BAB I PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang dengan pesat. HKI dari masyarakat tradisional, termasuk ekspresinya, cenderung dijadikan pembicaraan terus-menerus baik di tingkat nasional maupun internasional, namun sayangnya pelanggaran HKI masih saja terus terjadi, dengan demikian harus disadari oleh kita semua bahwa HKI merupakan kreasi olah pikir manusia yang perlu diberi perlindungan hukum. Hasil dari olah pikir yang perlu mendapat perlindungan hukum dari perspektif bisnis adalah misalnya Hak Cipta, Hak Paten dan Merek. Salah satu wujud perlindungan hukum adalah adanya pengaturan yang memadai tentang HKI. Wujud lain perlindungan hukum dapat diperoleh melalui proses penegakan hukum. Hukum
berfungsi
sebagai
pelindung
manusia.
Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.1 Dalam peranannya yang demikian ini hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima didalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo. Di luar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.2
1 2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999, Hal 145 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1979, Hal. 117. 1
2
Hukum sebagai sarana melakukan Social Enginering antara lain ada dua hal yang dapat dijalankan oleh hukum didalam masyarakat, pertama yaitu sebagai sarana kontrol sosial dan kedua sebagai sarana untuk melakukan Social Enginering. Sebagai sarana kontrol sosial masyarakat, maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya.3 Merek merupakan bagian cakupan dari HKI, oleh karena terhadap merek harus dilekatkan pada suatu perlindungan hukum sebagai objek yang terkait dengan hak-hak perorangan atau badan hukum. Diperolehnya perlindungan hukum atas Merek yang telah terdaftar merupakan salah satu fungsi dari pendaftaran Merek. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa Merek merupakan salah satu hak intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Selain itu Merek juga memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Hal tersebut sejalan dengan maksud dari Konsideran huruf a Undangundang Nomor 2001 tentang Merek. Perlindungan hukum dalam pendaftaran merek harus diberikan jaminan, oleh karena itu, pemilik merek beritikad baik harus memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Selama ini persoalan perlindungan hukum terhadap pemilik merek beritikad baik, dirasa masih lemah. Hal ini terbukti dengan masih adanya merek produk ganda dengan pemilikan berbeda. Aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan terjadinya peniruan merek-merek yang telah dikenal oleh masyarakat sebagai konsumen. Peniruan merek dalam perdagangan akan menimbulkan kerancuan dan penyesatan atas pengenalan konsumen terhadap produk-produk tertentu. Peniruan merek ini akan berjalan terus-menerus sepanjang industri eksis 3 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia, Hal. 130.
3
dan berkembang sehingga upaya penegakan hukum merek juga harus dilaksanakan terus menerus dan terorganisasi dengan baik dengan paradigma bahwa menurunnya upaya penegakan hukum berhubungan langsung dengan meningkatnya peniruan merek baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini sudah dapat dikatakan cukup untuk menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, akan tetapi pada kenyataannya belum ada ketegasan dalam pengambilan keputusan dalam melaksanakan penegakannya. Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Di sini Merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjianperjanjian internasional yang telah
diratifikasi
Indonesia
serta
pengalaman
melaksanakan administrasi Merek diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 81) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 31) yang selanjutnya disebut UndangUndang Merek lama, dengan satu Undang-Undang Merek yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 (UU Merek). Melalui Undang-Undang ini terciptalah pengaturan Merek dalam satu naskah (Single Text) sehingga lebih memudahkan masyarakat untuk menggunakannya. Dalam hal ini, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Merek lama yang substansinya tidak diubah, dituangkan kembali dalam Undang-Undang ini. Meskipun Undang-Undang Merek telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sejak tahun 1961, kemudian pada tahun 1992 dan diubah lagi pada tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan yang terakhir dengan
4
diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pendaftaran merek yang dilakukan oleh pemohon beritikad buruk yang tidak bertanggung jawab masih sering terjadi. Ketika suatu merek telah ditiru oleh orang atau pengusaha lain, maka pemegang hak atas merek terdaftar yang ditiru akan berusaha mendapatkan kembali hak atas merek dagangnya. Usaha ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, sementara proses litigasi yang panjang tidak dapat menjamin hak merek dagang dikembalikan. Banyak kasus pembatalan merek yang melibatkan sejumlah merek ternama statusnya masih bersifat tunda di Mahkamah Agung, meski proses litigasinya memakan waktu bertahun-tahun. Banyaknya kasus-kasus merek terdaftar yang diajukan pembatalan oleh pemegang hak atas merek, tidak jarang merek-merek terkenal yang tidak hanya milik warga Negara Indonesia saja, akan tetapi juga ada merek-merek asing yang ditiru atau dijiplak oleh pengusaha Indonesia dan kemudian didaftarkan Hak merek tersebut menjadi atas nama pengusaha Indonesia tersebut, padahal barang dagangan yang bermerek tersebut sudah beredar sampai di pasar Indonesia terlebih dahulu. Awalnya seolah tampak sekali pengambilan keuntungan atas persaingan usaha terhadap barang bermerek tersebut akibat adanya niatan yang tidak baik mengenai Hak atas merek. Dalam persaingan usaha, didalamnya tumbuh opini sempit mengenai pemahaman perlindungan hukum terhadap Hak atas merek sejak diundangkannya Undang-Undang merek pertama kali sampai saat ini. Pandangan tersebut adalah mengenai pemahaman bahwa barang siapa yang mendaftarkan hak cipta, paten dan merek untuk pertama kali dan belum ada yang mengajukan sebelumnya, maka orang atau pengusaha tersebut berhak secara hukum menggunakan merek tersebut dengan perlindungan Undang-Undang.
5
Pandangan tersebut kemudian memberikan peluang akan terjadinya penjiplakan merek-merek asing yang terkenal yang laku di pasaran Indonesia dan didaftarkan di Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek yang dilakukan oleh perorangan atau pengusaha Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dibalik lakunya Merek asing tersebut. Hal ini dirasa tidak adil bagi pemilik atau pemegang Merek Asing yang barang dagangannya sudah masuk di pasaran negara kita, oleh karena itu banyak hak atas Merek-merek asing yang telah ditiru oleh pengusaha atau orang lain kemudian digugat pembatalan oleh pemegang atau pemilik merek-merek asing terkenal tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang turut serta menyetujui perjanjian multilateral dalam kerangka Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade-GATT) di Marakest Maroko tahun 1994. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh putaran GATT dan merupakan hasil perundingan yang disebut dengan istilah Urugay Round yang salah satunya memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs).4 Dengan perjanian tersebut, maka semakin terlindungilah para pemegang atau pemilik Merek di dunia perdagangan yang sekalanya tidak hanya nasional, regional, akan tetapi sudah meluas secara internasional. Pelanggaran-pelanggaran mengenai merek tersebut pada hakekatnya dipicu oleh adanya itikad tidak baik (bad faith) oleh para pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggung jawab. Merek sebagai bagian dari HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) merupakan asset yang harus dilindungi. Dalam hal ini, terdapat beberapa teori mengenai perlindungan HaKI seperti:5
4
Kholis Roisah, Implementasi Perjanjian TRIPs tentang Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia, Tesis: UNDIP, 2001, hal. 10. 5 Soetijarto, Hukum Milik Perindustrian, Jakarta, Liberty, hal. 32
6
1) TeoriReward Pada Dasarnya menyatakan bahwa pencipta atau penemu yang akan diberikan perlindungan perlu diberikan penghargaan atas usaha atau upayanya tersebut. 2) Teori Recovery Penemu atau pencipta telah membuang waktu dan uang, maka perlu diberikan kesempatan untuk meraih kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut. 3) Teori Incentive Bahwa
insentif
diperlukan
agar
kegiatan-kegiatan
pelaksanaan
dan
pengembangan kreatifitas penemuan dan semangat untuk menghasilkan penemuan dapat terjadi. 4) Teori Expanded Public Knowledge Teori
ini
dikembangkan
untuk
bidang
paten.
Untuk mempromosikan
publikasi dari penemuan dalam bentuk dokumen yang secara mudah tersedia untuk umum, maka diberikan kesempatan untuk menikmati hak khusus, hak eksklusif yang bersifat sementara. 5) Teori Risk Mengemukakan bahwa HaKI merupakan hasil dari suatu penelitian dan mengandung resiko, dengan demikian wajar untuk memberikan perlindungan sementara terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. 6) Teori Public Benefit Disebut juga teori “economic grouth stimulus”. Dasar dari teori ini adalah HaKI merupakan suatu alat bagi pengembangan ekonomi. Pengembangan ekonomi merupakan keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan HaKI yang efektif.
7
Wujud perlindungan lainnya dari negara terhadap pendaftaran Merek adalah Merek hanya dapat didaftarkan atas dasar permintaan yang diajukan pemilik Merek yang beritikad baik (good faith). Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Merek Pasal 4 yang berbunyi: “Merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik”. Pada bagian Penjelasan Pasal 4 disebutkan bahwa: “Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran Merek lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contohnya Merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek Dagang yang sudah dikenal tersebut.” Kasus pelanggaran merek yang menarik salah satunya adalah sengketa merek PRADA (PREFEL S.A dari Italia) melawan pengusaha Indonesia yaitu Fahmi Babra. Kasus tersebut pada pokoknya mengenai alasan itikad tidak baik sebagai dasar pembatalan merek yang telah terdaftar di Direktorat Jendral. Dalam perkara sengketa merek PRADA tersebut, pada tingkat Pengadilan dan Mahkamah Agung memenangkan pengusaha Indonesia (Fahmi Babra) karena dia yang mendaftarkan Merek PRADA pertama kali di Indonesia, akan tetapi dalam Putusan Peninjauan Kembali diputus sebaliknya yaitu membatalkan putusan sebelumnya yang kemudian memenangkan Pemegang Merek PRADA yang asli dari Italia (PREFEL S.A). Berdasarkan uraian tersebut Penulis tertarik untuk nengadakan penelitian dengan judul “ALASAN ITIKAD TIDAK BAIK DALAM PEMBATALAN
8
MEREK SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK TERKENAL PRADA DI INDONESIA (Studi kasus putusan PK MARI No. 274 PK/PDT/2003 antara PRADA S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek) ”.
2.
RUMUSAN PERMASALAHAN Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, adapun permasalahan penelitian tesis ini adalah : 1) Dalam kriteria apa saja alasan itikad tidak baik (Presumtion of Bad Faith) dapat digunakan atau diterapkan hakim sebagai pertimbangan hukum dalam membatalkan pendaftaran merek oleh Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus Prada antara PREFEL S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek? 2) Bagamana bentuk perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar yang beritikad baik sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek ?
3.
KEASLIAN PENELITIAN Sebagai sebuah studi mengenai hukum bisnis yang mengkaji mengenai Hak atas Merek, penelitian ini tentunya bukan saja suatu penelitian yang baru sama sekali, karena sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sepengetahuan penulis dan melalui penelusuran, cukup banyak penelitian yang berkaitan dengan Hak atas Merek. Salah satu yang cukup relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Reni Mulvianti, tahun 2000 tentang ”Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas merek (Studi Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)”.
9
Ada tiga permasalahan dalam penelitian tersebut. Pertama, Upaya Hukum apa yang dapat dilakukan terhadap penolakan pendaftaran Merek. Kedua, Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap pemegang Hak atas merek. Ketiga, Bagaimana penyelesaian sengketa merek di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain penelitian tersebut, masih ada penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Putri Ayu Priamsari tentang Penerapan Itikad Baik sebagai alasan pembatalan merek menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali). Permasalahan dalam penelitian tersebut adalah, Pertama, bagaimana penerapan itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan Merek berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Kedua, apakah dampak dari penerapan itikad baik terhadap pemilik Merek beritikad buruk. Dari penelitian tersebut diatas, sepengetahuan penulis, berdasarkan penelurusuran kepustakaan yang dilakukan sebelumnya, berkaitan dengan Hak atas Merek seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian penulis. Penelitian ini lebih menekankan kepada alasan itikad tidak baik (presumtion of bad faith) sebagai dasar pembatalan merek dalam kasus Merek Prada antara PREFEL S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek.
4.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini pada dasarnya mencoba mengkaji bagaimana penerapan alasan itikad tidak baik (presumption of bad faith) sebagai perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek terkenal khususnya merek Prada dalam putusan Peninjauan Kembali putusan PK MARI No. 274 PK/PDT/2003 antara PRADA S.A
10
melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek. Bertolak dari permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui dalam kriteria apa saja alasan itikad tidak baik (Presumtion of Bad Faith) dapat digunakan atau diterapkan hakim sebagai pertimbangan hukum dalam membatalkan pendaftaran merek oleh Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali kasus Prada antara PREFEL S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek. 2) Mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar yang beritikad baik sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
5.
MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian tentang “Alasan Itikad Tidak Baik (Presumption Of Bad Faith) Dalam Pembatalan Merek Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Prada Di Indonesia (Studi kasus putusan PK MARI No. 274 PK/PDT/2003 antara PRADA S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek)” ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi ilmu pengetahuan maupun pembangunan/masyarakat luas pada umumnya dan dunia bisnis pada khususnya. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis.
1) Kegunaan Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar di bidang hukum pada umumnya dan Hukum Bisnis pada
11
khususnya yang berkaitan dengan Hak atas Merek dalam dunia bisnis atau perdagangan.
2) Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengusaha dan aparat penegak hukum lainnya misalnya Advokat, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dan pembentuk undang-undang, tentang Hak atas Merek khususnya mengenai alasan itikad tidak baik (presumtion of bad faith) sebagai dasar mengajukan pembatalan Merek. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam menetapkan dan merumuskan kebijakan pelaksanaan pendaftaran merek di Diretorat Jenderal Hak cipta, paten dan Merek.