BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Buku merupakan instrumen yang paling efektif untuk merangsang pertumbuhan potensi manusia-manusia Indonesia. Buku tidak saja sebagai sebuah instrumen pemuas nafsu keingintahuan manusia. Lebih dari itu, buku menempati fungsi yang lebih luas, yaitu sebagai media pendidikan. Sebagai media pendidikan, buku, disadari atau tidak, harus melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, menjadi wajar kiranya jika buku kemudian melakukan peran-peran yang terkait dengan proses transfer of knowledges dan transfer of values. Transfer of knowledges, terkait dengan proses pendistribusian pengetahuan. Sehingga mampu mengendap dalam ruang-ruang pemikiran manusia dan mampu berperan sebagai pemandu setiap tindakan manusia. Sedangkan transfer of values cenderung lebih dekat dengan ukuran tingkah laku. Buku pada titik ini, mempunyai kapasitas untuk mengintegrasi segala sesuatu yang masih berserakan diluar manusia dengan ukuran rasio dan emosi dari manusia. Eksistensi buku dalam kehidupan manusia dapat disetarakan dengan sekolah. Baik buku maupun sekolah, keduanya mempunyai kapasitas yang beriringan dalam posisinya sebagai media pendidikan. Sebuah buku dapat memerankan fungsi-fungsi sebagai berikut. Pertama, buku mampu menyerap berbagai fenomena riil yang terjadi di masyarakat. Buku dapat melakukan abstraksi dan simplifikasi atas setting sosial. Kedua, buku juga mampu memberi imajinasi yang murni tentang masyarakat yang ideal. Ketiga, buku mampu mendorong dialog-dialog yang dinamis antara manusia dan dengan lingkungan sosialnya.
1
Dalam eksitensi buku mendukung aktivitas membaca para pelajar sebagai substansi perilaku belajar (the act of study) dan usaha untuk memperoleh pengetahuan (the act of knowledge) dalam sekolah, lebih dimaknai sebagai aktivitas yang mekanis dan repetitif. Menurut Paulo Freire1, belajar dari buku (book studying) merupakan kegiatan yang berat dan tidak sederhana, membutuhkan sikap kritis-sistematik, serta kemampuan intelektual untuk memahami realitas disekelilingnya. Dalam book studying hanya ada satu cara, yakni menyenangi apa yang dibaca, tanpa instruksi orang lain, tanpa paksaan untuk mencatat poinpoin yang dianggap berarti, dan menciptakan komunikasi personal dengan pemikiran penulisnya. Hal ini yang nantinya mendasari minat baca yang semakin meningkat, dalam artian tanpa paksaan dari pihak luar. Mahasiswa maupun pelajar dengan sample intelektual, hidup dalam intuisi akademi, tak urung dikaitkan dengan aktivitas membaca (kesenangan membaca), buku tebal , dan perpustakaan. Melalui jajak pendapat Litbang Balairung yang dilaksanakan Maret-April 2001, di Yogyakarta2. Hasil jajak pendapat itu meneguhkan kesimpulan bahwa: 98,6% responden masih setia membaca, namun kelegaan ini harus ditahan dulu, karena para responden masih mengandalkan taman bacaan-yang menyewakan komik dan novel populer. Tak heran peringkat pertama jenis buku yang digemari adalah komik (14,4 %). Berkaca pada hasil survey tersebut, bahwa masyarakat terbentur pada the cultural dilemma of poverty3, yakni mereka yang mampu membaca, tetapi tidak mampu membeli. Penyiasatan hal ini mendapat solusi dengan pergi ke perpustakaan, terlepas dari percakapan apakah sudah baik atau tidak, sudah
Paulo Fraire, Pendidikan Kaum Tertindas (Yogyakarta: LP3ES, 1995), hal. 49. Metode pemillihan responden menggunakan simple randomized sampling 52.321 mahasiswa empat perguruan tinggi (PT) di Yogyakarta, UGM, UNY, IAIN Sunan Kalijaga, dan Atma Jaya, angkataan 1997-2000. 3 Lihat Daniel Dhakidae, Tahun Buku Kanisius (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hal. 190. 1 2
2
layak atau belum perpustakaan masih menjadi primadona4. Bahkan pembajakan akan menjadi salah satu tujuan, dalam rangka pemenuhan kebutuhan membaca, biasanya terjadi pada kasus distribusi dengan modus mencari buku-buku laris dan mendistribusikannya dengan harga 75% dibawah harga asli. Penaklukkan terhadap sikap pembajakkan adalah penyediaan kawasan yang lebih formal dan legal, untuk menyembuhkan “penyakit” distribusi buku. Perbincangan mengenai pengalaman membaca adalah juga perbincangan tentang “tulisan” atau “bacaan”. Seperti sekeping mata uang, apabila satu sisinya adalah “pengaruh membaca” maka di sisi lain adalah “kekuatan tulisan”5. Hal ini ditanggapi dengan baik oleh 27 penerbit yang ada di Yogyakarta yang menjadi anggota IKAPI, sebagai wadah penulis. Kota Yogyakarta sendiri sudah mempunyai beberapa potensi. Dengan adanya P3T (Penerbit dan Percetakan Pergururuan Tinggi) yang dirintis oleh Universitas Gajah Mada (Gama Press) yang didirikan pada tahun 1971, disusul oleh Universitas Islam Indonesia (UII Press) yang berdiri pada tahun 1992, dapat memperkaya “dunia” penulisan di kota Yogyakarta Dengan menyampaikan dialog manusia dengan lingkungan sosialnya dengan berbagai cara, paling tidak dengan fenomena jaman yang di”setir” oleh kaum muda, membuat bacaan menjadi hal yang tidak hanya melulu formal, namun menjadi hal yang menyenangkan tanpa suruhan atau paksaan untuk membaca. Dengan gaya bahasa yang dikuasai para “kaum muda”, mereka menuangkannya dengan baik menjadi rangkuman bacaan “chick-lit atau teenlit”6 yang akhir-akhir ini digandrungi oleh kaum muda. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mampu me-reinkarnasi penulis muda yang umurnya berkisar 17-20 tahun, membuka teritori untuk para 4 Menurut Data BPS tahun 2003, Jumlah Perpustakaan menurut jenisnya, baru terdapat 1 Perpustakaan Umum/Publice di kota Yogyakarta 5 Ruth Havelaar, Selamat Tinggal Indonesia : Kisah Seorang Perempuan Belanda, Jakarta : Lentera, 1995 6 Bacaan fiksi ringan yang menceritakan pergulatan dunia remaja yang biasanya perempuan, mulai dari sekolah, asrama, keluarga, dan teman, dikemas dalam sebuah cerpen.
3
remaja memiliki
lingkup bacaan sendiri selain buku teks yang memang wajib menjadi
“pegangan” dalam studi para mahasiswa atau pelajar Perilaku membaca masyarakat terhadap buku semakin bergeser menjadi gaya hidup, bahwa buku mampu memberikan status sosial dan mengadakan event-event sosial sehingga buku membentuk komunitas sendiri. Berbasiskan pada kesamaan yaitu menjadi bentuk sebuah hobi pada buku, bisa melalui pengarang dan tokoh panutan baik fiksi maupun non fiksi. Dapat dilihat dari salah satu contoh yaitu pangsa pasar buku-buku Pramoedya Ananta Toer (80 thn). Nama Pram mendapat tempat pula di kalangan “gaul”, terdapat beberapa klubklub membaca atas namanya, seperti di daerah Bandung dengan menamakan kelompoknya dengan Komunitas Membaca Pramoedya dan Klub Baca Pramoedya7. Sekelompok orang dari usia remaja sampai lansia justru asyik mendiskusikan roman-roman Pram dalam suasana santai sambil minum kopi dan teh dalam sebuah kafe. Ini salah satu bentuk memaknai buku sebagai pengikat pergaulan dan mereka membutuhkan wadah untuk ini. Begitu juga yang terjadi pada Klub Harry Potter, Rin Tin-Tin, sebagai tokoh fiksi yang menjadi idola. Adapun bukan hanya tokoh, namun jenis buku itu sendiri dapat membuat komunitas baru, seperti yang telah dijelaskan diatas, segmen chick-lit atau teen-lit berhasil menguasai penjualan toko-toko buku akhir ini8, bukti lagi bahwa kaum muda yang menguasai pasar. Di kota Gudeg ini, setidaknya beroperasi 114 penerbit, dan 79 percetakan. Mereka didukung oleh dua distributor besar, 10 buah grosir atau agen, dan dua pusat perdagangan buku : Shopping Centre (121 kios), dan Terban (30 Kios). Belum lagi penerbit yang merangkap
Kompas, 6 Januari 2005 Menurut sumber wawancara yang dilakukan oleh penulia kepada supervisor toko buku Gramedia, Yogyakarta, Bapak Pudji Winarko chick-lit atau teen-lit memiliki rating yang paling tinggi pada pemasaran buku selain jenis buku-buku psikologi modern. 7 8
4
jadi retail semisal : Kanisius, Gramedia, Andi Offset, dll. Jumlah ini bisa pula ditambah dengan 26 toko buku serta 58 koperasi mahasiswa yang ada di seantero Yogya9, orang berasumsi dengan adanya fasilitas tersebut cukup memenuhi konsumsi masyarakat terhadap buku. Namun dengan tren masa kini, bahwa “wadah” buku tidak hanya berkesan komersil saja, namun masih banyak aspek yang hendak dijangkau, selain membeli dan membaca buku, ada kekuatan public service didalam sarana komersil. Melalui survey penulis terhadap remaja dan masyarakat (umur 15-40 tahun) secara random di Yogyakarta, bahwa semua responden, masih mencintai kegiatan membaca, walapun masih ada yang sekedar iseng, dan hanya mengisi waktu luang saja. Kuisioner ini didominasi oleh responden yang memilih toko buku Gramedia, sebagai toko buku favorit, berkaitan dengan tempat yang terjangkau, kelengkapan judul buku, mudah mencari indeks buku, dan kenyamanan tempat, walaupun ruang membaca masih minim. Walaupun demikian semua responden setuju, masih diperlukan satu fasilitas bersama untuk meng-eksplorasi buku, bukan sekedar objek bacaan, namun bisa memperlakukan kegiatan membaca sebagai hal yang menyenangkan, dalam konteks ruang fisik untuk menampung aktivitas membaca. Responden menghendaki suasana nyaman, lebih dari sekedar ruang-ruang etalase buku, karena rata-rata responden mempunyai durasi membaca 1-2 jam, dan mereka membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi buku sebagai “icon” pengetahuan. Pengharapan terhadap fasilitas baru, yang mampu keluar dari lingkaran lembaga pembelajaran yang formal namun sarat dengan book studying dihadirkanlah Pusat Buku (Book Center) di Yogyakarta, yang juga mampu menjawab kultur urban sebagai efek samping dari globalisasi. Sudah menjamur bisnis perbukuan dikawinkan dengan perpustakaan dan kafe 9
Survei yang dilakukan oleh Balairung, dalam tulisan “Konglomerasi di Ranah Distrbusi” tahun 2001.
5
sebagai wadah klub membaca, serta fasilitas-fasilitas komputerisasi untuk mendukung konsumsi e-book atau buku digital10. Wadah ini tidak hanya bersifat lokal, namun skala yang lebih besar lagi, yaitu nasional, dalam usaha menjaring transfer of values. Tidak saja meng-update buku-buku yang terbaru, namun ada nilai lebih ketika menyediakan sajian buku-buku yang masuk dalam kategori buku tua dan sudah lama tidak dijual lagi di pasaran untuk dibaca oleh masyarakat, hal ini akan menambah nilai lebih sebuah ruang baca, dengan mengeluarkan kesan perpustakaan yang konservatif. Melihat muka kota Yogyakarta, sebagai kota pendidikan dengan potensi mahasiswa, segala sarana fasilitas buku baik pendistribusian maupun perdagangan akan dirasa menjadi salah satu suasana “segar” untuk menangkap hawa “pengetahuan” yang baru. Pusat buku yang diimpikan mampu menjadi salah satu pusat media yang komunikatif, dalam mejaring segala komunikasi yang tertuang dalam wujud buku, tidak hanya buku secara bentuk fisik, namun buku menurut kapasitasnya. Buku sendiri mampu menjadi hal konkret yang mampu diraih masyarakat sebagai media yang paling maksimal, murah, dan kompleks dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dengan perkembangan buku digital (e-book) ini, tidak melunturkan nilai buku secara kuantitas, ini hanya berbicara tentang bagaimana tersedianya sarana untuk meng-aksesnya. Pusat buku dapat menjawab permasalahan ini, yang tidak bisa di-approve pada toko-toko buku yang sudah ada di Yogyakarta.
Menurut Jurnal Balairung edisi 34 tahun 2001, buku digital adalah lembaran-lembaran berjuta bahnkan bermilyar yang menyediakan keteraturan penyusunan dan kedinamisan. Lebih menarik lagi, dunia maya mampu memindahkan citra gambar yang serupa aslinya- foto maupun rekaman video, sehingga kita bisa belajar tanpa terpengaruh intepretasi dari orang lain, interaktif, dan merangsang keingintahuan. 10
6
Melihat isu-isu masalah yang timbul juga di kota Yogyakarta, bahwa ada perkembangan baru dalam membaca buku, yaitu membaca sebagai salah satu potret-potret gaya hidup metropolis ketika membaca diterjemahkan menjadi kehidupan urban untuk mendapatkan status sosial. Pusat Buku menjadi icon kebudayaan urban dalam konteks bahwa Pusat Buku sangat pro terhadap kehidupan urban yang sekarang berlangsung, bukan dalam artian Pusat Buku didirikan secara arogan untuk menciptakan sesuatu yang ekslusif dari apa yang sudah ada sekarang, sangat opposite dengan apa yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat. Pusat buku ini nantinya diharapkan menjadi ruang publik massal yang mampu menampung tidak hanya sekedar menjawab permasalahan membaca sebagai gaya hidup, namun juga menjawab permasalahan kebiasaan dan kecintaan membaca. Membaca menjadi kegiatan yang sangat down to earth, dicintai publik, dan bangunan Pusat Buku inilah sebagai ruang publik yang optimal untuk pembaca yang mencintai buku
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana merancang Pusat Buku di Yogyakarta yang mampu mewadahi segala aktivitas urban yang berkaitan dengan perbukuan dan membaca dengan menciptakan ruang sosial yang berorientasikan kenyamanan psikologis dan fisik pembaca.
1.3 Tujuan Merancang Pusat Buku di Yogyakarta yang mampu mewadahi segala aktivitas perbukuan dan membaca dengan menciptakan ruang sosial yang berorientasikan kenyamanan psikologis dan fisik pembaca.
7
1.4 Sasaran a. Studi tentang Pusat Buku kaitannya dengan mengacu pada public-space b. Studi tentang kota Yogyakarta c. Studi tentang jenis aktivitas perbukuan dan membaca. d. Studi tentang konsep ruang sosial untuk publik e. Studi tentang kenyamanan psikologis dan fisik pembaca dalam ruang
1.5 Lingkup Pembahasan a. Buku berbagai jenis meliputi jenis kategori buku seperti referensi, teks, periodikal, biliografi, dll. b. Pusat Buku dibatasi pada bangunan public-space dalam konteks publik komersial (public in commerce). c. Yogyakarta dibatasi pada hal yang berhubungan dengan pemilihan site untuk gedung tersebut. d. Kenyamanan pembaca yang dibatasi pada kenyamanan psikologis dan fisik pembaca. e. Pelaku pembaca dibatasi pada golongon anak-anak, remaja dan kaum muda, serta dewasa atau orang tua. f.
Aktivitas perbukuan dibatasi pada pameran, proses penulisan, pembacaan, hingga pementasan.
g. Fasilitas pendukung meliputi fasilitas penjualan buku, café dan lounge, amphitheater, mini shopping lainnya.
8
1.6 Metode 1.6.1. Metode Mencari Data a. Wawancara Ditujukan kepada pengelola (supervisor) toko buku, bagian pemasaran (marketing) toko buku di Yogyakarta. b. Kuisioner Diberikan kepada peminat/pembaca buku, pengunjung toko buku secara acak (random), mulai dari umur 14-40 thn di area kampus-kampus dan toko buku- toko buku terkenal di Yogyakarta. c. Observasi Pengamatan terhadap acara-acara yang berkaitan dengan buku seperti pembacaan, teater, bedah buku, dan peluncuran buku di Yogyakarta dan Jakarta. d. Studi Pustaka/ Literatur. Mempelajari buku-buku tentang gaya membaca masyarakat, proses penulisan, bangunan mixed-use, dan arsitektur modern. e. Studi banding Melihat langsung bangunan tipikal yang ada di Jakarta, yaitu QB World, dan Aksara Kemang. 1.6.2. Metode Menganalisa Data a. Metode Kuantitatif Tabulasi ruang-ruang dalam bangunan yang terbentuk dari memperlakukan buku itu sendiri dalam rupa/wujud, kuantitas/kualitas, umur, dan mengawinkannya pada jenis
9
kegiatan, termasuk didalamnya mengaktualisasikan bentuk fisik buku menjadi bentuk ruang. b. Metode Kualitatif. Temuan-temuan yang dikomunikasikan secara visual (gambar dan sketsa) terutama proses pembentukan ruang dan suasana yang muncul dari studi kenyamanan psikologis dan fisik pembaca. 1.6.3. Metode Perancangan Perancangan menggunakan prinsip bentuk, ruang, dan tatanan (form, space, and ordering) untuk menimbulkan suasana yang nyaman baik secara psikologis dan fisik untuk pembaca.
1.7 Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan. Latar belakang yang diperkuat dengan tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, lingkup permasalahan, metode, dan sistematika penulisan.
Bab II
Tinjauan Aktivitas Perbukuan dan Pembaca di Yogyakarta yang Diwadahi Dalam Pusat Buku Tinjauan aktivitas perbukuan dan pembaca di Yogyakarta yang berkaitan dengan kultur urban dalam gaya hidup membaca masyarakat saat ini pada umumnya. Mengungkapkan design requirement Pusat Buku sebagai publicspace yang terintegrasi dengan konteks urban.
10
Bab III
Tinjauan
Kenyamanan
Psikologis
dan
Fisik
Membaca
yang
Memunculkan Suasana Ruang Mengungkapkan teoritis kenyamanan psikologis dan fisik pembaca, sesuai dengan kategori pembaca (anak-anak, remaja, dan dewasa) dengan penekanan kepada bentuk, ruang, dan tatanan (form, space, and order). Bab IV
Analisis Pendekatan Menuju Konsep Perencanaan dan Perancangan Pusat Buku. Mengungkapkan pendekatan konsep perancangan arsitektur Pusat Buku, analisis site terpilih, lingkungan alam dan sosial, bangunan terhadap fungsi kegiatan,
ruang-ruang
dalam
bangunan,
hubungan
antara
ruang,
penzoningan dalam tapak, orientasi massa bangunan dan vegetasi, serta analisis kenyamanan psikis dan fisik pada ruang utama Pusat Buku. Bab V
Konsep Perencanaan dan Perancangan Pusat Buku. Mengungkapkan konsep perancangan arsitektur, konsep site terpilih, konsep zoning, konsep organisasi ruang, konsep gubahan massa, konsep sirkulasi, konsep modul fungsi, konsep struktur dan utilitas, dan suasana ruang.
11