BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dewasa ini generasi muda dipandang telah mengalami kemerosotan dalam cara berperilaku, bersikap, dan juga dalam cara menghargai budaya leluhurnya semuanya itu tidak terlepas dari pengaruh modernisasi dan era globalisasi, kaum muda lebih cenderung ke arah pola adaptasi yang memilih “mode of having” daripada “mode of being” (Fromm, 2004). Berdasarkan pengamatan peneliti pada sekitar tempat tinggal peneliti di Perumnas I Waena, Desa Heram, Distrik Waena, Kota Jayapura Provinsi Papua, terlihat bahwa anak-anak usia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas,
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama bahkan sampai
dengan yang berusia
Sekolah Dasar, mereka cenderung pergi ke warnet, pergi ke game on line, lebih suka dance hip-hop dan lainnya yang merupakan bagian dari pengaruh modernisasi ketimbang mempelajari dan mengembangkan tradisi turun temurun yang ada dan berkembang dalam kebudayaan mereka sendiri yang merupakan warisan turun temurun leluhurnya. Melihat hal ini peneliti merasa prihatin karena kehadiran generasi muda dan anak-anak tersebut di warnet dan game on line itu adalah lebih cenderung untuk hal-hal yang bersifat kesenangan/happy atau rekreasi seperti bermain game on line, facebook, down load lagu-lagu daripada mereka menggunnakannya untuk kepentingan pendidikan atau untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dalam hal pergi ke warnet dan game on line ini peneliti melihat adanya gejala ketagihan yang mana jika anak-anak ini memiliki uang mereka cenderung menggunakannya untuk pergi ke warnet dan game on line. Di warnet atau game on line anakanak dan remaja ini biasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam bahkan 1
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
jika orang tua kurang pengawasan anak-anak tersebut dapat menghabiskan waktu mereka sampai larut malam yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga bagi prestasi belajar mereka di sekolah. Dalam mengembangkan kesadaran Sejarah, siswa perlu diberikan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada kearifan lokal melalui studi etnopaedagogi. Secara filosofi Kearifan Lokal dapat diartikan sebagai sistim pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka, bersifat pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan ini bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Menurut Gobyah (Ernawi, 2010: 2) kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal sebagaimana diungkapkan oleh Naritoom, (2003: 13) adalah pengetahuan yang terakumulasi karena pengalaman- pengalaman hidup, dipelajari dari berbagai situasi di sekeliling kehidupan manusia dalam suatu wilayah. Sementara itu, Atmojo (1986:47) menyatakan bahwa kearifan lokal dapat diartikan local development yaitu perkembangan setempat (lokal) yang arahnya menuju ke arah perubahan. Kearifan lokal dan perkembangan lokal berkembang setelah terjadinya kontak kebudayaan atau akulturasi dengan kebudayaan lain. Kearifan lokal bangsa Indonesia merupakan kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif yang disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat. Penggunaan Studi Etnopaedagogi menekankan pada pola pembelajaran pewarisan tradisi antar generasi yang terjadi, sehingga karakteristik suatu kampung adat memiliki daya tahan yang relatif cukup terhadap desakan berbagai perubahan. Pola pembelajaran pewarisan tradisi (handling down), Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
dapat disebut sebagai etnopedagogi. Menurut pandangan Alwasilah et al. (2009), yang menyatakan bahwa etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah, serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan. Jika dikaitkan dengan pembelajaran Sejarah di SMA/MA maka judul yang saya bahas tentang Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah yang Bersumber pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) ini berkaitan dengan Standar Kompetensi 1. Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah, dan Kompetensi Dasar 1.2 Mendiskripsikan Tradisi Sejarah dalam Masyarakat Indonesia Masa Pra Aksara dan Masa Aksara, pada Pokok Bahasan: Cara Mewariskan Masa Lampau, yang dalam uraiannya beberapa cara yang digunakan oleh masyarakat untuk mewariskan masa lampau adalah melalui: pelatihan atau peniruan, penuturan, dan hasil karya (Dwi Ari Listiyani, 2009:24-25). Sekilas tentang lukisan pada kulit kayu Khombouw ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh Suku Sentani yang merupakan salah satu kearifan lokalnya. Suku Sentani merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Provinsi Papua tepatnya di Kabupaten Jayapura dan juga Kota Jayapura yang kehidupannya dipinggiran Danau Sentani. Pola masyarakat yang memiliki kehidupan di pinggir Danau Sentani yang masih hingga kini dikelilingi hutan tidak mengherankan jika tradisi yang dibangunnya tidak terlepas dari karakter lingkungan hutan yang mana kayu Khombouw menjadi salah satu tumbuhan yang banyak terdapat di sekitar hutan Danau Sentani. Menyinggung tentang arti kata Khombouw, Khombouw diartikan sebagai pakaian yang berasal dari pohon kayu untuk menutup tubuh wanita. Dalam kehidupan orang Sentani sekitar tahun 1930 mereka belum memiliki pakaian, pada saat mereka Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
menemukan pohon Khombouw yang seratnya kuat dan tanpa sengaja mereka memukul-mukul batang pohon kayu Khombouw itu dan batang kayu itupun terlepas dan semakin melebar serta lentur maka timbullah pemikiran dari leluhur Suku Sentani pada saat itu untuk mengambil dan memanfaatkan kulit kayu tersebut sebagai bahan pakaian untuk menutup tubuh mereka, bagi kaum wanita kulit kayu ini digunakan untuk menutup tubuh bagian atas dan bagian bawah dan bagi kaum laki-laki kulit kayu ini untuk menutupi tubuh bagian bawah sebagai cawat. Pada masa sekarang lukisan dari kulit kayu Khombouw ini dipergunakan sebagai hiasan dinding, bahan pelapis dompet, bahan pelapis tas, bahan pelapis topi, pakaian adat penjemputan tamu, pakaian adat penobatan Ondofolo, dan pakaian adat dalam tari-tarian pada pesta adat. Lukisan pada kulit kayu Khombouw ini bernilai estetika dan religius. Bernilai estetika karena lukisan ini memancarkan keindahan sedangkan bernilai religius karena lukisan ini juga berkaitan dengan pemujaan dan kepercayaan terhadap arwah dari leluhur Suku Sentani. Oleh leluhur Suku Sentani pengambilan kulit kayu Khombouw ini hanya boleh diambil pada saat bulan purnama dan dalam melukis hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang mempunyai kharisma. Dalam motif lukisanpun dibedakan antara kaum Ondofolo dan kepalakepala suku dari setiap marga berbeda dengan masyarakat biasa. Dalam penggunaan alat-alat melukis pada suku sentani masa lampau mereka menggunakan pewarna alami yang berasal dari alam sekitar seperti dari batu gunung, batu danau, arang, dan pewarna dari kerang yang ditumbuk halus (kapur sirih) selain itu untuk kuas mereka menggunakan lidi dari pohon kelapa dan seraut rotan yang ditumbuk halus bagian depannya. Pohon Khombouw adalah pohon yang tumbuh di sekitar hutan Sentani dan Arso yang mana kulit kayu pohonnya dipakai sebagai wahana untuk melukis dan Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
hasil lukisannya banyak diminati oleh turis asing maupun turis domestik untuk dijadikan buah tangan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam melukis di kulit kayu Khombouw adalah sebagai berikut: pohon Khombouw yang telah mencapai diameter 17 centimeter dikuliti melingkar dengan jarak kurang lebih 1 meter dengan menyisahkan beberapa centimeter pada bagian atas dan beberapa diameter pada bagian belakangnya agar pohon tetap hidup kemudian dikuliti lagi dengan cara yang sama sesuai tinggi pohon (bagian pohon yang telah dikuliti dalam 1-2 tahun kulit kayunya akan tumbuh kembali), selanjutnya lapisan kulit kayu bagian paling terluar dibuang setelah itu kulit kayu yang masih keras dipukul-pukul hingga lentur dan kulit kayu tersebut dijemur sampai kering dan langkah selanjutnya kulit kayu yang sudah kering siap dilukis. Alat yang digunakan dalam melukis pada saat sekarang ini adalah kuas namun pada masyarakat Suku Sentani masa lampau mereka melukis dengan menggunakan lidi dari daun kelapa dan seraut rotan yang ujungnya ditumbuk halus. Bahan yang dipakai untuk melukis pada masa sekarang adalah tinta stensil namun pada masyarakat Suku Sentani masa lampau mereka menggunakan pewarna alami seperti dari arang, kapur sirih, batu gunung atau batu danau lain sebagainya. Budaya melukis pada kulit kayu Khombouw ini adalah tidak merusak lingkungan karena dalam pengambilan kulit pohon, pohon kayu Khombouw tidak ditebang melainkan hanya dikuliti jadi pada waktu 2-3 minggu setelah pengupasan kulit pohon maka kulit pohon akan tumbuh kembali sehingga pohon tetap hidup meskipun kulitnya telah diambil. Disamping itu pohon Khombouw merupakan jenis pohon yang cepat besar jadi saat ditaman dalam usia pohon 2 tahun pohon sudah dapat digunakan kulitnya untuk melukis.
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
Berdasarkan kecintaan peneliti pada tradisi budaya lokal Papua maka peneliti merasa terpanggil untuk melestarikan sekaligus mengembangkan upaya untuk memasukkan nilai tradisi melukis kulit kayu Khombouw dalam pembelajaran di sekolah khususnya pembelajaran Sejarah. Disamping itu yang juga mendasari penulisan tesis ini adalah peneliti merasa sangat penting mengangkat budaya lokal suku sentani tentang budaya melukis pada kulit kayu Khombouw ini serta nilai-nilai moral budaya yang terkandung dalam makna lukisan kulit kayu Khombouw ini karena selama ini sepengetahuan peneliti belum ada penulis lain yang mengangkat/menulis tentang nilai-nilai budaya melukis kulit kayu Khombouw ini secara ilmiah. Selain itu juga sebagai guru Sejarah bagaimana kita mengajarkan pada peserta didik kita tentang nilai-nilai atau values yang ada di daerah sekitar kita yang merupakan warisan dari kebudayaan lokal kepada peserta didik kita agar para peserta didik ini mengenal, mencintai dan melaksanakan/mewarisi kebudayaan lokal tersebut sebagai kebudayaan warisan leluhurnya yang menjadi dasar bagi kebudayaan Nasional serta di atas semua itu kita sebagai guru Sejarah hendak menciptakan siswa sebagai manusia Indonesia yang cinta budaya Indonesia, tanah dan juga bangsanya yakni Bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana menigkatkan kesadaran siswa kelas X SMAN III Sentani melalui pembelajaran Sejarah yang bersumber dari tradisi melukis kulit kayu Khombouw. Agar masalah pokok yang diteliti menjadi lebih jelas, maka akan rumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Mengapa dan untuk apa tradisi melukis kulit kayu Khombouw dari Suku Sentani perlu dilaksanakan? Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
2. Bagaimana desain perencanaan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal? 3. Bagaimana tahapan-tahapan pelaksanaan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal? 4. Bagaimana hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal? 5. Kendala-kendala
apa
sajakah
yang dihadapi
dalam
pelaksanaan
pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal?
C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini ingin mengungkapkan tentang nilainilai kesejarahan yang terkandung dalam tradisi melukis kulit kayu Khombouw dikaitkan dengan pembelajaran Sejarah di sekolah, dan secara khusus tujuan tersebut adalah: 1. Untuk dapat mengetahui mengapa dan untuk apa tradisi melukis kulit kayu Khombouw dari Suku Sentani perlu dilaksanakan. 2. Untuk dapat mengetahui bagaimana desain perencanaan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal. 3. Untuk dapat mengetahui bagaimana tahapan-tahapan pelaksanaan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal. 4. Untuk dapat mengetahui hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal. 5. Untuk
dapat
mengetahui
kendala-kendala
yang
dihadapi
dalam
pelaksanaan pembelajaran Sejarah yang bersumber pada tradisi melukis kulit kayu Khombouw sehingga dapat menumbuhkan kesadaran Sejarah yang bersumber dari kearifan lokal.
D. Manfaat Penelitian Sejalan dengan tujuan penelitian, maanfaat penelitian tentang budaya melukis kulit kayu Khombouw, sebagai berikut : 1. Dari segi teoritis, antara lain: Menemukan konsep esensial dari tradisi melukis kulit kayu Khombouw dalam membangun penguatan terhadap pembelajaran Sejarah lokal di SMA Negeri III Kampung Harapan Sentani dan sekolah- sekolah lainnya di Tanah Papua agar dapat menumbuhkan dan mengembangkan kecintaan siswa terhadap tradisi lokal Papua. 2. Dari segi praktis, antara lain : a) Kepada tua-tua adat Suku Sentani dan masyarakat Sentani agar dapat mewariskan budaya melukis kulit kayu Khombouw kepada generasi sekarang agar tradisi lokal melukis kulit kayu Khombouw serta nilainilai kearifan lokal yang ada dalam sejarah lukisan kulit kayu Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
9
Khombouw dan juga nilai-nilai kearifan lokal dari motif lukisan itupun dapat diwariskan kepada generasi sekarang agar tidak punah. b) Bagi masyarakat Papua bahwa perlunya mengembangkan tradisitradisi lokal lainnya yang pernah ada pada leluhur orang Papua kepada generasi Papua sekarang karena itu merupakan identitas dan jati diri orang Papua yang perlu untuk tetap dilestarikan karena akan menjadi sumbangan bagi budaya nasional Bangsa Indonesia karena kekayaan budaya nasional berakar dari kekayaan budaya lokal c) Kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, terutama para pengembang kurikulum untuk memanifestasikan budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan Sejarah di sekolah agar nilai- nilai yang terkandung dalam tradisi lokal dapat diintegrasikan ke dalam pengajaran Sejarah di sekolah. d) Kepada pengamat dan pemerhati masalah kebudayaan dan sejarawan untuk dapat mengembangkan dan mempublikasikan tradisi budaya lokal melalui berbagai media yang lebih efektif dan efisien, mengingat konsep kebudayaan lokal Papua yang kaya dan beraneka ragam dari Sorong sampai Merauke belum terlalu banyak dipahami oleh generasi muda Papua saat ini.
E. Klarifikasi Konsep Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menjelaskan konsepkonsep dalam judul ini, peneliti akan menjelaskan konsep-konsep di bawah ini: 1. Pembelajaran Sejarah Pendidikan Sejarah dalam kurikulum pendidikan sejarah SMA/MA pada latar belakang kurikulum yang dikeluarkan oleh Badan Standar Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
10
Nasional Pendidikan (BSNP) bahwa mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, maka pembelajaran Sejarah disusun dengan materi sebagai berikut : a) Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. b) Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban Bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban Bangsa Indonesia di masa depan. c)
Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk
menjadi
perekat
bangsa dalam
menghadapi
ancaman
disintegrasi bangsa. d)
Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
e)
Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap tanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Jika dilihat dari butir ke empat pada materi pembelajaran Sejarah
oleh BSNP di atas maka pembelajaran sejarah di SMA/MA hendaknya membentuk watak berarti pendidikan harus diarahkan kepada pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik, karena pembentukan kepribadian harus didekati dari pribadi yang sadar akan dirinya, masyarakatnya, dan akan budayanya di mana dia berada. Maka Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
11
pendidikan kepribadian akan sangat tergantung pada pendidikan yang sarat nilai, yang lazimnya diperoleh sejak dini dilingkungan keluarga, kemudian di lembaga pendidikan dan selanjutnya juga di dalam masyarakat.
Pembelajaran
Sejarah
idealnya
harus
mampu
mengembangkan nilai-nilai budaya, hal ini sesuai dengan landasan pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan sejarah yaitu: landasan filosofis, dalam hal ini berkaitan langsung dengan landasan filosofis pendidikan sejarah yang didasari pada landasan filosofis kurikulum, berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dalam Hasan (2012:4), maka sebuah kurikulum dapat dikembangkan atas dasar filosofi humanisme. Pendidikan nilai atau value dalam pendidikan Sejarah sesuai dengan
landasan
humanisme
yang
mana
landasan
humanisme
memandang bahwa pendidikan Sejarah haruslah dipelajari untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dan bukan hanya intelektual peserta didik semata. Dengan demikian pendidikan Sejarah harus membuka kesempatan yang lebar bagi peserta didik mengembangkan kebebasan dalam berfikir, bertindak dan mengembangkan nilai-nilai yang dianggap menguntungkan dirinya dan tidak bertentangan dengan masyarakat. 2. Kesadaran Menurut Harris (2001) dalam Hasan (2007:132), mengatakan bahwa kesadaran atau awareness adalah atribut berfikir kritis yang ketiga. Secara sederhana merumuskan kesadaran dengan kemampuan untuk melihat apa yang terjadi di sekitar seseorang (the ability to look around). Berdasarkan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan kesadaran pada penelitian ini adalah bahwa para siswa siswi SMAN III Sentani Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
12
Kabupaten Jayapura harus mengerti akan tradisi turun temurun yang ada dalam kebudayaannya dan tradisi itu perlu terus dilestarikan agar tidak luntur atau bahkan hilang karena itu merupakan tradisi lokal yang harus dilestarikan. 3. Nilai Sejarah Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan (Rokeach, 1973:5). Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan diinginkan. Pengertian Sejarah menurut Frederick
dan Soeroto adalah berasal dari kata syajaroh yang dalam
bahasa Arab berarti pohon, genelogi, pohon, dan jati diri. Dengan demikian, pengertian nilai-nilai kesejarahan yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah bahwa dengan tradisi melukis pada kulit kayu Khombuow dari setiap motif lukisan memiliki makna yang bernilai sejarah. Nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam motif lukisan pada kulit kayu
Khombouw
yakni
nilai
religius,
nilai
kemakmuran, nilai
kebersamaan, nilai penghormatan/penghargaan, dan nilai estetika
itu
harus diketahui oleh generasi dari suku Sentani saat ini guna mengetahui jati dirinya. 4. Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Kata “tradisi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1483) adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dengan demikian maka terkait penelitian ini yakni generasi muda suku Sentani yang termasuk di dalamnya para siswa siswi harus mengetahui dan menjalankan adat
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
13
kebiasaan turun-temurun tentang tradisi melukis kulit kayu Khombouw yang masih dijalankan oleh Suku Sentani sampai saat ini. Kata “melukis” yang dimaksud di sini adalah budaya melukis pada kulit kayu Khombouw yang dilakukan oleh Suku Sentani di pinggiran Danau Sentani dengan menggunakan kulit kayu Khombouw sebagai kanvas. Kegiatan melukis yang mereka lakukan pada kulit kayu Khombouw pada masa lampau kuas yang digunakan adalah seraut rotan yang ujungnya ditumbuk menyerupai kuas dan lidi dari daun pohon kelapa sebagai alat untuk melukis sedangkan pada masa sekarang telah digunakan kuas dan bahan pewarna yang digunakan oleh Suku Sentani masa lampau adalah dengan menggunakan arang kayu untuk warna hitam, kapur sirih untuk warna putih dan batu gunung atau batu danau yang ditumbuk halus untuk warna merah namun pada masa sekarang telah menggunakan pewarna dari tinta stensil. Tiga warna yang dipakai yakni merah, putih dan hitam melambangkan keperkasaan. Warna merah dipakai untuk bentuk yang lancip, warna putih sebagai warna dasar sedangkan warna hitam sebagai pemisah antara warna merah dan warna putih. Motif lukisannya pun tidak terlepas dari apa yang pada lingkungan mereka seperti ikan, pohon sagu, lingkaran, persegi, segitiga, perahu, penggayu, burung cenderawasih, buaya, kura- kura, cicak, tifa, dan lain sebagainnya yang memiliki maknanya sendiri- sendiri. 5. Kearifan Lokal (Local Wisdom) Kearifan
(wisdom)
menurut
pengertian
secara
etimologis
mengandung arti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi suatu kejadian, objek atau situasi. Sementara lokal (local) menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Maka kearifan lokal secara substansial merupakan norma Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
14
yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari (Novio, 2012: 14). Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistim pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan ini bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi- budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian- bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Kearifan lokal menurut Gobyah (Ernawi, 2010:2) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Pada sisi lain kearifan lokal atau sering disebut (local wisdom) menurut Ridwan (Ernawi, 2010:3) dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Menurut Sutarto (2006:1) menyebutkan bahwa kearifan atau kecendikiaan lokal (adat) yang digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat merupakan bagian sentral dari tradisi. Tradisi adalah kebiasaan turun temurun yang mencerminkan keberadaan para pendukungnya. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan masyarakat dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
15
wilayah di mana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis- geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005). Kearifan lokal sering diidentikan dengan local wisdom, atau yang lebih tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya disebut penemuan /temuan tradisi (invention of tradition). Dalam pengertian lebih jauh, kearifan lokal sebagaimana diungkapkan oleh Naritoom, (2003:13) adalah pengetahuan yang terakumulasi karena pengalaman-pengalaman hidup, dipelajari dari berbagai situasi di sekeliling kehidupan manusia dalam suatu wilayah. Sementara itu, Atmojo (1986:47) menyatakan bahwa kearifan lokal dapat diartikan local development yaitu perkembangan setempat (lokal) yang arahnya menuju ke arah perubahan. Kearifan lokal dan
perkembangan
lokal
berkembang
setelah
terjadinya
kontak
kebudayaan atau akulturasi dengan kebudayaan lain. Kearifan lokal bangsa Indonesia merupakan kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat. Dengan demikian, pengertian kearifan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah bahwa tradisi melukis pada kulit kayu Khombuow merupakan hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan Suku Sentani yang harus diwarisi turun temurun karena merupakan pencerminan keberadaan leluhur suku Sentani.
6. Studi Etnopaedagogi
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
16
Etnopaedagogi berasal dari kata Etnografi dan Paedagogi. Menurut Le Clompte dan Schensul etnografi adalah metode penelitian yang berguna untuk menemukan pengetahuan yang terdapat atau terkandung dalam suatu budaya atau komunitas tertentu. Sedangkan Paedagogi berarti pendidikan, jadi penggunaan Studi Etnopaedagogi menekankan pada pola pembelajaran pewarisan tradisi antar generasi yang terjadi, sehingga karakteristik suatu kampung adat memiliki daya tahan yang relatif cukup terhadap desakan berbagai perubahan. Pola pembelajaran pewarisan tradisi (handling down), dapat disebut sebagai etnopedagogi. Menurut pandangan Alwasilah et al. (2009), yang menyatakan bahwa etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah, serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan. Penelitian yang berjudul Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kasadaran Sejarah Siswa Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal ini menggunakan studi etnopaedagogi yang mana merupakan praktek berbasis kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan dalam pembelajaran sejarah di SMAN III Kampung Harapan Sentani Kabupaten Jayapura.
F. Paradigma Penelitian Agar penelitian ini mengarah pada sasaran yang tepat maka diperlukan suatu kerangka berfikir atau paradigma yang tepat. Wiriaatmadja (2005:8485) dalam Matitaputty (2010:12) menyebutkan paradigma dalam ilmu- ilmu sosial dan kemanusiaan membantu peneliti dalam menemukan fenomena tentang asumsi- asumsi dunia sosial, bagaimana ilmu disusun atau diorganisir, dan apa yang disebut masalah dan kriteria pembuktiannya. Paradigma Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
17
menurut Kuhn (1989:43) dapat diartikan sebagai suatu sudut pandang, atau cara berfikir, pendekatan, atau kerangka pikir (frame of reference) yang melandasi kegiatan ilmiah, atau sebagai suatu gugus berfikir baik berupa model atau pola yang digunakan oleh para ilmuan dalam upaya studi- studi keilmuan. Bogdan dan Biklen dalam Matitaputty (2010:12) mendefinisikan paradigma adalah sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dalam penelitian. Lebih lanjut penelitian ini menggunakan paradigma penelitian ilmiah yang dipraktekan menggunakan langkah-langkah penelitian kualitatif yang jika ditampilkan sebagai berikut:
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
18
Paradigma Penelitian
Pelaku Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw
Nilai tradisi lokal yang terkandung adalah Nilai Religius, Nilai Kemakmuran, Nilai Kebersamaan, Nilai Penghormatan/Penghargaan, dan Nilai Estetika
Motif dan Makna
Proses Pewarisan
Tradisi Lokal Sebagai Sumber Belajar Sejarah
Nilai-nilai Sejarah yang tumbuh adalah dapat mengembangkan nilai-nilai budaya sesuai landasan filosofi pendidikan sejarah. (siswa mencintai dan mewarisi nilai-nilai budaya lokal sebagai jati diri Bangsa Indonesia)
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
19
Paulina Hermelina Fonataba, 2013 Tradisi Melukis Kulit Kayu Khombouw Untuk Mengembangkan Kesadaran Sejarah Yang Bersumber Pada Kearifan Lokal (Studi Etnopaedagogi Di Kalangan Siswa Kelas X SMAN III Sentani Kabupaten Jayapura) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu