BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembangunan pertanian dewasa ini tidak lagi bagaimana meningkatkan
produksi, tetapi bagaimana sebuah komoditi mampu diolah sehingga diperoleh nilai tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6) mengungkapkan nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk (product development), dan tidak lagi difokuskan pada pengembangan komoditas. Pengembangan nilai tambah produk dilakukan melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdaya saing. Kopi merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki prospek pengembangan yang baik. Data Departemen Perdagangan Republik Indonesia menunjukkan volume perdagangan kopi dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Selama periode tahun 2004 s.d. tahun 2008, perdagangan kopi dunia meningkat sebesar 1,95% (Depdag, 2010: 28). Kopi juga merupakan salah satu tanaman perkebunan potensial di Provinsi Bali. Data Balai Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas areal perkebunan kopi Arabika pada periode tahun 2007 s.d. tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 4,03%. Luas areal perkebunan kopi Arabika
1
2
pada tahun 2007 adalah seluas 7.888 hektar dan meningkat menjadi 8.206 hektar pada tahun 2008. Meskipun luas areal mengalami peningkatan, jumlah produksi justru mengalami penurunan sebesar 4,87%. Produksi pada tahun 2007 adalah sebesar 3.135,75 ton dan menurun menjadi 3.296,13 ton pada tahun 2008. Sedangkan, untuk kopi robusta luas arealnya relatif tetap yakni dari 23.848 hektar di tahun 2007 menjadi 23.847 hektar di tahun 2008. Sedangkan, produksinya juga mengalami penurunan sebesar 10,97%. Produksi kopi robusta pada tahun 2007 adalah sebesar 12.351,27 ton dan menurun menjadi 10.996,61 ton pada tahun 2008 (BPS Provinsi Bali, 2009: 209). Kabupaten Bangli merupakan kabupaten dengan produksi kopi tertinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Bali.
Data Statistik Perkebunan Provinsi Bali
menunjukkan total produksi kopi di Provinsi Bali pada tahun 2008 adalah sebesar 3.135,75 ton. Kabupaten Bangli berkontribusi sebesar 56,94% dari total produksi. Produksi terbesar kedua adalah Kabupaten Buleleng, yaitu sebesar 770,53 ton (24,57%), dan sisanya tersebar di Kabupaten Karangasem, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Kabupaten Bangli memiliki agroklimat yang sesuai untuk perkebunan kopi Arabika. Najiati dan Danarti (2007: 17) mengungkapkan kopi Arabika (coffea arabica) menghendaki daerah dengan ketinggian 700m dpl s.d. 1.700 m dpl dengan suhu berkisar 160 s.d. 200C. Berdasarkan syarat tumbuh tersebut, dari empat kecamatan di Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani memiliki agroklimat yang paling sesuai untuk perkebunan kopi. Hal ini juga sejalan dengan data Statistik Perkebunan Provinsi Bali. Produksi kopi di Kabupaten Bangli pada tahun 2007 sebesar 92,5% dihasilkan di Kecamatan Kitamani. Total produksi
3
pada tahun 2007 adalah sebesar 1.661,328 ton dan 1.537,110 ton dihasilkan di Kecamatan Kintamani. Untuk mendorong dampak manfaat dari potensi tersebut, Kabupaten Bangli telah menetapkan kebijakan umum yang diklasifikasikan dalam 10 fungsi dengan 37 sub fungsi turunannya. Perkebunan, perindustrian, dan perdagangan merupakan salah satu sub fungsi dari fungsi ekonomi dalam kebijakan umum Kabupaten Bangli (LAKIP Kabupaten Bangli, 2008: 13,14). Hal ini menunjukkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, Kabupaten Bangli mendorong peningkatan peranan pada sektor perkebunan, industri, dan perdagangan. Kopi merupakan salah satu sektor perkebunan yang potensial terus dikembangkan tidak hanya pada tingkat produksi, tetapi juga untuk sektor industri dan juga perdagangan. Najiati dan Danarti (2007: 124) mengungkapkan untuk menghasilkan kopi yang bermutu tinggi tidak hanya berhenti pada budidaya tetapi juga penanganan pascapanen. Dengan pengembangan industri pengolahan, maka mutu kopi Arabika di Kabupaten Bangli dapat ditingkatkan. Selain itu, proses pengolahan pasca panen akan memberikan nilai tambah (value added) pada produk kopi, dan juga dapat membuka peluang kerja dan peluang usaha sehingga multi plier efeex yang lebih luas. Kopi Arabika di Kawasan Kintamani telah terdaftar sebagai produk yang diproduksi pada kawasan khusus yaitu daerah kintamani dan teknik pengolahan tersendiri. Dengan perlindungan indikasi geografis tersebut, kopi Arabika Kintamani memiliki nilai tambah dalam pasar kopi nasional dan internasional. Perlindungan indikasi geografis mensyaratkan beberapa tahapan pengolahan harus
4
dilakukan didalam kawasan indikasi geografis. Aktivitas pengolahan tersebut membutuhkan dukungan pabrik-pabrik pengolahan di dalam kawasan. Sedangkan secara geografis, daerah ini merupakan daerah hulu Pulau Bali, dengan topografi yang berbukit. Sehingga selain memiliki fungsi ekonomi (kawasan perkebunan), daerah ini juga memiliki fungsi ekologi untuk keseimbangan alam Bali. Perkebunan
kopi
Arabika
di
Kecamatan
Kintamani
merupakan
perkebunan rakyat dengan persebaran yang luas, berada pada topografi yang berbukit, tingkat produktivitas yang beragam, serta belum dikelola dengan baik. Untuk meningkatkan nilai tambah serta dampak ekonomi kepada masyarakat, maka kawasan ini didorong menjadi suatu kawasan Agroindustri, yang dikelola secara efektif dan efisien. Pada tahun 2007, petani kopi Arabika di kawasan Kintamani yang tergabung dalam masyarakat perlindungan indikasi geografis (MPIG) telah mendaftarkan kopi Arabika untuk mendapatkan perlindungan indikasi geografis kopi Arabika Kintamani. Dengan perlindungan indikasi geografis tersebut, beberapa tahapan seperti produksi gelondong merah, pengolahan sampai kopi HS basah, dan penyimpanan harus dilakukan dalam kawasan indikasi geografis (MPIG, 2007: 13-16). Dengan demikian, untuk menjaga kekhasan kopi Arabika Kintamani, harus didirikan sarana penunjang untuk pengolahan. Namun disisi lain daerah Kintamani merupakan daerah hulu yang memiliki fungsi ekologi sebaga daerah resapan air hujan. Untuk itu, pendirian pabrik pengolahan harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan. Saat ini berkembang pabrik pengolahan dari bersekala kecil hingga besar. Pengolahan kopi di Kintamani diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sentral,
5
desentral, dan individu. Pengolahan setral dilakukan oleh subak abian yang mendirikan unit pengolahan, desentral yaitu masyarakat hanya mengupas kopi gelondong merah di pabrik pengolahan subak abaian dan proses selanjutnya dilakukan oleh masing-masing petani. Sedangkan pengolahan individu yaitu individu melakukan pengolahan kopi sendiri, biasanya dilakukan oleh yang memiliki perkebunan yang luas. Selain itu, juga ada pabrik pengolahan kopi seperti yang dilakukan oleh PTP Perkebunan Nusantara yang terletak di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani. Berkembangnya unit-unit pengolahan ini akan berdampak positif terhadap peningkatan petani dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak di daerah tersebut. Namun demikian, apabila tidak dikelola dengan baik, dapat terjadi persaingan yang tidak sehat pada tingkat pengolah. Ibrahim (1998: 94) mengungkapkan dalam usaha produksi atau kegiatan pengolahan, faktor utama yang harus diperhatikan dalam aspek teknis produksi adalah lokasi usaha/pabrik. Lokasi pabrik pengolahan kopi yang strategis akan mampu meminimalkan biayabiaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya bahan baku, biaya pengangkutan, tenaga kerja, dan sebagainya. Gumbira-Sa’id (2004: 96) mengungkapkan produktivitas berkaitan erat dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas suatu unit usaha. Dengan meningkatnya efisiensi, kebutuhan akan sumber daya akan menurun dan diikuti biaya produksi yang menurun. Hal ini akan meningkatkan keuntungan dan juga daya saing. Memperhatikan hal tersebut, dibutuhkan suatu sistem informasi yang dapat digunakan dalam mengelola kawasan tersebut. Sehingga berbagai aspek
6
pengelolaan dapat dilakukan dengan baik. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat memberikan informasi mengenai potensi suatu kawasan sehingga dapat memudahkan menata kawasan agroindustri dengan efektif dan efisien. Dengan SIG pihak-pihak yang bergerak dalam Agroindustri Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani dengan mudah dapat menentukan keputusan-keputusan ekonominya. SIG dapat menyediakan informasi sebaran produksi, penempatan lokasi pabrik yang strategis, jalur transportasi, tenaga kerja, serta lokasi-lokasi pabrik yang telah ada dapat dengan mudah diketahui. Nuarsa (2005: v) mengungkapkan lebih dari 80% dari seluruh data yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam dunia bisnis maupun pemerintahan adalah data geografis atau data yang berkaitan dengan posisi objek di permukaan bumi. SIG saat ini tidak saja digunakan untuk memecahkan masalahmasalah pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga digunakan dalam pemecahan masalahan ekonomi, kependudukan, sosial, kesehatan, dan sebagainya. SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengolah (input, manajemen, proses, dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis. Dengan ketersediaan informasi tersebut, maka penataan kawasan agribisnis dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Prasetyo (2003: 6) mengungkapkan di daerah pedesaan (rural) manajemen tata guna lahan lebih banyak mengarah ke sektor pertanian. Penentuan lokasi gudang dan pemasaran hasil pertanian dapat terbantu dengan memanfaatkan peta produksi pangan, penyebaran konsumen, dan peta jaringan transportasi. Berdasarkan gambaran tersebut, maka diperlukan pengelolaan kawasan Agroindustri
berbasis
Sistem
Informasi
Geografis
untuk
mendorong
7
pengembangan kawasan. Khususnya mendorong pengembangan agroindustri kopi Arabika di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. 1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut. 1.
Bagaimana sebaran perkebunan dan produksi Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli ?
2.
Di mana lokasi pabrik yang efektif dapat didirikan ?
3.
Bagaimana Zonasi Pengelolaan Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani ?
1.3
Tujuan Penelitian Dari permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1.
Mengetahui sebaran lahan perkebunan dan produksi kopi Arabika di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
2.
Mengetahui lokasi pabrik yang efektif dapat didirikan.
3.
Mengetahui Zona Pengelolaan Kopi Arabika di Kecamatan Kintamani.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pelaku agribisnis di
bidang kopi Arabika di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli pada khususnya dan Bali pada umumnya. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberi kontribusi bagi para petani, atau kelompok tani
kopi Arabika di Kecamatan
8
Kintamani dalam menetapkan keputusan-keputuasan ekonomi terkait agribisnis di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. . Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat di dalam mengaplikasikan teori yang didapatkan selama menempuh perkuliahan sekaligus sebagai uji lapangan atas teori-teori yang diperoleh. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi potensi agribisnis, serta dapat dijadikan sumber informasi dalam melakukan penataan kawasan agroindustri kopi Arabika di Kawasan Kintamani. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan lebih spesisifik penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam agribisnis, dan dapat dijadikan bahan kepustakaan untuk penelitian lanjutan ataupun peneliti lainnya terkait dengan penelitian ini. 1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Lokasi penelitian menggunakan dua batasan, yaitu batasan administratif dan batas geografis. Batas administratif yaitu digunakan batas kecamatan, yaitu Kecamatan Kintamani. Sedangkan batasan geografis, digunakan batasan kesesuaian agroklimat. Batasan agroklimat tersebut telah ditetapkan dalam peta kawasan produksi kopi Arabika yang telah mendapat perlindungan indikasi geografis Kintamani, Bali. Sehingga penelitian dilakukan di dalam kawasan indikasi geografis di Kecamatan Kintamani. Penelitian dilakukan untuk pemetaan daerah produksi, menentukan lokasi pabrik yang layak secara lingkungan dan juga layak secara ekonomi, serta zona
9
pengelolaan. Pemetaan sebaran daerah produksi dilakukan berdasarkan data produksi di tiap-tiap desa di Kecamatan Kintamani. Berdasarkan sebaran produksi, maka dilakukan Analisis penentuan lokasi pabrik yang layak secara ekonomi dan lingkungan. Penentuan lokasi pabrik dalam penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lokasi perkebunan dimana terkait dengan ketersediaan bahan baku dan kedekatan bahan baku dengan rencana pembangunan pabrik pengolahan. Variabel berikutnya adalah fasilitas jalan. Variabel jalan dalam penelitian digunakan dua tipe jalan, yaitu jalan provinsi dan jalan desa. Artinya, lokasi pembangunan pabrik diharapkan berada pada jalan provinsi atau jalan desa, tidak pada kelas jalan stapak, atau jalan lainnya. Variabel lingkungan yang berpengaruh yaitu tingkat kemiringan lahan. Kemiringan ideal untuk pembangunan pabrik diharapkan pada tingkat kemiringan 0% s.d. 8%. Variabel lain yang berpengaruh adalah penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang dapat dijadikan sebagai lokasi rencana pembangunan pabrik adalah lahan-lahan yang tidak produktif, dan juga tidak memiliki fungsi ekologis seperti hutan. Sedangkan variabel-variabel lainnya yang terkait dalam operasional pabrik seperti ketersediaan air, jaringan listrik dan sebagainya belum dimasukkan sebagai variabel pengaruh penentuan lokasi. Yang dimaksudkan lokasi pabrik yang efektif dalam penelitian adalah tersedianya lahan untuk dapat dibangum pabrik uang layak (feseable) secara lingkungan, dan juga layak secara ekonomi. Hal ini mengingat daerah Kintamani merupakan daerah hulu Pulau Bali sehingga pendirian pabrik tidak mengurangi fungsi ekologis daerah tersebut. Setiap variabel memiliki bobot pengaruh yang sama terhadap kesesuaian lokasi pabrik. Sehingga masing-masing variabel memiliki pengaruh sebesar 25% dari
10
total pengaruh. Variabel-variabel tersebut dianalisis dengan menggunakan metode ovelay pada analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan bantuan sofe ware ArchView. Penentuan zone pengelolaan dilakukan berdasarkan batasan administratif desa, batasan tofografi (sungai), dan ketersediaan akses jalan. SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola data spasial (data yang bereferensi geografis). SIG dapat digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam, minyak dan gas, militer, lingkungan, pendidikan, asuransi, transportasi dan logistik, administrasi tanah, utilitas. SIG mampu menyimpan data yang memiliki lokasi geografis, melakukan analisis data, mengintegrasikan data dengan tipe data lain dan penyajian data untuk pendukung keputusan, uang biasanya dalam bentuk peta. SIG telah digunakan sejak akhir 1970-an dalam peningkatan kinerja jumlah organisasi, dan secara ekonomi, dapat dijadikan untuk menentukan lokasi-lokasi yang layak untuk usaha bisnis, penentuan jalur pengangkutan yang efisien, potensi sumber daya bahan baku, tenaga kerja dan sebagainya.