BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat
reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2002). Departemen Kesehatan R.I (Depkes RI) tahun 2009 mendefinisikan asma sebagai kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma merupakan penyakit yang banyak ditemukan di masyarakat dan memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi, angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, bahkan diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun (Depkes RI, 2009). Berdasarkan survey Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2004, ditemukan bahwa kasus asma di seluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan diprediksi pasien asma akan bertambah menjadi 400 juta jiwa pada tahun 2025 (Mardhiah, 2009). Penyakit asma saat ini menduduki urutan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia (Depkes RI, 2009). Penderita asma pada tahun 2002 sebanyak 12.500.000. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2005
1
2
mencatat 225.000 orang meninggal karena asma. Prevalensi asma di Indonesia untuk daerah pedesaan 4,3% dan perkotaan 6,5% (Dinas Kesehatan Yogyakarta, 2010). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 prevalensi asma nasional adalah 4,0% dari 222 juta total populasi nasional (Depkes RI, 2008). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003, asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, namun dapat pula bersifat menetap
dan
mengganggu
aktivitas
sehingga
menyebabkan
penurunan
produktivitas dan kualitas hidup pasiennya. Hal terburuk dapat terjadi bila serangan asma berlangsung terus menerus selama berhari-hari dan tidak dapat ditangani dengan pengobatan biasa yang dapat menyebabkan fungsi ventilasi dapat sangat memburuk sehingga mengakibatkan sianosis dan kematian (Price & Wilson, 2006). Penyakit asma tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikendalikan (United States Environmental Protection Agency, 2004). Asma dapat dikendalikan dengan pengelolaan lengkap, tidak hanya dengan terapi farmakologis namun juga dengan terapi non farmakologis yaitu untuk mengontrol gejala asma. Pencapaian dan mempertahankan asma terkontrol merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan asma, yaitu kondisi optimal yang memungkinkan pasien asma dapat melakukan aktivitas
kehidupannya
seperti
orang
sehat
lainnya
(GINA,
2011).
Penatalaksanaan yang efektif untuk mencapai asma terkontrol, tidak saja menyebabkan pasien asma kembali pada kehidupan normal dengan kualitas yang baik, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi (Sundaru, 2009). Namun
3
kesulitan yang dihadapi pasien asma saat ini yaitu membuat asma menjadi terkontrol. Hasil survey yang dilakukan Asthma Insight and Reality in Europe (AIRE) mencatat bahwa pengobatan yang tidak adekuat menjadi penyebab terbanyak asma tidak terkontrol (Schayck et al, 2000). Berbagai penelitian melaporkan bahwa masih banyak pasien asma berada pada tingkat asma tidak terkontrol yang mempunyai gejala seperti gangguan tidur, kunjungan ke unit gawat darurat, gangguan aktivitas dan pemakaian obat pelega napas. Data di Poliklinik Alergi Ilmu Penyakit Dalam RSCM menyebutkan 64% pasien tidak terkontrol, 28% terkontrol baik dan 8% terkontrol total. Berbagai faktor berperan dalam menyebabkan keadaan asma yang tidak terkontrol seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat berat, penggunaan obat kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid (rhinitis alergi), kepatuhan berobat yang buruk, pengetahuan mengenai asma dan berat badan berlebih (Atmoko, 2009). Di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, prevalensi pasien asma tidak terkontrol cukup tinggi yaitu sebanyak 81 orang (75,7%) dan asma terkontrol adalah 26 orang (24,3%). Hal ini dapat menggambarkan tingkat kontrol asma di Indonesia mengingat RS Persahabatan merupakan pusat rujukan rumah sakit penyakit asma (Faisal dkk, 2011). Survei pada populasi menunjukkan bahwa walaupun terdapat keefektifan obat-obat farmakoterapi yang tinggi, mayoritas (70-95%) dari semua pasien asma di Eropa barat dan Asia-Pasifik mempunyai kontrol asma yang rendah (Nieuwenhof et al, 2008 dalam Kusumawati, 2010). Selama ini terapi yang digunakan adalah terapi farmakologis, namun mengingat banyaknya efek samping
4
dari pengobatan asma jangka panjang dan kenyataannya bahwa gangguangangguan psikologis seperti cemas dan depresi berperan dalam kekambuhan asma, maka terapi komplementer saat ini banyak dimanfaatkan oleh pasien asma (Kusumawati, 2010). Terapi komplementer mulai populer, ditunjukkan dengan jumlah pasien asma yang memanfaatkan terapi komplementer ini diperkirakan cukup tinggi sekitar 42% dari populasi pasien asma yang ada di New Zaeland (McHugh et al, 2003). Beberapa terapi komplementer yang dapat digunakan oleh pasien asma yaitu akupuntur, obat herbal, yoga, homoeopati, osteopati, chiropractic, dan latihan pernapasan. Terapi seperti ini banyak dikembangkan oleh para ahli, salah satu yang sering digunakan adalah teknik pernapasan. Dalam teknik ini diajarkan untuk mengatur napas bila pasien sedang mengalami asma atau bisa juga bersifat latihan saja (The Asthma Foundation of Victoria, 2002). Teknik pernapasan banyak dipilih karena pada pasien asma sering terjadi kebiasaan bernapas secara berlebihan yang tidak disadari, kondisi ini umum dikenal dengan istilah hiperventilasi. Jika pasien menghirup terlalu banyak volume udara dibanding dengan yang dibutuhkan, pada waktu yang bersamaan pasien juga akan menghembuskan karbondioksida keluar secara terlalu cepat. Hal ini akan menyebabkan reaksi kimiawi yang mempersulit pelepasan oksigen dari darah ke jaringan tubuh sehingga jaringan menjadi kekurangan oksigen. Dengan demikian secara sederhana penanganannya didasarkan pada usaha mengembalikan cara bernapas yang benar sehingga serangan asma yang dialami bisa dikurangi
5
secara drastis, dan penggunaan alat maupun obat-obatan untuk asma bisa dikurangi atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Vitahealth, 2005). Untuk memperbaiki cara bernapas pasien asma, terdapat salah satu terapi komplementer untuk asma yang ilmiah dan komprehensif yaitu metode Buteyko, yang ditemukan dan dikembangkan oleh Profesor Konstantin Buteyko dari Rusia (Vitahealth, 2005). Teknik pernapasan Buteyko merupakan teknik pernapasan yang berfokus pada pernapasan hidung, menahan napas dan relaksasi. Buteyko mengajarkan pasien asma untuk menjalani serangkaian latihan pernapasan dangkal dan lambat, dan mendorong untuk bernapas melalui hidung (The Asthma Foundation of New Zaeland, 2010). Teknik pernapasan Buteyko bertujuan menurunkan ventilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru pasien asma (GINA, 2005). Teknik pernapasan Buteyko juga membantu menyeimbangkan kadar karbondioksida dalam darah sehingga oksigenasi menjadi lancar dan dapat menurunkan kejadian hipoksia, hiperventilasi dan apnea saat tidur pada pasien asma (Murphy, 2005). Teknik pernapasan Buteyko lebih mudah diaplikasikan, karena latihan dilakukan dengan gerakan yang lebih sederhana dibandingkan dengan latihan pernapasan lain yang sudah banyak dikenal di Indonesia seperti senam asma dan yoga. Pemberian latihan teknik pernapasan Buteyko secara teratur akan memperbaiki buruknya sistem pernapasan pada pasien asma sehingga dapat membantu mencapai tingkat asma terkontrol (Kolb, 2009). Kontrol yang baik ini diharapkan dapat mencegah terjadinya eksaserbasi, menormalkan fungsi
6
paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Sundaru, 2009). Sampai tahun 1995 didapatkan bukti bahwa metode Buteyko dinyatakan telah menolong lebih dari 100.000 pasien asma di Rusia, dan secara resmi diakui oleh Pemerintah Rusia. Berbagai eksperimen dan uji klinis terhadap pasien di Rusia yang terdokumentasi menunjukan bahwa mayoritas pasien asma dari usia empat tahun ke atas bisa terbantu secara signifikan dengan metode ini, dan individu yang menggunakan obat-obatan asma bisa mengurangi penggunaanya hingga 90% lebih (Vitahealth, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh McHugh, et al tahun 2003 yang berjudul “Buteyko Breathing Technique for asthma: an effective intervention” menilai dampak Buteyko Breathing Technique (BBT) terhadap penggunaan obat pada pasien asma. Penelitian ini membagi responden menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hasilnya tidak ada perubahan yang signifikan FEV1 (forced expiratory volume in one second) yang diperoleh dari setiap kelompok. Pada kelompok BBT (perlakuan) menunjukkan penurunan penggunaan steroid inhalasi sebesar 50% dan penggunaan β2-agonist sebesar 85% selama enam bulan dari awal perlakuan. Pada kelompok kontrol penggunaan steroid inhalasi tidak mengalami perubahan dan penggunaan β2-agonist menunjukkan penurunan 37% dari awal penelitian. Penurunan penggunaan obat-obatan menunjukkan terjadinya penurunan frekuensi serangan yang terjadi pada responden. Kesimpulan dari penelitian McHugh, et al adalah teknik pernapasan Buteyko aman dan efektif untuk manajemen asma.
7
Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya (RSUD Wangaya) diperoleh jumlah total kunjungan pasien asma yang melakukan rawat jalan pada tahun 2012 sebanyak 873 dan tahun 2013 sebanyak 724 kunjungan. Jumlah ratarata pasien asma perbulan pada tahun 2013 adalah 58 orang yang sebagian besar tersebar di daerah Denpasar. Hasil studi pendahuluan di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya, dari 10 orang yang diwawancarai diperoleh data 3 orang yang menggunakan terapi non farmakologis (1 orang mengikuti senam asma dan 2 orang mengikuti yoga) dan 7 orang hanya menggunakan terapi farmakologis. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien asma yang berkunjung ke Poliklinik Paru RSUD Wangaya hanya bergantung pada terapi farmakologis sehingga diperlukan terapi pelengkap (non farmakologis) untuk menurunkan gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obatan dan mengurangi kunjungan ke Rumah Sakit, yang kemudian akan memperbaiki tingkat kontrol asma pada pasien asma. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap skor kontrol asma di Poliklinik Paru RSUD Wangaya. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis menetapkan
masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah terdapat pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap skor kontrol asma di Poliklinik Paru RSUD Wangaya?”
8
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap skor kontrol asma. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi nilai skor kontrol asma pre test teknik pernapasan Buteyko pada kelompok perlakuan. b. Mengidentifikasi nilai skor kontrol asma post test teknik pernapasan Buteyko pada kelompok perlakuan. c. Mengidentifikasi nilai pre test skor kontrol asma pada kelompok kontrol. d. Mengidentifikasi nilai post test skor kontrol asma pada kelompok kontrol. e. Menganalisis perbedaan nilai skor kontrol asma pre test dan post test teknik pernapasan Buteyko pada kelompok perlakuan. f. Menganalisis perbedaan nilai skor kontrol asma pre test dan post test pada kelompok kontrol. g. Menganalisis perbedaan perubahan skor kontrol asma antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan teori dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan medikal bedah
9
mengenai
teknik pernapasan
Buteyko
sebagai
terapi
pelengkap
dalam
penatalaksanaan asma dan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi perawat di Poliklinik Paru RSUD Wangaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan melalui pemberian pendidikan kesehatan khususnya kepada pasien asma tentang manfaat dari teknik pernapasan Buteyko.