BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Shalawat Wahidiyah merupakan salah satu gerakan tasawuf lokal Indonesia yang mengedepankan akhlak al-karimah dengan mengamalkan shalawat dan puji-pujian kepada Rasulullah Muhammad Saw. Shalawat Wahidiyah ini lahir di Indonesia, tepatnya di Kediri Jawa Timur tahun 1967, shalawat ini berikut ajarannya merupakan produk atau susunan KH. Abdoel Madjid Ma’roef, yang kemudian dikenal sebagai “Muallif Shalawat Wahidiyah”.1Shalawat Wahidiyah kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan kini ke seluruh dunia, dengan pengikut yang cukup banyak .2 Secara garis besar Shalawat Wahidiyah terdiri dari dua perangkat utama, yakni amalan shalawat yang dikarang oleh sang muallif. Isi dari amalan Shalawat Wahidiyah ini banyak mengupas tentang ma’rifat billah. Perangkat kedua adalah ajaran yang disebut panca ajaran Wahidiyah. Panca ajaran Wahidiyah adalah pedoman moral bagi pengamal Wahidiyah, yang menjadi landasan mereka dalam berfikir, berbicara, dan bertingkah laku. Isi dari panca ajaran Wahidiyah ini meliputi lillâh-billâh, li al-rasûl bi al-rasûl, li al-ghauts bi al-ghauts, yu'tî kulla dzî haqqin haqqah, dan taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al-anfa' fa al-anfa'.
1
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2008), 120. 2 Ibid., 125.
1
2
Dalam perjalanannya, gerakan Shalawat Wahidiyah ini banyak melahirkan kontroversi. Kontroversi pertama mengenai statusnya, Shalawat Wahidiyah menyatakan bahwa meskipun mereka sebuah gerakan tasawuf, tapi mereka bukanlah tarekat. Hal ini menimbulkan kebingungan karena lazimnya gerakan tasawuf membentuk dirinya menjadi sebuah organisasi tarekat, dengan ciri adanya seorang mursyid sebagai pembimbing, hierarki pengajar yang jelas serta adanya proses pembaiatan. Organisasi Nahdlatul Ulama menggolongkan Shalawat Wahidiyah sebagai tarekat yang ghayru mu’tabarah karena menurutnya mata rantai amalan ini tidak bersambung secara jelas kepada Rasulullah sebagaimana tarekat lain.3 Kontroversi kedua lahir dari dimensi amalan Wahidiyah yang bagi masyarakat umum terlihat ”aneh”. Dalam pelaksanaannya pengamal Shalawat Wahidiyah sering menangis keras, bahkan histeris, saat membaca Shalawat tersebut. Kontroversi ketiga pada dimensi ajarannya, dalam Shalawat Wahidiyah terdapat panca ajaran Wahidiyah yang bagi sebagian orang adalah sebuah konsep yang abstrak dan sulit dipahami. Selain itu tidak seperti umumnya tarekat lain, Shalawat Wahidiyah tidak membatasi diri dengan konsep baiat ataupun mursyid serta terbuka untuk di ajarkan bagi semua umur termasuk para remaja,4 seperti yang dilaksanakan di Pondok Pesantren
3
Di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), para pengamal tarekat mu'tabarah itu bernaung di bawah organisasi tarekat yang dikenal dengan nama Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah (perkumpulan tarekat yang sah). Tujuannya adalah untuk memberikan arahan agar para pengamal tarekat di lingkungan organisasi ini tidak menyimpang dari ajaran agama. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahts al- Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 71. 4
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural..., 264.
3
Terpadu al-Syarwânî di Desa Ngrupit, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî merupakan sebuah pondok pesantren yang memasukkan Shalawat Wahidiyah ke dalam kurikulum pembelajaran pesantren. Di pesantren ini, amalan Wahidiyah dilaksanakan setiap saat dan ajaran-ajarannya disampaikan sebagai sebuah materi pelajaran. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik karena metode pembelajaran sebuah ajaran tasawuf (dalam hal ini, Shalawat Wahidiyah) dengan sistematis secara umum belum ada. Selain itu, kebanyakan santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî masih berusia remaja yang daya tangkap rasionya masih terbatas. Tasawuf secara umum dipandang sebagai ajaran yang rumit, membutuhkan metode belajar dengan aturan yang ketat.5 Shalawat Wahidiyah sebagai sebuah ajaran tasawuf, tidak hanya berupa ritual membaca shalawat, namun juga mengusung konsep-konsep yang tidak mudah dipahami bagi seorang remaja,6 sehingga proses menyampaikan ajaran Shalawat Wahidiyah kepada santri yang masih remaja menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti.
5
Hal ini berlaku di kalangan Islam tradisional, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam tradisional, maka hal ini menjadi sebuah pendapat umum. Bagi kalangan Islam tradisional, tasawuf tidak bisa dilepaskan dari gerakan tarekat, ritual, doktrin ajaran, dan struktur keorganisasian mereka yang rumit dan ketat. Lihat Sokhi Huda. Tasawuf Kultural…(Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2008). 6 Konsep ini meliputi lillâh-billâh, li al-rasûl bi al-rasûl, li al-ghauts bi al-ghauts, yu'tî kulla dzî haqqin haqqah, dan taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al-anfa' fa al-anfa'. Lihat Sokhi Huda. Tasawuf Kultural…120.
4
Berdasarkan fenomena di atas kami mengangkat penelitian berjudul PEMBELAJARAN SHALAWAT WAHIDIYAH BAGI SANTRI (Studi Kasus di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo).
B. Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Pembelajaran Shalawat Wahidiyah Bagi Santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo.
C. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas dapat dirumuskan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo? 2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo? 3. Apa manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo?
5
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. 2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan apa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. 3. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan apa manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu alSyarwânî.
E. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, manfaat yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan
ilmu
pengetahuan,
khususnya
mengenai
metode
pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu alSyarwânî, sekaligus dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi pondok pesantren yang berorientasi pada pengembangan pembelajaran shalawat.
6
2. Secara Praktis Hasil penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis dan sumbangan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Dan di masa mendatang setidaknya dapat memberikan inspirasi bagi peneliti lain khususnya mahasiswa STAIN Ponorogo untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang terkait dengan penelitian ini.
F. Metode Penelitian Yang dimaksud metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan data yang diperlukan guna menjawab persoalan yang dihadapi.7 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisis induktif, dan makna merupakan hal yang esensial.8 Dan dalam hal ini, jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu suatu deskripsi intensif dan analisis fenomena
7
8
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1999), 3.
Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang-orang dan perilaku yang dapat dialami. Lihat dalam Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000), 3.
7
tertentu atau satuan sosial seperti individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Studi kasus dapat digunakan secara tepat dalam banyak bidang. Disamping itu merupakan penyelidikan secara rinci satu setting, satu subyek tunggal, satu kumpulan dokumen atau satu kejadian tertentu. 2.
Kehadiran Peneliti Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan
berperan
serta, sebab
peranan
penelitilah
yang
menentukan keseluruhan skenarionya.9 Untuk itu, dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, partisipan penuh sekaligus pengumpul data, sedangkan instrumen yang lain sebagai penunjang. 3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo. Pesantren ini didirikan tahun 2002 oleh K.H Muh. Budi Santoso SH.
4.
Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah sebagai sumber data tambahan seperti data tertulis, foto, dokumen, dan lainnya.10
9
Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek. Dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Lihat dalam Lexy Moleong, Metodologi ..., 117. 10
Lexy J. Moleong, Metodologi ..., 112.
8
5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah meliputi wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan diobservasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung. Di samping itu untuk melengkapi data, diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek). a. Teknik Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud
digunakannya
menkonstruksi
wawancara
antara
lain
adalah
1)
mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain; 2) merekonstruksi kebulatan-kebulatan sebagai yang dialami masa lalu; 3) memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; 4) memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain baik manusia maupun bukan manusia; dan 5) memverifikasi, mengubah dan memperluas
konstruksi
yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Teknik wawancara ada bermacam-macam jenisnya, diantaranya adalah: 1) wawancara pembicaraan informal 2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan 3)
9
wawancara buku terbuka.11 Disamping itu juga ada macam-macam wawancara yang lain, yaitu: 1) wawancara oleh tim atau panel, 2)wawancara tertutup dan wawancara terbuka; 3) wawancara riwayat secara lisan. Sedangkan dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah 1) wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan
beberapa
pertanyaan
secara
mendalam
yang
berhubungan dengan fokus permasalahan, sehingga dengan wawancara mendalam ini data-data bisa dikumpulkan semaksimal mungkin; 2) wawancara terbuka, artinya bahwa dalam penelitian ini
para
subyeknya
mengetahui
bahwa
mereka
sedang
diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu; 3) wawancara terstruktur, artinya bahwa dalam penelitian ini, peneliti atau pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan. Dalam penelitian ini orang-orang yang akan diwawancarai adalah pendiri, ustadz, serta para santri Pondok Pesantren alSyarwânî. Hasil wawancara dari masing-masing informan tersebut ditulis lengkap dengan kode-kode dalam transkip wawancara. b. Teknik Observasi Dalam penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menurut tiga cara. Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai
11
Ibid., 135.
10
seorang partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian. Dan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi yang pertama, dimana pengamat bertindak sebagai partisipan. Dalam observasi partisipan, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang akan diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak. Observasi partisipan dapat digolongkan menjadi empat, yaitu partisipasi pasif, partisipasi moderat, partisipasi aktif, dan partisipasi lengkap. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan partisipasi pasif. Jadi dalam hal ini peneliti datang ke tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut dalam kegiatan tersebut.12 Hasil observasi dalam penelitian ini, dicatat dalam catatan lapangan (fieldnote), sebab catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengandalkan pengamatan dan wawancara
12
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian..., 310-312.
11
dalam pengumpulan data di lapangan. Pada waktu di lapangan dia membuat “catatan”, setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal barulah menyusun “catatan lapangan”. 13 Pada dasarnya catatan lapangan berisi dua bagian. Pertama bagian diskriptif yang berisi gambaran tentang diri subyek, rekonstruksi dialog, diskripsi latar fisik, catatan tentang peristiwa khusus, dan perilaku pengamat. Kedua, bagian reflektif yang berisi kerangka berfikir dan pendapat peneliti, gagasan, dan kepeduliannya.14 c. Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. Rekaman sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenuhi accounting.15 Sedangkan dokumen digunakan dengan tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto, dan sebagainya. Teknik
dokumentasi ini sengaja digunakan
dalam
penelitian ini, mengingat 1) sumber ini selalu tersedia dan murah terutama ditinjau dari konsumsi waktu; 2) rekaman dan dokumen
13
Ibid., 153-154. Ibid., 156-157. 15 Sugijono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2006), 329. 14
12
merupakan sumber informasi yang stabil, baik keakuratannya dalam merefleksikan situasi yang terjadi di masa lampau, maupun dapat dianalisis kembali tanpa mengalami perubahan; 3) rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang kaya, secara konstektual relevan dan mendasar dalam konteksnya; 4) sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas. Hasil pengumpulan data melalui cara dokumentasi ini, dicatat dalam format transkip dokumentasi. 6.
Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Analisis data kualitatif bersifat induktif yaitu semua analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotetis. Berdasarkan hipotesis tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Setelah data terkumpul, data yang ada dianalisis dengan analisis model interaktif yang dikembangkan oleh Miles & Huberman (1992) adalah sebagai berikut:
13
Data Collection
Data Display
Data Reduction
Conclusion Drawing (Verivication)
Keterangan: a. Reduksi Data (Data Reduction) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.16 Berkaitan dengan tema ini, setelah data-data terkumpul yang berkaitan dengan masalah pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî, dipilih yang penting dan difokuskan pada pokok permasalahan. b. Penyajian Data (Data Display) Data yang direduksi, selanjutnya disajikan berupa data. Penyajian data adalah menguraikan data dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data ini tujuannya adalah memudahkan pemahaman terhadap apa yang diteliti dan bisa segera dilanjutkan berdasarkan penyajian yang telah dipahami.
16
Ibid., 29.
14
Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi. c. Verifikasi (Conclusion Drawing) Langkah
ketiga
yaitu
mengambil
kesimpulan.
Kesimpulan dalam penelitian ini mengungkap temuan berupa hasil deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih kurang jelas dan apa adanya kemudian diteliti menjadi lebih jelas dan diambil kesimpulan. Kesimpulan ini untuk menjawab rumusan masalah yang dirumuskan di awal.17 7.
Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data
merupakan konsep penting
yang
diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan kehandalan (reliabilitas),18 derajat kepercayaan keabsahan data (kredebilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun, dan triangulasi. Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari. Ketekunan pengamatan ini dilaksanakan peneliti dengan cara : a) mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî, b) menelaahnya secara rinci sampai 17
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: Universitas Indonesia Pers, 1992), 16-21. 18
Moleong, Metodologi Penelitian…., 171.
15
pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan: sumber, metode, penyidik, dan teori.19 Dalam penelitian ini, menggunakan teknik triangulasi dengan sumber data, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal itu dapat dicapai peneliti dengan jalan: a) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara b) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi c) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu d) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan, e) membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
19
Ibid., 178.
16
8.
Tahapan-tahapan Penelitian Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini ada empat tahapan. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah: a. Tahap pra Lapangan, Menurut Bodgan dan Taylor (1975) bahwa desain penelitian kualitatif dilakukan sebelum ke lapangan, yakni di mana peneliti mempersiapkan diri sebelum terjun ke lapangan. Desain penelitiannya bersifat fleksibel, termasuk ketika terjun ke lapangan. Sekalipun peneliti memakai metodologi tertentu, tetapi pokokpokok pendekatan tetap dapat berubah pada waktu penelitian sudah dilakukan. Tahap pra lapangan ini meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi
dan
menilai
keadaan
lapangan,
memilih
dan
memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian. b. Tahap Pekerjaan Lapangan Dengan membawa desain yang dirancang sedemikian rupa, bisa saja tidak sesuai dengan situasi nyatanya. Pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya mungkin tidak mempunyai relevansi dengan situasi objek yang diteliti. Dalam menghadapi hal ini, peneliti harus memulai membuat formulasi desain yang baru lagi (new research design) atau taktik baru lagi dan mulai
17
menyusun pertanyaan-pertanyaaan berbeda dalam berbagai hal serta meninggalkan situasi yang satu ke situasi yang lain.20 Tahapan ini meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan, dan berperan serta sambil mengumpulkan data. c. Tahap Analisis Data Tahap ini meliputi: analisis
selama dan setelah
pengumpulan data, pada bagian tahap analisa data ini terdiri dari: 1). Konsep Dasar Analisis Data Hal ini akan mempersoalkan pengertian, waktu pelaksanaan, maksud, tujuan, dan kedudukan analisis data. 2). Menemukan Tema dan Merumuskan Hipotesis Sejak menganalisis data di lapangan, peneliti sudah mulai menemukan tema dan hipotesis. Namun analisis yang dilakukan lebih intensif, tema dan hipotesis lebih diperkaya, diperdalam dan lebih ditelaah lagi dengan menggabungkannya dengan data dari sumber-sumber lainnya. 3). Menganalisis Berdasarkan Hipotesis Sesudah
menformulasikan
hipotesis,
peneliti
mengalihkan pekerjaan analisisnya dengan mencari dan menemukan apakah hipotesis itu didukung atau ditunjang oleh
20
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif (Malang: Kalimasahada, 1996), 40-41.
18
data yang benar. Dalam hal demikian, peneliti akan mengubah atau membuang beberapa hipotesis. d. Tahap Penulisan Hasil Laporan Penelitian Penulisan laporan hasil penelitian tidak terlepas dari keseluruhan
tahapan
kegiatan
dan
unsur-unsur
penelitian.
Kemampuan melaporkan hasil penelitian merupakan suatu tuntutan mutlak bagi peneliti. Dalam hal ini peneliti hendaknya tetap berpegang teguh pada etika penelitian, sehingga ia membuat laporan apa adanya, objektif, walaupun dalam banyak hal ia akan mengalami kesulitan.21 G. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan penulisan skripsi maka pembahasan dalam laporan penelitian ini penulis kelompokan menjadi lima bab yang masing masing bab terdiri dari sub-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika dan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I: Merupakan gambaran umum untuk memberikan pola pemikiran bagi seluruh laporan penelitian meliputi latar belakang masalah yang berisi desain dan pembagian masalah, alasan mengapa masalah ini diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori atau telaah pustaka, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
21
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..., 215-216.
19
Bab II: Berisi pembahasan tentang pengertian pembelajaran, ciri-ciri, faktor pendukung dan penghambat pembelajaran serta konsep ajaran Shalawat Wahidiyah. Bab III: Berisi tentang paparan data dan lokasi penelitian yang terdiri dari data geografis, sejarah singkat, proses pembelajaran, kendala, dan manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Ngrupit Jenangan Ponorogo. Bab IV: Berisi analisis terhadap proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah, kendala yang dihadapi, dan manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. Bab V: Merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan, dan saran.
20
BAB II KONSEP PEMBELAJARAN SHALAWAT WAHIDIYAH
A. Konsep Pembelajaran 1. Pengertian Pembelajaran Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar, dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas.22 Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari peserta didik, guru, dan tenaga lainnya, misalnya laboratorium. Sedangkan yang bersifat material meliputi: buku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audiovisual, dan komputer. Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.23 2. Ciri-ciri Pembelajaran 22
Pembelajaran disebut juga sebagai proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui media tertentu ke penerima pesan. Pesan tersebut berupa materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum, sedangkan sumbernya meliputi guru, peserta didik, maupun penulis buku. Sedangkan penerima pesannya adalah peserta didik atau juga guru. Lihat Arief S Sadiman dkk, Media Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), 11. Lihat juga Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1994), 44. 23 Ibid., 57.
20
21
Menurut Edi Suardi seperti yang dikutip oleh Saiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa sebagai suatu proses pengaturan, kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu yaitu: a.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru berperan sebagai pembimbing.
b. Memiliki tujuan, yakni untuk membentuk peserta didik dalam suatu perkembangan tertentu. c. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. d. Evaluasi.24 3. Faktor yang Mendukung dan Menghambat Pembelajaran. Dalam proses pembelajaran tidak akan terlepas dari faktor pendukung dan penghambat. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam proses pembelajaran tersebut adalah: a. Faktor yang Mendukung Pembelajaran 1) Tujuan Tujuan
merupakan
dasar
untuk
mengukur
hasil
pembelajaran, dan juga menjadi landasan untuk menentukan isi pelajaran dan metode mengajar, dengan kata lain bahwa tujuan merupakan hal yang sangat penting untuk menilai hasil pembelajaran,
bahkan
dapat
digunakan
sebagai
instrumen
pengukuran. Tujuan pembelajaran hendaknya memenuhi kriteria
24
48.
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 46-
22
kondisi untuk belajar, rumusan tingkah laku, dan ukuran minimal tingkah laku yang diinginkan.25 2) Kurikulum Kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan bagi peserta didik. Berdasarkan program pendidikan tersebut peserta didik melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.26 Dengan program tersebut, sekolah/lembaga pendidikan menyediakan lingkungan pendidikan bagi peserta didik untuk berkembang. Itu sebabnya, kurikulum disusun sedemikian rupa yang memungkinkan peserta didik melakukan beraneka ragam kegiatan belajar. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran,
namun
meliputi
segala
sesuatu
yang
dapat
mempengaruhi perkembangan peserta didik, seperti; bangunan sekolah, perlengkapan sekolah, perpustakaan, gambar-gambar, dan lain-lain.
3) Bahan pelajaran Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan terjadi. Karena itu, guru yang akan 25 26
Oemar Hamalik, Kurikulum…, 77. Ibid., 65.
23
mengajar memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikan pada peserta didik, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran penunjang. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan kualifikasinya (disiplin keilmuannya). Sedangkan bahan pelajaran penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.27 4) Kegiatan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran adalah inti kegiatan dalam proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini akan melibatkan semua komponen pembelajaran yang meliputi tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, dan evaluasi . Kegiatan pembelajaran akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Dalam
kegiatan
pembelajaran,
guru
sebaiknya
memperhatikan perbedaan individu peserta didik, yaitu pada aspek biologis, intelektual dan psikologis. Kerangka berfikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada peserta didik. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut akan menjadikan hubungan yang sehat antara guru dengan peserta
27
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar…, 50.
24
didik. Ada beberapa pendekatan yang diharapkan dapat membantu guru dalam memecahkan berbagai masalah dalam kegiatan pembelajaran yaitu:28 a) Pendekatan Edukatif Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik peserta didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama. b) Pendekatan Pengalaman Pengalaman adalah guru yang tidak pernah marah. Pengalaman adalah guru tanpa jiwa namun selalu dicari oleh siapa pun juga. Meskipun pengalaman diperlukan dan selalu dicari selama hidup, namun tidak semua pengalaman dapat bersifat mendidik, karena ada pengalaman yang tidak mendidik. Suatu pengalaman dikatakan tidak mendidik, jika guru tidak membawa peserta didik ke arah tujuan pendidikan. c) Pendekatan Pembiasaan Pembiasaan adalah alat pendidikan. Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan ini sangat penting. Karena dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik 28
Pendekatan adalah konsep dasar yang mewadahi, menginsipirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode pembelajaran. Jadi, dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan jabaran dari pendekatan. Lihat Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar..., 61-93.
25
peserta didik di kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk manusia yang berkepribadian baik, sebaliknya pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok yang berkepribadian buruk. d) Pendekatan Emosional Emosi mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan
kepribadian
seseorang.
Itulah
sebabnya
pendekatan emosional yang berdasarkan emosi atau perasaan dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran. Pendekatan emosional yang dimaksud di sini adalah suatu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam
meyakini,
memahami,
dan
menghayati
ajaran
agamanya.
e) Pendekatan Rasional Manusia
adalah
makhluk
yang
sempurna
yang
diciptakan oleh Tuhan. Manusia mempunyai akal sehingga membedakan dengan makhluk yang lainnya. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan perbuatan mana yang baik dan perbuatan mana yang buruk.
26
Karena keampuhan akal (rasio) inilah akhirnya dijadikan pendekatan yang disebut pendekatan rasional guna kepentingan pembelajaran.29 5) Metode Metode berasal dari bahasa Yunani ”Metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu ”metho” yang berarti melalui atau melewati dan ”hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.30 Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif, dan dapat dicerna dengan baik.31 Sebagai salah satu komponen pembelajaran, metode menempati peranan yang sangat penting. Pendidikan dalam pelaksanaannya
membutuhkan
metode
yang
tepat
untuk
mengantarkan kegiatan pembelajarannya ke arah tujuan yang dicita-citakan, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikan kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam pemilihan metode secara praktis akan menghambat proses pembelajaran yang akan
29 30
Ibid., 62. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodolagi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,
2002), 40.
31
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 184.
27
mengakibatkan terbuangnya waktu dan tenaga.32 Kejelasan tentang metode-metode yang dapat dipakai dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: a) Metode Pembiasaan Metode pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan siswa berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan tujuan awal yang hendak dicapai. Metode ini sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang masih berusia dini, karena memiliki rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari.33
b) Metode Keteladanan Metode keteladanan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada peserta didik agar dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang
32
baik.34
Secara
historis,
dapat
dicermati
bahwa
Basyiruddin Usman, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Ciputat Press,
2002), 10.
33
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 110. 34 Ibid., 116-120.
28
keberhasilan pendidikan jaman Rasulullah Saw salah satunya adalah keteladanan beliau. c) Metode Ceramah Metode ceramah adalah suatu teknik penyampaian sebuah materi pelajaran dengan penuturan lisan kepada peserta didik.35 Dalam hal ini hubungan antara guru dengan peserta didik banyak menggunakan bahasa lisan. Guru menerangkan secara aktif, sedangkan peserta didik
mendengarkan dan
mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang diterangkan oleh guru.36 d) Metode Latihan/Drill Metode Latihan/Drill adalah suatu metode dalam pembelajaran dengan jalan melatih peserta didik terhadap bahan pelajaran yang telah diberikan. Ciri khas dari metode ini adalah kegiatan yang berupa pengulangan berkali-kali dari hal yang sama. Dengan demikian, terbentuklah ketrampilan yang setiap saat siap digunakan oleh yang bersangkutan.37 6) Sumber Pelajaran Sumber
belajar
adalah
segala
sesuatu
yang
dapat
dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pelajaran terdapat asal usul belajar seseorang. Sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan bagi peserta didik, yang pada 35
Basyiruddin Usman, Metodologi…, 34. Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar…,109. 37 Ibid., 55-59 36
29
hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan).38 7) Evaluasi Secara etimologi evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti menilai. Selanjutnya istilah evaluasi dipakai dalam berbagai disiplin ilmu tak terkecuali ilmu pendidikan.39Evaluasi dalam pendidikan adalah pengambilan sebuah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. a) Prinsip-prinsip Evaluasi40 (1) Prinsip Berkelanjutan Prinsip ini dimaksudkan bahwa evaluasi tidak hanya dilakukan sekali dalam satu jenjang pendidikan, tetapi harus dilakukan setiap saat dan setiap waktu pada saat membuka pelajaran, menyajikan materi apalagi mencakup pelajaran, ditambah lagi pemberian tugas yang harus diselesaikan siswa. (2) Prinsip Universal Prinsip ini maksudnya adalah evaluasi hendaknya dilakukan untuk semua aspek sasaran pendidikan, baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
38
Ibid., 55. Armai Arief, Pengantar…, 54. 40 Ibid., 56-57. 39
30
(3) Prinsip Keikhlasan Pendidikan tidak hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan peserta didik, tetapi juga dapat menunjukkan jalan keluarnya sehingga peserta didik tidak merasa bahwa ia dipersulit oleh guru. b) Cara dan Teknik Evaluasi 1) Cara Evaluasi Didalam evaluasi ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu: (a). Cara kuantitatif (evaluasi dalam bentuk angka) seperti evaluasi dengan skala 1-10 atau 10-100. (b). Cara kualitatif (berbentuk pernyataan) seperti baik, cukup, sedang, dan kurang.
2) Teknik Evaluasi Teknik evaluasi dalam pembelajaran di sekolah dapat berbentuk: (a). Teknik tes, digunakan untuk menilai kemampuan peserta didik yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan bakat. Bentuk-bentuk tes tersebut antara lain; essay test, obyective test, true-false.
31
(b). Teknik nontes, digunakan untuk menilai sikap, minat, dan kepribadian peserta didik.41 b.
Faktor yang Menghambat Pembelajaran Sukses tidaknya pembelajaran tergantung pada faktor-faktor yang mendukung dalam proses pembelajaran. Sebaliknya pembelajaran tidak akan sukses apabila ada faktor-faktor penghambat di dalamnya. Faktorfaktornya dibagi dua yaitu internal dan eksternal. 1) Faktor internal a) Pendekatan metodologi guru monoton, sehingga kurang menarik minat siswa. b) Kurangnya waktu persiapan guru dalam pengajaran karena faktor kesibukan yang lain. c) Guru kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional.42 2) Faktor eksternal a) Timbulnya sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah kurang menyadari tentang pendidikan terutama pendidikan agama. b) Situasi lingkungan sekolah dipengaruhi godaan-godaan dalam berbagai bentuk. c) Timbulnya sikap frustasi di kalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan yang diperoleh tidak akan menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
41 Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 109. 42 Djamaluddin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 18.
32
Dari berbagai problem di atas dapat diketahui bahwa sebagai faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran tidak hanya datang dari satu sumber, akan tetapi dari berbagai sumber, seperti guru, peserta didik, keluarga, lingkungan, ataupun faktor fasilitas yang semuanya itu memerlukan suatu pemecahan sehingga pembelajaran dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
B. Shalawat Wahidiyah 1. Dasar Hukum dan Tatakrama Membaca Shalawat Dasar hukum membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw adalah firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 56 yaitu: 43
ϵø‹n=tã (#θ=|¹ (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ 4 ÄcÉ<¨Ζ9$# ’n?tã tβθ=|Áム…çµtGx6Í×‾≈n=tΒuρ ©!$# ¨βÎ) ∩∈∉∪ $¸ϑŠÎ=ó¡n@ (#θßϑÏk=y™uρ Artinya:“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. al-Ahzab: 56). Dalam hadits nabi juga disebutkan, yaitu: 44
qُ ) َر َو. ًةp َ] َ \ Q RَX َ Pُهaُ bَ اَآdِ eَ _َWfِ g َم اiَj \k س ِ _َmg\ اg اَو:PQRS َ َوVِ WَRX َ Z ُ \ اQR] َ ل َ _َOَ .(دiُtuَe v ُ k اvَX يxeaّzgا Artinya: ”Rasulullah Saw bersabda: Manusia yang lebih utama di sisiku besok pada hari kiamat ialah mereka yang lebih banyak membaca shalawat kepadaku”. (HR. at-Tirmidzi dari Ibn Mas’ud). 43 44
Al-Qur'an, 33: 56. Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi,hadits nomor 446, pada kitab (bab) ash-Shalah.
33
Adapun hukum membaca shalawat, terdapat beberapa pendapat para ulama. Ada ulama yang mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya wajib bi al-ijmâl, ada yang mengatakan wajib satu kali seumur hidup, dan ada yang mengatakan sunnah. Akan tetapi, pendapat tentang hukum membaca shalawat yang paling populer adalah sunnah muakkadah, kecuali membaca shalawat pada tahiyat akhir dalam shalat. Dalam ajaran Wahidiyah, shalawat dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw adalah dalam rangka menambah rahmat dan ta’zhim (kasih sayang dan sifat memuliakan), sedangkan kepada selain Nabi Muhammad adalah dalam upaya menambah rahmat dan maghfirah (kasih sayang dan ampunan). Bagi pengamal Shalawat Wahidiyah, hal yang paling penting adalah memperhatikan adab ketika membaca shalawat, yang meliputi niat dengan
ikhlas
beribadah
kepada
Allah
tanpa
pamrih,
ta’zhim
(mengagungkan), dan mahabbah (mencintai) Rasulullah, hati hudhûr kepada Allah dan îstihdhâr (merasa berada di hadapan Rasulullah, dan tawadhu’ (merendahkan diri), iftiqâr (merasa butuh sekali) kepada pertolongan Allah, butuh sekali terhadap syafa’at atau bantuan (moril) dari Rasulullah.45
45
Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Shalawat Wahidiyah, Kuliah Wahidiyah untuk Menjernihkan Hati dan Ma'rifat Billâh wa Birasulihi (Jombang: Sekretariat Pesantren "AtTahdzib" Rejo Agung, 1993), 146.
34
Ada banyak keutamaan dan manfaat membaca shalawat kepada Rasulullah Saw diantaranya adalah: a. Shalawat sebagai pengawal doa, keridhaan, dan pembersih amal perbuatan. b. Shalawat Sebagai pembuka hijab doa sekaligus bisa menyebabkan terkabulnya hajat di dunia dan akhirat. c. Dimintakan ampun oleh malaikat bagi penulis shalawat. 46 2. Macam-macam Shalawat Shalawat kepada nabi Muhammad Saw memiliki beraneka macam bentuk atau redaksi dan dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu: a. Shalawat Ma’tsûrah Shalawat ma’tsûrah adalah shalawat yang redaksinya langsung diajarkan oleh Rasulullah Saw. Salah satu contohnya adalah Shalawat Ibrahimiyah, seperti yang dibaca dalam tasyahud akhir dalam shalat. 47 Shalawat ini tidak menggunakan kata sayyidinâ, memang semua shalawat ma’tsûrah tidak memakai kata tersebut. Ini menunjukkan keluhuran budi Rasulullah Saw yang tidak mau menonjolkan diri. Rasulullah selalu ber-tawadhu’(sopan santun dan lemah lembut) kepada siapapun, suatu sikap budi luhur yang seharusnya ditiru oleh umatnya.
46
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2008),126-128. 47 Dewan pimpinan pusat penyiar Shalawat Wahidiyah, Kuliah Wahidiyah…, 55.
35
b. Shalawat Ghairu Ma’tsûrah Shalawat ghairu ma’tsûrah adalah shalawat yang tidak disusun oleh Nabi Muhammad Saw sendiri, tetapi disusun oleh para sahabat, tâbi’în, shâlihîn, auliyâ’, para ulama, atau yang lainnya dari kalangan umat Islam.48 Pada umumnya, redaksi shalawat ini panjang, susunan bahasanya disertai dengan kata-kata indah yang mengekspresikan penghormatan, pujian, dan sanjungan sebagai cetusan dari getaran jiwa mahabbah (cinta) dan syauq (rindu yang mendalam). Diantara shalawat-shalawat ghairu ma’tsûrah adalah; shalawat munjiyat, shalawat nariyyah, shalawat burdah, shalawat badawi, shalawat badar, shalawat masyisyiyyah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagian besar shalawat ghairu ma’tsûrah mengandung berbagai macam ajaran dan bimbingan. Ada yang mengandung ajaran bidang akhlak, bidang adab (etika), ajaran tauhid, ajaran haqîqat, ajaran ma'rifat, dan ada juga yang mengandung ajaran syari'at. Shalawat Wahidiyah juga mengandung ajaran yang meliputi bidang-bidang Haqîqat, syari'at, akhlak (adab), tauhid, iman, Islam, dan ihsan. Shalawat Wahidiyah memberikan bimbingan praktis di dalam merealisasikan pelaksanaaan habl min Allâh wa habl min al-nâs. Shalawat Wahidiyah termasuk shalawat ghairu ma’tsurah yang disusun oleh KH. Abdoel Madjid Ma'roef. Di dalam Shalawat Wahidiyah setidaknya ada 4 karakter, yakni:
48
Ibid., 58.
36
1) Sebagaimana tertulis di dalam lembaran Shalawat Wahidiyah, ia merupakan rangkaian doa shalawat Nabi, termasuk tata cara maupun adab pengamalannya. 2) Merupakan suatu obat bagi penyakit-penyakit batiniah yang hanya bisa dirasakan reaksinya dalam batin seseorang jika diamalkan. Tidak cukup hanya dipelajari atau diketahui komposisi dan kegunaannya. 3) Di dalamnya terdapat doa-doa permohonan agar diberi keimanan (ketauhidan) dan kesadaran kepada Allah yang disertai bimbingan billâh untuk merealisasikan keteladanan Rasulullah sebagai pengentas umat dari kegelapan syirik. 4) Merupakan rangkuman shalawat Nabi, seperti shalawat-shalawat yang boleh diamalkan oleh siapa saja tanpa disyaratkan adanya sanad atau silsilah seperti yang berlaku dalam amalan tarekat. Di dalamnya mempunyai sistem ajaran dan bimbingan praktis yang disebut ajaran Wahidiyah.49 3. Panca Ajaran Pokok Wahidiyah Yang dimaksud dengan ajaran Wahidiyah adalah "bimbingan praktis lahir dan batin di dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah, yang meliputi bidang Haqîqat dan syari'at, mencakup peningkatan iman, pelaksanaan Islam, dan perwujudan ihsan serta pembentukan moral (akhlak)". Komposisi ini secara rinci meliputi lima hal, yakni: a.
49
Peningkatan iman menuju kesadaran atau ma'rifat kepada Allah.
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural…, 157.
37
b.
Pelaksanaan Islam sebagai realisasi dari ketaqwaan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
c.
Perwujudan ihsan sebagai manifestasi dari iman dan Islam yang sempurna.
d.
Pembentukan moral (akhlak) untuk mewujudkan akhlak yang mulia (al-akhlak al-karîmah).
e.
Bimbingan praktis lahiriah dan batiniah dalam memanfaatkan potensi lahiriah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniah (spiritual) yang seimbang dan serasi.50 Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bimbingan
praktis dalam ajaran Wahidiyah meliputi segala aktifitas hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah dan rasul-Nya. Hubungan mausia dengan keluarga, bangsa, negara, agama, sesama umat manusia, dan semua makhluk hidup. Secara ringkas, ajaran Wahidiyah tersebut dapat dirumuskan menjadi lima, yakni: lillâh-billâh, li al-rasûl bi al-rasûl, li al-ghauts bi alghauts, yu'tî kulla dzî haqqin haqqah, dan taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al-anfa' fa al-anfa'. 1) Lillâh-Billâh a) Lillâh Pengertian lillâh adalah melaksanakan segala amal perbuatan seraya disertai niat beribadah kepada Allah dengan ikhlas tanpa
50
Ibid., 158.
38
pamrih.51 Dengan menyertakan niat tersebut, maka perbuatan yang kita lakukan akan tercatat sebagai amal ibadah. Perlu ditegaskan pula bahwa perbuatan yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah lillâh terbatas hanya pada perbuatan yang tidak terlarang agama.
b) Billâh Billâh mengandung makna bahwa dalam segala perbuatan dan gerak-gerik lahir maupun batin, dimanapun dan kapanpun, hati senantiasa merasa dan berkeyakinan bahwa yang menciptakan dan mengatur semua adalah Allah Yang Maha Mencipta.52 manusia dilarang mengaku atau merasa mempunyai kekuatan dan kemampuan sendiri tanpa dititahkan oleh Allah. Dengan demikian, billâh dikatakan merupakan perwujudan dari ungkapan; lahaula wa lâ quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Allah). c) Lillâh-Billâh Semua orang
yang
beragama, sama-sama
dikaruniai
kemampuan oleh Allah untuk dapat menerapkan ajaran lillâhbillâh. Dalam arti bukan dalam suatu ritual keagamaan, melainkan dalam keseragaman sikap hati manusia beragama atau manusia yang beriman kepada Tuhan. Jadi, lillâh-billâh seharusnya menjadi 51 52
Dewan Pimpinan Pusat, Kuliah Wahidiyah…, 91. Ibid., 160.
39
uniform bagi hati setiap manusia yang menyatakan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.53 Menurut ajaran Wahidiyah, penjelasan ilmiah atau teoretis konsep lillâh-billâh sangat mudah untuk dipelajari. Akan tetapi, penerapannya perlu perhatian yang khusus dan serius. Penerapan konsep lillâh-billâh digerakkan dan dituntun oleh petunjuk (hidayah) dari Allah. Hidayah Allah inilah yang akan menentukan keselamatan hidup umat manusia. Jika seseorang mendapat hidayah dari Allah niscaya dia akan selamat dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak mendapat hidayah dari Allah, maka dia tidak memperoleh syafa'at dari Rasulullah sehingga ia akan sukar menerapkan konsep lillâhbillâh. Oleh karena itu, umat manusia disamping perlu mempelajari ilmu pengetahuan, juga harus berusaha untuk bisa memperoleh hidayah Allah. Adapun salah satu caranya, dalam perspektif Wahidiyah adalah dengan melakukan mujahadah. Pengertian mujahadah secara umum adalah berjuang, bersungguh-sungguh atau berperang melawan musuh. Di dalam Wahidiyah yang dimaksud mujahadah adalah bersungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu untuk diarahkan kepada kesadaran-kesadaran "fafirruu ilallahi wa rasulihi".54
53 54
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural…, 165. Sokhi Huda, Tasawuf Kultural…, 193.
40
Bagi semua orang yang akan melakukan mujahadah Wahidiyah, maka dia harus memenuhi etika atau adab bermujahadah. Adapun adab ber-mujahadah adalah sebagai berikut:55 (1 ) Harus dijiwai perasaan lillâh-billâh, li al-rasûl bi al-rasûl, li al-lghauts bi al-lghauts. (2 ) Hatinya harus hudhûr (berkonsentrasi) kepada Allah. (3 ) Istihdhâr, yakni merasa hadir di hadapan Rasulullah dan ghaust dengan ketulusan hati, ta'dhim (memuliakan) dan mahabbah (mencintai) sedalam-dalamnya dan semurnimurninya. (4 ) Tadzallul, merendahkan diri, merasa hina sehina-hinanya akibat perbuatan dosanya. (5 ) Tadhallum, merasa penuh berlumuran dosa dan banyak berbuat dhalim. Dhalim dan dosa terhadap Allah Swt, ghauts hâdza al-zamân, terhadap orang tua, anak, keluarga, saudara, tetangga, bangsa, negara, dan sebagainya. (6 ) Iftiqar, merasa memerlukan sekali, memerlukan maghfirah atau ampunan, perlindungan dan taufik hidayah Allah Swt. Butuh syafa'at tarbiyah Rasulullah Saw, butuh terhadap barakah nadzrah dan doa restu ghauts hâdza al-zamân. (7 ) Jika mengalami suatu pengalaman batin, tangis, dan jeritan. Apabila 55
masih
bisa
dikuasai
supaya
dikuasai
dan
Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Shalawat Wahidiyah, Tuntunan Mujahadah dan Acaraacara Wahidiyah (Jombang: Sekretariat: Pesantren "At-Tahdzib" Rejoagung, 1993), 4.
41
dimanfaatkan sekuat mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Mujahadah tidak hanya satu macam saja akan tetapi ada bermacam-macam
dan
penggunaannya
disesuaikan
dengan
kebutuhan. Macam-macamnya adalah sebagai berikut;56 (1 ) Mujahadah pengamalan empat puluh hari/tujuh hari, dapat dilakukan sendiri-sendiri tetapi lebih dianjurkan berjama'ah sekeluarga, satu kampung/lingkungan. (2 ) Mujahadah yaumiyyah (harian), dilaksanakan setiap hari setelah mujahadah pengamalan empat puluh hari/tujuh hari, paling sedikit satu kali dalam sehari semalam. (3 ) Mujahadah keluarga adalah mujahadah berjama'ah seluruh keluarga. Apabila situasi mengizinkan dianjurkan untuk dilaksanakan tiap hari, akan tetapi kalau tidak memungkinkan maka setidak-tidaknya seminggu sekali atau dua minggu sekali, atau tiap bulan sekali. (4 ) Mujahadah usbu'iyyah, dilaksanakan seminggu sekali oleh seluruh pengamal Wahidiyah satu kampung/desa/kelurahan, sekalipun pengamalnya cuma sedikit. Misalnya dua/tiga orang.
56
Ibid., 7.
42
(5 ) Mujahadah syahriyyah, dilaksanakan tiap bulan sekali/setiap tiga puluh lima hari (Jawa: selapan) sekali oleh seluruh masyarakat Wahidiyah, se-wilayah kecamatan. (6 ) Mujahadah rubu' al-sanah (triwulan), dilaksanakan setiap tiga bulan sekali oleh seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah sewilayah. (7 ) Mujahadah nisf al-sanah, dilaksanakan setiap enam bulan sekali oleh seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah se-wilayah propinsi/daerah istimewa dengan mengundang masyarakat umum. (8 ) Mujahadah kubra Wahidiyah, dilaksanakan setahun dua kali yang diikuti oleh seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah. (9 ) Mujahadah khusus, adalah mujahadah yang dilakukan secara khusus dengan aurad (cara, bilangan, atau bacaan) yang khusus pula yang diberikan/diijazahkan oleh Muallif Shalawat Wahidiyah. 2) Li al-Rasûl bi al-Rasûl a) Li al-Rasûl Pengertian li al-rasûl adalah bahwa segala amal ibadah kita di samping harus disertai niat karena Allah, juga harus disertai dengan niat mengikuti tuntunan Rasulullah Saw.57 Dengan demikian, seluruh tindakan selama tidak bertentangan dengan
57
Ibid., 167.
43
syari'at harus diniati secara ganda, yakni niat lillâh dan niat li alrasûl. Penerapan konsep li al-rasûl juga merupakan cara untuk berhubungan atau berkonsultasi batin dengan Rasul (ta'alluq bi janâbihi). Dengan menerapkan konsep li al-rasûl (di samping tentunya juga niat lillâh secara terus-menerus) maka lama kelamaan hati akan seperti mengikuti Rasulullah atau seperti bersama-sama dengannya dimana saja kita berada, terutama ketika sedang menjalankan amal-amal ibadah. b) Bi al-Rasûl Bi al-rasûl termasuk bidang hakikat seperti halnya dengan billâh, sekalipun dalam penerapanya ada perbedaan. Sedangkan lillâh dan li al-rasûl adalah bidang syari'at. Bi al-rasûl adalah kesadaran hati bahwa segala sesuatu termasuk diri dan juga gerak-gerik, lahir maupun batin adalah berkat jasa Rasulullah Saw. Berbeda dengan konsep billâh yang bersifat mutlak, penerapan bi al-rasûl bersifat terbatas. Terbatas hanya pada hal-hal yang diridhai oleh Allah dan rasul-Nya.58 Dengan demikian, ketika melakukan maksiat, tidak boleh merasa bi al-rasûl, namun sebaliknya harus tetap merasa billâh. c) Li al-Rasûl bi al-Rasûl Penerapan konsep li al-rasûl bi al-rasûl bersifat terbatas, tidak universal seperti halnya konsep lillâh-billâh, dalam arti ia
58
Dewan Pimpinan Pusat, Kuliah Wahidiyah…, 110.
44
hanya dapat dilakukan oleh orang yang beragama Islam saja. Umat dari agama lain mungkin ada halangan dalam menerapkannya.59 Umat Islam wajib menerapkan konsep li al-rasûl bi al-rasûl dalam kehidupannya, disamping juga menerapkan konsep lillâhbillâh, sebagai konsekuensi batiniah selaku umat Rasulullah. Konsep lillâh-billâh dan li al-rasûl bi al-rasûl merupakan realisasi praktis dari dua kalimat syahadat. Dengan demikian, orang yang senantiasa menerapkan konsep lillâh-billâh dan li al-rasûl bi alrasûl
berarti
hatinya
senantiasa
musyâhadah
tauhîd
dan
musyâhadah risâlah. 3) Li al-Ghauts bi al-Ghauts Tumbuhnya kesadaran akan hadirnya Allah dan rasul-Nya (lillâh-billâh dan li al-rasûl bi al-rasûl) dalam kehidupan umat manusia adalah berkat petunjuk (hidayah) Allah. Untuk memperoleh hidayah ini diperlukan bimbingan dari orang yang sudah ahli dan berpengalaman serta mempunyai kompetensi, yaitu orang yang menerima tugas dari Allah untuk membimbing masyarakat dalam perjalanan wushul dan ma'rifat kepada Allah dan rasul-Nya. Di dalam tasawuf, pembimbing tersebut dikenal sebagai mursyid atau ghauts yang kâmil dan mukâmmil, yakni orang yang sudah sempurna dan mampu menyempurnakan orang lain.60
59 60
Ibid., 112-113. Sokhi Huda, Tasawuf Kultural…, 171.
45
Dalam ajaran Wahidiyah ada keyakinan bahwa al-ghauts adalah priyagung (tokoh terhormat) yang berkompeten mengantarkan dan membimbing masyarakat menuju sadar kepada Allah dan rasulNya. Oleh karena itu, para pengamal Wahidiyah dan masyarakat pelaku spiritual (sâlikin) pada umumnya perlu dan harus mengadakan hubungan dengan al-ghauts, terutama hubungan secara batiniah. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan konsep li al-ghauts bi alghauts di dalam hati. a) Li al-Ghauts Cara menerapkan konsep li al-ghauts sama dengan menerapkan konsep lillâh dan li al-rasûl, yakni selain niat ikhlas semata-mata karena Allah (lillâh) dan niat mengikuti tuntunan Rasulullah (li al-rasûl), juga harus dibarengi niat mengikuti bimbingan ghauts hâdza az-zamân (li al-ghauts). Ini adalah amalan hati dan tidak mengubah ketentuan-ketentuan lain di bidang syari'at, serta terbatas hanya pada soal-soal yang diridhai Allah dan rasul-Nya. Hal-hal yang terlarang, seperti maksiat, sama sekali tidak boleh disertai dengan niat li al-ghauts.61
b) Bi al-Ghauts Cara menerapkan konsep bi al-ghauts juga sama dengan cara menerapkan konsep bi al-rasûl, yaitu menyadari dan merasa
61
Ibid.
46
bahwa kita senantiasa mendapat bimbingan ruhani dari al-ghauts. Sesungguhnya bimbingan ruhani darinya selalu memancar kepada seluruh umat, baik disadari maupun tidak. Sebab, bimbingan alghauts itulah yang menuntun kita kembali kepada Allah dan rasulNya, yang selalu memancar secara otomatis sebagai ”butir-butir mutiara” yang keluar dari lubuk hati seorang yang berakhlak dengan akhlaknya rasul. 4) Yu'tî Kulla Dzî Haqqin Haqqah Ungkapan yu'tî kulla dzî haqqin haqqah mengandung makna bahwa segala kewajiban harus dipenuhi dan bersikap lebih mengutamakan kewajiban daripada hak, baik kewajiban terhadap Allah dan rasul-Nya maupun kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan masyarakat di segala bidang dan terhadap makhluk pada umumnya.62 Contohnya adalah hubungan pemerintah dengan rakyat. Pemerintah berhak ditaati oleh rakyat, namun ia juga berkewajiban membimbing, memajukan, dan mensejahterakan rakyat. Dengan demikian, hal yang harus diutamakan oleh pemerintah adalah kewajiban membimbing, melindungi, serta memajukan rakyat. Jika kita mengacu pada konsep yu'tî kulla dzî haqqin haqqah maka yang harus diutamakan oleh rakyat adalah taat kepada pemerintah tanpa harus menuntut haknya.
62
Ibid., 173.
47
5) Taqdim al-Ahamm fa al-Ahamm Tsumma al- Anfa' fa al-Anfa'. Sering kali pengamal menjumpai lebih dari satu macam persoalan hidup yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan dan mereka tidak mampu mengerjakan secara bersamasama. Dalam keadaan seperti itu mereka harus memilih mana yang lebih penting dari dua persoalan tersebut dan itulah yang harus dikerjakan lebih dahulu. Jika kedua persoalan tersebut sama-sama penting maka yang harus didahulukan adalah yang lebih besar manfaatnya. Demikianlah yang dimaksud dengan prinsip taqdim alahamm fa al-ahamm tsumma al- anfa' fa al-anfa'.63 Untuk mendapatkan pilihan yang lebih penting (ahamm) dan yang lebih bermanfaat (anfa'), pengamal bisa menggunakan pedoman, segala hal yang berhubungan langsung dengan Allah dan rasul-Nya terutama yang wajib, pada umumya harus dipandang lebih penting. Dan segala hal yang manfaatnya dirasakan juga oleh orang lain (masyarakat banyak) maka hal itulah yang harus dipandang sebagai yang lebih besar manfaatnya.
63
Dewan Pimpinan Pusat, Kuliah Wahidiyah…, 122-123.
48
BAB III PEMBELAJARAN SHALAWAT WAHIDIYAH BAGI SANTRI
A. Paparan Data Umum 1. Kondisi Geografis Pesantren Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî merupakan pondok yang terbilang masih baru karena baru didirikan pada tanggal 28 Desember 2002. Meskipun masih baru tetapi pondok pesantren ini selalu berbenah sehingga sekarang sudah semakin berkembang. Pondok ini terletak di jalan Gambir Anom, Ngrupit, Jenangan, Ponorogo. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi pesantren ini letaknya sangat strategis karena hanya berjarak 1 kilometer dari terminal Seloaji Kabupaten Ponorogo. Semua angkutan umum yang keluar dari terminal Seloaji Ponorogo, melewati jalur utama melewati depan pondok.64 Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Kadipaten. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Babadan. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Plalangan. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kadipaten. 64
Selayang Pandang Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî, 16.
49
2. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Sejarah perjalanan pondok pesantren terpadu al-Syarwânî tidak 49 terlepas dari seorang tokoh yang bernama Syarwani. Beliau adalah tokoh yang terkenal ulet dan pemberani dalam memperjuangkan pendidikan khususnya pendidikan yang ada di Gambir Anom, dimana beliau dilahirkan dari keluarga Satari dan Sarmi dari Bani Abdul Kohar. Beliau lahir tahun 1932 di Gambir Anom. Sewaktu hidupnya, beliau selalu memperhatikan pendidikan karena sejarah mencatat pada tanggal 10 Januari 1957 beliau telah mendirikan sekolah yang diberi nama SAI (Sekolah Agama Islam). Pada saat itu beliau dibantu oleh Asropan, Parman dan Bonasir. Pada saat itu tempatnya sangat sederhana dan terletak di Gambiran. Kemudian lembaga pendidikan itu berubah menjadi MWB (Madrasah Wajib Belajar Empat Tahun) pada tahun 1960 di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1965 berubah menjadi MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan sampai sekarang lembaga tersebut berkembang dari tingkat taman kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai SLTP dalam naungan lembaga pendidikan Ma'arif. Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî didirikan pada bulan Juli 2002 oleh Budi Santoso. Bermula dari santri asuh berjumlah 38 orang yang selama ini diasuh dan sekaligus berdomisili dirumah beliau. Tanah seluas 5000 m2 (lima ribu meter persegi) mulai dibangun menjadi gedung
50
untuk sarana dan prasarana pendidikan santri yang selama ini bertempat tinggal di rumah beliau.65 Tepatnya tanggal 5 Oktober 2002, Budi Santoso menghubungi keluarga Bani Syarwani yang tediri dari Drs. Suyoto Arif, MA, Andar Dwi Rijanto, A.Md, Ir.Gatot Harsono, Mucharom, S.Ag untuk mendirikan pondok pesantren. Dan akhirnya keluarga Bani Syarwani bersama masyarakat bertekad semata-mata untuk memenuhi panggilan nurani mendirikan pondok pesantren yang diresmikan pada tanggal 28 Desember 2002 (23 Syawal 1423 H). Sejak saat itu para santri asuh yang sudah ada mulai menempati gedung baru dan mengikuti semua kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî.66 Pada perkembangannya, tepatnya pada tahun 2003 Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî mendirikan Sekolah Kejar Paket C (setingkat SLTA). Selanjutnya, pada tahun 2007 berdirilah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). 3. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan didirikannya Pondok Pesantren Terpadu alSyarwânî antara lain: a.
Menyiapkan kader muslim yang bertaqwa.
b.
Menyiapkan kader SDM yang memiliki lifeskill (spiritual dan material).
65 66
Selayang Pandang Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî,12 Ibid., 4.
51
c.
Mendidik dan mengembangkan kader/santri dalam pemahaman dan tahfidz al-Qur'an.
d.
Menyantuni santri, khususnya yatim piatu dalam kelangsungan pendidikannya.
e.
Menyantuni/mengangkat santri asuh dan dhu'afa dalam kelangsungan pendidikannya.
f.
Meningkatkan (Sumber Daya Manusia) SDM santri yang berakhlak mulia sadar pada Allah Swt dan Rasulullah Saw serta mempunyai ilmu pengetahuan serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan agamanya.67
4. Sarana dan Prasarana Pondok Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî memiliki beberapa sarana dan prasarana sebagai pendukung proses belajar mengajar. Sarana dan prasarana tersebut diantaranya adalah: No
67
Nama
Jumlah
1
Lapangan olahraga
1 (satu)
2
Lahan pertanian dan peternakan
1 (satu)
4
Masjid
1(satu)
5
Aula
1 (satu)
6
Gedung kelas
2 (dua)
7
Perpustakaan
1 (satu)
8
Tempat penyimpanan inventaris
1 (satu)
9
Kantor
1 (satu)
10
Asrama santri
2 blok (dua blok)
Selayang Pandang Pondok Pesantren Terpadu Al-Syarwânî, 2.
52
11
Perumahan ustadz
6 (enam)
12
Kamar mandi
4 (empat)
13
Ruang life skill (ruang jahit)
1 (satu)
14
Dapur umum
1 (satu)
15
Komputer
5 (lima)
16
Mesin ketik
4 (empat)
17
White board
8 (delapan)
17
Pengeras suara
6 (enam)
18
Kursi
50 (lima puluh)
Kelebihan pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî adalah transportasi yang mudah, dan pekarangannya luas. Sedangkan kekurangannya antara lain karena kurangnya perawatan fisik bangunan, laboratorium, dan perpustakaan belum difungsikan dengan baik. Upaya meningkatkan pengembangan sarana dan prasarana adalah penambahan koleksi buku, memaksimalkan lahan pertanian, dan ternak yang ada. 68 5. Keadaan Ustadz dan Santri a. Keadaan Ustadz Sampai saat ini ustadznya ada tujuh belas orang yaitu: 1) Ustadz Umar Faruq 2) Ustadz Abdul Basyir 3) Ustadz Masykur 4) Ustadz Gatot
68
Lihat transkrip dokumentasi: 05/D/21-IV/2009.
53
5) Ustadz Syaifuddin, S.Pd.I 6) Ustadzah Nika Kurniawati, S.Pd.I 7) Ustadzah Mei Hartini, S.Ag 8) Ustadzah Salimatul Uma, S.Pd.I 9) Ustadz M.Misbahuddin, S.Pd.I 10) Ustadz Nur Kholis, S.Pd.I 11) Ustadz Katimun 12) Ustadzah Umi Hanifah, S.Pd.I 13) Ustadz Muh. Anshory 14) Ustadz Muh. Jamal Mustafa, S.Pd.I 15) Ustadz Muh. Zamroni 16) Ustadz Edi Setiawan, S.Pd.I.69 b. Keadaan Santri Di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî ada dua macam santri, yaitu santri asuh dan santri non asuh. Santri asuh adalah santri yang bermukim di pondok sedangkan santri non asuh adalah santri yang tidak bermukim di pondok tetapi belajar (sekolah) dan mengaji di tempat tersebut. Pada tahun 2008/2009 jumlah santri asuh sebanyak 42 santri. Sedangkan santri non asuh sebanyak 85 santri. 70
69 70
Lihat transkrip dokumentasi: 04/D/21-IV/2009. Lihat transkrip dokumentasi: 03/D/21-IV/2009.
54
6. Daftar Kitab Daftar kitab yang diajarkan di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî adalah: 1.
Akhlâk al-Banîn jilid I,II,III.
2.
Ta'lîm al-Muta'alim
3.
‘Aqîdah al-Awâm
4.
‘Aqîdah al-Islâmiyah
5.
Syi'ir Jawa
6.
Mabâdi’ al-Fiqh Jilid I,II,III
7.
Jurûmiyah, Imriti, Mukhafadhah (Nahwu Jawa)
8.
Al-Amtsilatu al-Tashrîfiyah
9.
Kuliah Wahidiyah
10.
Tuntunan Pengamalan Mujahadah.71
7. Susunan Pengurus Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Susunan pengurus di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî adalah sebagai berikut:72 Jabatan
No
Pembina
:
2
Ketua
:
H.Muh. Budi Santoso, SH Hj. Dra. Sringatin Edi Iswahyudi Gatot Harsono Setyantoro Andar Dwi Riyanto Sunarsih Muh. Syaifullah
3
Wakil Ketua
:
M. Syaifuddin
1
71 72
Nama
Lihat transkrip dokumentasi: 02/D/0-IV/2009. Lihat transkrip dokumentasi: 01/D/20-IV/2009.
55
4
Sekretaris
:
Nur Kholis
5
Wakil Sekertaris
:
Salimatul Uma
6
Bendahara
:
Muh. Anshory
7
Wakil Bendahara
:
Nika Kurniati
8
Bidang Pengembangan dan Pelatihan Bidang Pengelolaan Pengasuhan
:
Murdianto, S.Pd.I Jamal Mustofa
:
Siti Mualifah Mei Hartini Sri Wahyuni Abdul Basyir Martoyo
9
Bidang Pengembangan Pondok Pesantren Bidang Usaha dan Ekonomi Bidang Pengembangan Sarana dan Prasarana
10 11 12
: : :
Syamsul Arief Rudi Hartono Suprapto Marsudi
B. Paparan Data khusus 1. Proses Pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren alSyarwânî Proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî dilakukan dengan beberapa cara. Karena Shalawat Wahidiyah terbagi menjadi dua bagian yakni ajaran dan amalan, maka masing-masing diberikan dengan cara yang berbeda. Ajaran Wahidiyah diberikan secara formal melalui pelajaran kewahidiyahan yang menjadi bagian dari kurikulum pelajaran di Pondok Pesantren Terpadu alSyarwânî.. Hal ini sesuai pernyataan pengasuh pondok, Ustadz Budi Santoso:
56
“Ajaran Shalawat Wahidiyah secara garis besar dapat dibagi dua, pertama ajaran Wahidiyah yang biasa disebut panca ajaran Wahidiyah, kedua amalan Wahidiyah yang disebut aurâd dan mujahadah Shalawat Wahidiyah. Masing-masing bagian itu cara mengajarkannya berbedabeda. Ajaran Wahidiyah, cara mengajarkannya harus diterangkan dulu satu-persatu di kelas. Selain itu, dalam acara mujahadah Wahidiyah ada session ceramah yang biasa disebut kuliah Wahidiyah, pada acara ini ajaran Wahidiyah juga dibahas secara mendalam. Selain lewat ceramah, saya kira kehidupan sehari-hari di pondok ini sudah menjadi contoh kongkret dan teladan dari ajaran Wahidiyah”. 73
Hal tersebut diperkuat oleh ustadz Anshory sebagai pemegang materi kewahidiyahan: “Untuk ajaran Wahidiyah diberikan lewat ceramah di kelas. Para santri diberi buku pegangan yang berisi ajaran Shalawat Wahidiyah, jadi mereka bisa mempelajarinya sendiri. Kalau ada hal yang kurang dipahami dari ajaran Wahidiyah mereka bisa bertanya saat pelajaran kewahidiyahan. Dalam acara mujahadah, ajaran Wahidiyah ini juga diulas secara lebih luas”. 74
Kyai Masykur juga menyampaikan hal senada: “Di kelas ustadz akan menerangkan materi ajaran Wahidiyah, terutama panca ajaran Wahidiyah itu. Nanti kalau ada acara mujahadah bersama, biasanya ada kuliah Wahidiyah. Di situ akan dijelaskan ajaran-ajaran Wahidiyah. Yang mengisi kuliah Wahidiyah pada mujahadah ini para pengurus dan Kyai yang sudah lama mendalami Wahidiyah, jadi lebih mendalam ulasannya”.75
Untuk memperkuat hasil wawancara, peneliti juga mengadakan observasi pada proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. Berdasarkan observasi, diketahui bahwa proses pembelajaran Wahidiyah diberikan seminggu sekali pada hari Rabu.76 Pada session ini baik ajaran Wahidiyah maupun amalannya diberikan, namun ajaran Wahidiyah mendapat porsi lebih banyak karena ajaran Wahidiyah mengandung aspek yang memerlukan proses penalaran 73
Lihat transkrip wawancara 01/1-W/F-1/25-III/2009. Lihat transkrip wawancara: 04/2-W/F-1/26-III/2009. 75 Lihat transkrip wawancara: 07/3-W/F-1/20-IV/2009 76 Lihat transkrip observasi: 03/O/F-6/30-IV/2009. 74
57
secara mendalam. Amalan Wahidiyah relatif sedikit disampaikan dalam pembelajaran karena para santri sudah banyak menguasai. Amalan Wahidiyah kurang lebih hanya satu lembar yang dengan mudah dapat dihafalkan. Selain dalam session formal, ajaran Wahidiyah ini secara non formal juga diberikan dalam acara kuliah Wahidiyah dalam rangkaian mujahadah Wahidiyah. Meski non formal, dalam mujahadah ini pembahasan materi ajaran Wahidiyah lebih luas dan mendalam karena dilakukan oleh para Kyai atau tokoh Wahidiyah. Secara umum, kehidupan di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî juga menjadi pembelajaran tidak langsung atas ajaran Wahidiyah, lewat sikap keikhlasan dan kesederhanaannya yang kental. Dalam kehidupan sehari-hari, para ustadaz juga terbuka dalam melayani diskusi seputar ajaran Wahidiyah. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kyai Masykur sebagai berikut: “Di kelas ustadz akan menerangkan materi ajaran Wahidiyah, terutama panca ajaran Wahidiyah itu. Nanti kalau ada acara mujahadah bersama, biasanya ada kuliah Wahidiyah. Di situ akan dijelaskan ajaran-ajaran Wahidiyah. yang mengisi kuliah Wahidiyah pada mujahadah ini para pengurus dan kyai yang sudah lama mendalami Wahidiyah, jadi lebih mendalam ulasannya”.77
Pada bagian amalan atau aurâd, ditahap awal para pengamal termasuk santri akan diajari bacaan pokok Shalawat Wahidiyah secara sederhana, kemudian disusul mujahadah yang bacaannya lebih banyak. Pembelajaran ini dilakukan secara formal pada session pelajaran kewahidiyahan. Pada session formal, ustadz menjelaskan aurâd beserta
77
Lihat transkrip wawancara: 07/3-W/F-1/20-IV/2009.
58
artinya, tata cara pengamalan dan manfaatnya. Selain dengan cara formal, ada cara non formal yang dilakukan dengan membiasakan santri mengikuti kegiatan mujahadah Shalawat Wahidiyah setiap setelah shalat wajib, terutama setelah shalat Maghrib dan Isya’. Pembelajaran non formal juga sering terjadi di dalam asrama, dimana para santri yang masih baru diajari bacaan shalawat oleh senior mereka. Hal ini diungkapkan oleh ustadz Anshory sebagai berikut: “Ada buku tuntunan pelaksanaan amalan Wahidiyah sehingga para santri bisa belajar sendiri. Tapi yang paling penting melalui praktek sehari-hari, ba'dha shalat berjama’ah para santri melakukan mujahadah bersamasama. Bagi santri yang baru akan mengikutinya sedikit demi sedikit. Itu dilakukan setiap hari, maka biasanya beberapa bulan saja para santri sudah menguasai aurâd Wahidiyah. Lagipula, para santri tinggal dalam satu asrama. Para santri yang yunior bisa bertanya kepada santri yang lebih senior apabila menemui kesulitan dalam belajar amalan Wahidiyah. Ustadz-ustadz juga setiap hari bertemu karena mereka berada dalam satu kompleks, jadi jika ada kesulitan mereka bisa bertanya kepadanya”.78
Seperti halnya mata pelajaran yang lain, maka pelajaran kewahidiyahan ini juga menggunakan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan memberikan ujian lisan dan tertulis tentang ajaran Wahidiyah. Selain itu juga dengan memperhatikan akhlak santri pengamal Wahidiyah. Seperti yang diungkapkan oleh ustadz Anshory sebagai berikut: “Evaluasi yang dilakukan selama ini adalah dengan diadakan tes tulis maupun lisan pada akhir semester, selain itu juga dengan melihat perubahan perilakunya sehari-hari”. 79
Disinggung mengenai apakah cukup evaluasi dengan pengamatan pola perilaku sehari-hari, ustadz Anshory menyatakan hal itu cukup efektif. Santri dan ustadz tinggal dalam satu tempat sehingga 78 79
Lihat transkrip wawancara: 04/2-W/F-1/26-III/2009 Lihat transkrip wawancara: 04/2-W/F-1/26-III/2009.
59
mempermudah pengamatan perilaku santri untuk dievaluasi. Perbandingan jumlah ustadz dan santri juga cukup memadai untuk mengadakan pengamatan langsung. Ini sesuai pernyataan ustadz Anshory: “Catatan kita hanya untuk pelanggaran yang berat saja, kalau untuk masalah akhlak, saya kira cukup mudah mengevaluasinya. Setiap hari para ustadz bertemu santri karena tempat tinggal santri satu blok dengan para ustadz. Lagipula, jumlah santri asuh di sini tidak begitu banyak, perbandingan jumlah ustadz dan santri asuh kurang lebih 1 banding 5. Saya kira tidak terlalu sulit untuk menilai apakah si A bersikap sombong, atau si B bersifat rendah hati”.80
2. Kendala yang Dihadapi dalam Proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî cukup beragam.
Dari ajaran
Wahidiyah problemnya adalah masalah pemahaman. Ini terjadi antara lain karena para santri yang masih berusia remaja, dan secara rasio kemampuanya masih terbatas. Ustadz Budi mengungkapkan sebagai berikut: “Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menjelaskan ajaran Wahidiyah ini sesuai kemampuan akal mereka. Analoginya, kalau memberi makan anak kecil harus dari air susu ibu, lalu bubur, baru makanan yang keras seperti nasi dan daging”. 81
Hal senada juga diungkapkan oleh Gaby, selaku santri di pondok pesantren tersebut yaitu: “Untuk sekedar mengetahui ajaran Wahidiyah itu mudah, namun untuk menghayati dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari itu yang perlu proses. Misalnya ajaran Taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al- anfa' fa al-anfa'. (mendahulukan yang lebih penting daripada yang kurang penting dan jika sama-sama penting maka harus dipilih mana yang lebih 80 81
Lihat transkrip wawancara: 04/2-W/F-1/26-III/2009 Lihat transkrip wawancara: 02/1-W/F-2/25-III/2009.
60
besar manfaatnya). Ini mudah dihafalkan, tapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari butuh proses pemikiran. Misalnya, mau ujian dan hari ini belajar, disaat yang sama teman minta dibantu mengerjakan tugas, bagaimana menerapkan ajaran Taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al- anfa' fa al-anfa', pasti akan berbeda-beda, melihat situasi dan kondisi”.82
Problem kedua adalah dari faktor psikologis. Para pengamal Wahidiyah yang masih remaja biasanya terlena dengan ketenangan yang lahir dari efek mengamalkan shalawat. Ustad Abdul Basyir menjelaskan: “Biasanya orang yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah ini hatinya akan tenang. Dan apabila mereka sudah merasa tenang, tidak mau lagi mengamalkan. Jadi shalawat hanya berfungsi untuk menenangkan hati saja padahal seharusnya setelah hatinya tenang akan melahirkan keimanan dan memperbanyak ibadah lagi kepada Allah. Biasanya para pengamal Shalawat Wahidiyah itu kebanyakan berawal dari mendapat problem kehidupan, misalnya kesulitan ekonomi bagi yang sudah dewasa ataupun persoalan khas remaja bagi yang masih berusia muda. Misalnya, ada orang dewasa yang usahanya bangkrut lalu kita bimbing. Bukan berarti dengan mengamalkan shalawat lalu harta bisa datang sekejap mata, namun dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah insyâllah hatinya lalu tenang, kemudian bisa berfikir jernih untuk memperbaiki usahanya. Demikian juga remaja, biasanya problem remaja itu hubungan perasaan, baik dengan orang tua, kawan ataupun lawan jenis. Jika mereka mengalami kekecewaan, kita bimbing agar hatinya jernih, tahu tujuan hidup di dunia. Namun setelah mengamalkan shalawat dan hatinya tenang, dia merasa puas dan malas mengamalkan lagi”. 83
Probem pembelajaran Shawalat Wahidiyah dari faktor ekstern adalah pandangan sebagian orang yang kurang setuju terhadap Shalawat Wahidiyah. Biasanya orang-orang ini akan menyampaikan berbagai perkataan miring terhadap pengamal Wahidiyah. Komentar negatif itu beragam, dari yang menyoroti ajaran Wahidiyah sampai amalan Wahidiyah yang mereka anggap aneh.
82 83
Lihat transkrip wawancara: 14/5-W/F-2/29-IV/2009. Lihat transkrip wawancara 11/4-W/F-2/21-IV/2009.
61
Khusus mengenai ajaran shalawat, orang-orang yang kontra menyatakan bahwa hal ini bagaikan “memberi makan bayi dengan sambal”. Maksud dari hal ini, para santri remaja dianggap belum cukup umur untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Hal ini disampaikan ustadz Masykur: “Mereka sering mengatakan, anak masih kecil sudah dikasih makan sambal. Arti ungkapan mereka itu, menurut mereka ajaran Wahidiyah itu belum waktunya diberikan kepada anak-anak. Ada pendapat sebagian masyarakat, hal-hal yang bersifat ruhani seperti yang terdapat dalam ajaran Wahidiyah itu baru boleh diajarkan kepada orang yang sudah berumur. Anggapan ini mungkin lahir karena dalam budaya Jawa, ajaran ruhani itu disebut ilmu tua, baru diberikan kepada orang yang cukup umur. Kalau mau mempelajari, saya kira masyarakat akan memahami. Ajaran Wahidiyah itu sederhana, bisa dipelajari sesuai umur dan kemampuan akal serta pengetahuan agama masing-masing”.84
Masih menurut beliau, beberapa amalan Wahidiyah juga sering dikritik seperti pengamalnya yang sering menangis saat membaca shalawat. Beliau mengungkapkan: “Banyak yang menganggap amalan wahidiyah aneh karena pengamalnya sering menangis saat melakukan mujahadah. Menurut mereka itu kurang baik bagi jiwa remaja karena bisa mengguncang jiwanya”.85
Para santri juga menyampaikan hal yang sama, seperti yang diungkapkan Gatot: “Kalau kita di luar pondok orang-orang sering bilang, kenapa menangis dan sebagainya. Itu tentang amalan kita. Kalau ajaran, mereka sering bilang, anak kecil diajari tasawuf apa kuat?”.86
Problem ekstern lainnya adalah faktor kondisi lingkungan masyarakat. Secara umum, masyarakat Indonesia kini sedang berkembang budaya yang kurang baik seperti pergaulan bebas karena pengaruh 84
Lihat transkrip wawancara: 08/3-W/F-2/20-IV/2009. Lihat transkrip wawancara: 08/3-W/F-2/20-IV/2009. 86 Lihat transkrip wawancara: 17/6-W/F-2/30-IV/2009. 85
62
buadaya Barat. Secara khusus sebagian masyarakat didekat pesantren ada yang masih melakukan hal-hal kurang baik seperti minum-minuman keras. Hal ini disampaikan Ustadz Anshory sebagai berikut: “Masyarakat Indonesia sekarang banyak dipengaruhi budaya barat seperti pergaulan bebas dan lain-lain. Hal ini juga terlihat di sekitar pondok, mungkin hal ini juga karena lokasi pondok yang berdekatan dengan terminal. Lagipula banyak warga sekitar yang bekerja di luar negeri, kadang saat pulang perilaku mereka masih seperti di luar negeri, misalnya yang perempuan berbaju pendek dan ketat”.87
Hal senada juga diungkapkan oleh Gatot selaku santri sebagai berikut: “Masalahnya masyarakat sekitar kadang ada yang masih suka minumminuman keras. Lokasi pondok yang dekat dengan terminal, menjadikan lingkungannya lebih heterogen”.88
Selain itu, dalam pembelajaran Shalawat Wahidiyah, pengajar meyakini adanya unsur hidayah. Hal ini lebih bersifat abstrak, diyakini bahwa hidayah berperan besar dalam pengajaran Shalawat Wahidiyah. Bagaimanapun kerasnya usaha yang dilakukan dalam mengajarkan ajaran Wahidiyah, jika belum mendapat hidayah ia akan sukar menjalaninya, atau mungkin mengamalkan Shalawat Wahidiyah namun tidak merasakan efek secara batiniah. Seperti diungkapkan oleh ustadz Basyir sebagai berikut: “Hal yang mendasar dalam hal ini adalah hidayah. Jadi siapapun, apabila mendapatkan hidayah maka pasti bisa memahami dan merasakan efek dari mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Dan sebaliknya, sepandai apapun tentang agama kalau tidak mendapatkan hidayah maka juga tidak akan mau mengamalkan”. 89
87
Lihat transkrip wawancara: 06/2-W/F-3/26-III/2009. Lihat transkrip wawancara: 17/6-W/F-2/30-IV/2009. 89 Lihat transkrip wawancara: 12/4-W/F-3/21-IV/2009. 88
63
3. Manfaat Pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi Santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Pesantren didirikan sebagai tempat menanamkan nilai intelektual dan moral. Ilmu-ilmu yang diajarkan, tidak hanya bertujuan untuk membuat seorang santri menjadi pintar secara intelektual namun juga berakhlak mulia. Aspek moral menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam pembelajaran di pesantren. Hal ini tercermin pula dalam pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. Manfaat secara moral inilah yang banyak dipetik dari pembelajaran Shalawat Wahidiyah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh ustadz Basyir sebagai berikut: “Manfaat yang saya lihat secara nyata akhlak sehari-harinya berubah lebih sopan. Para santri kebanyakan dari daerah-daerah yang pendidikan keagamaanya kurang. Di awal masuk pesantren mereka kadang masih bertindak semau sendiri. Contoh kongkritnya, mereka kadang memakai sandal temannya tanpa izin, setelah beberapa saat di sini mereka berubah. Memang pendidikan di sini bukan hanya dari ajaran Wahidiyah saja, namun ajaran Wahidiyah ini yang paling dominan mewarnai kehidupan pesantren. Kedua, hati mereka jadi lebih lembut, maksudnya hatinya mudah disentuh petunjuk keagamaan”.90
Pendapat ini lebih diperjelas oleh pengasuh pondok: “Manfaat lahiriah itu bisa diketahui dari faktor lahir, bisa dilihat dan didengar. Hal ini terutama berkaitan dengan akhlak sehari-hari para santri. Akhlak para santri pengamal Wahidiyah saya lihat lebih santun, tenang dalam bertindak dan halus dalam berkata-kata. Mereka juga berperan aktif dalam kehidupan sosial baik di sekolah maupun di masyarakat karena dalam ajaran Wahidiyah ada ajaran untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat”.91
Hal senada disampaikan oleh santriwati Gaby, sebagai berikut:
90 91
Lihat transkrip wawancara: 12/4-W/F-3/21-IV/2009. Lihat transkrip wawancara: 03/1-W/F-3/25-III/2009.
64
“Dulu kalau bergaul dengan orang lain kita masih mudah iri hati, mudah marah, sekarang tidak lagi karena bisa mengontrol emosi”.92
Selain manfaat moral yang bisa dilihat secara lahiriah, ada juga manfaat dari segi batiniah, yaitu menjernihkan hati. Yang dimaksud menjernihkan hati adalah membersihkan hati dari pemikiran-pemikiran yang buruk. Jika hati sudah jernih maka santri akan bisa menentukan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Para santri Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî rata-rata masih berusia remaja, usia ini merupakan masa yang rawan terhadap perkembangan jiwa manusia selanjutnya. Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan gejolak, penuh godaan yang datang dari luar. Pada masa yang krusial inilah diharapkan Shalawat Wahidiyah bisa menjadi pegangan para santri dalam bersikap. Seperti yang diungkapkan oleh ustadz Masykur sebagai berikut: “Manfaat yang utama adalah menjernihkan hati. Kalau dihubungkan dengan para santri, mereka masih remaja, jiwanya masih labil. Dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah mereka menjadi lebih tertata dalam bersikap.93
Manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah yang lain adalah, dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah diyakini persoalan hidup akan lebih mudah dihadapi. Persoalan ini tergantung dari apa yang dihadapi. Jika menjadi seorang pelajar, dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah mereka percaya akan memudahkan dalam belajar. Ini berkaitan dengan kejernihan hati seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan hati yang jernih maka fikiran akan bekerja dengan baik. Jika fikiran bekerja dengan
92 93
Lihat transkrip wawancara: 15/5-W/F-3/29-IV/2009. Lihat transkrip wawancara: 09/3-W/F-3/20-IV/2009.
65
baik maka masalah akan lebih mudah dicari jalan keluarnya. Hal ini seperti diungkapkan oleh ustadz Basyir sebagai berikut: “Kalau mengamalkan Shalawat Wahidiyah insyâlah persoalan hidup itu jadi mudah dicari jalan keluarnya. Ini karena hatinya jernih, jadi akalnya bisa berfikir dengan baik”.94
Manfaat selanjutnya adalah ma'rifat billâh. Ma'rifat billâh ini berkaitan dengan pengalaman spiritual masing-masing pengamal.Seperti yang diugkapkan oleh gatot, seorang santri sebagai berikut: “Ma'rifat billâh itu susah dibahasakan, karena merupakan pengalaman pribadi”.95 Hal ini juga diperkuat oleh ustadz Budi sebagai berikut: “Ma'rifat billah itu artinya mengenal Allah. Allah itu dzat yang ghaib, mengenalnya bukan dengan panca indera tetapi dengan hati, bagaimana kongkritnya sulit dijelaskan karena ini masalah perasaan”.96
94
Lihat transkrip wawancara: 12/4-W/F-3/21-IV/2009. Lihat transkrip wawancara: 18/6-W/F-3/30-IV/2009. 96 Lihat transkrip wawancara: 03/1-W/F-3/25-III/2009. 95
66
BAB IV ANALISIS PEMBELAJARAN SHALAWAT WAHIDIYAH BAGI SANTRI
4. Analisis Proses Pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Pembelajaran merupakan suatu proses yang melibatkan begitu banyak komponen. Setiap komponen tersebut harus saling melengkapi satu sama lain agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai. Pembelajaran akan bertambah kompleks bila materi pembelajaran ini adalah suatu ajaran yang mengandung banyak dimensi seperti ajaran Shalawat Wahidiyah, dan diajarkan pada masa remaja yang masih dalam kondisi psikologis yang rentan terhadap perubahan, serta daya tangkap intelektual yang masih terbatas. Dalam proses pembelajaran, minimal terdapat beberapa komponen pendukung yang meliputi tujuan, kegiatan, pembelajaran, metode, dan evaluasi. Berdasarkan hasil penelitian dan observasi, tujuan utama dari pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî adalah meneruskan perjuangan Muallif Shalawat Wahidiyah untuk mencetak manusia yang ma’rifat billah dan berakhlak mulia. Ajaran Wahidiyah lahir karena keprihatinan Muallif Shalawat Wahidiyah terhadap keadaan moral masyarakat yang semakin terjerumus ke dalam budaya yang negatif. Hal ini membuat perjuanagan Shalawat Wahidiyah menjadi sesuatu yang relevan 67
67
sepanjang waktu karena seiring perkembangan zaman, persoalan moral menjadi semakin kompleks. Dalam konteks pendidikan, ajaran Wahidiyah dirancang untuk tidak hanya memberikan pengetahuan teoretis namun juga pengalaman
batin.
Selain
itu,
ajaran
Wahidiyah
berusaha
untuk
mengimplementasikan hal-hal ruhaniah ke dalam tindakan nyata. Bagi mereka, manfaat batiniah seperti ma’rifat billah harus disatukan atau diimplementasikan ke dalam hal-hal lahiriah seperti peningkatan perilaku akhlak mereka. Tujuan pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî yang kedua adalah untuk menjaga santri dari pengaruh negatif
di masyarakat. Hal ini didasarkan dari pertimbangan
pengasuh pondok terhadap kondisi santri yang masih remaja. Kondisi psikologis mereka masih mudah terombang-ambing oleh dinamika di masyarakat, terlebih lagi daya penalaran mereka masih terbatas. Untuk itulah Shalawat Wahidiyah diberikan agar bisa menjadi bahan refleksi dan pengendalian diri. Metode pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî dipengaruhi oleh materi Shalawat Wahidiyah yang terbagi meliputi ajaran (panca ajaran Wahidiyah) dan amalan (aurâd Shalawat Wahidiyah). Pada bagian ajaran, metode yang paling banyak digunakan adalah metode ceramah. Ini dilakukan karena metode ini bisa secara cepat memberikan wacana kepada para santri. Namun yang tak kalah penting adalah metode keteladanan yang ditunjukan melalui sikap dan kehidupan sehari-hari. Pola kehidupan yang sederhana di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî
68
menjadi sebuah contoh nyata bagi para santri. Ajaran Wahidiyah yang meliputi lillâh-billâh, li al-rasûl bi al-rasûl diaplikasikan dalam kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Para santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî kebanyakan berasal dari daerah pinggiran kota yang secara ekonomi kurang mampu. Mereka masuk ke pondok pesantren antara lain karena pembebasan biaya oleh pengasuhnya. Mereka dapat belajar ilmu umum dan agama tanpa diberatkan oleh biaya. Dari hal ini secara tidak langsung diajarkan bahwa dengan niat yang lillâh (semata-mata demi Allah), dan billâh (karena kuasa Allah) niat baik dari pengasuh bisa dilaksanakan. Ajaran Wahidiyah yang kedua yakni li al-rasûl bi al-rasûl, diterjemahkan ke dalam sikap hidup pengelola pondok pesantren. Ajaranajaran Rasulullah baik berupa sikap hidup, dan tindakan sehari-hari berusaha untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Bentuk pelaksanaan ini tidak hanya yang bersifat ibadah mahdhah seperti sholat, puasa, dan sebagainya, namun juga melalui ibadah ghairu mahdhah berupa sikap hidup yang sesuai keteladanan Rasulullah. Sikap ini antara lain sikap hidup mandiri dan bekerja keras. Di pondok pesantren ini para santri diajarkan untuk mendapatkan penghasilan melalui usaha home industry yang dikelolanya. Baik santri putra maupun putri diberi kesempatan untuk belajar mandiri. Santri putra terjun dalam usaha jasa, pertanian, dan peternakan, sedangkan santri putri dibidang home industry. Pada dimensi ajaran yu'tî kulla dzî haqqin haqqah, dan taqdim alahamm fa al-ahamm tsumma al-anfa' fa al-anfa', hal ini lebih bersifat sosial
69
dimana hubungan manusia dengan manusia mendapatkan perhatian yang penting. Ajaran ini misalnya dimanifestasikan lewat metode keteladanan dengan memberi pelajaran kejar paket yang dilaksanakan pihak pondok terhadap warga masyarakat yang ingin menempuh pendidikan namun terhalang suatu hal. Proses pendidikan kejar paket ini lebih bersifat sosial sebagai tanggung jawab pihak pesantren terhadap lingkungan sosial di sekitarnya. Pada
bagian
amalan
(aurâd) Shalawat
Wahidiyah, metode
latihan/drill dipilih sebagai metode yang efektif. Sesuai ajaran Shalawat Wahidiyah, efek kejiwaan dari pengamalan Shalawat Wahidiyah tidak bisa diperoleh hanya melalui ceramah dan teori. Untuk memahami ajaran Shalawat Wahidiyah setiap pengamal harus melakukan perjalanan rohani masing masing melalui amalan yang telah diajarkan. Ibarat penyakit, setiap pengamal bisa mengetahui jenis penyakit dan tingkat penyakit ruhaninya melalui perjalanan spiritual masing masing. Metode pembiasaan juga dilakukan dengan baik. Ini terbukti dengan pelaksanaan pengamalan aurâd Wahidiyah yang dilakukan secara teratur di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî. Setiap shalat lima waktu terutama ba’dha maghrib dan isya’ aurâd Wahidiyah ini dilakukan secara bersamasama. Yang perlu mendapat perhatian, proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî bisa lebih dioptimalkan dengan tidak hanya bergantung pada satu atau dua metode, seperti ceramah
70
ataupun latihan/drill, namun dengan metode lain seperti diskusi. Metode ceramah memang mempunyai sisi positif antara lain, guru mudah menguasai kelas, guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik, dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar. Namun disisi lain metode ceramah ini juga mempunyai beberapa kekurangan antara lain; bila selalu digunakan dan terlalu lama akan membosankan, menyebabkan siswa menjadi pasif. Ajaran Wahidiyah akan lebih terinternalisasikan kepada para santri jika metode lain misalnya diskusi dikembangkan dengan baik. Dengan diskusi santri akan terasah untuk saling bertukar pikiran dan mencoba saling memberikan perspektif yang berbeda sehingga daya nalar kritis mereka terbangun. Metode lain misalnya problem solving juga bisa digunakan agar para santri terbiasa memecahkan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran Wahidiyah, terutama yang bekaitan dengan faktor ekstern seperti perbedaan pendapat dengan lingkungan sosial masyarakat. Evaluasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî ini cukup sederhana. Evaluasi tertulis dilaksanakan pada akhir semester untuk mengetahui sejauah mana penguasaan konsep dasar Shalawat Wahidiyah. Aspek moral menjadi tolak ukur utama dalam menilai keberhasilan para santri. Dari tingkah laku keseharian para santri, para ustadz dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan proses pembelajaran. Secara umum evaluasi yang digunakan sudah memenuhi prinsip-prinsip evaluasi yang meliputi; prinsip berkelanjutan, prinsip universal, dan prinsip keikhlasan.
71
Prinsip berkelanjutan ini bisa dengan mudah diaplikasikan karena peserta didik berada dalam lingkungan yang sama dengan pendidik. Tempat tinggal (asrama) para santri berada dekat pengajar, sehingga aktivitas seharihari santri bisa dilihat sekaligus dievaluasi oleh pengajar. Prinsip keikhlasan juga mudah diterapkan karena kultur pesantren mendukung prinsip ini.
5. Analisis Kendala yang Dihadapi dalam Proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Sukses tidaknya pembelajaran tergantung pada faktor-faktor yang mendukung dalam proses pembelajaran. Tetapi sebaliknya pembelajaran tidak akan sukses apabila ada faktor-faktor penghambat di dalamnya. Faktorfaktornya dibagi dua yaitu internal dan eksternal. Dari penelitian diketahui bahwa problem pembelajaran Shalawat Wahidiyah lebih banyak dari faktor internal. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor psikologis santri yang masih labil (mudah berubah-ubah). Hal ini wajar karena memang demikianlah ciri–ciri kejiwaan remaja. Zakiah Daradjat menyebutkan bahwa perilaku remaja cenderung tidak stabil. Keadaan emosinya mudah terguncang, mudah condong kepada hal-hal yang ekstrim, peka, dan mudah tersinggung. Pada saat ini remaja menginginkan perhatian dari orang lain, dan melakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian orang.97
97
Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan (Jakarta: CV Ruhama, 1994), 35-36.
72
Di
dalam
bukunya
Ilmu
Djiwa
Agama,
Zakiah
Daradjat
menyebutkan bahwa di masa remaja, penghayatan nilai-nilai keagamaan seorang remaja menemui banyak hal yang kompleks. Ia sering terjebak ke dalam sikap ambivalen. Pandangan keagamaanya sering berubah-ubah sesuai dengan keadaan emosinya. Misalnya kebutuhan akan Allah, di saat senang remaja cenderung untuk melupakan Allah, namun di saat susah, atau dalam keadaan gelisah, terbebani perasaan berdosa maka ia akan beribadah dengan khusyu’. Hal ini ia lakukan untuk menenangkan dirinya dari perasaan bersalah, ataupun perasaan berdosa.98 Problem selanjutnya berkaitan dengan daya penalaran para santri yang
masih
remaja
yang
juga berpengaruh
dalam
menyerap
dan
mengimplementasikan materi ajaran Wahidiyah. Hal ini terlihat dalam memahami ajaran Wahidiyah, misalnya yu'tî kulla dzî haqqin haqqah (segala kewajiban harus dipenuhi dan bersikap lebih mengutamakan kewajiban daripada hak, baik kewajiban terhadap Allah dan rasul-Nya maupun kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan masyarakat disegala bidang dan terhadap makhluk pada umumnya), taqdim al-ahamm fa al-ahamm tsumma al-anfa' fa al-anfa' (mendahulukan yang lebih penting daripada yang kurang penting jika sama-sama penting maka harus dipilih mana yang lebih besar manfaatnya). Konsep ini mudah dipahami secara teoretis, namun pengimplementasianya ke dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah. Seorang santri harus berfikir secara mendalam untuk menentukan hak dan
98
Zakiah Daradjat, Ilmu Djiwa Agama (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), 78.
73
kewajibanya serta skala prioritas seperti yang diajarkan dalam konsep tersebut. Faktor internal kedua adalah meliputi bahan pembelajaran yang belum terstruktur ke dalam sebuah kurikulum yang baik sebagaimana pelajaran yang lain. Hal ini lahir karena memang materi pelajaran kewahidiyahan merupakan muatan lokal yang disusun oleh intern pondok, sehingga penyusunannya dilakukan oleh satu dua orang, berbeda dengan materi pelajaran umum yang dibentuk oleh sebuah tim secara profesional. Bahan pelajaran kewahidiyahan yang ada di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî cukup lengkap. Namun yang perlu dicermati adalah bahan pelajaran ini sebenarnya merupakan sebuah buku petunjuk yang bersifat umum. Buku-buku ini awalnya bukan merupakan sebuah buku yang ditujukan untuk kegiatan belajar mengajar, namun berisi pedoman praktis mengenai ajaran dan amalan Wahidiyah. Untuk dapat memberikan materi secara sistematis masih diperlukan lagi proses penyusunan kurikulum yang lebih baik Kendala dari faktor ekternal di antaranya pandangan negatif terhadap Shalawat Wahidiyah. Hal ini disebabkan oleh penilaian yang hanya sepintas dari sebagian masyarakat. Pandangan negatif ini bisa digolongkan ke dalam dua hal, pertama pada pelaksanaan amalan Shalawat Wahidiyah yang bagi sebagian masyarakat dianggap aneh, seperti para pengamal yang menangis pada saat melakukan mujahadah. Para santri kadang juga menerima komentar negatif atas pelaksanaan mujahadah yang disertai tangisan tersebut. Problem ini dijawab dengan baik oleh pihak pesantren dengan memberikan pemahaman
74
kepada para santri bahwa amalan mereka memang dianggap aneh karena mereka tidak tahu dasarnya. Bagi yang mau mengkaji ajaran agama dengan baik, akan disadari bahwa amalan mereka yang disertai tangisan merupakan suatu hal yang mulia dan didasarkan pada dalil yang kuat dari al-Qur’an dan al-Hadits. Pihak pesantren sendiri memberikan tuntunan yang baik, dengan memberikan gambaran bahwa Rasulullah sebagai manusia terbaik tetap menerima kritikan, apalagi mereka yang hanya manusia biasa. Problem eksternal kedua adalah pandangan negatif, bahkan kontra terhadap konsep ajaran Wahidiyah, misalnya prinsip Wahidiyah yang mengatakan bahwa ajaran mereka bisa diterima dan dipelajari oleh semua kelompok umur termasuk remaja. Kecenderungan pendapat umum yang menyatakan bahwa ajaran tasawuf seperti yang dibawa Shalawat Wahidiyah adalah materi ilmu yang baru bisa diajarkan setelah manusia memasuki masa dewasa kurang disetujui dalam Shalawat Wahidiyah. Menurut konsep ini ajaran tasawuf bisa dipelajari oleh semua umur namun disesuaikan dengan perkembangan jiwa pengamalnya. Sebuah analogi diberikan oleh bapak Budi selaku pengasuh pondok, sejak dalam kandungan manusia membutuhkan makanan lewat rahim, setelah lahir dia membutuhkan air susu ibu, setelah sedikit besar diberi makanan yang lunak, dan setelah berkembang baru diberi makanan yang keras seperti nasi dan sebagainya. Demikian juga rohani atau jiwa manusia, semenjak kecil sudah seharusnya dan sewajarnya ia mendapat ”makanan” rohani berupa
75
ajaran agama yang disesuaikan dengan kemampuannya untuk menerima suatu pemahaman.
6. Manfaat Pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi Santri di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî Berdasarkan penelitian dan observasi, manfaat pembelajaran Shalawat Wahidiyah ini meliputi dua aspek. Pertama, aspek batiniah untuk ma’rifat billah dan menjernihkan hati. Kedua, aspek lahiriah untuk menjaga akhlak para santri dan mempermudah menjawab problem sehari-hari. Manfaat Shalawat Wahidiyah pada aspek batiniah, pertama adalah ma’rifat billah. Ma’rifat billah sebenarnya adalah sebuah konsep yang cukup rumit. Dilihat dari konsep pembelajaran, indikator untuk mengetahui kemampuan santri untuk ma’rifat billah susah untuk didefinisikan. Dalam wacana Shalawat Wahidiyah, ma'rifat billah ini dekat dengan amalan mereka membaca shalawat ma'rifat. Dalam shalawat ma'rifat mereka memohon untuk bisa ma'rifat dan tenggelam dalam samudera ke-Esaan Allah. Setelah membaca shalawat Ma'rifat mereka melakukan istighroq. Istighroq ini adalah memusatkan perhatian kepada Allah. Caranya dengan berdiam diri, tidak membaca atau mewiridkan sesuatu. Segenap pikiran, perhatian dan perasaan tertuju kepada Allah. Saat itu mereka mengalami kondisi "tertegun", (Jawa, kamitenggengen) kondisi dimana kata-kata tidak bisa melukisakan atau menjelaskan apa yang mereka alami.
76
Manfaat batiniah kedua yakni penjernihan hati. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi jiwa remaja santri yang banyak menghadapi persoalan akibat pertemuannya dengan realitas baru. Kejernihan hati ini juga berkaitan dengan kemampuan akal untuk berfikir. Ketenangan pikiran yang dicapai melalui penghayatan ajaran dan pengamalan Shalawat Wahidiyah mampu memberikan kemampuan berfikir yang lebih baik. Hal inilah yang membuat para pengamal Wahidiyah meyakini bahwa dengan mengamalkan Shalawat Wahidiyah juga bermanfaat mempermudah mencari jawaban atas persoalan hidup. Dalam konsep pendidikan modern, dikenal adanya konsep otak kiri yang berkaitan dengan intelektual dan otak kanan yang berkaitan dengan emosi (hati). Agar dapat berjalan dengan baik keduanya harus saling mendukung. Manfaat selanjutnya pada dimensi lahiriah yakni pembentukan akhlak al-karimah. Ajaran Wahidiyah menuntun para santri untuk senantiasa ber-akhlak al-karimah sesuai prinsip panca ajaran Wahidiyah. Hal ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari dimensi batiniah, karena ajaran Wahidiyah harus diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hati yang jernih maka diharapkan para santri akan mempunyai sikap yang baik. Sikap baik ini tercermin lewat perilaku sehari-hari. Hal ini dijelaskan dengan analogi iman, bahwa iman itu baru lengkap jika diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilaksanakan dalam perbuatan. Demikian juga ajaran Wahidiyah ini, selain ditanamkan dalam hati, juga tercermin lewat ucapan yang santun dan tingkah laku yang terpuji. Ini sesuai dengan visi Shalawat Wahidiyah yakni sebagai bimbingan praktis lahiriah dan batiniah
77
dalam memanfaatkan potensi lahiriah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniah (spiritual) yang seimbang dan serasi.99 Saat ini di masyarakat unsur-unsur negatif yang bisa merusak akhlak semakin berkembang dengan sangat pesat. Faktor negatif itu antara lain arus informasi yang membawa contoh gaya hidup yang kurang baik, misalnya gaya pergaulan yang terlalu bebas antara laki-laki dan perempuan, cara berpakaian yang kurang pantas baik bagi laki-laki maupun perempuan, juga budaya lain misalnya perjudian dan minum-minuman keras yang kini seolah menjadi hal yang biasa. Para pengamal Shalawat Wahidiyah, khususnya para santri Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî diharapkan bisa dibentengi dari halhal negatif tersebut dengan cara membersihkan hati, yang sudah menjadi tujuan ajaran Shalawat Wahidiyah. Dengan hati yang bersih diharapkan para santri bisa menilai mana yang benar maupun mana yang salah. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî mempunyai kewajiban untuk mendidik akhlak santrinya. Latar belakang santri yang berasal dari daerah-daerah pinggiran yang kurang “tersentuh” pendidikan keagamaan membuat pihak pengasuh merasa perlu memberikan dorongan pendidikan keagamaan yang lebih mengarah pada kondisi kejiwaan para santri. Sebagai sebuah ajaran tasawuf, ajaran Wahidiyah menjadi sebuah pondasi bagi ritual-ritual keagamaan yang bersifat fisik seperti sholat, puasa dan sebagainya. Ibadah-ibadah formal tersebut perlu mendapat sebuah landasan, untuk apa ibadah tersebut dilakukan. 99
Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Shalawat Wahidiyah, Kuliah Wahidiyah untuk Menjernihkan Hati dan Ma'rifat Billâh wa Birasulihi (Jombang: Sekretariat Pesantren "AtTahdzib" Rejo Agung, 1993), 3-4.
78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hasil penelitian pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî dapat disimpulkan bahwa: 1. Dalam kegiatan pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî melibatkan komponen pembelajaran yang meliputi: a. Tujuan pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî adalah meneruskan perjuangan Muallif Shalawat Wahidiyah untuk mencetak manusia yang ma’rifat billah dan berakhlak mulia. Tujuan kedua adalah untuk menjaga santri dari pengaruh negatif di masyarakat. b. Metode yang digunakan dalam pembelajaran, untuk ajaran Wahidiyah menggunakan metode ceramah dan keteladanan, untuk amalan Wahidiyah menggunakan latihan/drill dan pembiasaan. c. Teknik evaluasi yang digunakan adalah evaluasi tes dan non tes. evaluasi tes dilaksanakan pada akhir semester dengan mengadakan evaluasi tertulis, sedangkan evaluasi non tes dilakukan dengan mengamati perilaku santri sehari-hari. Aspek akhlak menjadi tolak ukur utama dalam menilai keberhasilan pembelajaran para santri. 2. Kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî meliputi: pertama, faktor intern
79
79
yaitu faktor kejiwaan santri yang masih labil; kedua, daya nalar atau rasio remaja yang masih terbatas; Ketiga, bahan ajar belum terstruktur dalam kurikulum yang baik. Kendala dari Faktor ekstern adalah pandangan negatif dari sebagian masyarakat yang kurang setuju terhadap ajaran Shalawat Wahidiyah karena dianggap terlalu dini untuk diajarkan kepada remaja, juga terhadap amalan Wahidiyah yang dianggap aneh seperti kebiasaan pengamal yang menangis saat mujahadah. Kondisi masyarakat Indonesia secara umum yang terpengaruh budaya barat seperrti pergaulan yang terlalu bebas juga menjadi problem tersendiri. Budaya luar ini terbawa akibat banyaknya warga sekitar yang bekerja di luar negeri. Secara khusus, di lingkungan sekitar masih ada kebiasaan minum-minuman keras, dan faktor kedekatan dengan terminal yang membawa beraneka ragam pengaruh. 3. Manfaat Pembelajaran Shalawat Wahidiyah bagi santri Pondok Pesantren Terpadu al-Syarwânî meliputi aspek batiniah untuk mengajarkan ma’rifat billah dan menjernihkan hati, sedangkan dimensi lahiriah untuk mendidik santri ber-akhlak al- karimah.
B. Saran Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pesantren terkait dengan pembelajaran Shalawat Wahidiyah, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:
80
1. Dalam proses pembelajaran ajaran Wahidiyah , metode pembelajaran bisa lebih diperkaya dengan metode diskusi dan problem solving. Metode diskusi ini digunakan untuk lebih memperkaya pemahaman ajaran Wahidiyah dengan cara memberi kesempatan santri untuk melakukan kajian bersama terhadap ajaran Wahidiyah. Metode problem solving dapat melatih santri dalam menjawab pendapat masyarakat yang kontra terhadap Shalawat Wahidiyah baik ajaran maupun amalannya. Jika mereka sudah terbiasa berlatih memecahkan masalah dalam Shalawat Wahidiyah, maka mereka akan siap menjawab permasalahan seputar Shalawat Wahidiyah. 2. Kurikulum pembelajaran kewahidiyahan perlu mendapat perbaikan, dengan
melibatkan
berbagai
pihak
yang
kompeten.
Kurikulum
pembelajaran Shalawat Wahidiyah di Pondok Pesantren Terpadu alSyarwânî masih sebatas pengaturan jadwal pelajaran sedang faktor lain seperti rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan belum diatur dengan baik.
81
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah Aly, Djamaluddin. 1997. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Daradjat, Zakiah. 1970. Ilmu Djiwa Agama. Djakarta: Bulan Bintang. Daradjat, Zakiah. 1995. Remaja Harapan dan Tantangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Dewan pimpinan pusat penyiar Shalawat Wahidiyah. 1993. Kuliah Wahidiyah untuk Menjernihkan Hati dan Ma'rifat Billâh wa Birasulihi. Jombang: Sekretariat Pesantren "At-Tahdzib" Rejo Agung. Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Shalawat Wahidiyah. 1993. Tuntunan Mujahadah dan Acara-acara Wahidiyah. Jombang: Sekretariat Pesantren "AtTahdzib" Rejoagung. Djamarah, Syaiful Bahri. 1996 .Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hadi, Amirul & Haryono.tt. Metodologi Penelitian Pendidikan untuk IAIN dan PTAIS Semua Fakultas dan Jurusan, Komponen MKK. Bandung: Pustaka Setia. Hamalik,Oemar. 1994. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Huda,
Sokhi.
2008.
Tasawuf
Kultural:
Wahidiyah.Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Fenomena
Shalawat
82
Margono S. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan, komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta. Miles, Mattew B&A. Michael Huberman. 1992 Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Pers. Moleong, J. Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulyana, Dedy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Yogyakarta: PT Remaja Rosdakarya. Purwanto, Ngalim. 2002. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Riyanto,Yatim. 1991. Metodologi Penelitian Pendidikan, suatu Tinjauan Dasar. Surabaya: Penerbit SIC. Sugijono. 2006. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Usman, Basyiruddin. 2002Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ciputat Press. Yunus, Muhammad. 1985. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahst al-Masail 1926-1999 .Yogyakarta: LKiS.