1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perilaku manusia di dalam masyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma yang berlaku dan ada pula yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma (hukum) yang berlaku tidak menjadi masalah, tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Ditinjau dari tingkat usia, tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya dilakukan oleh kelompok usia dewasa, tetapi mereka yang masih anak-anak kadangkala melakukan tindak pidana. Dalam era sekarang ini banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan mengurus keperluan duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan ataupun gengsi, disisi lain orang tua keluarga miskin sering larut dalam pekerjaannya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari juga sering menelantarkan anak. Dalam kondisi yang demikian anak sebagai buah hati sering terlupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku serta pengawasan orang tua. Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial dapat berperilaku dan
2
bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Masalah kenakalan anak-anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang aktuil hampir di semua negara-negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Kenakalan anak merupakan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anakyang menjurus pada perbuatan melanggar hukum. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak adalah perilaku anak yang dapat dimengerti dengan perilaku dan pikiran manusia lainnya. Melihat penyimpangan dalam konteks norma sosial membuat kita dapat melihat dan menginteprestasikan arti penyimpangan bagi penyimpangan dan orang lain. Seringkali muncul perilaku menyimpang atau kecenderungan melakukan pelanggaran-pelanggaran nonna sosial oleh anak. Fenomena kenakalan remaja, atau kejahatan anak-anak (yang sering juga disebut dengan : juvenile delinquency) di Indonesia akhir-akhir ini menunjukan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Banyaknya peristiwa tawuran pelajar, pencurian,pemerasan,narkoba,seks bebas, miras,bolos sekolah, dan perilakuperilaku menyimpang lain menunjukan bukti betapa juvenile delinquency perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan. Dalam perkembangannya semakin banyak terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak secara perorangan maupun secara bersama-sama dilakukan dengan orang dewasa. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah
3
tahanan. Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Fakta-fakta tersebut menunjukan bahwa kenakalan anak bukan merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat semata-mata, akan tetapi juga merupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu anak sebagai bagian dari keluarga merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa perlu mendapatkan pengawasan dan bimbingan supaya tidak terjerumus kedalam kenakalan serius ataupun perbuatan melanggar hukum.1 Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Undang-Undang tersebut dibentuk berdasarkan pertimbangan: (a) Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; (b) Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan; (c) Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum;
1
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, h. 7
4
(d) Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan Undangundang baru; (e) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 2 Perilaku anak yang menyimpang atau bahkan melanggar hukum cukup kompleks dan beragam, dimana perilaku yang menunjukkan kemerosotan moral manusia telah mereka lakukan. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak di tengah ramai-ramainya adalah penggunaan narkoba dan penggunaan obat-obatan lainnya. Disamping itu jenis perbuatan melanggar hukum yang paling sering dilakukan oleh anak adalah tindak pidana pencurian, dimana tindak pidana pencurian tersebut telah diatur dalam Pasal 362-367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permasalahan yang semakin berkembang ini perlu segera diatasi dan diselesaikan.
Kecenderungan
meningkatnya
kualitas
maupun
kuantitas
pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran ketentuan undang-undang oleh pelaku-pelaku usia muda atau dengan kata lain meningkatnya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak sudah mengarah kepada tindakan kriminal, mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian 2
Undang-undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012, 2014, Sistem Peradilan Pidana Anak, Fokusindo Mandiri, Bandung. h. 61
5
akan penanggulangan serta penanganannya. Usaha pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja,tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Dimana penyelesaian masalah tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak. Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Akhir-akhirini fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak mengalami peningkatan dari waktukewaktu sebagaimana seringkali diberitakan baik dalam media cetak maupun media elektronik tentang berbagai peristiwa kejahatan yang pelakuknya adalah anakanak. Penyimpangan perilaku melanggar hukum yang dilakukan anak di sebabkan berbagai
faktor,
seperti
misalnya
dampak
negatif
dari
perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK), serta perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga akan sangat berpengaruh pada nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh bimbingan kasih sayang, pembinaan dalam pengembangan sikap dan perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan menyebabkan anak mudah terseret pada pergaulan yang kurang sehat, dengan demikian akan dapat merugikan perkembangan pribadinya. Bahkan hal tersebut dapat membuka peluang bagi anak untuk melakukan tindak pidana. Walaupun anak dapat
6
menentukan sendiri langkah dan perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, akan tetapi keadaan lingkungan disekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Diantaranya adalah perilaku untuk berbuat jahat. Salah satu bentuk pelanggaran terhadap anak adalah adanya perlakuan buruk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Padahal seharusnya hakhak anak sebagai pelaku tindak pidana juga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak yang terkait. Karena anak yang melakukan tindak pidana juga berhak atas perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dalam hukum. Hak atas jaminan pelarangan penyiksaan anak dan hukuman yang tidak manusiawi. Hak atas hukum acara Peradilan anak. Hak untuk memperoleh bantuan hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan dan sebagainya. Demikian pula terhadap Putusan hakim di Pengadilan akan mempengaruhi kehidupan anak sebagai pelaku tindak pidana. Oleh sebab itu hakim harus yakin bahwa putusan yang akan diambil akan dapat menjadi salah satu dasar kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang lebih baik dan untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi keluarga, bangsa dan negara. Hal ini harus diperhatikan oleh hakim sebagai aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itu dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, seorang Hakim haruslah memperhatikan tentang tujuan peradilan anak, terkait dengan masalah koreksi dan rehabilitasi, sehingga anak dapat kembali ke kehidupan yang normal dan mandiri demi potensi masa depannya. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap cara penanganan kasus anak. Karena para
7
petugas Peradilan yang ada di dalam Peradilan anak belum sepenuhnya memiliki perspektif anak. Yang terpenting adalah bagaimana cara mendidik anak dalam proses penyelesaian konflik dengan hukum. Dengan demikian implementasi dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan dapat memberikan arah yang tepat dalam memberikan pembinaan dan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Serta dapat menjadi wadah hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak-anak yang dipidana. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa penyebab terjadinya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur? 2. Bagaimana jenis sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana pencurian?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan skripsi ini, maka ruang lingkup masalah yang akan dibahas yaitu mengenai Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan Bagaimana jenis sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana pencurian.
8
1.4 Orisinalitas Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Penerapan Pidana Terhadap Anak di Bawah Umur Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar) adalah sepenuhnya dengan menggunakan perbandingan 3 (tiga) skripsi sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : No 1
Judul Skripsi Kajian Kriminologis
Penulis Ni Made Ari
Terhadap Anak Sebagai
Chandrawati
Rumusan Masalah 1. Apa sajakah faktor pendorong
anak
Pelaku Tindak Pidana
melakukan
tindak
Pencurian Di Wilayah
pidana
Hukum Pengadilan
wilayah
hukum
Negeri Denpasar,
Pengadilan
Negeri
Tahun 2012
Denpasar?
pencurian
di
2. Bagaimana penerapan sistem
pemidanaan
terhadap anak saat ini? 2
1. Bagaimanakah penjatuhan pidana dan
Penjatuhan Pidana Dan
tindakan terhadap anak
Tindakan Terhadap Anak Nakal (Studi
Putu
Kasus Di Pengadilan
Agung Oktaviani
Negeri Denpasar), Tahun 2008
Eka
Sri
nakal? 2. Apa
dasar
pertimbangan dalam
dan hakim
menjatuhkan
pidana atau tindakan terhadap anak nakal?
9
3
Dasar Pertimbangan
Munief
1. Apakah
dasar
Hakim Dalam
pertimbangan
hakim
Penyelesaian Perkara
untuk
Kejahatan Anak Di
pidana terhadap anak
Pengadilan Negeri
yang
Denpasar,Tahun 2007
kejahatan
menjatuhkan
melakukan
Pengadilan
di Negeri
Denpasar sudah sesuai dengan
ketentuan
dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun
1997
tentang
Pengadilan Anak?
1.5 Tujuan Penelitian Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun tujuan di golongkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu : a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 2. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan. 3. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada penelitian yang dilakukan mahasiswa. 4. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10
5. Untuk mengetahui penerapan pidana terhadap anak dibawah umur sebagai pelaku tindak pidana pencurian b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur. 2. Untuk mengetahui bagaimana jenis sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana pencurian.
1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal kejahatan yang dilakukan oleh anak, dengan mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur dan melihat tentang bagaimana jenis sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana pencurian. Bila dikaji lebih dalam, umumnya anak melakukan suatu tindak pidana khususnya pencurian dikarenakan berbagai macam alasan diantaranya faktor ekonomi, keluarga, pergaulan, lemahnya ikatan sosial dengan lingkungan sekitar, dan karena adanya proses belajar tingkah laku kriminal.
11
1.7 Landasan Teoritis Teori sistem hukum digunakan untuk membahas permasalahan mengenai tindak pidana terhadap anak sebagai tindak pidana pencurian. Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman sistem hukum meliputi : pertama, struktur hukum yaitu bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kedua substansi hukum, yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh hukum, misalnya putusan hakim berdasarkan undang-undang. Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologis yang menjadikan pengertian anak semakin actual dalam lingkungan sosial. Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek hukum ditemukan dart sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau dibawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak dalam subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai kedalam peristiwa hukum yang menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.3 Dalam penelitian ini, anak merupakan subjek hukum yang melakukan suatu tingkah laku yang menjurus pada suatu tindak pidana. Dengan demikian, 3
Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wina Sarana, Jakarta, h. 3
12
anak dikatakan sebagai pelaku. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana. Menurut ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana adalah : 1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : (1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. (2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. 2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. 4 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Pasal 1 angka 2 Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1 angka 3 Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 4
Moeljatno, 2011, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, h. 25.
13
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang membedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. adapun asas-asas tersebut adalah 1. Pembatasan Umur, (Pasal 1 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2012) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah Anak yang telah berumur 12 (duabelas) tahun, tetapi, belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.(Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012) dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun Anak tetap diajukan ke Sidang Anak.(Pasal 21 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012) dalam hal Anak belum berumur 12 (duabelas)tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintahan atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6(enam) bulan. 2. Suasana Pemeriksaan dan kekeluargaan; Pasal 22 UU No 11 Tahun 2012. Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, karena
itu
Penyidik,
Penuntut
Umum,
hakim,
dan
Pembimbing
Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas
14
lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan / Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan. 3. Peran pembimbing kemasyarakatan; (Pasal 1 ayat 13 UU No. 11 Tahun 2012) pejabat
fungsional
penegak
hukum
yang
melaksanakan
penelitian
kemasyarakatan, pembimbing, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anakdi dalam dan diluar prases peradilan pidana. 4. Keharusan Splitsing; Anak tidak boleh disidangkan/atau diadili bersama orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer. (Pasal 24 UU No 11 Tahun 2012). 5. Acara Pemeriksaan tertutup; Acara pemeriksaan di Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup (Pasal 56 UU No 11 Tahun 2012) dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum(Pasal 61 ayat 1 UU No 11 Tahun 2012) 6. Diperiksa oleh hakim tunggal; Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal (Pasal 44 ayat 1 UU No 11 Tahun 2012) dan Ketua Pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. (Pasa144 ayat 2 UU No 11 Tahun 2012) 7. Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan (Pasal 79 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1 / 2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara
15
yang diancamkan terhadap orang dewasa (Pasal 79 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012). Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang MI. 8. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun (Pasa181 ayat 6 UU No. 11 Tahun 2012) 9. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi(Pasal 7 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012).Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.5 Istilah hukuman berasal dari kata straf, merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman merupakan istilah yang umum, memiliki arti luas dan dapat berkonotasi pada cakupan yang luas. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, memiliki batasan pengertian atau makna. Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Pemberian
5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
16
nestapa sengaja diberikan kepada pelanggar ketentuan undang-undang dengan maksud sebagai efek jera.6 Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.7 Menurut Bambang Poernomo, pidana adalah suatu reaksi alas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).8
Menurut Andi Hamzah, istilah pidana harus dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP atau yang disebut asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang diperkenalkan oleh Anselm von Feuerbach, yang berbunyi sebagai berikut : “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.9 Tidak semua sarjana menyetujui pendapat bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa. Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priatno bahwa pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde reopen); pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbinvloeding) dan untuk menyelesaikan konflik (conflictotlossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.10 6
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 109-110 Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 9 8 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 69 9 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 1-2 10 Dwijda Priatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 8 7
17
Menurut Binsbergen, ciri hakiki dari suatu pidana adalah suatu pernyataan atau penunjukan salah oleh penguasa sehubungan dengan suatu tindak pidana (een terechwijzing door de overheid gegeven terzake van een strafbaar.feit). Dasar pembenaran dari pernyataan tersebut adalah tingkah laku si pembuat itu tak dapat diterima baik untuk mempertahankan lingkungan masyarakat maupun untuk menyelamatkan pembuat sendiri (onduldbaar is, zowel om het behoud van de gemenschap, als om het behoud van de dader zelft).11 Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di Indonesia memberikan suatu pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifatsifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.12 Pencurian dengan pemberatan merupakan suatu perbuatan yang disengaja. Pencurian dengan pemberatan diatur (dikualifikasi) dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian dengan pemberatan adalah merupakan perbuatan pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan pencuri dalam bentuk pokoknya Pasal 362 KUHP,yang disertai dengan salah satu keadaan-keadaan yang tersebut dalam Pasal 363 KUHP. Tindak pidana pencurian merupakan sebagai perbuatan mengambil milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum, dimana apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh anak, maka kepadanya dapat dijatuhkan hukuman paling lama satu per dua hari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Kemudian hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
11
Ibid, h. 8 Wirjono Prodjokoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Undonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 1 12
18
tindak pidana anak didasarkan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kecuali ditentukan lain di dalamnya.13 Pasal 363 KUHP (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : Ke-1 : pencurian ternak ; Ke 2 : pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang; Ke 3 : pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui ataudikehendakioleh yang berhak ; Ke 4 : pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke 5 : pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakanpidana penjara paling lama sembilan tahun.14 Pasal 365 KUHP (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
pencurian
yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman 13 14
SupramonoGatot, 2007, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, h. 9 Ibid, h. 20
19
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah peneurian itu, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama duabelastahun: ke-1 : Jika perbuatan dilakukan ada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada di rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; ke-2 : jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; ke-3 : jika yang masuknya ke tempat melakukan kejahatan itu dengan merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu; ke-4 : jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentupaling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu dari hal yang diterangkan dalam no 1 dan 3.15
15
Ibid
20
1.8 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode yuridis empiris. Metode yuridis yaitu suatu metode penulisan hukum yang berdasarkan pada teori-teori hukum, literaturliteratur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan skripsi ini.16 b. Jenis Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan fakta. Pendekatan fakta dilakukan dengan cara mengadakan penelitian berupa data-data dan wawancara langsung pada suatu instansi atau lembaga yang menjadi obyek penelitian. Dapat disimpulkan disini penulis ingin melakukan pendekatan terhadap tindak pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian studi putusan di Pengadilan Negeri Denpasar. c. Sumber Data Sumber Bahan Hukum yang digunakan dalam skripsi ini diperoleh dari dua macam sumber yaitu :
16
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 3
21
a. Data primer yaitu data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu dari informan di Pengadilan Negeri Denpasar. b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yaitu melalui bahan-bahan hukum.17 d. Tekhnik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini teknik pengumpulan data atau bahan yang dilakukan adalah studi dokumen yaitu teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian,baik penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris maupun penelitian ilmu hukum dengan aspek normative, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normative. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.18 Sementara untuk teknik pengumpulan data dilapangan dilakukan dengan melakukan pencatatan data yang didapat dengan studi dokumen dan mengadakan wawancara dengan informan. Sedangkan teknik wawancara yang dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan kemudian diajukan kebeberapa pihak yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing untuk mengetahui putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian.
17
Roni Hanitidjo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 12 18 Cholid narbuka dan H. Abu Achmad, 2005, Metodelogi Penelitian, PT. Bumi Angkasa, Jakarta, h. 63
22
e. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data Pengelolaan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisa.19 Setelah data primer dan data sekunder terkumpul, maka data tersebut diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif setelah melalui proses pengolahan
dan
analisis,
kemudian
data
akan
disajikan
secara
deskriptif,kualitatif, dan sistematis.
19
72
Bambang Wahluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Prak-tek, Sinar Grafika, Jakarta, h.