1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anak merupakan salah satu sumber daya manusia yang memiliki peran strategis sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa, oleh karena itu, pembinaan dan perlindungan sangat penting untuk menjami kualitas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Maidin Gultom mengatakan bahwa: Masa kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seseorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.1 Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan. Anak memiliki peranan strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara karena generasi inilah yang ke depannya akan membangun bangsa dan negara. Hak-hak anak harus dipenuhi untuk mencapai tumbuh kembang anak yang optimal, baik terhadap perkembangan fisik, mental maupun perkembangan sosialnya. Pembinaan terhadap anak harus dilakukan sedini mungkin. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam
1
Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 1.
2
meniti kehidupan.2 Pengalaman manusia pada masa kanak-kanak akan terbawa hingga mereka dewasa nanti. Anak yang kurang atau tidak mendapatkan perhatian secara fisik, mental maupun sosial dari orang tuanya, cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang dan bahkan antisosial. Tindakan tersebut tentu saja akan yang merugikan dirinya, keluarga dan masyarakat. Salah satu pertimbangan (consideran) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara RI Nomor 153 Tahun 2012 menyebutkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Perlindungan tersebut ditujukan untuk menjaga harkat dan martabat anak.
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak juga diatur dalam instrumen hukum internasional yakni Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa anak tidak dapat menjadi korban penyiksaaan atau hukuman kejam atau dilecehkan. Anak dibawah umur 18 tahun tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup tanpa kesempatan untuk bebas. Anak tidak boleh diambil kebebasannya secara sembarangan atau tanpa dasar hukum. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraaan akan anak harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum dan harus digunakan hanya sebagai opsi terakhir dan dalam waktu pemenjaraan yang sesingkat singkatnya.
2
Ibid.
3
Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) juga mengatur bahwa semua anak yang ditahan harus diperlakukan secara manusiawi dan terhormat akan martabatnya sebagai manusia, dan diperlakukan sesuai dengan umurnya. Secara khusus, setiap anak yang ditahan harus dipisahkan dengan orang dewasa kecuali apabila hal itu untuk kebaikan sang anak untuk tidak dipisah dengan orang dewasa dan harus mendapatkan hak untuk menerima kontak dengan keluarga dari sang anak melalui koresponden atau kunjungan kecuali dalam kasus yang tidak wajar. Setiap anak yang ditahan memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap bantuan hukum dan bantuan lainnya, dan memiliki hak untuk membanding keabsahan dari pemenjaraannya di hadapan pengadilan atau badan otoritas yang independen dan netral lainnya, dan harus diberikan keputusan dengan cepat tanpa ditunda-tunda.
Anak-anak mempunyai hak yang secara spesifik berbeda dengan hak manusia dewasa, karena anak-anak memiliki kondisi fisik dan mental yang masih belum stabil, dan dalam segala keadaan hak-hak ini harus didahulukan dari kepentingan yang lain. Dengan kondisi fisik dan kemampuan mentalnya yang masih belum stabil, dalam banyak hal anak-anak harus mendapatkan perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang bisa merugikan perkembangan anak itu sendiri maupun masyarakat. Anak-anak memerlukan kondisi dalam keluarga dan masyarakat yang memungkinkan mereka tumbuh
4
kembang secara wajar dan optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai anak-anak menjadi manusia dewasa.3 Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insan dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materiil spiritual berdasarkan dasar negara yakni Pancasila dan konstitusi yakni UUD 1945.4 Dengan demikian, perlindungan anak merupakan bagian dari pembangunan nasional da pembangunan manusia seutuhnya. Dalam aturan khusus di Indonesia, ketentuan mengenai perlindungan anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dinyatakan “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
3
Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pembinaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 245. (selanjutnya disebut Waluyo, Bambang I). 4
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.
5
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam bergelimangnya aturan yang mengatur tentang upaya menjaga hak dan martabat anak, ternyata terdapat pemandangan yang sangat ironis, yaitu banyak dijumpai anak-anak yang berperilaku menyimpang. Reksodiputro menulis “penyimpangan merupakan salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang membangun, masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke arah masyarakat modern”.5 Ditinjau dari aspek hukum, maka penyimpangan yang dilakukan oleh anak bertentangan dengan norma. Perilaku tersebut dapat menjadi permasalahan hukum dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.6 Perilaku yang menyimpang menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan norma. Tindakan yang bertentangan dengan norma merupakan penyelewenangan terhadap norma. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupann manusia dalam komunitasnya yang disebut dengan masyarakat. Penyelewenangan norma dapat berbentuk pelanggaran maupun kejahatan. Kejahatan akan selalu ada dan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kejahatan tidak mungkin diberantas, namun kejahatan dapat dikurangi. Manusia akan selalu dihadapkan dengan kejahatan. Kejahatan merupakan suatu gejala sosial yang harus dihadapi oleh manusia itu sendiri,
5
Reksodiputro, Mardjono, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadina Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, h. 39. 6
Waluyo, Bambang I, Op.cit, h. 1.
6
masyarakat, bangsa maupun negara.7 Kejahatan ada dan timbul di tengah-tengah masyarakat tersebut harus berhadapan dengan keberadaan hukum yang mengaturnya. Secara historis, diskursus tentang pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami dinamika. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau. 8 Ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Setiap pemimpin formal bisa bertindak sebagai hakim, dapat menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum untuk menunggu pelaksanaan hukuman. Seiring semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hukum merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, karena para hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara sambil menunggu suatu putusan, para pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan.9
Perkembangan dan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, infiltrasi budaya dan perkembangan pembangunan, mempunyai pengaruh terhadap perilaku
7
Waluyo, Bambang I, Op.cit, h. 1.
8
Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 1. 9
Cooke, David J., dkk, 2008, Menyikapi Dunia Gelap Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. iii.
7
manusia sebagai anggota dar suatu masyarakat atau bahkan negara. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap norma hukum bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan juga dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak terjebak dalam pola konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ke tindakan kriminal seperti narkoba, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, dan sebagainya. 10 Disamping itu juga, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat juga mempengaruhi berkembangnya tindak kejahatan yang melibatkan anak baik sebagai pelaku maupun korban tindak pidana, contohnya dengan semakin mudah anak-anak mengakses video porno di media sosial dan internet mengakibatkan anak-anak ingin mencoba melakukan halhal yang kurang sesuai dengan perkembangan jiwanya. Keterlibatan anak dalam perbuatan asusila menyebabkan anak berkonflik dengan hukum. Hukum merupakan instrument untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Pelanggaran norma dapat diselesaikan dengan penegakan hukum. Bambang Waluyo lebih lanjut mengatakan bahwa instrumen hukum (pidana) harus difungsikan secara efektif melalui pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kejahatan. Penanggulangan melalui instrument hukum dilakukan dengan cara preventif dan represif. Penanggulangan atas kejahatan ini sering disebut sebagai politik kriminal. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. 11
10
Waluyo, Bambang I, Op.cit, h. 3.
11
Waluyo, Bambang I, Op.cit, h. 2.
8
Dalam bahasan tentang penanggulangan kenakalan yang dilakukan oleh anak pelaku tindak pidana persetubuhan perlu diperhatikan pemidanaannya, karena tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa berbeda apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak. Perlu diketahui adanya perlindungan hukum bagi anak dalam perkara pidana seperti hak-hak anak yang terdapat dalam prinsip kedua Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child) Principle 2 disebutkan bahwa the child enjoy special protection….).12 Anak menurut ketentuan deklarasi ini memiliki hak untuk memperoleh perlindungan khusus. Perlindungan bertujuan agar anak dapat mengembangkan diri secara optimal dalam suatu kondisi yang kondusif dan mendukung perkembangan anak baik secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan kemasyarakatan. Tujuan tersebut dijamin dan diatur dalam instrument hukum. Mereka dijamin untuk memperoleh kesempatan yang sama berdasarkan hukum hukum dan didukung dengan sarana lainnya sesuai dengan harkatnya. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan yang terkait dan ditujukan untuk anak. Perlindungan bagi pelaku anak diatur pula pada Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules) yang kemudian tertuang dalam Resolusi Majelis PBB No. 40/33 tanggal 29 Nopember 1985. Dalam rule 5.1 Beijing Rules merujuk pada tujuan atau sasaran dalam perlindungan anak yakni mempromosikan kesejahteraan anak yang berkonflik
12
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.109. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief I).
9
dengan hukum dan prinsip proposionalitas.13 Kesejahteraan anak menjadi sasaran utama dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana dalam menangani pelanggaran anak harus lebih mengutamakan kesejahqf2xteraan anak. Prinsip ini untuk menghindari sanksi yang bersifat pemidanaan (the avoidance of merely punitive sanction), sedangkan prinsip proposionalitas menjadi sarana untuk menekan penggunaan sanksi yang bersifat pembalasan (just desort).14 Tujuan dari penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, tetapi untuk pemberian bimbingan dan pengayoman. Ketentuan ini juga diterapkan pada pemidanaan anak, bahkan pemidanaan terhadap anak lebih diperhatikan mengingat karakteristik anak. Pengayoman diberikan sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsepsi baru fungsi pemidanaan bukan sebagai penjeraan belaka, tetapi juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan.15 Pidana bertujuan untuk memasyarakatkan pelaku kejahatan sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat. Herbert L. Packer memandang bahwa sanksi hukum pidana sangat diperlukan baik sekarang atau di masa mendatang. Sanksi hukum pidana adalah perangkat terbaik yang tersedia untuk menghadapi bahaya dan ancaman bahaya yang luar biasa dan seketika. Sanksi pidana sekaligus penjamin utama dan
13
Ibid, h. 112-113.
14
Barda Nawawi Arief I , Op.cit., h. 113.
15
Barda Nawawi Arief I , Op.cit., h. 3.
10
pengancam utama dari kebebasan manusia. Penggunaan secara hati-hati dan manusiawi merupakan penjamin, penggunaan secara sembarangan dan secara paksa itu merupakan ancaman. 16 Salah satu tujuan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana adalah mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang yang bukan pelaku yang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu tindak pidana. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat, artinya nestapa yang diberikan kepada seorang yang melanggar suatu aturan pidana bukan semata-mata hanya memberikan suatu penderitaan kepadanya, tetapi ada tujuan lainnya yaitu mengembalikan mereka ke dalam suatu kondisi yang lebih baik kepadanya agar dapat kembali lagi ke dalam masyarakat setelah menyelesaikan hukumannya. 17 Tindak pidana persetubuhan terhadap anak merupakan bagian dari kesusilaan yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah menjadi UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam tindak pidana persetubuhan adalah masalah pembuktian, dimana dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan sanksi,
16
Packer, Herbert L., 1968, The Limit of the Criminal Sanction, Stardford University Press, California, h. 346-366. 17
Hamzah, Andi, 2010, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 27.
11
keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap pidana persetubuhan terhadap anak, ketentuan Pasal 183 mengenai alat bukti ini maka semakin sulit seseorang untuk diajukan ke pengadilan, karena seorang pelaku jarang mengakui perbuatannya terlebih korban enggan untuk memberikan keterangan, padahal terkadang hanya korban saja yang mengetahui terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Lain halnya dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, karena pada Pasal 55 Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa dakwaan bersalah. Keterangan ini menjadi salah satu alat bukti yang sah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Persetubuhan yang dilakukan terhadap sesama anak di bawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut terutama bagi korban. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban persetubuhan tersebut. Tindak pidana persetubuhan terhadap anak merupakan tindak pidana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), di mana penanganan perkaranya tidak dibedakan antara persetubuhan terhadap anak yang
12
dilakukan oleh anak dengan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana harus tetap terjamin karena hal tersebut bertujuan untuk menjaga anak dapat tumbuh dengan normal secara lahir dan batin, serta bebas dari segala bentuk ancaman, hambatan dan gangguan dari perkembangan anak tersebut. Perlindungan ini merujuk pada kondisi anak yang berkonflik dengan hukum yang rentan dengan kekerasan sebagaimana yang dilaporkan United Nation Office on Drugs and Crime yang menyatakan “children in conflict with the law encounter violence, including from police and security forces, from adult detainees, from staff at detention centres and from their own peers, while some even attempt suicide.”18 (terjemahan bebas: anak yang berkonflik dengan hukum mengalami kekerasan, termasuk dari polisi dan petugas keamanan, dari tahanan dewasa, dari staf di pusatpusat penahanan dan dari rekan-rekan mereka sendiri, sementara beberapa bahkan mencoba bunuh diri). Kejahatan bukanlah hal yang dapat diprediksi sebelumnya, kejahatan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh negara karena terjadinya kejahatan akan menyebabkan gangguan terhadap kehidupan dalam suatu negara, oleh sebab itu negara memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan.19 Tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur merupakan salah satu jenis kejahatan yang sering
18 United Nation Office on Drugs and Crime, 2012, Children in The Justice System Need Protection, available at https://www.unodc.org/unodc/en/frontpage/2012/January/children-in-thejustice-system-need-protection.html, cited on 11st October 2015. 19
14.
Topo Santoso dan Eva Achjani, 2001. Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
13
terjadi, bahkan pelakunya bukan hanya orang dewasa melainkan juga sesama anak. Anak sebagai sosok yang belum memiliki kestabilan emosional tentu belum memahami sepenuhnya tentang perbuatan yang dilakukan dan akibatnya. Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak dilakukan dengan paksaan tetap dapat dipidana. Berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 ditentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipandang sebagai suatu tindak pidana yang diancamkan dengan sanksi pidana. Pada aturan umum yakni Pasal 287 ayat (1) KUHP ditentukan pula “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Ketentuan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 sesungguhnya ditujukan bagi pelaku dewasa (paedofilia) yang menjadikan anak sebagai objek seksual dari pelaku tersebut. Hal ini menunjukkan kekosongan norma yang mengatur mengenai persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak anak karena kesepakatan diantara mereka (tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan dan paksaan). Akibatnya penegak hukum sering menggunakan ketentuan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 bagi anak yang melakukan hubungan seks pranikah dengan pasangannya. Konstruksi pasal tersebut memidana anak laki-laki yang berhubungan seksual dengan
14
pacarnya, walaupun hubungan seksual tersebut terjadi karena keinginan mereka berdua. Dalam perumusan delik persetubuhan di Indonesia, pembuat masih memandang bahwa hubungan seksual hanya dapat terjadi, apabila laki-laki menginginkan hubungan seksual tersebut. Persetubuhan yang dilakukan oleh anak memang tidak dapat dipandang sebagai kenakalan biasa. Kajian harus dilakukan dengan berbagai pendekatan. Banyak faktor penyebab yang menimbulkan terjadinya persetubuhan oleh anak seperti perilaku ingin tahu dari anak, faktor meniru, lingkungan sosial yang tidak sehat, perederan video porno yang dapat diakses dengan mudah dan lunturnya nilai-nilai agama. Pemidanaan terhadap pelaku anak secara filosofis kurang mencerminkan keadilan, karena pemidanaan hanya dapat dilakukan terhadap anak laki-laki, padahal dalam sejumlah kasus persetubuhan terhadap anak, anak perempuan yang diposisikan secara hukum sebagai korban juga memiliki peranan, bahkan peranan yang lebih besar saat terjadinya persetubuhan tersebut. Pemaksaan penggunaan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebabkan anak yang melakukan hubungan seks pranikah dengan pasangannya dapat dipidana dengan pidana penjara, padahal dalam prinsip perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum, pidana penjara merupakan upaya terakhir. Hak yang paling utama dan harus diterima oleh anak adalah hak pemeliharaan, pengasuhan dan perlindungan tanpa kecuali. Dalam hal ini, Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Undang-Undang No. 11 tahun 2012 pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang erat kaitan dengan perlakuan
15
khusus terhadap anak, hal ini dapat dilihat pada Pasal 71 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tata cara penanganan anak yang bermasalah dengan adanya pidana pokok yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1) Pembinaan diluar lembaga; 2) Pelayanan masyarakat;atau 3) Pengawasan; c. Pelatihan kerja; d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. Penjara
Penjatuhan pidana penjara bagi anak yang melakukan persetubuhan atas dasar kesepakatan (seks pranikah) dapat dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps. Berdasarkan Pasal 71 UndangUndang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka hakim yang memutus perkara Gus Tualen, dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps tanggal 10 Februari 2015 menjatuhkan hukuman berupa pidana pokok berupa pidana penjara selama 1 tahun dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan di Yayasan Generasi Bisa Indonesia di Banjar Gempinis Desa Dalang Kecamatan Selamadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Putusan tersebut menggunakan pidana hilang kemerdekaan (pidana penjara) yang sesungguhnya merupakan pidana atau upaya terakhir dalam memutus perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam penelitian ini, akan dianalisis mengenai kekosongan norma terhadap persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak atas dasar kesepakatan
16
mereka dengan mengkaji pula akibat dari kekosongan norma tersebut. Permasalahan normatif tersebut berimplikasi pada pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak, misalnya yang terjadi di wilayah hukum Denpasar dengan terpidana Gu Tualen, dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps tanggal 10 Februari 2015. Dalam putusan tersebut dianyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak terhadap korban Gek Putri berusia 13 tahun 10 bulan untuk melakukan persetubuhan. Dalam kasus ini, terdakwa Gus Tualen dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun. Penjatuhan pidana bagi terdakwa di satu sisi ditujukan untuk penegakan hukum, namun di sisi lain merampas kemerdekaan bagi anak untuk tumbuh kembang secara optimal. Penahanan bahkan sudah dilakukan sejak di tingkat kepolisian, kejaksaan hingga di tingkat pengadilan. Semua komponen peradilan pidana tersebut melakukan penahanan padahal penahanan terhadap anak wajib dihindari kecuali dalam hal yang sangat penting. Dalam Pasal 64 G Undangundang Nomo 35 Tahun 2014 disebutkan “Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.” Anak adalah harapan bangsa, orang tua, bangsa dan negara sehingga anak berhak mendapat perlindungan khusus. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum merupakan jaminan bagi mereka untuk memperoleh
17
hak-haknya. Belum diaturnya norma mengenai persetubuhan antara anak dengan anak yang dilakukan atas dasar kesepakatan menyebabkan hakim dalam perkara Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps dapat menjatuhkan pidana penjara bagi anak berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, bukan pidana pembinaan. Melihat kasus ini, pembaharuan hukum pidana yang berorientasi pada kebijakan (police oriented) maupun berorientasi pada nilai (value oriented) merupakan bagian dari politik hukum pidana, sehingga tujuan utama peradilan anak merupakan pertimbangan terhadap hak-hak anak merupakan pertimbangan moral yang mewujudkan kesejahteraan anak atau mengutamakan kepentingan anak. Sebelum ada penormaan bagi anak yang bersetubuh dengan anak karena kesepakatan, maka setidaknya pemidanaan terhadap anak pelaku persetubuhan terhadap anak pula sedapat mungkin terselesaikan secara proposional. Perlu diperhatikan rasa keadilan di dalam hakim mengambil putusan, sehingga persoalan yang terjadi dalam penjatuhan pidana terhadap anak khususnya pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak sudah memenuhi perlindungan hak-hak anak. Dalam penyelesaian perkara anak, pembentuk undang-undang telah mengamanatkan penyelesaian dengan keadilan retoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
18
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk menganalisis permasalahan kebijakan perlindungan anak khususnya pada pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak khususnya yang berkaitan dengan kesengajaan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps”. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain: a. Bagaimanakah kebijakan perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam hukum positif Indonesia? b. Bagaimanakah perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Bertitik tolak dari rumusan masalah tersebut, maka untuk mendapatkan hasil pembahasan yang akurat serta tidak keluar dari permasalahan yang dikemukakan maka perlu adanya pembatasan. Lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada kebijakan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum, yang berkaitan dengan anak pelaku persetubuhan yang dilakukan
19
terhadap anak. Penelitian ini juga dilakukan dengan pendekatan kasus persetubuhan yang dilakukan oleh anak dengan korban anak dan dilakukan karena kesepakatan mereka. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Dalam perspektif science as a process (ilmu sebagai proses), penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum khususnya terkait dengan persetubuhan melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujuk rayu yang dilakukan terhadap anak. 1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, antara lain: 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam hukum positif Indonesia.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum dalam bidang acara pidana khususnya yang berhubungan dengan anak yang berkonflik dengan hukum dalam pemidanaan, serta dapat digunakan sebagai
20
acuan oleh pihak yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam mengenai pemidanaan terhadap Anak. 1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1.
Bagi Pemerintah pusat dan daerah sebagai pengambil kebijakan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Anak, sehingga terdapat jaminan bagi perkembangan anak dalam pergaulan di masyarakat.
2.
Bagi penyidik, penuntut umum dan hakim dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk melaksanakan diversi terhadap perkara-perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku.
3.
Bagi hakim sebagai pedoman dalam memutuskan sanksi pidana terhadap Anak dengan memperhatikan perlindungan terhadap hak-haknya sesuai dengan kesejahteraan dan perkembangan anak.
1.6 Orisinalitas Penelitian Pembangunan hukum tidak hanya menambah peraturan baru atau merubah peraturan lama dengan peraturan baru tetapi juga harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait dengan permasalahan anak baik anak sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban dari tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, permasalahan anak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan kajian yang menarik untuk dibahas. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan pemidanaan anak dalam kasus persetubuhan terhadap Anak, antara lain:
21
Penelitian yang dilakukan oleh Novie Amalla Nugraheni20 dalam bentuk tesis dengan judul “Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif serta permasalahan yang dikaji adalah kajian sistem pemidanaan edukatif bagi anak yang berkonflik dengan hukum, baik dalam dimensi ius constitutum maupun dalam dimensi ius constituendum. Berdasarkan sasil penelitian ini diketahui bahwa Indonesia sudah memiliki berbagai aturan yang menjamin perlindungan, kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak anak melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meskipun Indonesia sudah memiliki aturan tersebut, namun tidak membawa perubahan yang signifikan bagi anak-anak yang terlibat dalam kasus hukum. Dilihat dari putusan hakim terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diketahui bahwa perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih belum optimal. Putusan hakim cenderung bersifat menghukum sehingga merugikan bagi masa depan dan perkembangan anak itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Syahrial Reza 21 dalam bentuk tesis dengan judul “Kebijakan Sanksi Pidana dan Tindakan Dalam Rangka
20 Nugraheni, Novie Amalia, 2009, “Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Reza, Muhamad Syahrial, 2004, “Kebijakan Sanksi Pidana dan Tindakan Dalam Rangka Perlindungan Hak Anak Pelaku Tindak Pidana”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 21
22
Perlindungan Hak Anak Pelaku Tindak Pidana”, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif serta permasalahan yang dikaji tentang kebijakan sanksi pidana dan tindakan bagi perlaku tindak pidana dan prinsip-prinsip yang menjadi pertimbangan hakim memberikan sanksi dalam rangka perlindungan hak pelaku tindak pidana serta kebijakan sanksi pidana di masa yang akan datang, prinsip-prinsip yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dan tindakan dalam rangka perlindungan hak anak pelaku tindak pidana dalam prakteknya mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Beijing Rules. Oleh karena itu pidana penjara dan pidana kurungan seminimal mungkin dihindari, karena dapat merugikan anak mengingat kondisi emosional dan intelektual anak itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Yudhistira Adhi Nugraha 22 dalam bentuk tesis dengan judul “Pemidanaan Terhadap Terdakwa Anak yang Terancam Pidana Minimum Khusus Dalam Praktek di Pengadilan Sebelum Berlakunya Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, dengan menggunakan metode yuridis normatif serta permasalahan yang dikaji tentang pemidanaan dan pertimbangan hakim terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dikaitkan dengan asas legalitas, maka hasil penelitian ini memberikan
Nugraha, Yudhistira Adhi, 2013, “Pemidanaan Terhadap Terdakwa Anak Yang Terancam Pidana Minimum Khusus Dalam Praktek di Pengadilan Sebelum Berlakunya Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. 22
23
pemahaman bahwa pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada. Pemidanaan tersebut tidak bertentangan dengan asas legalitas, karena hakim dalam menerapkan hukum diberikan kebebesan untuk melakukan rechtvinding yang artinya menyelaraskan undang-undang dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Heri Suherlan23 dalam bentuk tesis dengan judul “Pemidanaan Anak Pengguna Obat Terlarang Dikaitkan dengan Sistem Perlindungan Hukum Terhadap Anak”, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif serta pendekatan yuridis normatif dan permasalahan yang dikaji adalah pemidanaan terhadap Anak pengguna obat terlarang menyebabkan terlaksana tujuan perlindungan hukum Anak, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengenakan pidana untuk mencapai tujuan dengan cara pemilihan berbagai alternatif sanksi yang tidak bertentangan dengan Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bertolak dari beberapa penelitian tersebut apabila dibandingkan dengan penelitian penulis ini terdapat perbedaan yang signifikan, dimana dalam penelitian ini lebih ditekankan pada perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum dalam pemidanaan pada kasus persetubuhan terhadap anak, sedangkan penelitian terdahulu tidak menekankan pemidanaan anak pada kasus persutubuhan terhadap
Suherlan, Heri, 2007, “Pemidanaan Anak Pengguna Obat Terlarang Dikaitkan Dengan Sistem Perlindungan Hukum Terhadap Anak”, Tesis, Program Studi Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. 23
24
anak, hanya menitik beratkan pada sanksi yang dikenakan pada anak pelaku tindak pidana. Penelitian ini juga mengkaji masalah kekosongan norma mengenai persetubuhan yang dilakukan oleh anak dengan anak karena kesepakatan diantara mereka (tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan dan paksaan). Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Denpasar
Nomor
2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps” masih relevan untuk dilakukan. 1.7
Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Perlindungan Anak 1. Teori Family Model Teori ini diperkenalkan oleh John Griffiths, yang merupakan suatu bentuk penyelesaian yang dipergunakan dalam sistem peradilan pidana yang disebut kekeluargaan dimana yang sangat menonjol adalah pada konsep pemidanaan yang digambarkan dalam suasana keluarga, yaitu diberikan sanksi dengan tujuan agar anak tersebut mempunyai kesanggupan untuk mengendalikan dirinya, akan tetapi setelah Anak itu diberi sanksi, anak itu tetap berada dalam kerangka kasih sayang keluarga dan ia tidak dianggapnya sebagai Anak jahat dan sebagai manusia yang khusus atau sebagai anggota kelompok yang khusus dalam kaitannya dengan keluarga.24 Teori ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama yakni kebijakan perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam
24
h. 46
Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
25
hukum positif Indonesia. Kebijakan perlindungan baik dalam tataran legislasi harus menunjukkan konsep pemidanaan dalam suasana kekeluargaan. 2. Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Teori Keadilan Restoratif yang dikemukakan oleh Tony F.Marshall menyatakan: … a process whereby all the parties with a stake in a particular offece and its implication for the future.25 (Keadilan Restoraktif adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Teori ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama, khususnya dalam membahas mengenai kebijakan retorative justice dalam sistem peradilan pidana anak. Keadilan restoratif ini merupakan pendekatan untuk memecahkan masalah dalam berbagai bentuknya yang melibatkan pelaku, korban, saksi, sosial masyarakat, dan peradilan, yang mana teori ini didasarkan pada prinsip bahwa prilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban, dan masyarakat, sehingga setiap upaya untuk mengatasi dari perilaku tindak pidana harus menyediakan kebutuhan bantuan bagi pelaku, korban maupun saksi. Jika dikaitkan dengan perlindungan anak di mana tujuan dari peradilan anak pertimbangan moral untuk mewujudkan kesejateraan, sehingga teori keadilan restoratif tersebut dapat memunculkan konsep yang mendekati tindak pidana
25
Damang, 2012, Keadilan Restorasi, Yogyakarta, available www.negarahukum.com/hukum/keadilan-restorasi. html, Cited on 9th January 2014.
at
26
secara berbeda, tindak pidana dipandang sebagi penyakit masyarakat yang harus disembuhkan atau dipulihkan seperti keadaan semula, bukan sekedar sebagai tindakan melanggar hukum. Oleh karena itu, untuk penyembuhannya diperlukan peran bersama semua pihak seperti pelaku, korban, saksi, keluarga dan masyarakat, jadi penekannya pada pemulihan semata. Penggunaan restoractive justice inilah yang dipergunakan dalam sistem peradilan anak, dimana anak pelaku tindak pidana mendapat perlakuan khusus yang salah satunya dengan pelaksanaan diversi, hal ini merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana menuju pada proses di luar peradilan pidana. Konsep diversi ini dapat dilihat juga pada Resolusi Majelis PBB No. 40/33 tanggal 29 Nopember 1985 yang mengadopsi Peraturan Minimum Standar PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules). Dalam rule 11.1 yang menyatakan: Consideration shall be given… (Pertimbangan wajib diberikan bagi pelaku kenakalan anak yang berurusan dengan hukum tanpa harus diadili di pengadilan seperti tercantum di peraturan 14.1). Hakikatnya, Anak pelaku tindak pidana juga merupakan korban dari kondisi sosial tertentu yang perlu diperbaiki dan disembuhkan dengan peran bersama pula sehingga semua pihak harus dilibatkan untuk mencapai suatu keadilan. 1.7.2 Teori Pemidanaan Hukum dibentuk untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat, oleh karena untuk tercapainya kedamaian diberikanlah sanksi bagi para pelanggar hukum. Sanksi ini diberikan kepada perbuatan-perbuatan yang akan mengancam
27
ketertiban dan ketentraman di masyarakat, dengan diberikan sanksi ini diharapkan masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum sehingga tujuan dari hukum tersebut dapat terwujud di dalam masyarakat. Teori-teori pemidanaan terdiri dari tiga kelompok teori, yaitu: 1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen); 2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen). 3. Teori gabungan (verenigings theorieen) 26 1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie) Pokok dari ajaran teori ini adalah bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pada pidana adalah sifat pembalasan (‘vergelding’ atau ‘vergeltung’). Teori absolut mengajarkan bahwa pidana yang dijatuhkan disebabkan karena orang tersebut telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quiapeccatum est). Pidana dipandang sebagai suatu akibat dari dilakukannya kejahatan, dalam hal ini pidana dipandang sebagai suatu pembalasan terhadap suatu perbuatan jahat. Penganut teori absolut sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief adalah Immanuel Kant, Nigel Walker, Prof. Sudarto, Van Bemmelen, Pompe, Chr. J. Enshede.27 Menurut Nigel Walker bahwa: Tujuan penerapan pidana adalah: 1. Melindungi para pelanggar dan juga mereka yang dicurigai terhadap pembalasan di luar hukum. Dasar pemikiran tujuan ini adalah pembalasan di luar hukum bukan saja mengakibatkan kekacauan tetapi juga dapat menimbulkan nestapa yang berlebihan. 2. Mengurangi frekuensi terjadinya pola-pola tingkah laku yang dilarang oleh hukum pidana. Tujuan ini disebut dengan reductivism.
26
Muladi, & Arief, Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 10. (selanjutnya disebut Muladi, & Arief, Barda Nawawi II). 27
Ibid.
28
3. Sistem pidana harus sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan penderitaan yang minimum dalam usaha mencapai tujuannya. Tujuan ini dinamakan humanitarianism. 4. Sistem pidana harus disusun sedemikian rupa sehingga terjamin bahwa para pelanggar benar-benar menebus dosa mereka dengan menderita karena pelanggaran-pelanggaran mereka. Tujuan ini disebut dengan retibutivism.28 Para sarjana yang berpendapat demikian ini alam pikirannya diliputi oleh pendapat bahwa pidana adalah suatu pembalasan. Pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah terjadi suatu kejahatan, kejahatan dimana telah menggoncangkan masyarakat. Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, maka karena perbuatannya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan semula sebagaimana sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa), dan pidana ini harus dirasakan sebagai suatu nestapa (‘leed’). Ajaran ini dianut oleh para Sarjana Hukum pada masa awal berkembangnya hukum pidana yang masih berpendapat bahwa pemberian pidana sebagai balasan atas perbuatan pelaku tindak pidana. 29 2.
Teori Tujuan atau Relatif (doel theorien) Dalam kepustakaan ditegaskan bahwa teori berkembang setelah teori
absolut mulai banyak ditinggalkan
alasannya
karena
tujuan
pemidanaan
relevansi ini yang didasarkan pada teori absout tidak membuat para pelaku tindak pidana berkurang tetapi justru semakin bertambah. Pelaku disini
28 29
Muladi, & Arief, Barda Nawawi II, Op.cit., h. 2.
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7-13.
29
diperlakukan tidak manusiawi. Penjatuhan pidana pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan fungsi negara dalam menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Lebih lanjut teori ini bertujuan : a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de maatschappelijke); b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari pada terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad ontstane maatschappelijke nadeel); c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader) d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); e. Untuk mencegah kejahatan (ter verkoming van de misdaad) Teori tujuan atau teori relatif juga disebut dengan teori pencegahan. Mengenai pencegahan kejahatan yang dimaksud dalam huruf e dapat diperinci dalam dua aliran yang berkembang yaitu : a. Algemene atau generale preventie (pencegahan umum) yaitu pencegahan yang ditujukan kepada masyarakat, sehingga sifat pencegahannya bersifat
umum. Cara
yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
yang
menganut Algemene atau generale preventive ialah dengan menakutnakuti masyarakat dengan memberikan ancaman-ancaman hukuman yang berat kepada semua pelanggar pelaku tindak pidana. b. Bijzondere
atau Speciale
Preventie
(pencegahan khusus),
yaitu
pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri. Para sarjana yang menganut speciale preventie lebih mengedepankan pendidikan
30
dan
memasyarakatkan lagi
Pemasyarakatan.
Cara-cara
para yang
narapidana mereka lakukan
di bisa
Lembaga dengan
memberikan pendidikan kepada para narapidana, memberikan mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan mereka tidak mengulangi perbuatan pidana lagi. Dalam konteks pencegahan, hukum pidana berfungsi untuk mencegah seseorang untuk melakukan tindak pidana dan mencegah kelompok masyarakat yang sudah melakukan kejahatan agar tidak mengulangi tindak pidana guna menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Teori relatif (Utilitarian Theory), menentang pandangan teori absolut yang memandang bahwa pidana adalah sarana untuk melakukan pemabalasan. Menurut teori ini, penjatuhan pidana bukanlah suatu pembalasan, namun merupakan suatu hal yang memiliki tujuan yang bermanfaat bagi perbaikan diri pelaku. Karl O. Cristiansen membandingkan karakteristik antara teori retributif dengan teori utilitarian yakni sebagai berikut: 1. Teori Retribution a. Tujuan pidana adalah untuk pembalasan b. Pembalasan merupakan tujuan utama yang di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelaku e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan pelaku. 2. Teori Utilitarian a. Tujuan pidana adalah pencegahan b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku yang memenuhi syarat untuk adanya pidana d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan
31
e. Pidana melihat kedepan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.30 Tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan bisa dibedakan antara istilah prevensi spesial dan prevensi general. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana, pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku pelaku untuk tidak melakukan tindak pidana lagi yang berarti pidana bertujuan agar pelaku berubah menjadi orang yang lebih baik, teori ini dikenal juga dengan sebutan reformation atau rehabilitation Theory. Teori rehabilitasi merupakan salah satu teori dalam tujuan pemidanaan. Filosofi rehabilitasi (pemulihan) sering diterjemahkan sebagai pertolongan kepada para terpidana untuk pulih seperti sedia kala. Konsekuensinya adalah menghilangkan penderitaan semaksimal mungkin. Dalam praktik terjadi ambivalensi antara rehabilitasi sebagai bagian dari sanksi pidana atau rehabilitasi dalam rangka pengobatan, karena tujuan keduanya bertolak belakang. 31 Teori rehabilitasi dalam pandangan Andrew Ashworth, dilatarbelakangi pandangan positivis dalam kriminologi, sehingga penyebab kejahatan lebih dikarenakan adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial, baik dalam pandangan psikiatri atau psikologi. Di pihak lain kejahatan dalam pandangan teori rehabilitasi dipandang sebagai penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. 32
30
Ibid, h. 16-17.
31
Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, h. 50. 32
Ibid, h. 56-57.
32
Menurut teori rehabilitasi, pemidanaan lebih dipandang sebagai suatu proses terapi atas penyakit yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan. Di samping itu, menurut teori rehabilitasi, seorang pelaku tindak pidana dipandang sebagai orang yang justru perlu ditolong. 33 Dalam teori rehabilitasi ini, hakim dituntut untuk menentukan model pemidanaan mana yang cocok sebagai sarana terapi bagi pelaku. Di tahun 1960-an, pandangan ini banyak mendapatkan kritik. Akan tetapi, perkembangan di tahun 1970-an justru sebaliknya, banyak cerita sukses sehingga teori ini dipandang lebih efektif untuk mencegah pelaku tidak mengulangi tindak pidananya. 34 Martison menggambarkan bahwa pendekatan ini hanya efektif bila dilakukan dengan jumlah pidana yang kecil, ekslusif, dan membutuhkan banyak ahli yang terlibat di dalamnya. 35 3.
Teori Gabungan atau Campuran (Verenigings atau Gemengde Theorien) Pemikiran dari teori ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari teori-teori
absolut dan relatif. Kelebihan-kelebihan dari teori absolut dan relatif menjadi kekuatan dari teori ini. Diharapkan kelemahan-kelemahan dari teori absolut dan relatif menjadi hilang. Adapun kelemahan-kelemahan dari teori absolut ialah: a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
33
Zulfa, Eva Achjani, Op.cit., h. 50.
34
Zulfa, Eva Achjani, Op.cit.,. h. 56-57.
35
Zulfa, Eva Achjani, Op.cit., h. 56-57.
33
b. Apabila yang menjadi dasar dari pada teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana? Teori gabungan juga didasarkan pada kelemahan teori tujuan. Kelemahan teori tujuan pemidanaan adalah: 1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya apabila tujuan untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakutnakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana yang bertentangan dengan keadilan. 2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata adalah untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. 3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residivis. 36 Teori gabungan merupakan elaborasi antara teori pembalasan dan teori tujuan. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri kepada masyarakat.37 Pemidanaan didasarkan pada kebutuhan dari masing-masing individu untuk menjalani pembinaan. Teori pemidanaan digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua yakni perlindungan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 2/Pid.Sus. Anak/2015/PN Dps. Teori pemidanaan yang digunakan untuk mengukur perlindungan anak dalam putusan
36 37
Zulfa, Eva Achjani, Op.cit., h. 7-13
Effendi, Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, h. 143-144.
34
tersebut adalah teori utilitarian atau teori tujuan yakni dalam membedah baik permasalahan pemidanaan maupun pertimbangkan hakim memutus perkara anak yang berkonflik dengan hukum dalam kasus tindak pidana persetubuhan. 1.7.3
Teori Kebijakan Hukum Pidana Teori kebijakan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.38 Teori kebijakan hukum pidana dipergunakan dalam menganalisis permasalahan pertama khususnya terkait dengan formulasi sistem pemidanaan edukatif terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Kebijakan terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam pemeriksanaan perkara anak. Kebijaksanaan yang harus dimiliki oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang hakim, seperti wawasan ilmu pengetahuan yang sangat luas, intuisi atau insting yang tajam dan peka, pengalaman yang luas, serta etika dan moralitas yang baik yang terjaga dari pengaruh-pengaruh buruk dalam kehidupan.39 Dalam menjatuhkan putusan di dalam perkara pidana, hakim tidak bisa terlepas dari adanya asas legalitas dan kebijakan hukum pidana. Penjatuhan pidana atau sanksi kepada seseorang harus memenuhi rumusan perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis, dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan
38
Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 112. 39
Ibid, h. 113.
35
pidana atau sanksi hukum. Peraturan hukum harus lebih dahulu ada daripada perbuatan dilakukan. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kesewenang-wenangan penguasa. Dalam penggunaan hukum pidana, diperlukan adanya prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) sebagaimana yang dikemukakan oleh Nigel Walker mengemukakan yakni: a. Janganlah hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan; b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/ membahayakan; c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/ bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/ bahaya dari perbuatan/ tindak pidana itu sendiri; e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah; f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.40 Teori kebijakan hukum pidana digunakan dalam menganalisis kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak. 1.8
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian Dalam membuat suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak diperlukan. Penggunaan metode bertujuan untuk menemukan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sesuai dengan sifat keilmuan ilmu hukum yang bersifat sui generis sehingga penelitian hukum mempunyai karakter
40
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 48.
36
khusus. Atas dasar kekhususan tersebut, maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum dengan aspek normatif dan penelitian hukum dengan aspek empiris. Mengingat penelitian ini difokuskan pada telaah terhadap putusan pengadilan, maka penelitian ini bersifat normatif. Penelitian yang bersifat normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum seperti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.41 Oleh karena itu, dalam penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum dengan aspek normatif. Pada penelitian yuridis normatif ini, masalah penormaan yang diangkat adalah kekosongan norma mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan atas dasar kesepakatan antara anak yang berkonflik dengan hukum dengan korban anak tanpa adanya kekerasan, ancaman kekerasan atau paksaan. Ketentuan yang biasanya digunakan oleh hakim dalam memutus perkara ini adalah dengan menggunakan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yakni “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.” Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 sesungguhnya ditujukan kepada orang dewasa yang melakukan persetubuhan dengan anak sehingga ancaman pidananya sangat tinggi yakni dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
41
Soekanto, Soerjono, & Mamudji, Sri, 2009, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 12-13.
37
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan ini dipaksakan digunakan pada pelaku anak, sehingga ancaman pidananya sangat tinggi, namun karena hakim juga harus tunduk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka hakim memiliki kewenangan yang sangat luas dalam penjatuhan pidana. Ketiadaan norma yang mengatur persetubuhan antara anak berdasarkan kesepakatan mereka menyebabkan hakim memiliki diskresi dan pandangan tersendiri untuk menjatuhkan pidana dengan atau tanpa mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam konteks perlindungan anak. 1.8.2 Jenis Pendekatan Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa “pendekatan dalam penelitian hukum bertujuan untuk memberikan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya”.42 Dalam penelitian hukum dengan aspek normatif pada umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendekatan kasus (The Case Approach) Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) Pendekatan fakta (The Fact Approach) Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) Pendekatan frasa (Words & Phrase Approach) Pendekatan sejarah (Historical Approach) Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).43 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan kasus
(The Case Approach), di mana pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah
42 43
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, Denpasar, h. 32.
38
kasus yang berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.44 Kasus tersebut dapat dilihat pada Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN Dps dan Putusan Nomor 75/Pid.Sus/2013/PN.Bli sebagai pembandingnya. Disamping menggunakan pendekatan kasus, dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. 1.8.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat baik dalam bentuk keputusan maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jo Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. d. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum.45 Berdasarkan uraian tersebut,
44
Marzuki, Peter Mahmud, Op.cit, h. 94.
45
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri, Op.cit, h. 13.
39
maka bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan para sarjana sebelumnya, baik berupa tesis maupun yang telah diterbitkan sebagai buku-buku atau literatur-literatur hukum yang berkaitan dengan pemidanaan terhadap pelaku anak. Bahan hukum yang digunakan ditunjang dengan data wawancara yang berfungsi sebagai data penunjang. Wawancara dilakukan terhadap hakim yang pernah memutus perkara persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum yang dikumpulkan dicatat pada catatan-catatan kecil dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa norma (aturan positif), buku atau literatur yang ada terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian bahan hukum tersebut ditelaah dengan menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Selain menggunakan pendekatan dalam menelaah bahan hukum, juga digunakan beberapa konsep dan teori yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah terkumpul tersebut, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tahapan sebagai berikut : 1.
Teknik deskripsi, yaitu menggambarkan kondisi atau posisi dari proposisiproposisi (dalil) hukum.
2.
Teknik interpretasi, yaitu penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
40
3.
Teknik evaluasi, dilakukan dengan menilai suatu rumusan norma, putusan, pendapat-pendapat dan segala pernyataan baik yang terkandung dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Penilaian dilakukan oleh peneliti.
4.
Teknik argumentasi, yaitu alasan-alasan peneliti terhadap penilaian yang diberikan terhadap pernyataan yang terdapat dalam bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini.