1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, tindak pidana juga mengalami perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana merupakan salah satu bentuk “perilaku menyimpang” yang selalu melekat pada kehidupan masyarakat. Perilaku menyimpang yang dimaksud merupakan suatu ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, yang dapat menimbulkan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma, dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan masyarakat.1 Tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang disebabkan oleh pengendalian diri dan emosi yang tidak terkontrol dan berujung pada kejenuhan pikiran. Keadaan inilah yang menimbulkan manusia tidak dapat berpikir jernih dan sehat. Tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan mengalami perkembangan yang diiringi dengan model dan bentuk yang sangat beragam. Peristiwa pembunuhan yang umumnya terjadi yaitu pembunuhan anak dengan 1
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar grafika, Jakarta, h. 1.
2
berencana. Berdasarkan fakta yang terjadi, kini telah terjadi kasus pembunuhan anak dengan berencana yang juga disertai dengan kejahatan lain yaitu mutilasi. Sebenarnya hak hidup seorang anak perlu dilindungi dan harus benar-benar di jaga, namun kita harus melihat begitu banyak kejadian yang mengenaskan menimpa anak-anak. Kasus pembunuhan anak dengan berencana ini merupakan suatu ancaman yang besar dan berbahaya bagi anak serta kekhawatiran bagi para orang tua. Penyebab utama terjadinya kasus pembunuhan anak umumnya ialah kesulitan ekonomi sehingga seseorang dapat nekat melakukan tindakan ini. Anakanak seharusnya tidak menjadi korban dalam kasus tindak pidana pembunuhan ini karena anak seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga maupun Negara Indonesia. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada manusia.2 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhnya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang pada dirinya juga terdapat hak dan kewajiban yang di lindungi oleh negara, karena itu anak-anak perlu dilindungi secara khusus agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja.3 Anak juga harus dapat bertumbuh dengan baik, sebab anak-
2
H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung, h.121. 3 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
3
anak merupakan tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang.4 Sebagai suatu konteks tindak pidana biasanya pelaku melakukan tindakan pembunuhan berencana yang disertai mutilasi adalah dengan tujuan untuk membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu. Dari sisi ilmu kriminologi, secara definitive yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Motif dari pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas korban sulit dilacak, apalagi pelakunya. Menghilangkan identitas dengan cara memotong-motong tubuh juga mencerminkan kepanikan pelaku. Usai melakukan pembunuhan, pelaku
biasanya
panik
dan
mencari jalan pintas
untuk
menyelamatkan diri. Pelaku pembunuhan mutilasi juga umumnya seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan apalagi jika pelaku berpikir untuk menghilangkan kepala, jari, dan tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji deoxyribose-nucleic acid (DNA) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA baru bisa dilakukan jika ada pembanding. Ada dua kemungkinan orang melakukan mutilasi. Pertama, pelaku khawatir dirinya akan ditangkap bila meninggalkan korbannya secara utuh. Mereka berpikir bila meninggalkan jejak, terungkapnya kasus tersebut akan sangat tinggi. Karena itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku 4
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, h.1.
4
dengan sengaja melakukan mutilasi dengan harapan orang lain akan sulit mencari jejak korban maupun pelaku. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi atau media lainnya. Oleh karena itu, para pelaku mengambil referensi dari berbagai ragam media massa, baik cetak maupun elektronik. Namun, kemungkinan yang paling besar adalah para pelaku panik dengan tindakan yang dilakukannya. Mutilasi awalnya merupakan sebuah tradisi yang telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukannya di mana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku Aborigin, Brazil, Amerika, Meksiko, Peru, dan suku Conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan di mana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.5 Mutilasi adalah pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang mempunyai motif kejahatan seksual, di mana tidak jarang tubuh korban dirusak, dipotong-potong menjadi beberapa bagian.6 Kejahatan mutilasi digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Pelaku tindak pidana mutilasi seringkali
5 6
Gilin Grosth. 2004. Pengantar Ilmu Bedah Anestesi. Yogyakarta, Prima Aksara. h.21. Koesparmono Irsan. 2008.,Kedokteran Forensik. Jakarta, Sinar Grafika. h. 123.
5
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, dalam hal ini nilai agama pun tidak dipedulikan lagi karena tingginya tingkat emosional dan rendahnya moralitas dari pelaku itu sendiri. Kasus tindak pidana pembunuhsn disertai mutilasi menjadi ukuran tindak pidana sadis karena perbuatan pelaku benar-benar dianggap sebagai tindakan yang luar akal sehat dan tidak dapat diterima. Terdapat contoh kasus pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi yang terjadi di Kabupaten Siak. Kasus ini diambil sebagai penunjang dalam meninjau secara yuridis tentang pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai dengan mutilasi. Berikut adalah kronologis kasus pembunuhan anak disertai dengan mutilasi di Kabupaten Siak. TribunPekanbaru.com.Kamis, 12 Februari 2015 15:31 Kasus Mutilasi Tok! Terdakwa Pembunuhan Mutilasi Siak Divonis Hukuman Mati Delfi Cs, pelaku pembunuhan disertai mutilasi, diseret ke pengadilan atas perbuatan sadis mereka membunuh dan memutilasi tujuh korban, yang semuanya laki-laki dan umumnya berusia bocah. Ketujuh orang itu adalah Febrian Dela (5), M. Hamdi Al-Iqsan (9), Rendi Hidayat (10), M. Akbar (9), Marjevan Gea (8), Femasili Madeva (10), dan Acik (4). Pelaku pembunuhan anak melakukan pembunuhan dengan cara atau modus mengajak anak yang menjadi target korbannya memancing atau bermain, kemudian diajak ketempat sepi lalu dibunuh, diambil kemaluannya, dan juga bagian- bagian organ penting korban. Mayat korban kemudian dibuang kesemak-semak. Setelah dibunuh, korban dimutilasi dan diambil alat vitalnya. Seorang korban, Femasili Madeva, bahkan dikuliti oleh Supiyan, yang pernah bekerja di rumah potong. Dagingnya kemudian dijual ke rumah makan dan kedai tuak di Perawang,
6
Siak. Delfi Cs tak hanya memburu korban-korbanya di Siak, tapi juga sampai ke Duri (Bengkalis) dan Rokan Hilir. Pembunuhan berantai ini baru berakhir Juli 2014 atau sekitar setahun setelah mereka beraksi. Dalam surat dakwaan yang dibacakan lima jaksa secara bergantian selama sekitar dua jam, terungkap bahwa Delvi menjadi aktor utama kasus ini. Ia memotong kelamin para korban sebagai syarat menguasai ilmu hitam, sesuai petunjuk ayahnya yang seorang dukun. Kemaluan korban direndam di dalam tempayan berisi kembang tujuh rupa. Air rendamannya lalu digunakan oleh Delvi untuk mandi. Tiga pelaku yakni M Delvi (20) alias Buyung, Dita Desmala Sari (20), dan Supiyan (26), secara bergantian mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) di ruang sidang Cakra. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Siak, Sorta Ria Neva SH, Mhum, yang didampingi dua hakim anggota. Kepala Kejaksaan Negeri Siak Zainul Arifin SH, MH juga turun langsung menjadi jaksa penuntut umum dalam kasus kriminal yang menghebohkan Riau bahkan nasional ini. Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menjerat ketiga orang itu dengan pasal berlapis. Salah satunya Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. “Dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun,” ujar jaksa.
Pada hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah ada yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan. Namun dalam kasus ini pembunuhan anak tersebut dilakukan oleh orang lain yang memang sudah direncanakan oleh orang tersebut. Pelaku tidak hanya melakukan pembunuhan anak berencana, melainkan setelah melakukan pembunuhan, pelaku melakukan tindakan mutilasi terhadap jenazah korban. Perbuatan mutilasi yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindakan yang sangat kejam, sadis, dan tidak manusiawi, sehingga dalam kasus ini bagaimanakah pertimbangan
hakim
terhadap
pertanggungjawaban
pidana
pelaku
yang
melakukan pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi. Pelaku tetap dikenakan pasal dalam KUHP tentang pembunuhan berencana atau ada
7
pemberatan pidana yang diberikan kepada pelaku baik dalam KUHP maupun dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dimana dalam penegakan hukumnya undang-undang inilah yang menjadi acuan dalam pengenaan sanksi dan pertanggungjawaban pelaku pembunuhan terhadap anak disertai dengan mutilasi. Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, maka muncul pertanyaan yang mendasari penulisan hukum atau skripsi ini dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pembunuhan Anak dengan Berencana Disertai Mutilasi (Studi Kasus: Pengadilan Tinggi Pekanbaru)”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan pelaku tindak pidana pembunuhan anak dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku pembunuhan anak dengan berencana disertai mutilasi ? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
8
1. Pertama akan membahas
tentang pengaturan
terhadap kejahatan
pembunuhan anak, baik itu yang berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan aturan khusus mengenai perlindungan anak. 2. Kedua penulis akan membahas tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana yang diberlakukan kepada pelaku kejahatan tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi berdasarkan putusan pengadilan. 1.4 Orisinalitas Penelitian Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pembunuhan Anak dengan Berencana (Studi Kasus: Pengadilan Tinggi Pekanbaru)” ini merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain, maka dituliskan sumbernya dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi adalah tentang “Analisis Ancaman Pidana terhadap Pembunuhan yang Disertai dengan Mutilasi” Dari penelitiaan yang telah ada tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus pada penelitian tentang Tinjauan Yuridis terhadap pengaturan pelaku kejahatan tindak pidana pembunuhan anak disertai dengan mutilasi dan pemidanaan terhadap tindak pidana tersebut. Berikut terlampir matrik perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini :
9
No 1
Penulis
Judul
Felizia
“Analisi
Novi
Pidana
Kristanti
Pembunuhan
(Alumni
Disertai
Univ.
Mutilasi”
No
Ancaman 1. terhadap
Rumusan Masalah Bagaimana ancaman pidana terhadap
yang
pidana
terhadap
pembunuhan disertai mutilasi
dengan
dianalisis
dari
prespektif
tujuan hukum pidana?
Udayana)
2.
Bagaimana peraturan
sebaiknya ancaman
pembunuhan
yang
pidana disertai
mutilasi dimasa mendatang? 2
Putu Rosa “Pertanggungjawaban
1.
Bagaimana
pengaturan
Paramitha
Pidana Terhadap Pelaku
pelaku
Dewi
Pembunuhan
pembunuhan
Anak
dengan Berencana”.
tindak anak
pidana dalam
KUHP dan UU Perlindungan Anak ? 2.
Bagaimana pertanggungjawaban pelaku
pembunuhan
berencana mutilasi ?
disertai
pidana anak dengan
10
1.5 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain: 1.5.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk pembaharuan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pembunuhan anak berencana disertai mutilasi, pengembangan konsep, serta teori-teori bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum Pidana 1.5.2 Tujuan khusus -
Mendeskripsikan dan menganalisis tentang pengaturan pelaku kejahatan pembunuhan anak berencana disertai dengan mutilasi.
-
Memberikan prespektif bagi perkembangan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban pidana yang seharusnya diberlakukan terhadap kejahatan pembunuhan anak disertai dengan mutilasi.
1.6
Manfaat Penulisan
1.6.1 Manfaat teoritis Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pada kejahatan tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai dengan mutilasi.
11
1.6.2 Manfaat praktis Secara
praktis,
penulisan
ini
diharapkan
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran tentang tindak pidana pembunuhan anak berencana disertai dengan mutilasi dalam hukum pidana di Indonesia. Sehingga para aparat penegak hukum mulai memberi perhatian dan perlindungan yang lebih kepada anak korban mutilasi, baik yang terkena langsung maupun dari keluarga korban. Bagi penegak hukum, selama ketentuan khusus mengenai kejahatan tindak pidana mutilasi belum diatur, pemberatan penjatuhan sanksi pidana adalah opsi terbaik untuk menanguulangi adanya tindak pidana mutilasi terhadap anak sehingga rasa adil dan perlindungan terhadap korban setidaknya dapat tercapai. 1.7 Landasan Teoritis Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori atau landasan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Adapun teori-teori yang dipergunakandalam penilitian ini meliputi : 1.7.1 Teori Tindak Pidana Istilah “tindak pidana” pada dasarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strabaarfeit. Strafbaar berarti dapat dihukum, sedangkan feit berarti sebagian dari suatu kenyataan. Maka secara harafiah, perkataan strafbaarfeit dapat diterjemahkan
sebagai
suatu
kenyataan
yang
data
dihukum.
Simons
mengemukakan bahwa “perbuatan tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
12
berhubungan denagn kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.7 Simons juga menyebutkan bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan oleh undang-undang tindakannya dinyatakan sebagai tindakan yang dilarang dan dapat dihukum.8 Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undangundang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.9 Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10 Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan) b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 7
Moeljatno. 1983. Azaz-Azaz Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 56. (selanjutnya disingkat Moeljatno I) 8 Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan, UMM pres, Malang, h.101. 9 Andi Hamzah,2001,. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 22 10 P.A.F. Lamintang,1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. h.16.
13
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif e. Unsur melawan hukum yang subyektif.11 Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya. Pengertian tindak pidana pembunuhan, didalam KUHP telah disebutkan bahwa yang disebut sebagai suatu pembunuhan yaitu kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pada peristiwa pembunuhan, pelaku harus melakukan suatu rangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Tindak pidana pembunuhan didalam kehidupan masyarakat meningkat baik secara kuantitatif mau kualitatif dengan korban yang meluas terutama dikalangan anak11
Andi Hamzah, op.cit, h.30
14
anak. Pencegahan terjadinya tindak pidana pembunuhan semakin meningkat, maka perlu adanya penjatuhan sanksi yang bertujuan untuk memberi efek jera dan rasa takut dalam melakukan suatu tindak pidana sekaligus memberi efek kepada masyarakat guna menyelanggarakan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kejahatan tindak pidana mutilasi khususnya terhadap anak perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, karena kejahatan mutilasi tergolong kejahatan sadis dan selain membunuh korbannya kejahatan ini juga merusak organ tubuh korban sampai tidak dikenali identitas fisiknya. 1.7.2 Teori Pertanggungjawaban pidana Dilihat dari istilah tindak pidana yaitu perbuatan yang dijatuhi sanksi pidana yang hanya berfokus pada sifat-sifat dari perbuatan saja, sedangkan sifatsifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan
15
konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.12 Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.13 Simos menyatakan “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan phschis yang membenarkan adanya penerapan suatu pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.” Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila : i.
Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
12
Barda Nawawi Arief ,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung,h. 23 13 Moeljatno,1993, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. h. 49 (Selanjutnya disingkat Moeljatno II)
16
ii. Van
Ia dapat menentukan kehendakknya sesuai dengan kesadaranya.14 Bemmelen
juga
menyataka
bahwa
seseorang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan ialah yang dapat mempertahankan hidupnya secara patut.” Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut apabila orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaaannya bahwa perbuatan itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikran dan perasaannya itu. Dalam kasus kejahatan tindak pidana mutilasi banyak yang mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipidana, seperti yang kita ketahui pelaku pembunuhan mutilasi sering meng disebut memiliki gangguan jiwa, psikopat, berkepribadian ganda, dan kelainan psikologis lainnya. Ini yang menyebabkan dalam penanganan kasus ini perlu dipastikan apakah pelaku benar-benar memiliki kemampuan pertanggungjawaban pidana dengan menyelidiki keadaan psikologisnya. Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim
akan
menjalankan
Pasal
44
KUHP,
maka
sebelumnya
harus
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:
14
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2011, Modul Hukum Pidana, Jakarta, h.62.
17
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.15 Berdasarkan
uraian
di
atas
maka
dapat
dinyatakan
bahwa
pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut. 1.7.3 Teori Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :16 Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan 15
Moeljatno II, op.cit, h.51 Leden Marpaung, 2005,Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, h.2. (Selanjutnya disingkat Leden Marpaung I) 16
18
pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu. Pemidanaan merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang senagaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut : a) Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa:17 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Dari teori tersebut di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, di mana seseorang yang melakukan kejahatan akan
17
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,2007, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11.
19
dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika yang jahat ke yang baik. b) Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien) Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi tentang teori ini bahwa:18 Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menujukesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori ini memunculkan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relative ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif 18
Ibid, h. 11
20
(prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. c) Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien) Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut:19 1) Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 19
Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, h. 47.
21
2) Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis. 3) Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya. Pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian di atas
dapat
disimpulkan
bahwa
tujuan
dari
pemidanaan,
yaitu
dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari. 1.7.4 Teori Pemberatan Pidana Kejahatan tindak pidana mutilasi tehadap anak tergolong kejahatan sadis yang salah satu tujuan dari mutilasi tersebut yaitu menghilangkan jejak dari pelaku dan identitas korban. Di dalam KUHP pada Pasal 340 hanya diatur perbuatan pembunuhan saja yang telah direncanakan pelaku untuk menghilangkan
22
nyawa seseorang dan juga pada pasal dalam UU perlindungan anak. Jika kembali kepada pengertian mutilasi yaitu pemotongan tubuh menjadi beberapa bagian yang terjadi dari bebrapa faktor yaitu untuk menghilangkan jejak agar pelaku sulit dilacak atau menyulitkan penyelidikan dan faktor lain yaitu karena pelaku mungkin memiliki gangguan kejiwaan. Pada fakta yang terjadi saat ini kasus mutilasi hanya dapat dijerat Pasal 338, Pasal 339, atau Pasal 340 KUHP. Sehingga perlu ada pemikiran baru yang membedakan tentang pembunuhan biasa atau berencana serta pembunuhan yang disertai dengan mutilasi baik dari segi pemidanaannya dan segi kemanusiaannya. Salah satu opsi untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban kejahatan ini yaitu dengan adanya pemberat pidana kepada pelakunya. 1.
Pemberatan pidana yang bersifat primer Pemberatan pidana primer merupakan dasar pemberatan pidana
utama yang mengacu pada KUHP dan undang-undang khusus yang dijadikan pedoman pemberatan pidana pada tahp penyidikan, penuntutan, dan mengadili. Alasan atau dasar pemberat pidana yang bersifat primer ini, yaitu: a) Seorang pejabat jabatannya,
melanggar
suatu
kewajiban
khusus
dari
b) Waktu melakukan kejahatan, menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, c) Karena Pengulangan (recidive), d) Karena gabungan (samenloop),
23
e) Karena ada beberapa keadaan tertentu lainnya yang diatur secara khusu ditentukan dalam beberapa pasal tindak pidana, f) Karena ada beberapa keadaan yang menjadi asas umum bagi ketentuan hukum pidana khusus.20 2. Pemberat pidana yang bersifat sekunder Pemberat pidana yang bersifat sekunder ini adalah perumusan halhal yang memberatkan pidana dalam surat tuntuan (reqisitoir) dan putusan pengadilan. Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan pemberat pidana yang bersifat sekunder ini diterapkan pada proses mengadili, yaitu pada tahap penyusunan surat tuntutan dan pada tahap putusan pengadilan. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.21 Penelitian normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: beranjak dari adanya kesenjangan
dalam
norma/asas
hukum,
tidak
menggunakan
hipotesis,
menggunakan landasan teoritis, menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif 20
Adam Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Rajawali Pers, Jakarta, h.73 (Selanjutnya disingkat Adam Chazawi I) 21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995,Penelitian Hukum Normatif(Suatu tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
24
digunakan beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang kabur atau tidak jelas (vague van normen), norma yang konflik (geschijld van normen), maupun norma yang kosong (leemten van normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait permasalahan yang hendak diteliti. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).22 Penulisan penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur. Tidak jelasnya aturan dan terperinci mengenai tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana yang disertai mutilasi merupakan kelemahan dari sistem hukum yang menimbulkan adanya kekaburan norma. Penelitian hukum normatif dalam skripsi ini berangkat dari norma kabur yang tidak menerangkan secara spesifik mengenai sanksi dari tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana disertai dengan mutilasi. Didalam kasus, pelaku pembunuhan anak dengan berencana tersebut memutilasi tubuh korban. Maka dari itu perlu adanya pertimbangan hakim tentang tindakan mutilasi yang dilakukan oleh pelaku. Adanya kekaburan norma dirasa perlu untuk dikaji kembali mengenai aturan-aturan serta sanksisanksi yang dapat dijatuhkan.
22
Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif : Bagaimana?, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No.3 Tahun 2006, h. 50.
25
1.8.2 Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan, normanorma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana pembunuhan anak dengan berencana sebagai dasar awal melakukan analisis. 2. Pendekatan analitis konsep hukum ( Analytical & Conseptual Approach), pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-undangan berupa aspek hukum, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum. 3. Pendekatan kasus (case Approach), pendekatan kasus dalam penelitian hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.23 Pendekatan kasus yang dilakukan ialah pendekatan mengenai kasus pembunuhan anak dengan berencana yang disertai dengan mutilasi yang terjadi di Kabupaten Siak dan juga dengan putusan hakim. 23
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &Empiris,Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 185-190.
26
1.8.3 Sumber bahan hukum Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini merupakan hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).24 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari : 1.
Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : -
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
-
Peraturan Perundang-undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
-
Hukum yang tidak tertulis
-
Putusan pengadilan
-
Doktrin
24
Ronny Hanitiyo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,h. 24.
27
-
Pembaharuan Hukum Pidana dengan Kebijakan Hukum Pidana
2. Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum yang ditulis para ahli seperti buku tentang hukum pidana, buku tentang mutilasi, pendapat para sarjana, jurnal-jurnal hukum maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet. 3. Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. 1.8.4 Teknik pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
28
1.4.1
Teknik analisis bahan hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang berurutan secara hierarkis.