunikasi selalu tumbuh sekitar 2 – 3% di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta didukung oleh salah satu fakta bahwa jumlah pengguna internet meningkat signifikan di Indonesia dari 24,2 juta pada tahun 2012, 31,7 juta pada tahun 2013, dan diperkirakan meningkat menjadi 40 juta pada tahun 2014 dengan waktu penggunaan minimal 3 jam per hari (Perdana, 2014). Hal tersebut juga dapat dilihat dari banyaknya jumlah penjualan ponsel cerdas yang ada di Indonesia beberapa tahun terakhir, seperti terlihat pada Gambar 1.1 berikut. 45
Unit (dalam Juta)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
Gambar 1.1 Penjualan Ponsel Cerdas di Indonesia Sumber: Strategy Analytics Handset tracker, BofA Menrill Lynch Global Research di http://www.slideshare.net/dedenkumotomatic/product-solutions.
1
Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa jumlah penjualan ponsel cerdas ke Indonesia beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan yaitu mulai dari tahun 2010 terjual sebanyak 15 juta unit, tahun 2011 sebanyak 22 juta unit, tahun 2012 sebanyak 28 juta unit, tahun 2013 sebanyak 32 juta unit, tahun 2014 sebanyak 38 juta unit, dan tahun 2015 sebanyak 40 juta unit. Peningkatan jumlah penjualan tersebut menunjukkan bahwa jumlah pembeli ponsel cerdas cenderung semakin banyak dari tahun 2010 sampai tahun 2015. Ponsel cerdas merupakan ponsel yang memiliki teknologi lebih canggih, fitur lebih banyak, serta tampilan lebih menarik daripada telepon genggam (ponsel) biasa. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Backer (2010), yang menyatakan bahwa ponsel cerdas adalah telepon yang menyatukan kemampuan-kemampuan terdepan yang dapat berfungsi seperti sebuah komputer dengan menawarkan fitur-fitur seperti personal digital assistant (PDA), akses internet, email, dan Global Positioning System (GPS). Ponsel cerdas
yang terjual dalam jumlah
banyak
cenderung
mengindikasikan bahwa permintaan konsumen terhadap ponsel cerdas sangat besar. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa tingkat pembelian ponsel cerdas di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar 14,8 juta unit, Thailand sebesar 7,2 juta unit, dan Malaysia sebesar 6,4 juta unit (Deliusno, 2014). Hal tersebut cenderung berarti bahwa orang atau konsumen yang sudah memiliki sekaligus menggunakan ponsel cerdas sangat banyak jumlahnya. Hal ini diperkuat oleh proyeksi yang menunjukkan bahwa penggunaan ponsel cerdas telah meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 1.2 berikut.
2
Pengguna (dalam Juta)
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2013
2014
2015
2016
2017
2018
Gambar 1.2 Proyeksi Jumlah Pengguna Ponsel Cerdas di Indonesia Sumber: https://id.techinasia.com/jumlah-pengguna-smartphone-di-indonesia-2018/
Gambar 1.2 di atas memperlihatkan bahwa proyeksi penggunaan ponsel cerdas yang terus meningkat mulai dari tahun 2013 yang hanya sebesar 27,4 juta orang pengguna menjadi 103 juta orang pengguna pada tahun 2018. Hal ini dapat dikatakan bahwa durasi kontak antara pengguna dengan ponsel cerdas atau durasi penggunaan ponsel cerdas oleh pengguna (konsumen) menghabiskan waktu berjam-jam, serta cenderung relatif lama setiap hari di manapun dan kapanpun. Hal tersebut didukung oleh temuan data lain yang memperlihatkan bahwa Indonesia menempati urutan teratas di dunia dalam penggunaan ponsel cerdas dengan waktu pemakaian rata-rata 181 menit per hari. Filipina menempati posisi urutan kedua, dimana warganya menghabiskan waktunya dengan ponsel sebanyak 174 menit per hari. Cina, Brasil dan Vietnam menempati posisi secara berurutan yaitu ketiga, keempat dan kelima setelah Indonesia dan Filipina, dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut ini.
3
Indonesia Philippines
99
143
174
China
89
161
170
Brazil USA Nigeria Colombia
78
Saudi Screen Minute 0
189
99
100
200
35 95
167
96
102
39
165
123
114
Thailand
TV Laptop + PC Smartphone Tablet
43
193
80
131
66 69
151
103
147
59
168
160
69
115
149
146
113
Vietnam
110
181
117
132
300
43
400
500
600
Gambar 1.3 Rangking Pecandu Ponsel Cerdas di Dunia Sumber: Millward Brown AdReaction, 2014
Frekuensi penggunaan ponsel cerdas yang cenderung terus menerus, serta penggunaan ponsel cerdas oleh konsumen yang menghabiskan durasi relatif lama jika dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus cenderung menimbulkan dampak negatif yaitu perilaku ketergantungan pada ponsel cerdas. Ketergantungan merupakan perilaku seseorang yang tidak mau berpisah secara fisik pada barang yang dimilikinya, serta barang tersebut cenderung digunakan secara berulang-ulang dan terus menerus di manapun dan kapanpun (Noermayanthy, 2013). Perilaku seseorang yang mencerminkan sangat ketergantungan pada ponsel cerdas ialah sebagian besar aktifitas sehari-harinya cenderung dihabiskan untuk menggunakan ponsel cerdas tersebut, serta ponsel cerdas selalu dibawa ke mana saja dan kapan saja. Penyataan tersebut diperkuat oleh pendapat dari Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur (1989) yang mengemukakan bahwa semakin sering seseorang bergantung pada kebutuhan akan suatu media, maka akan semakin penting peran media tersebut dalam 4
kehidupan seseorang dan teori ini mengidentifikasi bagaimana orang menggunakan dan menjadi tergantung pada media. Perilaku ketergantungan seseorang tidaklah muncul secara otomatis, tetapi cenderung dipicu oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perilaku ketergantungan pada ponsel cerdas antara lain pertama adalah kenyamanan. Kenyamanan diilustrasikan secara sederhana sebagai kondisi perasaan mengenakkan yang ada pada diri seseorang ketika menggunakan barang (dalam hal ini ponsel cerdas). Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Davis et al., (1989) yang menyatakan bahwa kenyamanan adalah sejauh mana seorang individu menerima
dampak
setelah
menggunakan
teknologi
agar
menjadi
menyenangkan dalam dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi kinerja yang dapat diantisipasi. Kenyamanan dinyatakan berpengaruh positif dan signifikan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Pernyataan ini didukung oleh penelitian dari Suki dan Suki (2007) di Malaysia yang menemukan bahwa kenyamanan berpengaruh positif dan signifikan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi kenyamanan yang dirasakan konsumen ketika menggunakan ponsel cerdas, maka cenderung semakin tinggi pula ketergantungan pada ponsel cerdas. Faktor kedua yang mempengaruhi ketergantungan konsumen pada ponsel cerdas ialah kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial merupakan kebutuhan seseorang untuk berinteraksi, berkomunikasi, serta tetap ingin terhubung
5
dengan orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Tikkanen (2009) yang menyatakan bahwa kebutuhan sosial merupakan kebutuhan untuk berinteraksi sosial pada individu yang mewakili kebutuhan untuk berkomunikasi dengan teman, keluarga dan kerabat seperti anggota grup, klub, gereja-gereja dan rekan kerja. Kebutuhan sosial diketahui memiliki pengaruh pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil penelitian Ting et al., (2011) di Malaysia yang menemukan bahwa kebutuhan sosial berpengaruh positif dan signifikan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hal tersebut berarti bahwa kebutuhan sosial seseorang yang semakin tinggi, cenderung mengakibatkan ketergantungan pada ponsel cerdas semakin tinggi pula. Hasil penelitian Ting et al., (2011) di Malaysia berbeda dengan hasil penelitian dari Noermayanthy (2013) di Indonesia yang menemukan bahwa kebutuhan sosial tidak berpengaruh positif/tidak signifikan mempengaruhi ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kebutuhan sosial responden tidak memicu perilaku ketergantungan terhadap ponsel cerdas, meskipun responden mempunyai ponsel cerdas. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh responden (pengguna ponsel cerdas) lebih menyukai berinteraksi, berkomunikasi serta menjalin hubungan dengan orang lain secara riil, yang berarti pengguna ponsel cerdas lebih suka berhubungan sosial dengan orang lain secara bertatap muka dan bertemu langsung.
6
Faktor ketiga yang mempengaruhi ketergantungan pada ponsel cerdas adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial merupakan bujukan, rekomendasi, bahkan ajakan orang lain atau pihak lain untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar mau menuruti bujukan atau ajakan dari orang lain tersebut. Ajakan atau bujukan yang dimaksud dalam hal ini adalah bujukan atau ajakan orang lain kepada seseorang agar mau menggunakan ponsel cerdasnya secara terus menerus serta berulangkali di manapun dan kapanpun. Pendapat di atas didukung oleh pernyataan dari Mason et al., (2007) yang mendefinisikan pengaruh sosial sebagai cara orang lain mempengaruhi keyakinan, perasaan dan perilaku seseorang. Pengaruh sosial tersebut mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Ting et al., (2011) di Malaysia yang menyatakan bahwa pengaruh sosial berpengaruh positif dan signifikan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi pengaruh sosial, maka akan semakin tinggi pula ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Hasil penelitian dari Ting et al., (2011) di Malaysia ini berlainan dengan hasil penelitian dari Ashari (2014) di Medan, Indonesia yang menemukan bahwa pengaruh sosial terbukti tidak signifikan mempengaruhi ketergantungan penggunaan ponsel cerdas merek Blackberry. Paparan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ketergantungan seseorang pada ponsel cerdasnya. Paparan ponsel cerdas merupakan paparan ponsel cerdas yang diterima oleh seseorang pengguna
7
(konsumen) melalui penginderaan atau alat inderanya. Pendapat di atas sesuai dengan pernyataan dari Jefkins (1996) yang menyatakan bahwa paparan (exposure) iklan itu sendiri adalah kontak individu dengan arena periklanan atau iklannya, dengan kata lain, hal tersebut terjadi ketika konsumen melakukan kontak dengan informasi pemasaran yang ada di lingkungannya. Paparan ponsel cerdas yang lama kelamaan semakin tinggi dan semakin sering menimpa pengguna pada setiap saat dan di mana saja cenderung memicu timbulnya perilaku ketergantungan pada ponsel cerdasnya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat dari Ball-Rokeach, (1985); Defleur dan Ball-Rokeach, (1989) yang menyatakan bahwa paparan yang lebih besar ke media dapat mengaktifkan ketergantungan, karena kebutuhan atau tujuan tertentu muncul yang dapat ditutupi melalui konten media. Pendapat tersebut berbeda dengan hasil penelitian
dari Kurniawan (2012)
yang meneliti
tentang paparan iklan dan self eficacy terhadap perilaku merokok remaja menemukan bahwa paparan iklan rokok tidak berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja. Hal tersebut dapat dianalogikan bahwa paparan ponsel cerdas yang diterima oleh pengguna tidak mempengaruhi perilaku penggunaan ponsel cerdasnya. Hal tersebut berarti bahwa sebanyak dan sesering apapun pengguna menerima paparan ponsel cerdas di sekitarnya cenderung tidak membuat pengguna ponsel cerdas mengalami ketergantungan pada ponsel cerdasnya. Faktor kelima yang diduga mempengaruhi ketergantungan seseorang pada ponsel cerdasnya yaitu afinitas. Afinitas merupakan kondisi pengguna
8
yang ingin selalu dekat dengan sesuatu yang dalam hal ini adalah ponsel cerdas. Hal tersebut memperlihatkan bahwa seorang pengguna merasa memiliki hubungan kedekatan seperti hubungan kekerabatan dengan ponsel cerdasnya, sehingga dianggap sama pentingnya dengan kebutuhan primer seperti kebutuhan makan, dan minum dalam kehidupannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Perse, (1986); Rubin, (1981) yang menyatakan bahwa afinitas telah dikonseptualisasikan sebagai betapa pentingnya suatu media dalam kehidupan individu. Kepribadian
yang
mencerminkan
afinitas
pada
ponsel
cerdas
menunjukkan bahwa seseorang merupakan individu yang selalu ingin memiliki kontak dengan dunia luar. Individu ini cenderung terbuka dan mau menerima segala perubahan dan menginginkan suatu informasi yang selalu terkini (Oberecker dan Diamantopoulos, 2011). Ketergantungan ponsel cerdas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kenyamanan, kebutuhan sosial, pengaruh sosial, paparan serta afinitas cenderung berdampak pada munculnya niat pembelian ulang. Niat pembelian ulang merupakan niat konsumen untuk membeli kembali produk yang sama yang disebabkan oleh pengalaman positif pasca pembelian atau ketika mengkonsumsi produk tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Thamrin, (2003) yang menyatakan bahwa niat beli ulang yang tinggi mencerminkan tingkat kepuasan yang tinggi dari konsumen ketika memutuskan untuk mengkonsumsi ulang suatu produk.
9
Ketergantungan ponsel cerdas cenderung memicu munculnya niat pembelian ulang dari penggunanya. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian dari Mafe dan Blas (2006) yang menemukan bahwa konsumen dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada ponsel cerdas berkorelasi positif dengan perilaku konsumen pembelian masa depan. Dampak yang ditimbulkan dari perilaku ketergantungan seseorang terhadap ponsel cerdasnya selain niat pembelian ulang yaitu dampak positif dalam kehidupan pengguna yang berupa akses data dengan cepat, akses hiburan, bahkan komunikasi yang instan dan intensif dengan orang lain dapat diperoleh dengan cepat (Mayasari, 2010). Dampak lain yang ditimbulkan oleh perilaku ketergantungan tersebut cenderung negatif yang meliputi perilaku konsumtif, gelisah ketika tidak membawa ponsel cerdasnya, pola tidur terganggu, berkurangnya kontak fisik secara langsung dengan orang lain, dan sebagainya (Rice, 2011). Dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh perilaku ketergantungan seseorang yang berlebihan terhadap ponsel cerdasnya berupa stres yang diderita atau dialami oleh individu akibat teknologi, yang istilahnya dinamakan technostress (Shu et al., 2008). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lee, et al., (2014) yang menemukan bahwa penggunaan atau perilaku kompulsif yang merepresentasikan ketergantungan berlebihan terhadap ponsel cerdas berpengaruh positif dan signifikan pada technostress. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi ketergantungan berlebihan (penggunaan kompulsif) seseorang terhadap ponsel cerdasnya,
10
maka semakin tinggi pula technostress yang dialami atau diderita orang tersebut, begitu sebaliknya. 1.2. Rumusan Masalah Ketergantungan terhadap media bisa diukur berdasarkan teori ketergantungan media (media dependency theory). Teori ketergantungan media memperkirakan bahwa seseorang bergantung pada informasi media untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan mencapai tujuan tertentu (BallRokeach, 1998). Teori ketergantungan media mempunyai dua tingkatan yaitu makro dan mikro. Teori ketergantungan media pada tingkatan makro meliputi tiga paradigma yaitu studi sistem sosial berskala besar seperti kelompok formal atau birokrasi kompleks, seluruh masyarakat atau untuk penilaian proses sosial yang berskala umum seperti stabilitas, konflik, dan perubahan, sedangkan untuk tingkatan mikro berkaitan dengan unit yang sangat spesifik yang biasanya berarti individu (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989). Teori ketergantungan media dalam penelitian ini difokuskan pada tingkatan mikro yang lebih konkrit yaitu keterkaitan antara individu dengan media.
Teori ketergantungan media secara individu ini mirip dengan teori uses and gratification yang menganggap bahwa individu sebagai seseorang yang aktif dalam menentukan pilihannya terhadap media yang akan digunakan, serta pola penggunaannya (Grant et al., 1991). Hal tersebut berarti semakin banyak harapan seseorang terhadap informasi yang dapat membantu tujuannya, maka akan semakin kuat ketergantungan seseorang tersebut terhadap media itu selama tidak mengalami kekecewaan.
11
Ketergantungan
individu
terhadap
media
yang
semakin
kuat
dipengaruhi oleh variabel tertentu (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989). Penelitian mengenai variabel kenyamanan (Lu & Su, 2009; Stephen & Davis, 2009; Genova, 2010; Hahn, 2010), kebutuhan sosial (Raskin, 2006; Lippincott, 2010; Wei & Lo’s, 2006; Bridges et al., 2010), dan pengaruh sosial (Klobas & Clyde, 2001; Auter, 2007; Suki & Suki, 2007) yang berpengaruh positif dan signifikan pada ketergantungan individu terhadap ponsel cerdas telah dibuktikan sebelumnya, serta variabel afinitas (Grant et al., 1991; Skumanich and Kintsfather, 1998) dan paparan (Loges & BallRokeach, 1993; Loges, 1994; Mafe & Blas, 2006) juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketergantungan, sedangkan ketergantungan sendiri berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli ulang (Mafe & Blas, 2008; Ting et al., 2011; Suki & Suki, 2013), serta technostress (Charles, et al., 2013; Lee, et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat celah riset empiris yaitu penelitian yang membuktikan pengaruh variabel kenyamanan, kebutuhan sosial, pengaruh sosial, afinitas, dan paparan secara keseluruhan pada ketergantungan ponsel cerdas belum pernah ada sebelumnya, sehingga peneliti bermaksud untuk mengujinya dalam penelitian ini, serta membuktikan pengaruh ketergantungan terhadap ponsel cerdas pada niat beli ulang, dan technostress secara bersama-sama juga belum pernah ada. Hal lain yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah konteks penelitian. Mayoritas penelitian sebelumnya berkaitan dengan ketergantungan
12
terhadap media radio (Ball-Rockeach et al., 1984; 1993; Loges, 1994), televisi (Ball-Rockeach et al., 1984; 1993; Loges, 1994; Mafe & Blas, 2008), dan internet (Patwardhan, 2001; Patwardhan & Yang, 2003; Mafe & Blas, 2006; Alcañiz et al., 2008), maka terdapat celah penelitian dalam hal konteks yaitu masih sangat sedikitnya penelitian yang mengambil konteks ketergantungan terhadap ponsel cerdas, sehingga konteks dalam penelitian ini difokuskan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas. Berdasarkan celah riset empiris dan celah konteks di atas, melahirkan pertanyaan penelitian (research question), yang dijelaskan serta perlu dibuktikan seperti tertulis berikut ini. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian masalah penelitian di atas, selanjutnya dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah kenyamanan berpengaruh positif pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas?
2.
Apakah kebutuhan sosial berpengaruh positif pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas?
3.
Apakah pengaruh sosial berpengaruh positif pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas?
4.
Apakah paparan berpengaruh positif pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas?
5.
Apakah afinitas berpengaruh positif pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas?
13
6.
Apakah ketergantungan terhadap ponsel cerdas berpengaruh positif pada niat pembelian ulang?
7.
Apakah ketergantungan terhadap ponsel cerdas berpengaruh positif pada technostress?
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berpengaruh pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas, serta pengaruh ketergantungan terhadap niat beli ulang, dan technostress. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara spesifik dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Untuk menganalisis pengaruh dari kenyamanan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas.
2.
Untuk menganalisis pengaruh dari kebutuhan sosial pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas.
3.
Untuk menganalisis pengaruh dari pengaruh sosial pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas.
4.
Untuk menganalisis pengaruh dari paparan pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas.
5.
Untuk menganalisis pengaruh dari afinitas pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas.
6.
Untuk menganalisis pengaruh dari ketergantungan pada niat pembelian ulang terhadap ponsel cerdas.
14
7.
Untuk menganalisis pengaruh dari ketergantungan pada technostress terhadap ponsel cerdas.
1.5. Lingkup Penelitian Peneliti membatasi faktor pendorong bagi ketergantungan terhadap ponsel cerdas berdasarkan lima variabel, yaitu kenyamanan, kebutuhan sosial, pengaruh sosial, paparan, dan afinitas, serta variabel konsekuensi dari ketergantungan terhadap ponsel cerdas meliputi niat pembelian ulang, dan technostress. Variabel kenyamanan, kebutuhan sosial, pengaruh sosial diadopsi dari penelitian Ting et al., (2011) di Malaysia, serta variabel paparan dan afinitas diadopsi dari penelitian Mafe dan Blas (2006) di Spanyol, sedangkan variabel niat pembelian ulang diadospi dari penelitian Ting et al., (2011) di Malaysia, dan variabel technostress diadopsi dari penelitian Lee et al., (2014) di Taiwan. Lingkup permasalahan yang lain adalah sebagai berikut: Penelitian dilakukan di Indonesia melalui penyebaran kuisioner dalam jaringan, karena jumlah pengguna ponsel cerdas di Indonesia pada tahun 2014 menempati peringkat kelima di dunia yaitu sebanyak 46 juta orang yang berada di bawah Cina (283 juta pengguna), India (225 juta pengguna), USA (89 juta pengguna), dan Brazil (47 juta pengguna) (Arthur, 2014), sedangkan penyebaran kuesioner dengan cara luar jaringan dilakukan di kota Yogyakarta, karena beberapa alasan antara lain: (1) jumlah mahasiswa di DIY tahun 2014 sebesar 8,15% dari total mahasiswa sebanyak 3.421.942 orang berdasarkan tingkat propinsi di Pulau Jawa atau sebanyak 278.861 orang
15
(http://www.bps.go.id); serta (2). Indeks tingkat konsumsi barang elektronik, komunikasi (handphone, smartphone, serta perangkat komunikasi lainnya), dan non makanan DIY triwulan IV tahun 2014 sebesar 112,44 yang lebih tinggi dari triwulan III tahun 2014 sebesar 110,95, yang diperkuat oleh Indeks Tendensi Konsumen (ITK) di DIY triwulan IV tahun 2014 merupakan yang tertinggi pada tingkat propinsi di Pulau Jawa yaitu sebesar 114,64 (http://www.yogyakarta. bps.go.id). 1.6. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada berbagai pihak. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kontribusi Praktikal Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada yang meneliti di negara Indonesia. Hal tersebut berarti bahwa penelitian dilakukan di negara yang berbeda dan khususnya bagi pengguna ponsel cerdas di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Responden dalam penelitian sebelumnya dikhususkan pada para mahasiswa, begitu pula dalam penelitian ini, sehingga pemasar dapat lebih mudah menentukan segmen pasar mana yang akan dituju yaitu para mahasiswa.
16
2. Kontribusi Teoritikal Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya, penerapan dari Media Dependency Theory masih sedikit yang mengaplikasikannya pada media ponsel cerdas. 3. Kontribusi Metodologis a. Menguji alat ukur mengenai ketergantungan (dependency) yang dilakukan di negara yang berbeda dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini memberikan validasi lintas negara bagi konstruk tersebut. b. Model persamaan struktural yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat memprediksi pengaruh dari variabel bebas yang terdiri dari kenyamanan, kebutuhan sosial, pengaruh sosial, paparan, dan afinitas pada ketergantungan terhadap ponsel cerdas, serta pengaruh ketergantungan (variabel mediasi) pada niat pembelian ulang, dan technostress (variabel terikat) dengan lebih akurat dan tepat dibandingkan dari model persamaan struktural yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya, sehingga hasil penelitian yang diperoleh cenderung mendekati kenyataannya.
17