BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang ketersediaannya paling tinggi. Teori mencari makan optimal atau Optimal Foraging Theory (Schoener, 1986; Perry dan Pianka, 1997; Litvaitis, 2000) menyatakan bahwa satwa memilih berbagai jenis pakan yang terdistribusi dalam suatu pola tertentu di suatu habitat serta dapat membedakan berbagai bagian habitat (patch) dengan produktivitas dan kesesuaian pakan yang berbeda. Sebagian besar satwa hanya memanfaatkan sejumlah sumberdaya dengan proporsi yang lebih kecil dari kemampuannya mengkonsumsi. Keputusan satwa tersebut untuk menyisakan suatu pakan atau sumberdaya tidak hanya tergantung pada ketersediaan pakan di dalam suatu patch habitat itu saja, melainkan juga dipengaruhi ketersediaan pakan di seluruh habitatnya dan lokasi patch habitat lainnya. Hal ini berarti bahwa satwa dapat berhitung atau mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam memilih suatu jenis pakan maupun suatu patch habitat. Berdasarkan asumsi dasar teori ini, satwa akan memilih pakan yang memberi keuntungan (energi) paling tinggi namun dengan kerugian (waktu mencari dan penanganan pakan) paling rendah (Schoener, 1971; Litvaitis, 2000).
1
2
Sejumlah penelitian pada sepuluh tahun terakhir mengungkapkan bahwa pemilihan pakan merupakan konsekuensi dari interaksi kompleks berbagai faktor eksternal dan internal (Litvaitis, 2000). Faktor eksternal meliputi ketersediaan pakan, risiko dimangsa, dan interaksi sosial (Perry and Pianka, 1997; Litvaitis, 2000), sedangkan faktor internal meliputi tingkat kelaparan, pengalaman belajar, umur, jenis kelamin, dan kebutuhan nutrisi. Primata, sebagai komponen penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan, dalam melakukan aktivitasnya juga menerapkan Optimal Foraging Theory (OFT). Primata memiliki fungsi utama sebagai penyebar biji dan menjaga keseimbangan ekosistem (Basalamah, 2010). Peran utama satwa liar primata seperti monyet ekor panjang (M. fascicularis) menjadi penting dalam siklus ekologi sebagai penyebar biji (Dewi, 2010). Dalam proses penyebaran biji oleh satwa liar, yang berfungsi sebagai penyebar biji tingkat pertama adalah satwasatwa yang memiliki kemampuan daya tampung yang besar dalam perutnya dan sistem memakan biji swallow type. Hal ini menyebabkan biji-biji yang telah dimakan oleh satwa penyebar biji tersebut dalam keadaan utuh dan baik setelah dikeluarkan oleh satwa tersebut dalam bentuk feces. Beberapa jenis primata lain tidak hanya memakan biji dan bagian vegetatif tumbuhan saja, melainkan juga bersifat omnivorous, yaitu memakan segala macam makanan, baik tumbuhan maupun daging, bahkan ada pula yang bersifat carnivorous (misal: Tarsius). Sebagian besar primata merupakan frugivorous (memakan buah cukup besar dalam proporsi dietnya) yang membuat mereka memiliki fleksibilitas aturan makan yang unik. Meskipun demikian, primata tidak
3
dapat bertahan hidup hanya dengan memakan buah saja karena kurangnya asam amino sebagai kebutuhan energinya, karenanya mereka harus mendapatkan protein dari binatang lain maupun protein nabati (Chivers, 1998). Ketika primata memakan daging atau memangsa satwa lainnya berarti primata merupakan predator, sehingga ia menduduki tingkat trofik rantai makanan yang lebih tinggi daripada konsumen tingkat I dan menjadi penting dalam menjaga aliran energi di suatu ekosistem hutan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu jenis primata yang paling banyak dan tersebar luas di Asia Tenggara namun masih kurang diketahui ekologi dan biologinya. Sebagian besar penelitian dan laporan yang telah dilakukan adalah pada satwa yang hidup di kebun raya, dekat dengan pemukiman, maupun habitat lain yang sudah terganggu manusia. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain estimasi ukuran populasi monyet di Tlogo Muncar dan Tlogo Nirmolo (Annisa, 2011); perilaku makan monyet di Plawangan Turgo (Dewayanti, 2009); ukuran populasi dan home range monyet di TWA Pangandaran (Triprajawan, 2007); penaksiran populasi monyet di HTI Musi Hutan Persada (Hermawan, 2007); studi perilaku sosial monyet di Objek Wisata Goa Cerme (Sutomo, 2004); perilaku monyet dalam memanfaatkan habitat di Taman Wisata Pemandian Wendit Malang (Triwahyono, 1997); serta beberapa penelitian lain yang dilakukan di habitat terganggu lainnya. Penelitian tentang monyet ekor panjang yang hidup secara liar di alam salah satunya telah dilaksanakan oleh Wheatley (1980) yang dilakukan pada ekosistem hutan hujan tropis di Kalimantan Timur. Wheatley menitikberatkan penelitiannya pada
4
perilaku makan dan jelajah monyet ekor panjang di ekosistem alami yang sangat berbeda dengan di habitat terganggu. Bentuk adaptasi perilaku makan jenis primata ini tentu akan sangat berbeda pula pada ekosistem yang sangat berlawanan seperti hutan tropis kering di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Di seluruh kawasan Taman Nasional Komodo, spesies monyet ini hanya dijumpai di pulau Rinca, tidak ada bukti dijumpainya spesies ini di Pulau Komodo dan Padar. Ketersediaan buah-buahan sebagai pakan M. fascicularis yang kurang, mungkin menjadi penyebab absennya monyet ini di pulau-pulau tersebut (Auffenberg, 1981). Keberadaan M. fascicularis pada ekosistem “kering” seperti di Pulau Rinca ini cukup mengundang pertanyaan karena selama ini penelitian terkait spesies tersebut cenderung dilakukan pada ekosistem “basah” serta kurangnya data dan laporan tentang keberadaannya di ekosistem kering. Meski dikenal sebagai salah satu jenis primata paling suksesif dan adaptif namun keberadaanya pada ekosistem semacam ini menarik perhatian tersendiri untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku makan M. fascicularis pada ekosistem hutan tropis kering di Pulau Rinca. Wheatley (1980) mengamati perilaku makan M. fascicularis di hutan hujan tropis dengan melihat tiga aspek, yaitu ukuran dan komposisi kelompok, jenis pakan, dan perilaku makan monyet itu sendiri berdasarkan budget waktunya. Teori Carpenter (1971) dalam Basalamah (2010) menyatakan rata-rata ukuran kelompok cenderung menjadi ciri khusus dari spesies primata. Komposisi kelompok yang menekankan pada proporsi dari jenis kelamin dan kelas umur, cenderung relatif tidak berubah,
5
tergantung pada ukuran kelompok. Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang perlu diketahui karena pada dasarnya perubahan ukuran dan komposisi kelompok akan mendorong perubahan persaingan dalam memperoleh makanan dan strategi makan individu di dalam kelompok. Pakan dan perilaku makan primata sendiri merupakan salah satu dasar untuk mendeterminasi organisasi sosial primata dan perilaku lainnya (Chivers, 1972 dalam Basalamah 2010). Oleh karena itu, penelitian ini pun akan mengkaji ketiga aspek tersebut pada ekosistem hutan tropis kering yang kemudian dapat dibandingkan dengan hasil penelitian di ekosistem hutan hujan tropis basah.
1.2. Perumusan Masalah
Pertanyaan penelitian utama yang mendasari penelitian adalah bagaimana perilaku makan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di ekosistem hutan tropis kering di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo? Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu dijabarkan menjadi beberapa bagian pertanyaan penelitian yang perlu dijawab terlebih dahulu antara lain: 1. Bagaimana ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di Pulau Rinca? 2. Bagaimana keanekaragaman jenis pakan monyet ekor panjang di Pulau Rinca? 3. Bagaimana budget waktu dan pemanfaatan ruang pada perilaku makan monyet ekor panjang di ekosistem hutan tropis kering Pulau Rinca?
6
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di ekosistem hutan tropis kering Pulau Rinca. 2. Mengetahui keanekaragaman jenis pakan monyet ekor panjang di ekosistem hutan tropis kering Pulau Rinca. 3. Mengetahui budget waktu dan pemanfaatan ruang pada perilaku makan monyet ekor panjang di ekosistem hutan tropis kering Pulau Rinca.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ialah berupa data dan informasi mengenai ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang, jenis dan keanekaragaman pakannya, serta perilaku makannya. Data mengenai ukuran dan komposisi kelompok dapat berguna untuk melengkapi data monitoring populasi monyet di Taman Nasional Komodo, mengingat TNK merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang berperan penting dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Kelestarian populasi monyet ekor panjang memang diketahui secara global belum mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan, namun eksistensinya dalam skala kecil di habitat eksklusif seperti di Pulau Rinca, dengan segala faktor pembatasnya, menjadi sangat penting karena hilangnya (local extinction) primata sebagai salah satu komponen ekosistem akan memberikan konsekuensi ekologis dalam jangka panjang (Hill, 2002). Informasi jenis dan keanekaragaman pakan
7
merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui kebutuhan dan persyaratan habitat monyet yang dapat digunakan dalam pertimbangan pengelolaan satwa di Taman Nasional Komodo. Bagi dunia pengetahuan, hasil penelitian merupakan informasi untuk melengkapi jawaban dari berbagai pertanyaan tentang pengetahuan alam semesta, khususnya mengenai ekologi dan biologi monyet ekor panjang yang saat ini masih kurang. Informasi mengenai perilaku monyet ekor panjang telah mendorong tercapainya berbagai penemuan karena kemiripan fisiknya dengan manusia, sosialnya, serta kompleksitasnya. Berbagai penelitian lain tentang monyet ekor panjang telah sangat berjasa dalam dunia biomedis (Hill, 2002). Pada akhirnya penelitian ini merupakan sebuah kontribusi dalam upaya pelestarian
keanekaragaman
hayati,
khususnya
pelestarian
primata,
dan
lingkungan. Karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap perubahan habitat (Mace dan Balmford, 2000), primata telah bertindak sebagai indikator kondisi lingkungan yang berharga. Pelaksanaan penelitian ini sendiri adalah sebagai bentuk kerjasama antara pihak akademisi dengan pengelola Taman Nasional Komodo yang diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan.