BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Setiap komunitas masyarakat pasti memiliki cerita humor masing-masing. Sebagian besar humor yang dikenal luas dan diteliti di Indonesia adalah humor yang hidup dalam masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti ludruk, wayang, dan ketoprak. Episode-episode humor yang muncul pun memiliki nama yang berbeda. Dalam pementasan wayang disebut dengan istilah gara-gara, dalam ludruk dikenal dengan istilah banyolan, sementara dalam ketoprak, episode humor tersebut disebut dengan istilah dhagelan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 412) humor merupakan sesuatu yang lucu, keadaan (dl cerita dsb) yang menggelikan hati, kejenakaan, kelucuan. Humor tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Ensiklopedi nasional Indonesia (1989: 497) dinyatakan bahwa humor berasal dari bahasa Latin yang berarti suatu rangsangan mental kompleks yang menimbulkan refleks tawa. Dengan demikian, secara sederhana humor dapat diartikan sebagai sebuah rangsangan verbal maupun nonverbal yang dapat membangkitkan gelak tawa. Menurut Wijana (2003: 4) humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, julukan, karikatur, kartun, bahkan nama makanan yang lucu. Sebuah humor dapat menimbulkan gelak tawa apabila memiliki beberapa sifat, seperti (1) mengandung
1
kejutan karena mengungkapkan sesuatu yang tidak terduga, (2) dapat mengecoh orang, (3) melanggar tabu, seperti mengungkapkan kata-kata yang berhubungan dengan seks, (4) menampilkan yang aneh-aneh karena tidak biasa, (5) tidak masuk akal dan tidak logis, (6) kontradiktif dengan kenyataan, dan (7) mempunyai arti ganda bagi suatu kata yang sama (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989: 498). Pada dasarnya, humor merupakan hasil persepsi budaya, baik individu maupun kelompok masyarakat. Dalam hal ini, sistem budaya individu sangat mempengaruhi munculnya humor. Selain itu, humor juga tergantung pada konsep sehingga akan sulit memahami sebuah humor apabila lawan tutur tidak memiliki latar belakang (background knowledge) yang sama dengan orang yang mengemukakan humor. Karena merupakan hasil dari persepsi budaya maka, hal yang dianggap lucu oleh masyarakat tertentu belum tentu menjadi hal yang lucu pada masyarakat lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Yuniawan (2005) yang menyatakan bahwa kelucuan humor tidak selalu sama bagi setiap orang karena berkaitan dengan kelucuan yang bersifat personal dan komunal. Kelucuan yang bersifat personal meliputi identitas pribadi seperti jenis kelamin, status sosial, dan pendidikan sedangkan kelucuan yang bersifat komunal meliputi asal budaya, etnik atau ras seseorang penikmat humor. Apabila di Amerika dikenal bentuk humor stand up comedy, maka masyarakat Papua juga memiliki humor khas yang memiliki format yang sama dengan stand up comedy yaitu mop. Cerita mop biasanya diceritakan oleh seorang pencerita/tukang cerita kepada satu orang atau beberapa orang pada situasi yang santai. Biasanya, seorang pencerita mop memiliki selera humor yang cukup tinggi
2
dan pandai memainkan kata-kata. Cerita mop biasanya berisi situasi dan kehidupan sehari-hari yang terjadi di Papua, misalnya cerita lucu yang terdapat pada rubrik Talucur pada harian Radar Sorong berikut: Minta uang kuliah, 30 September 2011 Yakop anak laki-laki Yaklep yang sedang kuliah di luar Papua kirim surat ke de pu bapa di Papua. Bapa...mengingat karna uang ADMINISTRASI de uang SEMESTERISASI nae de uang PACARANISASI trus bertambah maka, uang TRANSFERISASI harus kase nae...” trus tra lama begini surat tiba de pu bapa. trus Yaklep balas surat bilang, “anak...mengingat karena hasil KEBUNISASI dan PANENISASI berkurang maka ko mending pulang untuk MENCANGKULISASI di KEBunisasi supaya bisa penuhi ko punya PERMINTANISASI... kalo tra mau nanti PARANGISASI menyusul kesana... Terjemahan Yakop, anak dari Yaklep, yang sedang kuliah di luar Papua mengirimkan surat kepada ayahnya di Papua. (isi surat dari Yakop) Bapak, mengingat uang administrasi dan semseter(isasai) naik, dan uang pacaran(isasi) terus bertambah maka, uang transfer(ninasi) harus dinaikkan. (tidak begitu lama, Yakop kemudian mendapatkan surat balasan dari bapaknya yang isinya) Anak, mengingat kebun(iasi) dan panen(isasi) berkurang maka kamu sebaiknya pulang untuk mencangkul(isasi) di kebun(isasi) supaya dapat memenuhi permintaan(iasasi). Kalau tidak mau nanti parang(isasi) akan menyusulmu ke sana.
Contoh yang disajikan di atas merupakan salah satu contoh humor tertulis ala Papua (mop). Pada cerita mop di atas diceritakan seorang anak yang mengirimkan surat kepada ayahnya untuk meminta kenaikan uang bulanan, tetapi
3
bapaknya yang sedang mengalami kesulitan keuangan ini marah dan menyuruhnya pulang dan berkebun supaya ia dapat memenuhi segala permintaanya. Humor khas Papua ini berkaitan dengan budaya dan situasi seharihari yang sering terjadi di Papua kemudian diceritakan ulang menggunakan bahasa Indonesia dialek Papua (BIDP). Aspek humor yang tercipta pada contoh wacana di atas berasal dari pemanfaatan aspek morfologis berupa penambahan akhiran -si yang tidak tepat serta perkataan sang ayah yang akan menyusulnya dengan parang. Bagi masyarakat Papua yang memiliki pandangan tentang budaya yang sama akan beranggapan bahwa ungkapan sang ayah merupakan sesuatu yang lucu karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang cukup keras di sana dan ungkapan amarah merupakan hal yang lazim terjadi. Cerita mop yang awalnya diceritakan oleh seorang pencerita ini kemudian semakin dikenal luas dalam bentuk tulisan dan video pada beberapa koran lokal Papua, pesan singkat, dan menjadi salah satu acara yang digemari pada pada stasiun televisi lokal, Papua TV bahkan pada salah satu televisi nasional (Trans TV) melalui komedi situasi berjudul Keluarga Minus yang ditayangkan pada 11 April 2011 hingga 2 Maret 2012. Salah satu cerita mop yang digemari di Papua beberapa tahun belakangan ini adalah kumpulan mop berjudul Epen Kah Cupen Toh! (selanjutnya akan disingkat EKCT). EKCT merupakan kumpulan sketsa singkat yang sebagian besar diperankan oleh Dodi dan Suroso, tokoh-tokoh yang terkenal dengan peran kocaknya dalam film produksi Merauke yang berjudul ”Melody Kota Rusa”. EKCT terdiri dari dua bagian yaitu sketsa yang langsung diperankan oleh
4
beberapa tokoh dan sketsa dengan format asli yaitu yang diceritakan oleh satu pencerita yang berasal dari Papua dan Makassar. Sebagian besar sketsa singkat EKCT ini menggunakan Bahasa Indonesia dialek Papua. Apabila dicermati, pemilihan judul EKCT juga menimbulkan kelucuan bagi masyarakat penutur BIDP. EKCT ini diambil dari slang yang berkembang di Papua. Kata Epen dan Cupen merupakan bentuk-bentuk akronim dari Emang penting dan cukup penting. Penggunaan akronim ini menggunakan nama dan kata yang sudah dikenal secara umum oleh masyarakat Papua. Biasanya, Epen merupakan panggilan terhadap seseorang yang bernama Stephen dan cupen merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyatakan istirahat di dalam sebuah permainan (time out). Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat humor Epen kah, cupen to dari sudut pandang lingustik. Apabila dipandang dari perspektif linguistik, ketidaksejajaran dan pertentangan yang terjadi di dalam wacana humor disebabkan oleh adanya pelanggaran norma-norma pragmatik, baik secara tekstual maupun
interpersonal.
penyimpangan
prinsip
Secara kerja
tekstual sama
pelanggaran
(cooperative
dilakukan
principle),
dan
dengan secara
interpersonal pelanggaran dilakukan dengan pelanggaran prinsip kesopanan (politeness principle) dan parameter pragmatik. Secara tekstual, adanya penyimpangan aspek pragmatik tampak pada contoh di bawah ini. Lokasi adegan: Sebuah warung Situasi : Seorang pria mabuk datang ke sebuah warung makan. Penjual
: Pele pace. Ko makan kaya anjing saja. Hih, bikin rusak sa punya warung ini.
5
(Eh, Pak (cara) makanmu seperti seekor anjing saja. Hih, merusak warungku saja!) (Pemabuk itu tiba-tiba berdiri hendak meninggalkan warung tersebut) Penjual
: Ado jangan pergi dulu pace. ko bayar dulu itu. (Jangan pergi dulu. Bayar dulu!)
Pemabuk : (Sambil marah kemudian berjalan keluar) memangnya ko su perna lia anjing habis makan langsung bayar ka? (Apakah kamu pernah melihat ada seekor anjing yang membayar makanannya sehabis makan?) Secara sepintas, kontribusi yang diberikan oleh pemabuk pada contoh di atas tidak menunjukan relevansi, namun sebetulnya apabila diamati lebih lanjut, kontribusi tersebut dapat dicari hubungannya. Karena dikatakan seperti seekor anjing, pemabuk tersebut merasa tidak perlu lagi membayar makanan yang sudah dimakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, apabila seseorang membeli sesuatu maka ia harus membayarnya. Hal ini berbeda dengan binatang yang tidak perlu membayar makanan yang sudah dimakannya Tururan tersebut merupakan bentuk ungkapan kekesalannya terhadap pemilik warung. Pada dasarnya, wacana humor kaya akan permainan bahasa. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat aspek-aspek kebahasaan yang lazim digunakan dalam penciptaan humor. Salah satu pemanfaatan aspek kebahasan dalam EKCT terdapat pada dialog di bawah ini: Wacana Situasi :Seorang bapak yang baru saja datang di Kota Merauke. Bapak tersebut kemudian naik angkutan umum menuju ke Pasar Baru. Ketika hendak pulang, secara tidak sengaja ia melihat sebuah kecelakaan. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi untuk menjadi saksi.
6
Polisi : Ado bapa kita minta maaf ini. Ini kejadian ini kebetulan yang ada di sini bapa. (Kami minta maaf, Pak. Kebetulan bapak yang ada di sini (menyaksikan kecelakaan)) Bapak : Oh anana poriti tidak papa. Bapak tiap untuk jadi saksi. (Tidak apa-apa anak-anak polisi. Bapak siap menjadi saksi) Polisi : Bapa nama siapa? (Nama bapak siapa?) Bapak : Ado. Polisi : Ado siapa? Bapak : Ado, bapa. (Ado, Pak) Polisi : Bapa ni skarang kira-kira umur brapa tahun? (Berapa umur bapak sekarang) Bapak : Ah tiga brat (maksudnya tiga belas) Polisi : Dari bapa pu rambut ini su tua ini. (Melihat rambut bapak, sepertinya bapak sudah tua) Bapak : Ooo, Ampa brat.. Polisi : Ah bapa tidak bisa. Masa bapa bisa umur empat blas tahun. Bapa ni pasti umur 50 tahun. (Tidak mungkin,Pak. Masak umur bapak masih empat belas tahun. Pasti bapak ini sudah berumur 50 tahhun). Bapak : Itu pat (langsung dia tunjuk polisi pu muka). (Itu benar, Pat) Pemanfaatan aspek kebahasaan pada data di atas dilakukan dengan cara mensubtitusi bunyi-bunyi bahasa dan penghilangan suku kata akhir. Bunyi yang
7
disubtitusikan antara lain bunyi /l/ menjadi /r/ pada kata belas dan polisi sementara delesi pada posisi akhir kata ditemukan pada nama diri yaitu Adolof menjadi Ado. Penghilangan suku kata pada posisi akhir kata ini menjadi lucu karena kata ado ini memiliki makna yang berbeda. Kata ado ’aduh’ dalam BIDP ini merupakan sebuah kata seru untuk menyatakan rasa sakit sehingga apabila ketika menjawab namanya dengan Ado bapa, seolah-olah tokoh bapak ini sedang berteriak kesakitan. Permainan bahasa dengan adanya subtitusi bunyi serta penghilangan suku kata pada contoh di atas merupakan unsur-unsur yang memicu kelucuan. 1.2
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah, yaitu 1. Bagimanakah pemanfaatan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor EKCT? 2. Aspek-aspek kebahasaan apa sajakah yang dimanfaatkan untuk menciptakan humor di dalam mop Epen kah Cupen to? 3. Bagaimanakah fungsi humor dalam wacana EKCT? 1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk 1. Mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor EKCT. 8
2. Memaparkan
aspek-aspek
kebahasaan
yang
dimanfaatkan
untuk
menciptakan humor EKCT. 3. Mendeskripsikan fungsi humor dalam wacana humor EKCT. 1.4 Manfaat penelitian Penelitian mengenai wacana humor ala Papua ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai wacana humor, terutama yang berhubungan dengan humor verbal yang berkembang di Papua. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi penelitian-penelitian mengenai wacana humor yang berasal dari daerah-daerah lain yang ada di wilayah Indonesia. 1.5
Tinjauan pustaka Berbagai penelitian yang berkaitan dengan humor sudah banyak dilakukan
sebelumnya, terutama terhadap humor yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Penelitian ini menitikberatkan kajiannya pada wacana humor yang berkembang luas dalam komunitas masyarakat Papua. Berikut adalah beberapa kajian yang berhubungan dengan wacana humor: Dalam penelitiannya mengenai Humor yang terdapat di dalam karya sastra Jawa, Pradopo, dkk (1985) membagi humor menjadi tiga jenis, yaitu humor yang berfungsi sebagai kode bahasa, humor yang berfungsi sebagai kode sastra, dan humor yang berfungsi sebagai kode budaya. Sebagai kode bahasa, 9
humor yang terdapat dalam karya sastra jawa tersebut terbentuk dari peyimpangan makna meliputi pergeseran komponen makna, pergeseran makna atas polisemi, pergeseran makna atas dasar homonimi, pergeseran makna kata yang mirip, pergeseran makna dalam wacana dialog. Selain itu, humor juga terjadi karena penyimpangan bunyi dan pembentukan kata baru. Kajian lain yang berkaitan dengan humor dalam masyarakat Jawa juga pernah dilakukan oleh Endahwarni (1994). Dengan menggabungkan teori humor Freud, Raskin, dan Brunvand ini, ia mengelompokan tipe-tipe humor srimulat berdasarkan motivasi, teknik, dan topik. Berdasarkan motivasi, humor simulat terbagi atas humor dan komik. Humor bertujuan untuk mengejek diri sendiri dan orang lain serta menggoda seseorang sementara komik dalam humor srimulat berupa teka-teki, permainan kata-kata atau akronim. Selain itu, tipe humor srimulat dapat dibagi menjadi riddle, conundrum, pun, ridicule berdasarkan tekniknya sedangkan berdasarkan topiknya, humor srimulat terbagi atas seks dan etnik. Kajian ini juga membahas aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam humor srimulat. Aspek kebahasaaan yang menonjol antara lain homonimi, polisemi, akronim, kemiripan bunyi fonetik, kesalahan pelafalan yang disengaja, pertukaran letak fonem yang menimbulkan perbedaan makna, dan penggunaan dialek-dialek suku bangsa. Widjajanti (1998) ”Wacana Lawak dalam Ludruk” mengemukakan bahwa wacana lawak dalam ludruk mencerminkan budaya masyarakat Jawa Timuran pada umumnya, seperti kepercayaan pada siklus kehidupan (ukum pinesthi), kepercayaan kepada Tuhan, serta adanya budaya yang lebih terbuka dibandingkan 10
dengan masyarakat budaya di Jawa Tengah. Penciptaan humor di dalam karya sastra Jawa terjadi karena adanya penyimpangan makna, penyimpangan bunyi, dan pembentukan kata baru. Wijana (2003) di dalam Wacana Kartun dalam bahasa Indonesia membedakan kartun menjadi dua jenis, yaitu kartun verbal dan nonverbal. Menurut Wijana, wacana humor kartun terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non bonafide communication). Ia juga mengungkapkan bahwa ketidak sejajaran dan pertentangan yang terjadi di dalam humor dapat terjadi karena adanya pelanggaran norma-norma pragmatik bahasa, baik secara tekstual maupun
interpersonal.
Secara tekstual
pelanggaran
dialakuakan
dengan
penyimpangan prinsip kerja sama (cooperative principle) sedangkan secara interpersonal dilakukan dengan pelanggaran prinsip kesopanan (politeness principle) dan parameter pragmatik. Adanya penyimpangan maksim, seperti maksim percakapan, maksim kesopanan, dan parameter pragmatik tercermin lewat pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dari tataran yang terendah sampai tataran yang tertinggi, seperti fonologis, ketaksaan leksikal (polisemi, homonimi), ketaksaan gramatikal (frase amfibologi, idiom, dan peribahasa), metonimi, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, nama, deiksis, kata ulang, pertalian kata dalam frasa, pertalian intrakalusa, konstruksi aktif pasif, pertalian elemen antarkalusa, dan pertalian antarproposisi. Dalam penelitiannya yang lain mengenai permainan bahasa wacana dagadu (2003) Wijana menekankan fungsi wacana humor yang tidak hanya digunakan untuk memperoleh kesenangan, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai media kritik terhadap masalah-masalah kemasyarakatan.
11
Selain itu ia juga mengemukakan pentingnya humor sebagai hiburan dalam mengajarkan aspek-aspek struktural kebahasaan, seperti masalah homonimi, penentuan fonem, dll. Purwanti (2006) dalam tesisnya yang berjudul ”Wacana Humor dalam Komedi Extravaganza: Kajian Sosiopragmatik” mengungkapkan bahwa efek humor dalam komedi Extravaganza diperoleh melalui pemanfaatkan aspek-aspek kebahasaan, seperti adanya kemiripan bunyi. Penggunaan kata-kata yang bunyinya mirip ini selain untuk membuat lawan tutur menjadi salah persepsi sehingga menimbulkan kelucuan juga bertujuan untuk menyeserasikan kalimat. Sumber kelucuan lain yang dimanfaatkan di dalam wacana komedi extravaganza juga berasal dari sejumlah akronim dan abreviasi yang telah diselewengkan artinya sehingga menimbulkan arti yang baru. Selain itu, aspek humor extravaganza juga didapatkan dengan memanfaatkan ketaksaan amfibologi. Giyatmi (2008) dalam wacana humor pada radio expose di radio JPI FM Solo menemukan bahwa wacana humor RE menggunakan ragam bahasa informal yang kadang diselingi dengan pemakaian bahasa Jawa dan Dialek Jakarta. Wacana humor dalam RE juga memanfaatkan campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai identitas kejawen serta memberikan karakteristik lokal pada radio tersebut. Selain itu, terdapat pula pemanfaatan campur kode bahasa Inggris yang berfungsi untuk menambah prestise bagi para peserta tutur. Unsur humor dalam RE terbentuk dari aspek-aspek kebahasaan dengan
memanfaatkan
ketaksaan
leksikal
berupa penggunaan
polisemi,
homonimi, dan homofoni. Di samping itu, RE juga memanfaatkan ketaksaan 12
gramatikal juga dalam menciptakan humor, yaitu berupa frase amfibologi, frase morfologis, idiom, akronim, plesetan, metafora. Humor di dalam RE di radio JPI FM Solo selain berfungsi untuk menghibur juga dapat berfungsi untuk menyamarkan kemarahan atau rasa jengkel, mengurangi kesalahan, menghindari hal tabu, untuk menyembunyikan maksud tertentu, menyatakan hal yang berlebihan, untuk menyatakan kejujuran, menyembunyikan identitas, dan mengacaukan pemahaman. Rohmadi (2010) dalam artikelnya yang berjudul ”Strategi Penciptaan humor dengan Pemanfaatan Aspek-Aspek Kebahasaan” mengemukakan bahwa humor dapat membuat orang tertawa apabila mengandung kejutan, hal yang mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan, dan membesar-besarkan masalah. Unsur-unsur tersebut dapat tercipta melalui rangsangan verbal yang sengaja diciptakan sedemikian rupa oleh para pelakunya. Di samping itu, ia juga mengungkapkan wacana humor dapat tercipta melalui pemanfaatan beberapa elemen, seperti tulisan, gambar, tulisan dan gambar, dan bunyi. Pemanfaatan humor dengan menggunakan tulisan dan gambar dapat dinikmati oleh para penikmat humor apabila mereka mengetahui konteks. Konteks tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi membutuhkan background knownledge yang sama antara pencipta dan penikmat humor. Suwanto (2012) meneliti wacana humor verbal bahasa Inggris pada serial komedi situasi How I Met Your Mother (HIMYM). Selain menganalisis aspekaspek kebahasaan dan penyimpangan terhadap aspek-aspek pragmatik HIMYM, penelitian ini juga menganalisis kelucuan yang timbul dengan menggunakan teori 13
umum verbal atau General Theory of Verbal yang diperkenalkan oleh salvatore Attardo dan Victor Raskin tentang sumber pengetahuan (knowledge resources) yang dapat menjelaskan fenomena humor secara hierarkial. Sumber pengetahuan yang dimaksud antara lain, (language (LA), Narrative Strategy (NS), Target (TA), Situation (SI), Logical Mechanism (LM), dan script opposition (SO)). Dalam penelitian ini diketahui bahwa tidak semua humor yang ada pada HIMYM dapat dianalisis dengan GTVH. Wahyuningsih (2012) melalui penelitiannya yang berjudul ”Wacana TekaTeki Humor Bahasa Indonesia: Analisis Struktur, Aspek Kebahasaan, dan Fungsi” menyimpulkan bahwa sebagian besar teka-teki modern bahasa Indonesia tercipta melalui teknik plesetan dan beberapa humor tercipta melalui teknik perbandingan dan oposisi. Di samping itu, ciri khas wacana humor teka-teka modern terletak pada ketidaksesuaian pertanyaan dan jawaban. Hal ini terjadi karena fungsi wacana teka-teki humor yang dapat berperan sebagai untuk menghibur dan membingungkan pembaca. 1.6 Kerangka teori 1.6.1 Wacana Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wacana utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap; (2)
14
Seluruh peristiwa bahasa yang membawa ujaran dari pembicara sampai ke pendengar, termasuk ujaran dan konteksnya. (Kridalaksana, 2008: 259). Analisis wacana membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna segala sesuatu yang dituliskan dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan dalam percakapan, atau mengenal wacana yang koheren dan yang tidak koheren, dan berhasil berperan serta dalam kegiatan rumit yang disebut percakapan (Cahyono, 1995: 227). Dalam hal ini, analisis wacana berusaha mencapai makna yang mendekati maupun yang sama dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis. Pemanfaatan analisis wacana dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud pembicara dalam berhumor dan bagaimana tuturan
yang mengandung humor dapat
mempengaruhi dan mengakibatkan seseorang menjadi tersenyum mapun tertawa. 1.6.2 Humor Humor merupakan fenomena yang kompleks dan sulit dijelaskan karena setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap sebuah humor. Penafsiran humor yang berbeda pada setiap orang berkaitan dengan kelucuan yang sifatnya personal dan komunal. Kelucuan secara personal meliputi jenis kelamin, status sosial, dan pendidikan sedangkan kelucuan yang bersifat komunal meliputi asal budaya, etnik, atau ras seorang penikmat humor (Yuniawan, 2005: 288).
15
Secara sederhana, humor dapat didefenisikan sebagai sebuah rangsangan yang bersifat verbal maupun non verbal yang dapat membuat seseorang tersenyum dan tertawa. Humor dan tawa erat sekali hubungannya, sehingga keduanya dapat dikatakan dwitunggal. Secara teoretis, humor yang tidak dapat menimbulkan tawa bukanlah humor, tetapi pada kenyataannya ada juga humor yang tidak menimbulkan tawa. Bukan karena tidak lucu melainkan karena adanya beberapa faktor penghambat. Faktor penghambat yang menjadi kendala penyampaian humor, antara lain: (1) masalah bahasa yang kurang dimengerti oleh pendengarnya; (2) pembawa yang kurang pandai dalam menyampaikannya; (3) pendengar yang tidak mengetahui konteks humor tersebut; (4) adanya represi psikologis yang kuat dari pendengarnya; (5) tidak disajikannya humor tersebut dalam keadaan segar, misalnya untuk kedua atau ketiga kalinya bagi pendengar yang sama (Ensiklopedi Nasional Indonesia, (1989: 498). Pada awalnya teori humor lahir dari disiplin ilmu psikologi karena banyak diteliti oleh para ahli psikologi. Sebuah humor (x) mengandung dua unsur yang saling bertentangan, yaitu (1) makna yang diharapkan (M1), dan (2) makna yang dimaksud (M2). Apabila penerima (penonton/pembaca) menyadari bahwa salah satu makna ternyata keliru, dan ia kemudian tertawa karena menyadari kekeliruannya itu, maka makna yang paradoksal ini terselesaikan (Endahwarni, 1994: 13). Menurut Wilson (1979), teori humor terbagi atas tiga, yakni teori pembebasan, teori konflik, dan teori ketidakselarasan. Ia merumuskan ketiga 16
teori tersebut dan menyatakan bahwa humor menjadi lucu apabila pertentangan makna tersebut (a) menyimpang dari pemikiran normal, dan (b) disajikan secara ekonomis. Struktur sebuah humor dapat digambarkan sebagai berikut, M1
#
M2
=
=
X Proses pemahaman humor terjadi sebagai berikut: 1. M1 = X = M2 # M2 sehingga struktur kognitif menjadi labil; 2. Daya asosiasi X = M1 lebih kuat daripada daya asosiasi X = M2, sehingga persepsi mengenai ketidak sesuaian ini mengejutkan. 3. Keadaan yang tidak serasi ini cepat terpecahkan dengan cara berikut: a. M1 = X M1 # X (Makna 1 tidak betul) b. M2 = X M2 # X (Makna 2 tidak betul) c. M1 # M2 M1 = M2 (kedua makna betul) 4. Dengan mengetahui kesalahan tersebut, penerima menertawakan kesalah dugaan mereka dan menjadi geli dan tertawa. Begitu kondisi kognitif menjadi stabil, strukturnya menjadi netral, tanpa ada pemikiran atau perilaku lebih lanjut. 1.6.3 Aspek Pragmatik
17
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal (Wijana, 1996: 1). Pragmatik dan semantik samasama mempelajari makna, tetapi makna yang yang dikaji oleh semantik adalah makna internal sementara makna yang dikaji dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Leech (1983) mengemukakan bahwa pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tata bahasa yang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Ketika seseorang mendengar sebuah tuturan maka ia tidak saja mencoba memahami kata-kata yang terkandung di dalamnya, tetapi juga makna yang ingin disampaikan oleh penutur. Sebuah komunikasi yang baik dapat terjalin apabila para peserta tutur saling mematuhi norma-norma dalam berbicara. Menurut Grice (1975), sebuah percakapan yang wajar dapat tercipta apabila para penutur harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantiy), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Grice merinci maksim atau aturan ujaran itu sebagai berikut.
(1) Maksim kuantitas: 18
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan kontribusi secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya. a.
Berilah informasi secukupnya
b.
Janganlah memberikan informasi melebihi yang diperlukan Grice kemudian membuat analogi mengenai maksim kuantitas
sebagai berikut, yaitu jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan saya empat bukannya dua atau enam. (2) Maksim kualitas Maksim
kualitas
mewajibkan
setiap
peserta
percakapan
mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Secara singkat maksim ini dapat dirinci sebagai berikut, a. Berikanlah informasi yang benar dan janganlah mengatakan sesuatu yang menurut anda salah. b. Janganlah mengatakan sesuatu apabilla anda kurang mempunyai bukti-bukti yang mendukung.
19
Adapun analogi yang dibuat oleh Grice adalah sebagai berikut, saya
mengaharapkan
kontribusi
anda
sungguh-sungguh,
bukan
sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan anda memberi saya garm. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan sendok-sendokan atau sendok karet. (3) Maksim relevansi: Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk itu, penutur dan mitra tutur harus memahami konteks yang melingkupi pembicaraan. Konteks itu bukan hanya berupa latar tempat terjadinya pemakaian bahasa ataupun objek yang disajikan dalam suatu peristiwa komunikasi. Akan tetapi, lebih dari itu juga meliputi latar belakang pengetahuan yang sama, relasi sosial antar penutur dan mitra tuturnya, juga kalimat-kalimat yang mendahuluinya. Grice menganalogikan maksim relevansi sebagai berikut, saya mengaharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahanbahan adonan kue, saya tidak mengharapkakn diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.
20
(4) Maksim pelaksanaan Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihlebihan, serta
runtut. Maksim ini mengharuskan seorang penutur
menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan tuutrnya secara taksa berdasarkan konteks-konteks pemakainya. a.
Hindarilah maksim-maksim ungkapan yang kabur
b.
Hindarilah keambiguan
c.
Bicaralah singkat
d.
Berbicaralah secara teratur.
Berdasarkan kenyataan ini, Raskin (1985) memodifikasi formulasi maksim percakapan Grice sebagai berikut. (1) maksim kuantitas: berikanlah informasi sebanyak yang diperlukan oleh humor itu. (2) maksim kualitas: katakanlah hal-hal yang hanya cocok dengan dunia humor (3) maksim relevansi: katakanlah hal-hal yang hanya relevan untuk humor. (4) maksim cara: berhumorlah secara efisien. Leech mengatakan bahwa komunikasi tidak harus selalu mengikuti prinsip kerja sama. Secara pragmatis, komunikasi merupakan gabungan antara fungsi ilokusi dan fungsi sosial. Dengan kata lain, komunikasi tidak
21
hanya harus lancar dan jelas, tetapi harus memenuhi tuntutan sosial. Leech kemudian menambahkan prinsip kesopanan (politeness principle) yang terdiri atas beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
kemurahan
(generoisity
maxim),
maksim
penerimaan
(approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kesetujuan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (simpathy maxim). Maksim kesopanan dan submaksimnya dijabarkan sebagai berikut, 1. Maksim kearifan (tact maxim) menggunakan ujaran impsif dan komisif. (a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. (b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan (generosity maxim) menggunakan ujaran imposif dan komisif. (a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin) (b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin) 3. Maksim pujian (approbation maxim) menggunakan ujaran ekspresif dan asertif (a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin (b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) menggunakan ujaran ekspresif dan asertif (a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. (b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
22
5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) menggunakan ujaran asertif. (a) Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain sesedikit mungkin (b) usahakan agar kesepakatan antara antara diri dan orang lain sebanyak mungkin 6. Maksim simpati (symphaty maxim) menggunakan ujaran asertif. (a) Kurangilah rasa antpati antara diri dengan ornag lain (b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak mungkin antara diri dan orang lain. Selain itu, dalam prinsip kesopanan juga dituntut tiga parameter pragmatik, yakni jarak sosial (distance rating), status sosial (power rating), dan kedudukan tindak ujar (rank rating). Berbeda dengan wacana yang wajar (bonafide communication), wacana humor sengaja dibentuk dari penyimpangan-penyimpangan prinsip kerja sama. Di dalam wacana humor EKCT, prinsip-prinsip kerja sama tersebut sengaja dilanggar oleh para peserta tutur untuk mengasilkan kelucuan. 1.7 Metode Penelitian Penelitian mengenai wacana humor EKCT ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Subroto (2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif dalam analisis bahasa itu bersifat deskriptif. Data bersifat deskriptif yang diperoleh dengan cara mencatat dengan cermat data yang terwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum,
23
video-tipe
kemudian
dianalisis
dengan
tujuan
untuk
membuat
generalisasi/kesimpulan umum. Pernyataan Subroto ini sejalan dengan pernyataan Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005) yang mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dipahami. Penelitian tentang wacana humor ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993). Pada tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode simak sebagai metode dasar untuk menyimak penggunaan bahasa yang terdapat pada cerita mop Epen kah cupen toh kemudian dilanjutkan dengan teknik catat. Sumber data yang digunakan berasal dari VCD Epen kah Cupen toh episode 1, 2 tahun 2010, dan episode 3 (2011) yang berisi sketsa-sketsa singkat yang diperankan oleh beberapa orang maupun yang diceritakan oleh seorang pencerita. Data-data yang telah diperoleh tersebut kemudian dicatat di dalam kartu data dan diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek kebahasaan dan aspek-aspek pragmatik. Data
yang
telah
diklasifikasikan
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan metode padan. Metode padan memiliki alat penentu di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Sudaryanto (1992) membagi metode padan menjadi lima jenis, yaitu metode padan referensial, fonetik artikulatoris, translasional, ortografis, dan pragmatis. Metode padan referensial memiliki alat penentu berupa referen bahasa, sementara metode padan fonetik artikulatoris memiliki alat penentu berupa organ wicara. Alat penentu yang digunakan pada jenis metode padan yang ketiga yaitu langue 24
lain, sedangkan metode padan jenis keempat dan kelima memiliki alat penentu berupa tulisan dan mitra wicara. Dalam menganalisis wacana humor EKCT digunakan metode padan pragmatis. Data-data yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan, dan dianalisis kemudian disajikan secara formal dan informal, yaitu menggunakan kata-kata biasa dan menggunakan lambang-lambang khusus (Sudaryanto, 1993: 145). 1.8 Sistematika penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam enam bab. Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II berisi gambaran tentang mop, Bab III membahas tentang pemanfaatan aspek-aspek pragmatik yang sengaja disimpangkan oleh penutur pada wacana humor EKCT. Bab IV berisi karakteristik kebahasaan pada wacana humor EKCT. Bab V berisi fungsi humor dalam wacana, dan Bab VI merupakan kesimpulan yang berisi rekapitulasi penelitian dan saran.
25