BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Telah lama diakui bahwa Negara Indonesia memiliki posisi yang sangat
strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia serta diantara dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Di sisi lain, Indonesia juga terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik di dunia yaitu Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur wilayah Indonesia. Hal itu menyebabkan Indonesia termasuk daerah rawan terjadinya bencana, terutama bencana alam geologi. Bencana geologi merupakan bencana yang disebabkan oleh pergerakan bumi. Wilayah Indonesia juga terdiri atas lembah, daratan, pegunungan, dan juga gunung berapi, dan memiliki 2 musim, yakni kemarau dan penghujan, serta berada pada kawasan iklim tropis. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah Indonesia rawan terhadap bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus dan badai angin (Setiawan, 2010). Berdasarkan posisinya tersebut, maka hampir di seluruh Indonesia, termasuk Bali, berpotensi untuk mengalami kejadian bencana dan akan sangat mungkin terjadi setiap saat serta sangat sukar diperkirakan kapan dan dimana persisnya bencana tersebut akan terjadi. Terdapat pengecualian Kalimantan yang cenderung stabil. Disebutkan bahwa 87% wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam, atau setara dengan 383 dari 440 kabupaten atau kota madya merupakan daerah rawan bencana alam (Paidi, 2012). Maka dari itu Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memiliki fungsi koordinasi dengan berbagai pihak untuk
1
2
melakukan penanggulangan bencana tingkat nasional. Pihak-pihak yang bekerjasama dengan BNPB seperti Badan SAR Nasional, Palang Merah Indonesia, BMKG dan sejumlah instansi lainnya. Untuk tingkat daerah sendiri dibentuk lembaga penanggulangan bencana yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Di Provinsi Bali potensi bencana alam salah satunya adalah masih adanya gunung aktif yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur. Aktifnya gunung berapi yang ada di Bali berpotensi menimbulkan bencana seperti gunung meletus dan gempa bumi. Untuk daerah pesisir pantai berpotensi terhadap tsunami sehingga diperlukan peran yang penting dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk melakukan fungsifungsi dari manajemen kebencanaan yang ada. Fungsi dari manajemen kebencanaan terdiri atas 1. Kegiatan prabencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini, 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian, 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Manajemen pada tahap pertama yaitu prabencana memegang peranan yang penting karena segala hal yang telah dipersiapkan dalam tahap ini merupakan modal untuk menghadapi bencana dan situasi pasca-bencana. Namun kegiatan pada tahap prabencana ini masih sering dikesampingkan selama ini oleh pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Terbukti masih sedikitnya jumlah orang yang memikirkan suatu langkah ataupun kegiatan guna persiapan menghadapi bencana ataupun memperkecil dampak bencana (Rachmat, 2002). Salah satu bentuk dari pencegahan bencana yang dilakukan oleh BNPB adalah pengurangan risiko bencana yang dilakukan melalui usaha pemberdayaan masyarakat yang salah satunya adalah
3
pemberdayaan komunitas sekolah berupa pembentukan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Data Bank Dunia tahun 2013 menyebutkan bahwa 28% penduduk Indonesia adalah anak-anak. Data Bank Dunia tahun 2010 juga menyebutkan Indonesia memiliki jumlah sekolah yang terletak pada daerah rawan bencana terbanyak keempat di dunia. Sejumlah kejadian bencana di Indonesia yang berdampak pada kerusakan sekolah antara lain tsunami Aceh tahun 2004 yang merusak lebih dari 2000 sekolah, gempa di Yogyakarta tahun 2006 yang menghancurkan 2.900 sekolah serta gempa bumi Sumatera Barat tahun 2009 yang menimbulkan kerusakan pada 241 sekolah. Secara kuantitatif, sebesar 75% sekolah di Indonesia berada pada resiko rawan bencana dari sedang sampai tinggi. Untuk itu dibutuhkan sekolah aman bencana yang perlu dijadikan prioritas. Sekolah sebagai tempat berkumpulnya peserta didik selama jam pelajaran penting dalam kesiapsiagaan mengingat kerentanan peserta didik yang tinggi. Upaya pengurangan risiko bencana perlu dilakukan guna mencegah jatuhnya korban jiwa dan kerusakan pada sekolah atau madrasah yang rentan terhadap bencana. (BNPB, 2012) Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana khususnya tahap pra-bencana. Pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengendalian risiko bencana yang bersifat pro-aktif sebelum terjadi bencana (LIPI–UNESCO/ISDR, 2006 dalam Teguh, 2015). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat yang telah dilakukan di berbagai wilayah menunjukkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah dibanding masyarakat serta aparat (LIPI, 2006-2007). Hasil dari penelitian yang dilakukan Khairuddin, dkk. , (2012) menyimpulkan bahwa kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam mengurangi risiko bencana masih pada taraf mengetahui tindakan-tindakan dan belum memiliki
4
keterampilan dalam melakukan kesiapsiagaan. Suatu penelitian kajian risiko bencana gempabumi pada SMP di wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta juga meyebutkan bahwa semua SMP di seluruh kecamatan di Kabupaten Bantul rawan terhadap risiko bencana alam gempabumi. Namun kesiapsiagaan komunitas SMP agar terhindar dari dampak bencana alam gempabumi masih rendah. Meskipun tingkat kesadaran komunitas SMP terhadap rawannya bencana gempabumi yang mengancam wilayahnya cukup tinggi yaitu 81 % (Dwisiwi, dkk, 2012). Untuk meningkatkan keterampilan dalam melakukan kesiapsiagaan maka Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali sendiri telah melaksanakan program pembentukan Sekolah Aman Bencana (SAB). Program ini dibentuk pada tahun 2015 yang pelaksanaanya telah di dua sekolah yakni SMPN 2 Tabanan dan SMPN 3 Bangli. Kegiatan yang dilakukan BPBD Provinsi Bali di kedua sekolah menengah tersebut masing-masing dilaksanakan selama 5 hari. Kegiatan diisi dengan pemberian materi kebencanaan, diskusi dan simulasi saat terjadi bencana. Kegiatan pembentukan SAB yang telah dilakukan oleh BPBD Provinsi Bali belum ada evaluasinya. Untuk itu maka penting diketahui capaian ataupun umpan balik dari pelaksanaan program agar kedepannya program Sekolah Aman Bencana dapat terlaksana sesuai dengan harapan dan mencapai tujuan utamanya yaitu membentuk budaya aman bencana sedini mungkin dari komunitas sekolah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui persepsi siswa terhadap program Sekolah Aman Bencana yang dilakukan oleh BPBD Provinsi Bali di SMPN 2 Tabanan. SMPN 2 Tabanan dipilih menjadi lokasi penelitian karena SMPN 2 Tabanan memiliki rasio luas lahan sekolah per jumlah siswa yang jauh lebih rendah dari SMPN 3 Bangli yaitu 0,259 m2/siswa berbanding 3,28 m2/siswa. Berdasarkan data
5
tersebut maka dapat diketahui bahwa SMPN 2 Tabanan memiliki kerentanan yang lebih tinggi saat terjadi bencana dibandingkan SMPN 3 Bangli. 1.2
Rumusan Masalah Secara kuantitatif sebanyak 75% sekolah di Indonesia berada pada resiko
bahaya bencana (BNPB a, 2012). Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali sendiri telah melaksanakan program pembentukan Sekolah Aman Bencana (SAB) sejak tahun 2015 yang dilaksanakan di dua sekolah yakni SMPN 2 Tabanan dan SMPN 3 Bangli. Sebagai program yang masih tergolong baru, belum pernah dilaksanakan suatu evaluasi terhadap program Sekolah Aman Bencana (SAB). Maka dari itu, penelitian terkait persepsi siswa selaku sasaran utama program Sekolah Aman Bencana (SAB) penting untuk dilakukan. Melalui penelitian terhadap persepsi siswa terhadap program ini dapat dihasilkan gambaran capaian atau umpan balik dari pelaksanaan program Sekolah Aman Bencana (SAB). Gambaran capaian dan umpan balik tersebut penting untuk penyempurnaan pelaksanaan program Sekolah Aman Bencana agar sesuai harapan dan dapat mencapai tujuan program. Pemilihan SMPN 2 Tabanan sebagai lokasi penelitian karena SMPN 2 Tabanan memiliki kerentanan terhadap bencana yang lebih tinggi dari SMPN 3 Bangli. 1.3
Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah gambaran persepsi siswa terhadap program Sekolah Aman
Bencana yang dilaksanakan di SMPN 2 Tabanan? 1.4
Tujuan
1.4.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran persepsi siswa terhadap program Sekolah Aman
Bencana di SMPN 2 Tabanan
6
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengetahuan siswa terhadap program Sekolah Aman Bencana yang ada di SMP N 2 Tabanan 2. Mengetahui persepsi siswa terhadap program Sekolah Aman Bencana yang ada di SMP N 2 Tabanan 3. Mengetahui sikap siswa terhadap adanya program Sekolah Aman Bencana yang ada di SMP N 2 Tabanan
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis yang didapat dari hasil penelitian ini adalah untuk
menambah
literatur
terkait
program
pengurangan
risiko
bencana
dengan
pemberdayaan komunitas khususnya komunitas sekolah sehingga dapat dijadikan acuan untuk penelitian sejenis kedepannya. 1.5.2
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah adanya masukan ataupun acuan
terkait pelaksanaan program Sekolah Aman Bencana dimanfaatkan untuk penyempurnaan program kedepannya yang dapat digunakan baik oleh pihak BPBD Provinsi Bali maupun pihak sekolah. 1.6
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi ranah bidang ilmu promosi kesehatan.
Penelitian ini terkait persepsi siswa terhadap program Sekolah Aman Bencana (SAB) yang bertempat di SMPN 2 Tabanan. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai April 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa
7
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan hasil yang didapat di lapangan dengan menceritakan kembali hasil yang didapat dengan rancangan penelitian fenomenologi.