1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan sebagai SDM di masa pembangunan nasional sekarang merupakan faktor yang penting bagi terselenggaranya pembangunan nasional di Negara Republik Indonesia. Bahkan faktor tenaga kerja merupakan sarana yang sangat dominan dalam kehidupan suatu bangsa.1 Suatu negara yang baru memacu pembangunan bangsanya, seperti di Negara Indonesia, eksistensi tenaga kerja sebagai sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dari berbagai komponen pembangunan yang biasanya saling berhubungan sebagai komponen manunggal. Komponen-komponen tersebut adalah alam, tenaga kerja, dan modal. Menurut Ilmu Ekonomi, ketiga komponen tersebut merupakan hal terpenting dan tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi dalam kenyataan harus diakui bahwa komponen tenaga kerja sebagai sumber daya manusia merupakan hal yang menonjol.2 Berbagai fakta telah membuktikan bahwa SDM merupakan faktor yang penting dari dua faktor lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan di beberapa 1
2
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, ctk. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 1. Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, ctk. Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm. 4.
2
negara seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan beberapa negara lainnya. Negara-negara tersebut tidak begitu didukung oleh sumber daya alamnya, namun karena pembangunannya didukung oleh faktor sumber daya manusia yang berkualitas tinggi maka negara-negara tersebut menjadi negara industri yang maju. Berbeda dengan negara kita Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, namun kondisi ketenagakerjaan sebagai sumber daya manusia dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional masih belum sepenuhnya menjadi pendukung utama.3 Hubungan kerja merupakan suatu hubungan antara seorang pekerja dengan seorang pengusaha, oleh karenanya dalam suatu hubungan kerja terdapat dua pihak yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Kedua belah pihak tersebut adalah pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha. Hubungan kerja hendaknya menunjukan kedudukan kedua belah pihak tersebut, yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pekerja terhadap pengusaha serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap pekerja.4 Hubungan antara pekerja dan pengusaha jika tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (pekerja dan pengusaha) maka besar kemungkinan banyak hak pekerja yang dilanggar oleh pengusaha, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homoni lopus). Pengusaha sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada dalam 3 4
Ibid., hlm. 4. Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, ctk. Ketujuh, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 1.
3
posisi lemah. Oleh karena itu, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta dalam menangani masalah ketenagakerjaan ini. Jalan yang diambil pemerintah untuk menangani masalah tersebut adalah dengan diterbitkannya peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja. Tujuan campur tangannya pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk mewujudkan hubungan kerja yang adil, karena peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memberikan perlindungan hak bagi pekerja sebagai manusia seutuhnya yang harus dilindungi keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak, dan sebagainya. Pemerintah juga memperhatikan kepentingan pengusaha yaitu kelangsungan usahanya.5 Dalam hal Ketenagakerjaan ini, di Negara Indonesia dasar hukum yang menjadi rujukan adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Tiaptiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya dijabarkan dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, suatu hubungan kerja diawali dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam perjanjian kerja biasanya berisi hak dan kewajiban pekerja serta hak dan kewajiban pengusaha, yaitu antara lain
5
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, ctk. Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 7.
4
jumlah upah yang diterima pekerja, jam kerja, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut tidak menutup kemungkinan ada hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan kerja yang terjadi karena adanya pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh pekerja ataupun pengusaha. Perselisihan tersebut apabila tidak ditemukan jalan keluarnya dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).6 Pengusaha seringkali melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, demi mendapatkan keuntungan yang berlebih. Pelanggaran yang seringkali dilakukan adalah memberi upah yang lebih rendah dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, serta jam kerja yang lebih panjang dari yang telah ditentukan tanpa membayar upah lembur. Menurut Tatuk Sutasmanto, Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kulon Progo, pelanggaran seperti tersebut diatas dapat dikenai sanksi pidana. Karena permberian upah terhadap pekerja diatur secara umum diatur dalam UU. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diatur lebih khusus dalam Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 191/KEP/2008 tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009. Dalam Keputusan Gubernur tersebut ditetapkan bahwa Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebesar Rp. 700.000,- (Tujuh
6
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, ctk. Pertama, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.27.
5
Ratus Ribu Rupiah) perbulan. Peraturan tersebut berlaku bagi semua bentuk usaha di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempekerjakan tenaga kerja.7 Hal tersebut serupa dengan yang dialami oleh para pekerja di Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo. Menurut pemiliknya, Najib Ika Ridwanto, Toko Rejeki Elektronik memberikan upah setiap bulan bagi pekerjanya sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) dengan jam kerja 12 jam sehari, 6 hari seminggu dan diberikan fasilitas berupa makan dan asrama. Pada bulan April 2008 mempunyai delapan orang pekerja. Selama kurun waktu bulan Mei 2008, sampai dengan bulan Desember 2008 telah terjadi enam kali pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja tersebut terjadi karena permintaan dari pihak pekerja. Pada bulan Januari 2009, Toko Rejeki Elektronik menerima dua orang pekerja, sehingga saat ini Toko Rejeki Elektronik mempunyai empat orang pekerja yang seluruhnya adalah wanita.8 Menurut keterangan mantan pekerja yang pernah bekerja di Toko Rejeki Elektronik yang mengalami pemutusan hubungan kerja, latar belakang mereka memutuskan hubungan kerja dari atau dengan Toko Rejeki Elektronik adalah karena upah yang mereka terima dianggap kurang. Mereka pernah meminta kenaikan upah namun oleh pihak pengusaha tidak diberikan. Menurut pihak pengusaha hal ini dilatar-belakangi oleh kebiasaan yang ada di daerah tersebut, bahwa rata-rata upah
7
8
Hasil wawancara dengan Tatuk Sutasmanto, Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kulon Progo, di Komplek Perumahan Dayakan Pengasih Kulon Progo (5 Januari 2009) Hasil wawancara dengan Najib Ika Ridwanto, pemilik Toko Rejeki Elektronik, di Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo. (20 Januari 2009)
6
yang diterima oleh pekerja toko selama satu bulan adalah sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah). Jalan PHK tersebut dianggap paling baik karena mereka merasa tidak mengetahui cara lain yang dapat diambil sebagai jalan keluar dari masalah ini. Pada saat PHK tersebut terjadi pihak pekerja tidak menerima pesangon berupa apapun dari pihak pengusaha, karena menurut pihak pengusaha, PHK ini terjadi karena inisiatif atau permintaan dari pihak pekerja itu sendiri.9
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian upah pekerja di Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo? 2. Bagaimana sikap pekerja terhadap upah yang diterima setiap bulan?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian upah pekerja di Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo; 2. Untuk mengetahui sikap pekerja terhadap upah yang diterima setiap bulan.
9
Hasil wawancara dengan Dwi Lestari, mantan pekerja Toko Rejeki Elektronik, di Toko Karunia Baru Wates Kulon Progo. (27 Januari 2009)
7
D. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ketenagakerjaan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja Batasan pengertian Hukum Ketenagakerjaan atau yang dulu disebut Hukum Perburuhan atau arbeidsrecht masih beragam sesuai dengan sudut pandang masingmasing ahli hukum, akibatnya pengertian yang dibuat berbeda-beda antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Menurut Iman Soepomo Hukum Perburuhan (Hukum Ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.10 Menurut Syahrani Hukum Ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan yaitu hubungan antara pekerja dengan pengusaha, dan hubungan antara pekerja dan pengusaha dengan pemerintah (penguasa). Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat diketahui Hukum Ketenagakerjaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. merupakan serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis; 2. mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha dengan pemerintah;
10
Sendjun H. Manulang, op. cit., hlm. 2.
8
3. adanya orang yang bekerja pada orang lain dengan mendapat upah sebagai imbalannya; 4. mengatur perlindungan hukum terhadap pekerja.11 Dalam suatu hubungan kerja terdapat dua pihak yang saling berkepentingan, dua pihak tersebut adalah pekerja dan pengusaha. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian tenaga kerja tersebut belum jelas menunjukkan status hubungan kerja. Secara khusus pengertian pekerja disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan pengertian pengusaha adalah sebagai berikut: 1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
11
Abdul Khakim, op.cit., hlm.5.
9
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan huruf (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Hubungan antara pekerja dengan pengusaha biasanya disebut dengan istilah hubungan kerja. Iman Soepomo memberikan pengertian hubungan kerja sebagai suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak, mereka terikat dalam suatu perjanjian di satu pihak pekerja bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja dengan memberi upah.12 Hubungan kerja menurut Pasal 1 ayat (15) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja. Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja. Hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian kerja. Takaran hak dan kewajiban masing-masing pihak harus seimbang, oleh karenanya hakikat hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha dan sebaliknya, hak pengusaha merupakan kewajiban pekerja.13
12 13
Ibid., hlm. 1. Ibid., hlm. 26.
10
Selain pengertian tersebut, Iman Soepomo juga menerangkan arti dari perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.14 Perjanjian kerja menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja, yang mempunyai unsur kerja, upah, dan perintah. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur perjanjian kerja, yaitu15: 1. Adanya unsur work atau pekerjaan Dalam suatu perjanjian harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. 2. Adanya unsur atau pay upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja) bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seseorang bekarja adalah untuk mamperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja, misalnya seoranng mahasiswa perhotelan yang sedang melaksanakan praktik lapangan di hotel.
14 15
Iman Soepomo, Op. cit., hlm. 51. Djumadi, Op. cit., hlm. 27.
11
3. Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. 4. Adanya unsur waktu Dalam melakukan hubungan kerja harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya pekerja tidak boleh bekerja dalam waktu sekehendak hatinya sendiri, tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan serta dalam pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kebiasaan, dan ketertiban umum. Perjanjian kerja merupakan salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi tenaga kerja, karena dengan adanya perjanjian kerja diharapkan para pengusaha tidak memperlakukan para pekerja dengan sewenang-wenang, memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa memperhatikan kebutuhan para pekerja serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku16. Motifasi utama seorang pekerja bekerja adalah mendapatkan nafkah/upah, dan upah merupakan hak pekerja yang mendasar, sehingga tidak jarang pengupahan menimbulkan perselisihan. Yang dimaksud dengan upah adalah: 16
Djumadi, op. cit., hlm. 5.
12
1. Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan; 2. Suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan, baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.17 Pekerja adalah manusia biasa yang memerlukan waktu istirahat. Oleh karenanya, pekerja harus dibatasi waktu kerjanya dan diberi hak untuk istirahat untuk menjaga kesehatan pisiknya. Undang-undang di bidang ketenagakerjaan memberikan batasan mengenai hal ini, misalnya untuk pekerja yang bekerja enam hari dalam satu minggu tidak boleh melakukan pekerjaan lebih dari 7 (tujuh) jam sehari dan atau empat puluh jam seminggu. Jikalau pekerjaan dilakukan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari enam jam sehari atau tiga puluh lima jam seminggu. Setelah buruh menjalankan
17
Abdul Khakim, Op. cit., hlm. 75. PP No.8 Tahun 1981 sudah tidak berlaku dan diganti dengan UU No.13 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 30.
13
pekerjaan selama empat jam sehari terus menerus, harus diadakan waktu istirahat yang sekurang-kurangnya setengah jam lamanya, waktu istirahat itu tidak termasuk jam kerja dan dalam seminggu diadakan sedikitnya sehari istirahat.18 Waktu kerja menurut Pasal 77 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meliputi tujuh jam dalam satu hari dan empat puluh jam dalam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau delapan jam dalam satu hari dan empat puluh jam dalam satu minggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang telah ditentukan wajib membayar upah kerja lembur. Selain itu pengusaha juga wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam Hukum Ketenagakerjaan.
Perlindungan
tenaga
kerja
bertujuan
untuk
menjamin
berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Menurut Iman Soepomo perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya; 2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; 18
Lalu Husni, op. cit., hlm. 80.
14
3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Ketiga perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan pelanggaran maka harus dikenakan sanksi.19
E. METODE PENELITIAN 1. Obyek Penelitian Pelaksanaan pemberian upah bagi pekerja di toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo. 2. Subyek Penelitian a. Pemilik Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo; b. Pekerja dan mantan pekerja Toko Rejeki Elektronik Wates Kulon Progo. c. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kulon Progo. 3. Sumber Data a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari lapangan menyangkut masalah yang diteliti. b. Data Sekunder
19
Abdul Khakim, op. cit., hlm. 62.
15
Yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, literatur-literatur, peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara secara langsung dengan subyek penelitian. b. Studi Pustaka, dengan mencari data dari buku-buku, dokumendokumen, literatur-literatur, dan peraturan yang terkait. 5. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis formal, yaitu menganalisis suatu permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum yang berlaku. 6. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu data disajikan dengan menggambarkan situasi kejadian secara apa adanya, kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Data
penelitian
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan
penelitian; b. Hasil klasifikasi data selanjutnya diurutkan dan dikelompokan; c. Data yang diurutkan dan dikelompokkan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.