BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggara pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak - hak publik rakyat lokal. Undang – Undang Dasar 1945 pasal 18 menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia terdiri atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang. Secara sosiologis desa merupakan sebuah gambaran dari satu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka ( masyarakat ) saling mengenal dengan baik corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam. Atau dengan pengertian umum desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di dalam wilayah Kabupaten. Dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Yaitu desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini desa dipilah dalam beberapa unsur penting: (1). Adanya orang – orang atau kelompok orang; (2).
1
Adanya pihak – pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin, (3). Adanya organisasi ( badan ) penyelenggara kekuasaan, (4). Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teretori penyelenggara kekuasaan; dan (5). Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan. (Pambudi, 2003 : 5 - 6 ). Pada Orde Lama telah ada suatu insitusi sosial yang berfungsi membantu anggota masyarakat desa yang dikenal sebagai Lembaga Sosial Desa bersifat otonom dan bebas dari kontrol pemerintah. Namun ketika Orde Baru lembaga yang semula bersifat independen, diambil ahli dan dikooptasi untuk mendukung kelestarian kekuasaaan Orde Baru dengan menetapkan Undang – Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang secara legal rasional desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang – Undang No. 5 Tahun 1979 pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), dan melalui Intruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1981, struktur dan fungsi organisasi kemasyarakatan desa masa Orde Baru juga membentuk LKMD ( lembaga Ketahanan Masyarakat Desa ). Dalam undang – undang ini, sistem birokrasi pemerintahan bersifat sentralistik, diintervensi (negaranisasi), yaitu desa adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Kedudukan kepala desa merupakan penguasa tunggal,
2
sekaligus merangkap sebagai ketua LMD dan LKMD. (http: // publik.Brawijaya .ac. id/simple/ us/ jurnal/ pdffile / Hakim 20 % & Endah 20% pengembangan 20% Kelembagaan 20% desa20%. Pdf. ) Soerjono Soekanto mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari norma – norma, segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat. ( Ibrahim, 2003 : 87 ). Hayami Kikuchi ( 1987 ), menyatakan kelembagaan adalah aturan yang mengatur perilaku yang dikukuhkan dengan adanya sanksi oleh suatu anggota komunitas, masyarakat atau oleh seluruh organisasi kelompok sosial yang dijadikan pegangan dalam mengadakan transaksi, dan sebagai aturan perilaku yang menentukan pola – pola tindakan dan hubungan sosial. ( Wisadirana, 2005 : 116 ). Pada Reformasi terjadi perubahan yang subtansial yaitu, dengan diberlakukannya Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pengganti dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dengan alasan bahwa kedua undang – undang tersebut sebagai dasar penyelenggara pemerintahan
daerah
sudah
tidak
mampu
lagi
menampung
dinamika
perkembangan masyarakat dan tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis, efektif dan efisien serta belum mampu mengakomodasikan keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan berkembang di daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakam bahwa pemerintahan desa adalah pelaksana kegiatan penyelenggara pemerintahan yang terendah
3
langsung di bawah Pemerintahan Kecamatan. Pemerintahan desa terdiri atas, kepala desa, BPD dan perangkat desa yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 telah memberikan peluang dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan masyarakat desa, untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan tujuan membangun relasi yang demokratis (desentralisasi dan demokrasi lokal) melalui perluasan ruang partisipasi politik pada masyarakat desa, untuk menghapus dan mengakhiri sentralisasi dalam mewujudkan suatu masyarakat yang otonom ( desa otonom ). ( http://www.Ireyogya.org/sutoro/jurnal/desa ditengah perubahan.Pdf. ) Struktur pemerintaha desa dalam Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 terdiri atas pemerintahan desa dan BPD. Dalam konteks ini, pasal 104 Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 mencantumkan keberadaan dan pembentukan Badan Perwakilan Desa merupakan lembaga legislasi desa, yang berfungsi sebagai pengayom adat istiadat, bersama kepala desa membuat Peraturan Desa, penyalur aspirasi masyarakat desa, dan pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam skema yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi Pemerintahan Desa, dan desa berada dibawah kontrol langsung kabupaten. Selain itu terdapat suatu pemisahan kekuasaan antara eksekutif ( kepala desa ) dan legislatif ( BPD ). Pelaksanaan tugas kepala desa yang selama Orde Baru di luar kontrol rakyat, kini diawasi secara ketat oleh BPD. Kepala desa tidak lagi sebagai pusat kekuasaan di desa dan pengambilan kebijakan tidak lagi menjadi wewenang mutlak kepala desa, melainkan beralih kepada BPD, pertanggungjawaban kepala desa diberikan pada BPD, serta BPD memberikan laporan kepada Bupati. ( Ali, 2007 : 100 ).
4
Kehadiran BPD sebagai tuntutan regulatif untuk menjadi aktor baru di desa sebagai lembaga kemasyarakatan dan kekuatan pemerintahan desa, BPD berpeluang secara luas sebagai roda penggerak masyarakat politik di tingkat desa. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, bahwa BPD dirancang untuk terlibat pada everyday life politics desa, dan menciptakan demokratisasi lokal serta merupakan roda penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU No. 22 Tahun 1999 ini ditemukan adanya sisa - sisa pola patron klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa orde baru. Belum lagi faktor - faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara ideal oleh kalangan pengamat politik pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah ‘masyarakat transisi yang permanen’ karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun belum bergerak kearah masyarakat modern. ( http://www.Interseksi.org/publications/essays/article/demokrsilokaldidesa.html ) Melalui Undang - Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, undang – undang ini memberikan wacana
dan
paradigma
baru
dalam
upaya
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, dan keadilan. Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 209 terjadi perubahan mendasar terhadap peran
dan
fungsi
BPD,
dimana
BPD
diganti
dengan
istilah
Badan
5
Permusyawaratan Desa dan mengalami penurunan derajat wewenang, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa, juga BPD tidak memiliki kewenangan dalam pengolahan keuangan desa, termasuk penetapan APBDes dan penetapan tata cara pungutan objek pendapatan dan belanja desa. Undang – undang ini menempatkan lembaga BPD bukan dibawah kepala desa, berarti kepala desa bukan penguasa tunggal seperti pada masa – masa yang lalu. Implisit di sini adalah bahwa BPD sebagai partner kepala desa dalam memfasilitasi warganya.(http://percik.or.id/index.php/options=content&task=view&id=21&item id=38). Pasal 215 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten / Kota dan pihak ketiga mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawratan Desa, dan surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 140 / 640SJ tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintahan Kabupaten kepada Pemerintah Desa sangat jelas, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar - tawar oleh Pemerintahan Kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang ADD ( Alokasi Dana Desa ) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
6
Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk
Desa
paling sedikit
10%,
yang
pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. (http://kingroodee. blogspot. com/ 2007/ 08/ otonomi- desa - dan- alokasi- dana- desa.html) Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri. Desa tidak lagi dikendalikan oleh pusat seperti pada UU No. 5 Tahun 1979 dimana desa berada dibawah kecamatan. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengandung konsep desentralisasi desa yaitu sebagai kemandirian pemerintahan dan masyarakat desa dalam menyampaikan aspirasi, merencanakan kegiatan, menggali dana, dan mengontrol kegiatan pembangunan desa. Berdasarkan uraian diatas, Pemerintahan Desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa, dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan integrasi dalam masyarakat, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menganalisis
7
Kekuasaan dalam Pemerintahan Desa, khususnya pada pemerintahan desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai.
1.2. Perumusan Masalah Lincoln dan Guba (1985 : 218) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda–tanda dan dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sebuah jawaban. Faktor yang berhubungan tersebut mungkin berupa konsep, data empiris, pengalaman atau unsur lainnya. ( Maleong, 2006 : 93 ). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana relasi politik desa antara kepala desa, BPD dengan masyarakat desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai ? 2. Bagaimana pola relasi kekuasaan pemerintahan desa Kedai Damar Pabatu kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai dalam pelaksanaan alokasi dana desa ?
1.3. Tujuan Penelitian Mengacu pada pernyataan M Iqbal Hasan ( 2002 : 44 ) bahwa tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya suatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian pada dasarnya tujuan
8
penelitian memberikan informasi mengenai apa yang akan diperoleh setelah selesai penelitian. Berdasarkan adanya keinginan penulis untuk memperoleh data, guna menjawab pertanyaan - pertanyaan pada perumusan masalah penelitian ini, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana relasi politik desa antara kepala desa, BPD dengan masyarakat desa Kedai Damar kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai. 2. Untuk mengetahui bagaimana pola relasi kekuasaan pemerintahan desa Kedai Damar kecamatan Tebing Tinggi kabupaten Serdang Bedagai dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa.
1.4. Manfaat Penelitian Setelah melakukan penelitian ini diharapkan manfaat penelitian ini berupa: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan dengan sistem Pemerintahan Desa yang terdapat di negara kita, sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pihak – pihak yang berkompeten dalam menjalankan pemerintahan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dalam perencananan pembangunan.
1.4.2 Manfat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta – fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya kritis dan analisis peneliti
9
sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut. Dan khususnya penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian – penelitian selanjutnya.
1.5. Definisi Konsep Konsep merupakan suatu gagasan yang dinyatakan dalam suatu simbol atau kata. Untuk memperoleh maksud dan pengertian mengenai konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi konsep – konsep yang digunakan. Pemberian batasan konsep ini diperlukan untuk menuntun peneliti dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan serta dalam menginterpretasikan hasil penelitian ( Faisal, 2003 : 107 ). Adapun konsep – konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Relasi kekuasaan politik adalah adalah suatu hubungan antar dua individu atau lebih, atau antara individu dengan kelompok, mengunakan segala kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik dengan jalan memberi perintah, maupun dengan mempergunakan alat dan cara yang tersedia dalam melaksanakan kebijakkan – kebijakkan, siasat, kekuasaaan, kewenangan, pembagian atau alokasi, dalam membangun hubungan yang dinamis, mulai dari hubungan yang bersifat kerja sama, kompetisi hingga muncul konflik. (http://poq. oxfordjournals. Org / cgi/ content /summary 20/1/73) 2. Pemerintahan desa adalah lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional, atau merupakan penyelenggaraan urusan
10
oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. 3. Sentralisasi adalah sistem yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada pemerintah pusat. Seluruh wewenang, prakarsa, kebijakan, keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan
pembiayaannya dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat. 4. Desentaralisasi desa adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI, mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri dalam menyampaikan aspirasi, tata pemerintahan desa yang relatif bebas dari campur tangan kekuatan – kekuatan pemerintahan pada hiearkhi otoritas diatas – desa, yaitu pemerintahan kecamatan, pemerintahan kabupaten atau pemerintah pusat dalam mewujudkan efektifitas, efisiensi pemerintahan, demokratisasi serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan bagi publik. (UU.No.32 Tahun 2004)
11