BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 1992 perbankan menganut dual banking system yaitu sistem bunga (interest) dan sistem bagi hasil (loss and profit sharing). Sistem bunga dipergunakan oleh bank konvesional dan sistem bagi hasil dipergunakan oleh bank syariah. (Atang Abd Hakim, 2011 : 64). Bank Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Islam mendorong pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh pertumbuhan riil. Pertumbuhan usaha riil akan memberikan pengaruh positif pada pembagian hasil yang diterima oleh beberapa pihak yang melakukan usaha. Pembagian hasil usaha dapat di aplikasikan dengan model bagi hasil. Bagi hasil yang diterima atas hasil usaha, akan memberikan keuntungan bagi pemilik modal yang menempatkan dananya dalam kerja sama usaha. ( Ismail, 2011: 23) Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai upaya melaksanakan UU No. 7 Tahun 1992. Menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
1
2
Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah yang berdasarkan syariah yang dijadikan acuan oleh bank berdasarkan bagi hasil untuk menetapkan imbalan. Imbalan ini bisa berupa: 1.
Imbalan yang diberikan kepada nasabah sehubungan dengan pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
2. Imbalan yang akan diterima oleh bank terkait dengan penyediaan dana bagi masyarakat, baik untuk keperluan, investasi, modal kerja maupun jual beli. 3. Imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil. (Atang Abd Hakim, 2011: 92) Adapun
yang
dimaksud
dengan
pembiayaan
berdasarkan
Syariah
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 10 tahun 1998 adalah : Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. (Atang Abd Hakim, 2011: 95) Pembiayaan dalam Bank Syariah, menurut sifat dan kegunaannya dapat terbagi atas pembiayaan produktif dan konsumtif. Sedangkan menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. (Muhammad Syafi’I Anthonio, 2001 : 160 ). Bank Syariah yang menetapkan prinsip bagi hasil dalam menjalankan kegiatannya tidak menggunakan sistem bunga sebagai dasar untuk menentukan imbalan yang akan
3
diterima atas jasa pembiayaan yang diberikan nasabah. Demikian pula imbalan yang akan diberikan kepada nasabah atas dana yang dititipkan kepada bank. Penentuan imbalan berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Pembiayaan menurut Undang-Undang angka 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Bab I angka 25 adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/ atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. ( kompilasi perundang-undangan tentang ekonomi syariah, 2008 : 6 ) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan untuk mendapatkan barang dan jasa sekaligus, dimana tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati
4
di muka. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok ini dan kerap digunakan oleh perbankan syariah adalah musyarakah dan mudharabah. (Nur Rianto, 2010 : 50) Didalam prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) secara otomatis resiko kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana. Prinsip bagi hasil yang diterapkan bank syariah mengandung beberapa prinsip penerapan yang perlu dikaji untuk menyeleseikan permasalahan yang mungkin timbul. Prinsip bagi hasil merupakan suatu ketentuan dalam pembiayaan yang telah disepakati bersama antara bank (shȃhib al-mȃl) dengan pihak pengelola dana (mudhȃrib) yang berdasar syariah. Jika terjadi kerugian dalam usaha, maka hal tersebut sebagai redaksi atau modal dan ditanggung oleh pemilik modal itu sendiri (mudharabah). Berbeda dengan musyarakah, keuntungan dan kerugian akan dibagi diantara kedua pihak sesuai dengan proporsi pada modal yang diinvestasikan. Syirkah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan usaha, di mana modal dan keuntungan dimiliki oleh pihak dan dibagi bersama kepada semua pihak yang berserikat. (Ahmad Wardi Muslich, 2010 : 341) Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat
5
meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. (Ascarya, 2011: 51) Di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi, dalam perhitungan bagi hasil musyarakah, terlebih dahulu menetapkan proyeksi hasil usaha dari usaha yang akan dibiayai dengan pembiayaan musyarakah tersebut. Proyeksi hasil usaha ini menjadi dasar perhitungan bagi hasil yang mengakibatkan angsuran yang wajib dibayarkan nasabah setiap bulannya. Dengan deimikian, nisbah bagi hasil yang ditetapkan di awal akad hanya berlaku terhadap proyeksi hasil usaha bukan keuntungan riil yang diperoleh nasabah setiap usahanya. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan bank dan nasabah bersepakat dalam pembagian keuntungan tetapi tidak dalam kerugian, apabila kerugian terjadi maka nasabahlah yang menanggung semua kerugian tersebut. (Wawancara dengan Ibu Embang Maryana Selaku SME Account afficer, 03 April 2014 ) Pelaksanaan pembiayaan musyarakah ini mengakibatkan pihak Bank BNI Syariah mendapatkan keuntungan yang pasti, meskipun dalam perjanjian pembiayaan ini disebutkan bahwa nasabah wajib melaporkan laporan keuangan. Tetapi pada saat penandatanganan perjanjian musyarakah, nasabah juga diberikan lampiran tambahan yang berisi rincian jadwal angsuran pokok dan angsuran bagi hasil yang berupa nominal lengkap dengan tanggal angsurannya. Berbeda dengan yang terjadi di Bank BNI Syariah, pembiayaan musyarakah menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah yang mana dalam angkan 3 huruf c poin no. 2 yaitu setiap
6
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi, pada prakteknya keuntungan jumlahnya sudah ditentukan di awal. Dalam hal ini penulis melihat adanya timbul ketidakadilan baik pihak Bank BNI Syariah maupun nasabah, misalnya pada bulan berjalan nasabah mendapatkan keuntungan lebih besar dari pada proyeksi yang sudah ditetapkan, maka dalam hal ini terjadi ketidakadilan terhadap Bank BNI Syariah, karena bagi hasil yang dibayarkan nasabah sesuai dengan nominal yang telah ditetapkan di awal akad. Begitupun sebaliknya apabila pada bulan berjalan, ternyata nasabah mengalami kerugian, maka terjadi ketidakadilan terhadap nasabah, sebab nasabah tetap berkewajiban membayar bagi hasil yang telah ditetapkan di awal akad. Hal ini juga bertolak belakang dengan musyarakah yang keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama dan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat dengan presentase modal masing-masing. Mencermati latar belakang di atas, menarik minat penulis untuk menelitinya sebagai tugas terakhir dalam bentuk skripsi. B.
Rumusan Masalah Masalah penelitian ini ialah Bank BNI Syariah Cabang Sukabumi
menentukan keuntungan usaha nasabah dalam akad musyarakah di awal akad, padahal menurut Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah dalam keputusan angka 3 huruf c.2 menerangkan bahwa keuntungan itu tidak ditentukan di awal transaksi.
7
Berdasarkan masalah ini dapat ditarik beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pembiayaan akad musyarakah di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi? 2. Bagaiman prosedur penetapan proyeksi hasil usaha dalam perhitungan bagi hasil pembiayaan musyarakah di Bank BNI Kantor Cabang Sukabumi? 3. Bagaiman korelasi antara penetapan keuntungan di awal oleh Bank BNI Syariah Cabang Sukabumi dengan Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah dalam keputusan angka 3 huruf c.2?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui pelaksanaan pembiayaan akad musyarakah di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi.
2.
Untuk mengetahui prosedur penetapan proyeksi hasil usaha dalam perhitungan bagi hasil pemmbiayaan musyarakah di Bank BNI Kantor Cabang Sukabumi.
3.
Untuk mengetahui korelasi antara penetapan keuntungan di awal oleh Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi dengan fatwa DSN No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah dalam keputusan angka 3 huruf c.2.
8
D. Kerangka Pemikiran Bagi hasil dalam sistem lembaga keuangan syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat dalam aturan syariah, yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya akad dan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang merupakan angka porsi pembagian pendapatan masing-masing pihak yang bekerja sama. Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal berikut: a.
Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati di awal akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah menurut syariah.
b.
Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai keuntungan nyata yang diperoleh oleh hasil usaha, dan tidak di tetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan lumsum untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu berkaitan dengan modal investasi. ( Ascarya, 2011 : 53 ) Kelebihan utama bagi hasil adalah bersifat kondisional dalam membagi
keuntungan antara pihak yang melakukakn transaksi. Para pihak dapat saling berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan pertimbangan kelayakan dan rasionalitas. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah Pasal 19 ayat (1) huruf c juga menyatakan bahwa kegiatan usaha bank syariah salah satunya menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad
9
musyarakah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. (Afnil Guza, 2008 : 12 ) Menurut Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/XI/2000 tentang prinsip distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah bahwa prinsip distribusi hasil usaha yang diterapkan di perbankan syariah terdiri dari dua sistem, yaitu profit sharing dan revenue sharing. Dalam profit and loss sharing, jumlah yang harus dibagihasilkan, dikurangi terlebih dahulu dengan semua biaya-biaya yang diperlukan sehingga jumlahnya menjadi lebih sedikit. Apabila revenue sharing yang dipilih, maka konsekuensinya adalah jumlah yang harus dibagihasilkan lebih banyak, tetapi bagi mudhȃrib, jumlah bagi hasil yang merupakan bagiannya itu menjadi berkurang karena ongkos-ongkos yang telah dipergunakan menjadi tanggungannya. ( Karnaen A. Perwataatmadja, 2007 : 126 ) Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilȃth yang artinya campur atau percampuran. Maksud percampura disini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. ( Hendi Suhendi, 2010 : 125 ). Menurut ulama Malikiyah al-syirkah adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. ( Nasrun Haroen, 2007 : 165 ) Syirkah juga berarti sharing (berbagi). Dan didalam terminologi Fikih Islam dibagi dalam dua jenis yaitu: a. Syirkah al-milk atau syirkah amlȃk atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atu lebih dari suatu properti.
10
b. Syirkah al-‘uqȗd atau syirkah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. ( Ascarya, 2011 : 49 ) Syirkah al-‘uqȗd terbagi ke beberapa jenis yatu: 1) Syirkah al-‘inȃn atau syirkah akad dua orang atau lebih untuk berserikat harta yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapat keuntungan (tambahan), dan keuntungan itu untuk mereka yang berserikat. ( Sulaiman Rasjid, 2004 : 296 ) 2) Syirkah al-‘abdȃn, transaksi ini disebut juga syirkah operational, terjadi bila dua orang atau lebih sepakat untuk melakukan bisnis melalui tenaga yang mereka miliki dengan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal. 3) Syirkah al-wujȗh, transaksi ini dalam istilah akuntansi disebut juga sebagai nilai good will, yaitu kesepakatan antara orang yang mempunyai kredibilitas dibidang tertentu yang kredibilitasnya melakukan bisnis. 4) Syirkah al-mudhȃrabah, transaksi ini sebenarnya adalah kombinasi antara syirkah keuangan dengan syirkah operational. ( Lukman Hakim, 2012 : 107 )
11
Syirkah merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan al-qur’an, sunnah, dan ijma’. Dasar dari alquran antara lain dalam surah Shaad (38) ayat (24)
Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat". ( Soenarjo dkk, Alquran dan Terjemahnya Juz 1-30 Kitab Suci Alquran, 1994 : )
Adapun menurut Hadist Abu Hurairah yang berbunyi:
ُ أَنَاثَا ِل: ِإ َّن َّالَّلَ َيقُ ْو ُل: َرفَ َعهُ قَا َل,َ ع ْن أَبِى ُه َري َْرة َّ ث ال ُاح َبهُ فَإ ِ ذَاخَانَه ِ ص َ َ ش ِر ْي َكي ِْن َمالَ ْم َي ُخ ْن أ َ َحدُ ُه َما .خ ََرجْ تُ ِم ْن َب ْينِ ِه َما Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda: "sesungguhnya Allah berfirman: saya adalah pihak ketiga dari orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila ia berkhianat kepada temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya. (HR. Abu dawud). ( A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, 2011 : 391 )
12
Adapun menurut ijma’ yang berbunyi: Ibnu Qudamah dalam pendapatnya, al-mughini, telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” Pada dasarnya hukum syirkah adalah boleh atau halal sebelum ada dalil yang menerangkan tentang keharamannya, sesuai dengan kaidah yang menyatakan: ( A. djazuli, 2007 : 130 )
لى تَ ْح ِري ِْم َها ْ َ األ َ اإلبَا َحةُ االَّ أ َ ْن يَد ُ َّل دَ ِل ْي ٌل ِ ص ُل فِي ال ُمعَا َملَ ِة َ ع “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah di bagi menjadi empat bagian yaitu: ( Hendi Suhendi, 2007 : 127 ) a. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawwadah. d. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syaratsyarat syirkah mufawwadah.
13
Didalam peraturah Mahkamah Agung Nomor 2 Tahung 2008 tentang Kompilsai Hukum Ekonomi Syariah Bagian Ke VI tentang syirkah pasal 180 dinyatakan bahwa dalam kerjasama modal yang disertai dengan kerjasama pekerjaan, maka pekerjaan dinilai berdasarkan porsi tanggung jawab dan prestasi. Prinsip musyarakah tersebut digunakan dalam produk pembiayaan di bank syariah. Adapun cara membagi keuntungan adalah nisbah bagi hasil yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan musyarakah. Jadi
dalam
musyarakah tidak ada unsur riba karena yang dibagikan adalah dari keuntungan. Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk musyarakah sudah diatur dalam UndangUndang Nomo 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah. Dalam ketentuan padal 1 ayat 25 secara eksplisit disebutkan bahwa Musyarakah merupakan salah satu dari produk pembiayaan pada perbankan syariah. (Afnil Guza, 2008:5). Pembiayaan musyarakah juga telah diatur dalam ketentuan Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah. Menurut pendapat pengikut mazhab Syafi'i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan dalam kontrak, karena setiap mitra tidak boleh melakukan penyimpangan antara kontribusi modal yang diberikan dan tingkat rasio proporsi modal yang diberikan, entah dia turut bekerja atau tidak, bagian tersebut harus diberikan dalam porsi yang sama diantara setiap mitra. Apabila terjadi kerugian (loss), keempat madzhab Sunni mengatakan bahwa dalam kontrak musyarakah tidak ada fleksibilitas pembagian kerugian dengan perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak. Apabila salah satu
14
mitra mensyaratkan mitra lain untuk menanggung lebih besar jumlah kerugian daripada perbandingan kontribusi modal dan disebutkan dalam kontrak, maka kontrak tersebut dinyatakan batal dan tidak sah. Prinsip ini berdasarkan penjelasan khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, yang mengatakan keuntungan (profit) dibagi berdasarkan yang dicapai dalam kontrak, sedangkan kerugian dibagi berdasarkan kontribusi modal yang disertakan. ( Lukman Hakim, 2012 : 108 ) Dari beberapa penjelasan di atas yang mana peneliti mengambil dari berbagai sumber-sumber yang dijadikan dasar atau acuan pada penelitian ini, maka peneliti dapat menyimpulkan dalam bentuk bagan kerangka berfikir, diantaranya berikut ini:
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir
BANK
Pengajuan P.M.K
NASABAH
Kegiatan Usaha
Untug
Sumber : ringkasan dari berbagai sumber di atas
Rugi
15
E. Langkah-Langkah Penelitian Langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang. Terkait dengan penelitian ini maka penulis mendeskripsikan realita yang ada mengenai pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad musyarakah di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi. 2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi, lokasi ini dipilih karena pembiayaan musyarakah untuk modal kerja mempunyai jumlah yang cukup besar, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini lengkap. Kemudian dari segi izin penelitian cukup mudah sehingga menjadi lokasi pilihan penulis. 3. Jenis Data Data ialah fakta atau informasi atau keterangan yang dijadikan sebagai sumber atau bahan menemukan kesimpulan dan membuat keputusan. Adapun jenis data yang diteliti adalah data kualitatif, yaitu data yang tidak berbetnuk bilangan. Data ini bersumber pada hasil teknik pengumpulan data yaitu teknik observasi, teknik wawancara dan teknik studi kepustakaan.
16
4. Sumber Data Penetuan sumber data didasarkan atas jenis data yang telah ditentukan, pada tahapan ini ditentukan sumber data primer dan sumber data sekunder. ( Cik Hasan Bisri, 2008 : 64 ) a. Sumber data primer yaitu sumber data utama dari suatu penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yang diangkat dalam penelitian ini. Dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara dari pihak-pihak terkait. b. Sumber data sekunder yaitu sumber diambil dari sumber yang berupa literatur kepustakaan, baik berupa buku-buku, dokumen tertulis dan lainlain yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti mengenai bagi hasil yang telah ditentukan di awal dalam bentuk nominal yang berada di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi. 5. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data tergantung pada jenis data dan sumber data yang diperlukan ( Cik Hasan Bisri, 2008 : 58 ). Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Obesrvasi Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah pengamatan secara langsung terhadap pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad musyarakah. Tujuan dari observasi ini adalah untuk memperoleh data yang sebenar-benarnya dengan melakukan pengamatan
17
secara langsung mengenai pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad musyarakah di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi. Adapaun peneliti memulai observasi di Bank BNI Syariah kira-kira pada tanggal 03-11 april 2014 guna untuk mengetahui data yang diperlukan di Bank BNI Syariah itu sendiri. b. Wawancara Yaitu teknik pengmpulan data dan informasi yang dilakukan melalui komunikasi langsung dengan cara bercakap-cakap /Tanya jawab dengan para staf di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Sukabumi yaitu dengan Ibu Embang Maryana Jabatan Sebagai SME Account officer dan Ibu Hilda Mardianti Jabatan Sebagai Asisten Operational pada tanggal 04 april 2014 tentang pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad musyarakah. c. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi Studi
kepustakaan
dan
dokumentasi
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan bahan, mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan masalah bagi hasil musyarakah. Hasil studi kepustakaan ini dapat dijadikan landasan atau sumber data pelengkap. 6.
Pengolahan dan Analisa Data Pengolahan
data
dilakukan
dengan
cara
mengelompokkan
dan
menghubungkan jawaban, pandangan, dan relevansi masalah, kemudian setelah itu dilakukan analisa data yang melalui tahapan-tahapan sebagi berikut:
18
a. Melakukan seleksi terhadap data yang telah terkumpul dari berbagi sumber data, baik sumber data primer maupun sekunder. b. Mengelompokkan seluruh data dalam satuan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka pemikiran. d. Menarik
kesimpulan
dari
data-data
yang
dianalisa
memperhatikan rumusan masalah yang telah ditentukan.
dengan